Akhir
pekan memang waktu yang paling ditunggu oleh siapa saja. Bagaimana tidak? Akhir
pekan adalah waktu yang tepat untuk merenggangkan seluruh otot yang telah
bergulat dengan segala macam kesibukan selama seminggu, adalah moment yang
paling ditunggu untuk mengumbar kisah dan tawa dengan keluarga, kerabat, hingga
kekasih. Dan berbeda dari biasanya, atmosfer akhir pekan kota Malang kali ini
agaknya sedikit berbeda, terutama bagi warga kota Malang yang tengah menikmati
retorika lama kota Malang, hal ini disebabkan oleh kehadiran Malang Tempo Dulu,
sebuah festival budaya yang menghadirkan berbagai potret kota Malang jaman
dahulu dan menyuguhkan seluruh kekhasan yang dimiliki bumi Arema ini.
Tepatnya pada tanggal 26 Mei 2012, saya dan
teman-teman bergegas melenggang meninggalkan jalan Bandung untuk segera
memadati jalan Ijen dan merasakan euphoria
hiruk-pikuk festival Malang Tempo Dulu
yang tahun ini bertajuk dengan Malang Kembali. Jalan Ijen yang tidak
jauh dari sekolah kami mengharuskan kami menikmati karunia Allah untuk menapaki
jalanan dengan menggunakan kedua kaki kami. Tiba di gerbang masuk MTD kami
disambut dengan baliho besar bertuliskan “Selamat datang di Malang Kembali
2012” dan dua pintu gerbang yang dibuat dari anyaman bambu dengan hiasan
rumbai-rumbai daun tebu yang sudah mengering berhasil menghadirkan suasana kota
Malang yang jadul (alias jaman dulu) dalam benak kami.
Kami
lalu menyusuri ruas jalan yang kiri-kanannya sudah dipenuhi berbagai macam
stand pedagang yang menawarkan berbagai keunikan kerajinan khas kota Malang
hingga mainan dan makanan khas tempo dulu yang mungkin saat ini sudah sangat
sulit ditemukan. Saya juga sangat takjub dengan antusiasme warga bumi Arema ini yang berusaha memeriahkan program
pemerintah yang diadakan dalam setahun sekali, dengan mengenakan pakaian tempo
dulu berupa baju motif batik dan kebaya. Sungguh sebuah apresiasi yang patut
diacungi jempol.
Setelah
kami puas jepret sana jepret sini, kami mulai mengunjungi satu persatu stand
yang ada. Mulai dari stand makanan jadul seperti gulali jawa, jajanan pasar,
hingga stand-stand unik yang memang menjadi andalan festival tahuanan ini
seperti studio radio terbuka dengan siaran langsung penyiarnya yang menggunakan
bahasa jawa lengkap dengan logat kentalnya, ada pula benda-benda bersejarah
yang dipamerkan disini. Seperti berbagai macam mobil tua bung Karno yang
sengaja dibawa berkeliling area MTD kemudian diparkir di depan museum tempo
dulu yang menghadirkan banyak informasi tentang seluk-beluk sejarah kota
Malang, ada pula berbagai jenis motor vespa yang tampak sangat tua namun masih
terlihat terawat dan bagus.
Belum
berhenti sampai disitu, kami juga dibuat tercengang oleh pertunjukkan kesenian
khas kota Malang yakni tari topeng Malangan. Sebuah pertunjukkan yang berhasil
menyihir kami dengan lenggak-lenggok gerakan sang penari seakan-akan berusaha
memeberitahu kami tentang apa kisah yang terkandung dalam tarian indah yang
sedang ia tampilkan.
Kami
benar-benar larut dalam perasaan haru sekaligus bangga menikmati berbagai
suguhan yang diberikan dalam festival Malang Tempo Dulu ini. Ditengah laju
zaman yang marak menggembar-gemborkan betapa agungnya budaya dan teknologi
barat, ternyata masih ada sedikit ruang bagi jiwa yang ingin mengenang bahkan
menjunjung kebudayaan bangsa ini. Sebuah festival yang mampu melahirkan rasa nasionalisme dengan mencintai budaya dan
produk dalam negeri dalam bingkai kesederhanaan budaya ketimurannya dan kanvas
cerdas era globalisasi yang tetap mengerti norma adat.
Kemudian
mari kita tengok detail kecil opera jadul yang berhasil mencetak momen indah
pada saat kita masih kanak-kanak. Ya, apalagi jika bukan pertunjukkan topeng
monyet dan dokar atau delman kuda.
Pertama, topeng monyet yang sering kali menjadi rujukan para ibu-ibu dahulu
jika anak-anaknya rewel saat disuapi makan sore. Opera kecil yang berhasil
membawa saya menengok kembali masa kecil saya kala sore itu dengan wajah polos
melihat sang Paimin beraksi membawa payung dengan dalih akan pergi ke pasar,
atau kadangkala saya menangis histeris kala si Paimin jingkrak-jingkrak
memperagakan tarian topengnya. Hahaha… kadangkala masa lalu akan terasa manis
dan lucu jika diingat kembali.
Selanjutnya
adalah delman kuda dengan syairnya yang sampai saat ini sering mengusik benak
saya. “Pada hari Minggu kuturut ayah ke
kota. Naik delman istimewa kududuk di muka. Kududuk samping pak kusir yang
sedang bekerja mengendarai kuda supaya baik jalannya. Hai!
Tuk..tik..tak..tik..tuk..tik..tak..tik..tuk..tuk..tik..tak..tik..tuk..suara
sepatu kuda ”. Namun syair lagu
tersebut agaknya berbeda keadaan dengan delman yang ada di MTD ini, delman ini
disediakan khusus untuk pengunjung yang ingin mengelilingi seluruh area MTD
tanpa harus berlelah-lelah ria, berdesak-desakkan mencari celah kosong diantara
sekian banyak pengunjung. Dengan merogoh kantong ± 5000-7000 rupiah, anda sudah
bisa menikmati seluruh sudut kota lama ini. Sayang sekali, pada waktu itu kami
memilih untuk berjalan saja agar bisa mapir dan melihat-lihat lebih lama di
setiap stand. Untuk anak-anak balita, disini juga disediakan alat transportasi
tradisional berupa delman kambing. Untuk deskripsinya, anda bisa bayangkan
delman kuda layak biasanya namun kuda diganti dengan kambing gibas yang
ukurannya lumayan bsar dengan kapasitas penumpang maksimal dua balita yang
mengendarainya sedang si kambing ditarik oleh sang pemilik agar dapat berjalan
dengan baik.
Dan perjalanan budaya
kami kali ini diakhiri dengan sesi foto untuk mengabadikan kenangan bersama
dengan Malang Tempo Dulu yang areanya
siap digantikan dengan jalur aktifitas vital warga Malang. Sebuah kesederhaan
kota lama yang disuguhkan dengan cara yang sangat cerdas, yakni berupa festival
menarik yang mampu mengundang banyak simpati dari banyak warga. Ya, itulah
Malang Tempo Dulu. J
Nb: Mohon maaf karena peng-upload an foto memakan waktu yang sangat luama pol. Jadi saya tambahkan foto-foto MTD 2012 lain waktu, secepatnya.