" Wadah Perca-perca Mimpi Sebelum Terburai Melangit " (B.E.J.)

Minggu, 16 September 2012

Wisata Tak Terduga


     Allah selalu punya plan B untuk skenario kehidupan yang diperankan oleh hambaNya. Itulah mengapa selalu ada kejutan dibalik tidak terwujudnya sebuah rencana.”

            Kata-kata itulah yang seringkali terngiang di benak saya ketika saya hendak melakukan suatu rencana yang tidak biasa. Layaknya sebuah mantra yang selalu menjadi pengingat bagi saya bahwa tidak sepenuhnya manusia berhak mengatur kehidupannya. Manusia hanya boleh bermimpi, hanya bisa berusaha, hanya berharap dengan doa, dan sisanya faktor X kehendak Tuhanlah yang menentukan sesuatu itu dapat terwujud atau tidak.

            Hari itu, Sabtu, 15 September 2012. Akhir pekan yang memang sudah ditunggu oleh banyak orang dengan berjuta rencana refreshing yang siap dilaksanakan. Begitu pula dengan saya, hari itu saya berniat menghabiskan akhir pekan untuk menghirup oksigen yang sedikit berbeda dari hari biasanya. Yap, destinasi kali ini adalah sebuah rumah sakit! Lebih tepatnya,  job saya kali ini adalah menemani kawan saya untuk menjenguk seorang teman lamanya yang (kabarnya) sedang dirawat inap di rumah sakit Saiful Anwar-Malang.

Jumat, 14 September 2012

Sebuah Potret Kesederhanaan yang Cerdas


Akhir pekan memang waktu yang paling ditunggu oleh siapa saja. Bagaimana tidak? Akhir pekan adalah waktu yang tepat untuk merenggangkan seluruh otot yang telah bergulat dengan segala macam kesibukan selama seminggu, adalah moment yang paling ditunggu untuk mengumbar kisah dan tawa dengan keluarga, kerabat, hingga kekasih. Dan berbeda dari biasanya, atmosfer akhir pekan kota Malang kali ini agaknya sedikit berbeda, terutama bagi warga kota Malang yang tengah menikmati retorika lama kota Malang, hal ini disebabkan oleh kehadiran Malang Tempo Dulu, sebuah festival budaya yang menghadirkan berbagai potret kota Malang jaman dahulu dan menyuguhkan seluruh kekhasan yang dimiliki bumi Arema ini.
  Tepatnya pada tanggal 26 Mei 2012, saya dan teman-teman bergegas melenggang meninggalkan jalan Bandung untuk segera memadati jalan Ijen dan merasakan euphoria hiruk-pikuk festival Malang Tempo Dulu  yang tahun ini bertajuk dengan Malang Kembali. Jalan Ijen yang tidak jauh dari sekolah kami mengharuskan kami menikmati karunia Allah untuk menapaki jalanan dengan menggunakan kedua kaki kami. Tiba di gerbang masuk MTD kami disambut dengan baliho besar bertuliskan “Selamat datang di Malang Kembali 2012” dan dua pintu gerbang yang dibuat dari anyaman bambu dengan hiasan rumbai-rumbai daun tebu yang sudah mengering berhasil menghadirkan suasana kota Malang yang jadul (alias jaman dulu) dalam benak kami. 
Kami lalu menyusuri ruas jalan yang kiri-kanannya sudah dipenuhi berbagai macam stand pedagang yang menawarkan berbagai keunikan kerajinan khas kota Malang hingga mainan dan makanan khas tempo dulu yang mungkin saat ini sudah sangat sulit ditemukan. Saya juga sangat takjub dengan antusiasme warga bumi Arema ini yang berusaha memeriahkan program pemerintah yang diadakan dalam setahun sekali, dengan mengenakan pakaian tempo dulu berupa baju motif batik dan kebaya. Sungguh sebuah apresiasi yang patut diacungi jempol. 

Setelah kami puas jepret sana jepret sini, kami mulai mengunjungi satu persatu stand yang ada. Mulai dari stand makanan jadul seperti gulali jawa, jajanan pasar, hingga stand-stand unik yang memang menjadi andalan festival tahuanan ini seperti studio radio terbuka dengan siaran langsung penyiarnya yang menggunakan bahasa jawa lengkap dengan logat kentalnya, ada pula benda-benda bersejarah yang dipamerkan disini. Seperti berbagai macam mobil tua bung Karno yang sengaja dibawa berkeliling area MTD kemudian diparkir di depan museum tempo dulu yang menghadirkan banyak informasi tentang seluk-beluk sejarah kota Malang, ada pula berbagai jenis motor vespa yang tampak sangat tua namun masih terlihat terawat dan bagus. 


