" Wadah Perca-perca Mimpi Sebelum Terburai Melangit " (B.E.J.)

Sabtu, 07 Desember 2013

Purnama Bertengger di Langit Tengger



"Di atas segalanya masih ada mukjizat dan keajaiban yang tidak bisa kita duga. Maka sah-sah saja jika kita yakin suatu saat akan ada mukjizat datang dan membuat tiap butir pasir segara wedi mendesiskan mimpi-mimpi kita. Lalu Tuhan iba dan mengabulkan seluruh harapan kita. Itu sangat mungkin terjadi."

Ah, purnama penuh malam ini. Lingkaran cahaya yang selalu ditunggu kehadirannya oleh bapak, ibu, adik-adikku, dan warga sekampung. Malam ini bulan sempurna membentuk lingkaran penuh dan menerangi langit bumi Tengger. Semua bersuka cita menyambut datangnya hari ini. Tua-muda, laki-laki-perempuan, wisatawan lokal maupun mancanegara segera merapat memenuhi pelataran Pura Agung Poten. Biasanya Pura ini terlihat nampak agung dan anggun di tengah lautan pasir Bromo, tidak seperti saat ini. Semua orang tumpah ruah bergabung dalam khidmat peringatan Yadna Kasada.
Peringatan ini memang hanya dihelat sekali dalam setahun. Yakni pada saat purnama penuh seperti malam ini. Tradisi  masyarakat suku Tengger untuk memperingati pengorbanan Raden Kusuma yang dikorbankan oleh bapak-ibunya, Joko Seger dan Roro Anteng (nama Tengger sendiri diambil dari nama mereka), ke dalam kawah Bromo pada Hyang Widhi ini kemudian dijadikan festival wisata andalan oleh pemerintah daerah yang rupanya berhasil membuat banyak wisatawan berbondong-bondong menciptakan blitz dari kamera bawaan mereka untuk mengabadikan momen yang tak biasa ini.
"Tamala! Setelah Dukun Pandhita Sumal selesai membaca sejarah Tengger tolong bawa pisang-pisang ini ke sana," pinta ibu untuk membawa sesajen persembahan agar didoakan oleh para sesepuh adat.
"Baik, Bu!" jawabku kemudian kembali memfokuskan pikiran pada suatu hal.
"Dan jangan pernah kau coba layu, Edelweissku! Wangimulah yang hanya akan merekahkan Purnama"
Tunggu dulu! Suara siapa itu tadi? Apakah benar itu suara miliknya? Milik purnama kelima belas yang selalu kurindukan. Ck! Tidak..tidak mungkin! Ini semua hanya halusinasiku saja. Mana mungkin purnama membumi? Bukankah ia hanya pantas berada di langit? Bersinar terang dan membuat iri semua penghuni langit malam. Ah, purnama apa kabar kau jauh di sana?
***

Senin, 25 November 2013

Kalau Aku Mati Besok


Kalau aku mati besok,
masikah kau mau berjalan di bawah rinai jalanan kota tua
Yang tepiannya penuh karat saksi hidup

Kalau aku mati besok,
akankah kau bawa payung hitam  tengadah di pinggir pusaraku
Yang tanahnya merah basah oleh rembes aliran okulusmu

Kalau aku mati besok, apa yang kau taburkan di atas ranjang baruku
Segenggam melatikah? Setangkai krisankah?
Pernah kau gaungkan suatu ketika maknanya suci tak berciri itu Melati
Pot kecil di dekat sumur belakang rumah mungil kita senantiasa kusirami tabah itulah Krisan

Kalau aku mati besok, kira-kira jawaban pasti apa yang harus kuutarakan untuk pertanyaan Munkar-Nakir tentang:
Sejauh apa dekatnya kita?
Jauh? Dekat? Jauh tapi dekat!

Maka, aku belum mau mati besok
Karena aku belum tahu jawaban apa untuk peradilan malaikat barzah:
tentang dosa kita --

Jumat, 22 November 2013

Hanya Ranu Kumbolo. Tidak Lebih.


Entah sejak kapan aku jatuh hati padamu
Anggunmu dipecah matahari terbit dari bilik bukit
Riakmu berdesir meninggalkan sarat damai

Ketika rumah keong kudirikan di bibir basahmu
Kau hanya mampu tersenyum
Mengayomi. "Aku tempat pulangmu. Maka cumbuilah aku sepuasmu"
Katamu senja itu.

