" Wadah Perca-perca Mimpi Sebelum Terburai Melangit " (B.E.J.)

Rabu, 08 Januari 2014

BADUY: "Pesan Ambu, Ridho Nak!"



Nyalahan We're Coming!
"Jembatan akar jauhkah?" tanya saya sebelum meninggalkan rumah jaro, sebelumnya pertanyaan ini telah saya lontarkan pada Doni dan ia menjawab "Jauuuuuh". Kali ini saya tanyakan pada Sapri, dan ia menjawab "Jauh. Mau lewat sana, Bel?" tanyanya. "Berapa kilo kira-kira?" saya masih belum menyerah untuk melihat ikon Baduy yang terkenal itu. "Ya, sekitar 16 kilo kalau sampai Cibeo". "Gimana, Mas?" tanya saya meminta persetujuan pada senior. "Ya, ayo monggo aja". Mendengar jawaban senior saya yang mantap, saya tidak ragu untuk mengangguk mengiyakan pertanyaan Sapri. "Mumpung langit lagi baik!" jawab saya semangat. 

Here We are! Petualangan menjelajahi kampung Baduy yang tersohor pun segera dimulai. Kami berempat memulai trekking setelah sebelumnya bernegosiasi masalah jarak dan waktu yang akan kami tempuh. Memang kami tidak dikejar target harus sampai tujuan pukul berapa, namun ada baiknya jika menyamakan persepsi terlebih dahulu. Karena bisa jadi dekat menurut Sapri dan Doni, namun jauh menurut saya dan senior seperjalanan dan bisa jadi jauh menurut mereka berdua, berarti lebih jauh lagi menurut kami. 

Bismillahirrahmanirrahiim. Dengan menyertakan Dia di setiap langkah, kami pun bergegas melangkah menemui nyalahan. Rute menuju jembatan akar berbeda dengan rute menuju kampung Baduy Luar dan Dalam dari Kaduketu yakni kampung Baduy Luar pertama yang akan pengunjung temui jika melalui gerbang "Selamat Datang di Baduy" setelah turun dari Elf Ciboleger.

Perkampungan masyarakat luar Baduy

Senin, 06 Januari 2014

Meneropong Fenomena "Oplosan"


Opo ora eman duite (Apa tidak sayang uangnya)
Gawe tuku banyu setan (Buat beli air setan)
Opo ora mikir yen mendem (Apa tidak berpikir kalau mabuk)
Iku biso ngerusak pikiran (Itu bisa merusak pikiran)

            Masyarakat Indonesia menjadi lebih energik akhir-akhir ini lantaran banyak program tv yang menanyangkan dan mengajak masyarakat untuk bernyanyi dan bergoyang bersama. Sebut saja acara Yuk Keep Smile yang ditayangkan di salah satu stasiun televisi swasta berhasil menghebohkan masyarakat dengan berbagai macam goyang. Setelah sukses dengan goyang Buka Sitik Joss yang diprakarsai oleh artis bernama Caisar, kali ini tidak mau ketinggalan goyang Oplosan pun mendadak melejit karena dipopulerkan oleh pesinden dan penyanyi serba bisa, Soimah. 

            Goyang yang dilakukan dengan menghadap samping dan menggoyangkan pinggul naik-turun ini merupakan suatu gebrakan baru. Mengesampingkan apakah acara ini layak untuk ditonton oleh anak-anak atau hanya legal ditonton oleh sebagian orang, goyang Oplosan dilatari oleh lagu dan musik yang rancak sehingga siapa pun yang mendengarnya ikut terlena dan menikmatinya.

            Namun, tahukah anda bahwa lagu Oplosan ini dibuat bukan tanpa alasan? Lagu ini diciptakan oleh Nur Bayan, seorang  penulis lagu yang berasal dari Kediri-Jawa Timur. Bayan mengaku bangga karena lagu ciptaannya berhasil diterima masyarakat luas tepatnya setelah dipopulerkan oleh Soimah.

Jumat, 03 Januari 2014

BADUY: "Karena Bahagia itu Sederhana"


Baduy, sebuah mimpi lama
Keinginan untuk menyambangi saudara-saudara luar biasa yang terkumpul dalam satu komunitas "suku Baduy" telah mengetem lama di benak saya sejak Desember 2012 lalu. Kampung Baduy yang berada di Banten tepatnya daerah Ciboleger berhasil menyadap pikiran saya tentang peradaban manusia suci yang tidak terjamah oleh modernisasi dan alat-alat elektronik beserta sosial media yang saat ini menjadi kebutuhan pokok orang-orang banyak termasuk saya sendiri.
            Jadilah, setelah saya mendapat kesempatan berkuliah di sebuah universitas di Jawa Barat (karena saya bingung kampus saya ini statusnya milik Jakarta atau Tangerang Selatan -_-), saya manfaatkan objek-objek dolen yang ada di sekitar. Dan tujuan utama saya adalah mimpi lama ke peradaban manusia suci yang namanya banyak digaung-gaungkan di forum backpacker Indonesia: BADUY!
***
            Bertemu manusia impian!
Sebelum saya berangkat, Sabtu dulu sekali saya melihat empat orang berpakaian putih dan ada yang berpakaian hitam mengenakan ikat kepala putih berjalan tanpa alas kaki dengan menjinjing tas kain yang menggembung di punggung mereka. "Sumpah! Mereka ada, aku nggak mimpi!" kata saya pada seorang teman ketika saat itu kebetulan sedang jalan keluar membeli makan di sebuah warung. "Apa sih, Bel?" tanya kawan saya. "Ituuuu! Merekaaaaa!" Saya menunjuk-nunujuk empat orang yang punggungnya segera menjauh dari pandangan. Saya tak kuasa membahasakan kekaguman yang saya lihat. "Ooh, orang Baduy. Mereka memang sering lewat sini mbak. Kayaknya belanja keperluan. Pernah saya ajak makan di sini, mereka nggak mau pakai sendok sama garpu. Maunya pakai tangan", ujar pemilik warung tempat saya beli makan, ternyata virus kepo juga sudah mulai menyebar kepada dia. Hahaha. Wah, sejak saat itu saya terus melanjutkan kekepoan saya terhadap suku Baduy yang nyata adanya. Saya harus bisa makan bersama mereka! Satu kalimat itu yang saya tancapkan kuat-kuat setelah pulang dari warung itu.