         Belum berhenti sampai disitu, kami juga dibuat tercengang oleh pertunjukkan kesenian khas kota Malang yakni tari topeng Malangan. Sebuah pertunjukkan yang berhasil menyihir kami dengan lenggak-lenggok gerakan sang penari seakan-akan berusaha memeberitahu kami tentang apa kisah yang terkandung dalam tarian indah yang sedang ia tampilkan.


Kami benar-benar larut dalam perasaan haru sekaligus bangga menikmati berbagai suguhan yang diberikan dalam festival Malang Tempo Dulu ini. Ditengah laju zaman yang marak menggembar-gemborkan betapa agungnya budaya dan teknologi barat, ternyata masih ada sedikit ruang bagi jiwa yang ingin mengenang bahkan menjunjung kebudayaan bangsa ini. Sebuah festival yang mampu melahirkan rasa nasionalisme dengan mencintai budaya dan produk dalam negeri dalam bingkai kesederhanaan budaya ketimurannya dan kanvas cerdas era globalisasi yang tetap mengerti norma adat.

Kemudian mari kita tengok detail kecil opera jadul yang berhasil mencetak momen indah pada saat kita masih kanak-kanak. Ya, apalagi jika bukan pertunjukkan topeng monyet dan dokar atau delman  kuda. Pertama, topeng monyet yang sering kali menjadi rujukan para ibu-ibu dahulu jika anak-anaknya rewel saat disuapi makan sore. Opera kecil yang berhasil membawa saya menengok kembali masa kecil saya kala sore itu dengan wajah polos melihat sang Paimin beraksi membawa payung dengan dalih akan pergi ke pasar, atau kadangkala saya menangis histeris kala si Paimin jingkrak-jingkrak memperagakan tarian topengnya. Hahaha… kadangkala masa lalu akan terasa manis dan lucu jika diingat kembali.

Selanjutnya adalah delman kuda dengan syairnya yang sampai saat ini sering mengusik benak saya. “Pada hari Minggu kuturut ayah ke kota. Naik delman istimewa kududuk di muka. Kududuk samping pak kusir yang sedang bekerja mengendarai kuda supaya baik jalannya. Hai! Tuk..tik..tak..tik..tuk..tik..tak..tik..tuk..tuk..tik..tak..tik..tuk..suara sepatu kuda ”.  Namun syair lagu tersebut agaknya berbeda keadaan dengan delman yang ada di MTD ini, delman ini disediakan khusus untuk pengunjung yang ingin mengelilingi seluruh area MTD tanpa harus berlelah-lelah ria, berdesak-desakkan mencari celah kosong diantara sekian banyak pengunjung. Dengan merogoh kantong ± 5000-7000 rupiah, anda sudah bisa menikmati seluruh sudut kota lama ini. Sayang sekali, pada waktu itu kami memilih untuk berjalan saja agar bisa mapir dan melihat-lihat lebih lama di setiap stand. Untuk anak-anak balita, disini juga disediakan alat transportasi tradisional berupa delman kambing. Untuk deskripsinya, anda bisa bayangkan delman kuda layak biasanya namun kuda diganti dengan kambing gibas yang ukurannya lumayan bsar dengan kapasitas penumpang maksimal dua balita yang mengendarainya sedang si kambing ditarik oleh sang pemilik agar dapat berjalan dengan baik. 

Dan perjalanan budaya kami kali ini diakhiri dengan sesi foto untuk mengabadikan kenangan bersama dengan  Malang Tempo Dulu yang areanya siap digantikan dengan jalur aktifitas vital warga Malang. Sebuah kesederhaan kota lama yang disuguhkan dengan cara yang sangat cerdas, yakni berupa festival menarik yang mampu mengundang banyak simpati dari banyak warga. Ya, itulah Malang Tempo Dulu.  J

Nb: Mohon maaf karena peng-upload an foto memakan waktu yang sangat luama pol. Jadi saya tambahkan foto-foto MTD 2012 lain waktu, secepatnya.