Malam itu, ketika banyak kaki sembunyi dalam satu kemul butut
Kau menjadi saksi diantara tumpah ruah bintang
Yang membayang di airmu

Bertemankan tanjakan cinta
Kucumbui kau penuh cinta
Dengan mesra dalam alunan nyanyian binatang malam

Ah, alam memang tempat pulang dan teman bercinta terbaik.

"Jangan pernah menebar harapan, jika tak mampu menyemai luapan. Jangan mengumbar aksi, jika tak menghendaki reaksi", ngiang sabda alammu mendenyutkan telingaku.

Maka ampuni aku jika, parasmu selalu membayang di pelupuk purnama kota ini

Tapi, aku janji Ranu Kumbolo
Aku akan pulang.
Untuk mencumbuimu dan memeluk sang Maha di singgasana agungnya

Dan akan kutekan kerinduan ini
Hingga menjadi pipih
Lalu kuterbangkan pada angin
Agar bisa menyentuh riakmu
Hanya itu pintaku saat ini. Tidak lebih.

Selasa, 29 Oktober 2013

Hujan di Langgar Dempet Rel


Kakak alif ba ta setelah itu apa?
Mahroji gembul berteriak mencari jawaban
Tsaaaa!
Kompak teman-temannya menjawab

Fwhiiing..Jrekk..jrek..
Sekeras apapun suara mereka tetap saja tertelan desing getar rel kereta sebelah

Maklum, langgar Mahroji dan kawan-kawan tempat mengaji kitab suci
Dempet rel kereta api

Bledaaaaar...!
Bukan kereta roboh mengguncang langgar tikus ini
Tapi hujan Oktober mengumbar petir bumi

Kakaaaak aku takut!
Ayu mungil berlari menggigil
Tapi ubin kotak-kotak langgar tak kenal iba
Ayu mungil terpeleset merembeslah dari matanya tuba

Ayu malang
Namun ia tahu sakit kepeleset tak seberapa
Dibanding sakit hidup jungkir balik dempet rel sebelah

Berhentilah aliran tuba mata Ayu
Lalu ia melihat Mahroji kemudian tengadah ke langit
Tuhan aku sudah mengeja huruf sucimu tapi mengapa Kau tak jua membaca luka ibuku
Bisiknya pada hujan.


-B.E.J dalam gelegar hujan di Tanah Abang, 291013-17:51-

Senin, 28 Oktober 2013

Dari stasiun Tanah Abang ke Pondok Ranji


Petang tadi saat petugas stasiun bilang maaf karena kereta sedang diperbaiki
Semua lidah berdecak. Ck!

Baru saja ketika jalur enam
Dijejaki ular besi
Seorang ibu berteriak, "Misiii, beri jalan yang turun!"
Sontak barisan kami bukan lagi menjelma seperti mahasiswa berdemo pada gubernur
Tapi menjadi nyiur kelapa yang siar siur

Semenit, kereta belum jalan. Dua menit, tak bergerak juga. Tiga menit, masih tetap diam.
Ah, mungkin kami sengaja dijadikan sarden dalam kaleng gerbong kereta ini

Kepala ketiak bertemu jadi kelopak
Pinggul punggung berdesak jadi pantat

Ya Tuhan! Ibu! Bapak!
Barulah terpekik nama terkasih kala kereta oleng menghimpit tiap jasad sarden

Kenapa bukan keparat, bangsat, bajingan yang terucap?
Ah, bangsa ini memang terlalu sopan
Hingga petang ini tidak jua membuat kapok para tikus mempan

Baiklah, permisi saya mau turun di pondok ranji!
Lalu melengang ke warung mak Surti beli neo remasil
Ups, maaf sebut merek
Karena encok pinggangku sudah tak tertahankan.



-B.E.J- Dalam S10
28/10/13-19:23

Senin, 21 Oktober 2013

BLAUR: B-L-A-U-R


"Ngapunten  Pak! Bisa lebih cepat sedikit, kereta saya jam tiga soalnya", ujar saya gupuh meminta maaf  pada sopir angkot yang saya tumpangi sambil terus menantang laju jarum jam tangan. Salah saya memang, menuruti intuisi rindu hingga lupa waktu. Lupa bahwa jarak stasiun yang berkelit dengan kemacetan mungkin tidak bisa ditolerir dengan rasa lega milik individu. Kereta akan tetap berangkat sesuai jadwal!

Sore ini saya diharuskan untuk kembali ke perantauan bukan untuk mengadu nasib melainkan untuk mengaduk kota mimpi. Jakarta-Tangerang Selatan-Ciputat. Tiga titik rayon yang mungkin akan jadi tolak awal pergolakan semua ambisi yang telah lama bergumul dalam sanubari dan selalu menciptakan intervensi. Saya sudah banyak merepotkan semua orang, tinggallah sekarang membuktikan bahwa kerepot-repotan mereka tidak akan menjadi abu yang sia-sia belaka. Tak membuat saya naik tangga kemandirian maupun kelegawaan. 

Kereta Gajayana kelas eksekutif yang terpaksa membawa saya melaju terus menggaungkan desau gesekannya dengan ular besi di bawahnya. Stasiun kota Malang melambaikan tangan tegas, meneriakan sebuah afirmasi bahwa: suatu saat kau akan kembali untukku! Suaranya yang hanya berupa isyarat instrumen alam memantapkan saya untuk tidak lagi menganggap sebuah perpisahan sebagai elegi.

21 jam! Cukup menguarkan rasa lelah, rindu, dan kalut selama adaptasi dalam masa transisi. Kota ini sungguh terlalu besar untuk nyali ciut yang bahkan seekor kecoak got pun tak memilikinya. Namun, bisa jadi ini hanya sebuah titik amat kecil untuk daya keberanian seorang makhluk Tuhan yang yakin bila suatu saat yang namanya mimpi dan ambisi bukan hanya diingini namun perlu diperjuangkan. 

Kembali pada 21 jam di kota Malang dengan lanskap pegunungan di utara, selatan, barat, dan timurnya. Bahkan semua mata anginnya dicover dengan siluet tanah tinggi ciptaan Tuhan yang amat saya gemari. Gunung.

Semua berasa sangat berharga saat kita tahu waktu akan merampasnya sekejap. Tawa pendekar-pendekar yang selalu bosan dan akan bertambah bosan jika tidak mendengar cerita dari hati ke hati yang sering direpetisi. 21 jam bianglala spektakuler!

Bahkan doa dan ungkapan polos dari para patriot tanpa pamrih pun terdengar bak simfoni yang indah dari sang maestro. Terimakasih, untuk aliran harapan mulia yang selalu kau bumbungkan dalam malam panjangmu. 

Untuk dua pintu besar di rumah yang selalu mau menerima penyakit, caci maki, dan keluh kesah tanpa batas. Anda berdua bukan malaikat, namun kasih tanpa tedeng aling-aling yang selalu anda alirkan membuat seluruh penghuni langit mencibir iri. 

Gadis tambun di sana yang masih saja cengeng, ingatlah! Untuk membuat kuda pacu berlari kadangkala kau harus rela ditendang bahkan dikencinginya. Namun, tunggulah sebentar lagi hingga kau membusungkan dada bangga duduk di atas pelananya. 

Dari atas laju Gajayana ini jelas sekali penampilan matahari menyipitkan awan hingga membentuk pintu langit dengan guratan benang surya oranye kesana kemari. Sebentar lagi ia berpulang.

BLAUR: B-L-A-U-R ruwet, kacau, tak terdefinisi (: jawa) komposisi kata yang berhasil saya comot untuk memburaikan sadap sedu ini karena, lagi-lagi sunset selalu membuat saya kagum namun farewell terus menerus menyisakan bungkam.
Sunset blaur dari balik jendela kaca Gajayana



B.E.J
Ciputat, 21 Oktoblaur 2013
21:51
   

Kamis, 10 Oktober 2013

Rindu

Rindu sudah nasib untung di badan

Maka kujinjing ransel
Kupakai sandal gunung butut
Akan kucumbui rinduku
Rindu tak bertuan
Hingga tak kutahu harus
Kumuarakan kemana aliran ini ?


Di atas ubin bumi
Atap langit
Kuforsir seluruh darah merindu ini
PadaMu!

Sabtu, 03 Agustus 2013

Cemburu


Aku cemburu pada lampu-lampu redup kala subuh
Aku cemburu pada raut rembulan setia separuh
Aku cemburu pada mentari hangat menerpa tubuh
Ya!
Aku cemburu hingga rasa ini meluap dan hampir rubuh

Senin, 29 Juli 2013

Mencari Mahadewi

Setelah sekian lama kita sibuk mengurus hajat hidup tiada akhir, mari hari ini bertandang mengunjungi sahabat lama kita untuk mendekapnya, memeluknya, mencari kekuatan dari damainya, dan menumpahkan semua kerinduan tak bertuan ini padanya, Alam.
 Sore tadi kota Malang dan daerah sekitarnya memang basah diguyur hujan. Terbukti malam ini jalanan masih basah, tetes-tetes air pun masih menggelayut di ranting-ranting pohon perdu jalan raya kembar area jalan Bandung ini.  Sejuk. Mungkin hawa sejuk inilah yang membuat 6 armada sepeda motor berbaris rapi di depan masjid Al-Falah sebagai meeting point untuk berkumpul dan segera lepas landas.

 Kota Malang memang sedang sensitif  karena sering bersuhu ekstrim, walaupun wajahnya sering dingin, dia tetap se-menawan Drupadi. Kemolekkan bagian-bagian tubuhnya sedang dipertontonkan indah se-indah Dewi Sri. Daya tariknya begitu kuat dapat menghadirkan ide-ide cemerlang se-cemerlang Nyai Onotosoroh. Malam itu kami berniat mencari rupa-rupa Drupadi, Dewi Sri, maupun Nyai Ontosoroh dalam beberapa sisi alam kota Malang… 

Sejak tahun lalu kata-kata itu selalu menggaungi benak saya untuk menilik bagaimana keindahan salah satu sudut negeri ini, hingga senior saya mampu menganalogikannya bak lakon dewi-dewi hebat dalam sejarah pewayangan.

Dalam pewayangan disebutkan bahwa siklus Kosmogini memiliki Dewi Sri sebagai lambang aneka kesuburan, dalam siklus Lokapala Dewi Citrawati simbol segala keindahan, dalam siklus Ramayana Dewi Sinta tauladan puncak kesetiaan, dan dalam siklus Mahabarata Dewi Kuntinalibrata-lah guru semua keilmuan. Jika setiap siklus memiliki seorang dewi pemimpin dengan keahlian khas masing-masing karakter. Berarti di alam semesta ini pasti ada sang Mahadewi; pemimpin dan guru dari semua dewi-dewi hebat tersebut. Lagi-lagi, itu kesimpulan ngawur saya. Hahaha.

 Maka, dengan bantuan dan kebaikan para senior saya, malam itu saya pun berhasil bergabung dengan kelompok pencari mahadewi. Terkomposisi dari 6 laki-laki dan 4 perempuan, pukul 23.07 kami bersepuluh sepakat untuk memacu kendaraan dan segera memulai pencarian sang mahadewi.

Hamparan langit maha sempurna
Bertahta bintang-bintang angkasa
Namun satu bintang yang berpijar
Teruntai turun menyapa aku

Jumat, 26 Juli 2013

Di Luar Jangkauan

Jika aku hanya diberi satu lingkaran penuh. Maka seluruhnya hanya akan kuisi dengan penyesalan. Kau tahu mengapa? Karena lingkaran itu tak akan cukup menampung lebih banyak lagi cinta di dalamnya. Separuh hingga utuh kuserahkan pada Tuhanku dan kekasihNya. Separuh meski takkan utuh kuabdikan pada kedua patriotku. Seperempat hingga separuh kusisihkan untuk para guruku. Sisanya untuk pelukan hangat sahabat-sahabatku. Dan kau tahu, aku menyesal tak bisa menyelipkan sedikit pun cintamu dalam lingkaran putihku. Maaf, kau di luar jangkauan semestaku.

Rabu, 05 Juni 2013

Permohonan Maaf

Hmm, bagaimana saya harus mengawali kalimat di postingan kali ini. Yang jelas, hingga detik ini saya merasa sangat bersalah.

Kisah ini dimulai 18 hari yang lalu, saat saya dan seorang teman perempuan saya nekat pergi dolen ke Ranu Kumbolo. Alhasil, dari perjalanan tersebut terciptalah beberapa postingan berupa catatan perjalanan dan puisi serta tak lupa beberapa dokumentasi foto. Tanpa mempertimbangkan efek setelahnya, saya publikasikan pengalaman perjalanan kali ini pada publik khususnya di dunia maya.

Beberapa hari kemudian banyak respon yang muncul akibat postingan-postingan tersebut. Namun, yang paling luar biasa adalah beberapa orang yang menghubungi saya via email dan via komunikasi lainnya dengan maksud sangat ingin tahu dan ingin mencoba petualangan nekat ala duo kumbolo. Saya sangat kaget sekali, ternyata respon yang muncul malah kebanyakan dari kalangan perempuan yang sangat on fire ingin menjelajah alam sendiri atau hanya berdua.

Saya tidak pernah bilang, bahwa saya sudah sangat berpengalaman dengan hal dolen ke alam. Namun, biar saya luruskan di sini. Memang perjalanan kemarin 18-19 Mei 2013 ke Ranu Kumbolo tersebut merupakan sebuah kekhilafan yang besar. Hanya dengan modal PENGEN dan NEKAT saja kami berani berangkat mencumbu alam. Padahal salah besar anggapan itu!

Jika kita ingin menikmati dan mentadabburi alam dengan sepenuhnya, maka semua hal harus dipersiapkan dengan baik. Mulai dari melihat apakah cuaca sedang bersahabat atau tidak? Apakah kondisi fisik sedang fit? Bagaimana trek yang akan kita jalani nanto? Dan siapa yang akan menjadi teman perjalanan kita? Teman perjalanan pun, tidak sembarangan. Bukan bermaksud untuk pilih-pilih kawan. Siapa saja bebas bermain dengan alam. Namun, ada baiknya jika kita masih awam dengan teknik survival di alam terbuka ajaklah teman yang sudah berpengalaman (mengetahui medan dengan baik, menguasai P3K, dan bisa diajak berdiskusi).

Sekali lagi, dalam postingan kali ini saya tidak memiliki banyak maksud seperti menggurui, menyalahkan, atau bahkan melarang. Itu semua bukan hak saya, karena sesungguhnya saya juga masih sangat awam dengan alam. Di sini saya hanya ingin mengefloorkan bahwa, kita bertandang ke alam bukan untuk memancing bahaya apalagi mencari mati!

Lebih bijak jika semuanya direncanakan dengan baik. Jika tidak ada teman untuk diajak dolen, sabarlah menunggu waktu yang tepat atau kita bisa mengajak orangtua dan keluarga dekat, bukan?

Saya mohon maaf untuk kekhilafan trip kemarin yang baik disengaja atau tidak telah mengompori jiwa yang lelah dan rindu akan pelukan alam. Silakan, direncanakan lagi sebaik-baiknya perjalanan anda kemana pun itu. Silakan menikmati alam dengan prosedur yang aman dan tidak membahayakan diri sendiri serta tidak merusak kelestarian alam. Sungguh rasa egois dan nafsu hanya akan menuntun manusia ke dalam jurang kehancuran.

Tetap cintai alam dan jelajahilah bumi Allah! Laki-laki, perempuan, tua, muda, dewasa, anak-anak, genre, dan usia tidak akan menghalangi kita untuk terus menikmati alam namun, keadaan dan waktulah yang menjadi pertimbangan. Serta Tuhanlah lewat alam yang akan memutuskan dan menunjukkan semuanya.
Mohon maaf! :)


                                                 BEJ, Juni '13

Jumat, 31 Mei 2013

Sejauh Ini

   Sejauh ini
Belum terbesit di benakku untuk memetik buah dari sebatang pohon besar di tengah rimbun belantara. Banyak hal yang menjadikannya gerombolan pertimbangan. Aku belum punya kekuatan. Belum sanggup untuk meraihnya

   Sejauh ini
Aku masih sama seperti dulu. Pungguk yang selalu merindukan purnama. Entah purnama ke berapa. Boleh jadi ini hanya sekadar mimpi buruk yang tak kunjung usai. Tapi sungguh, melihatmu bersinar di atas sana cukup menentramkan kalbuku

   Sejauh ini
Banyak sekali yang datang untuk singgah dan mengobrol ringan. Tak ada tendensi apalagi elevasi. Ini hanya masalah waktu dan desolasi. Maaf, telah menjadikanmu seorang yang dejeksi. Kau ataukah malah aku?

   Sejauh ini
Temanku tetap itu-itu saja. Udara, Angin, dan Air. Sudah kubilang tadi, aku sama seperti dulu. Aku, Tanah. Aku darimana kau berasal. Aku yang selalu kau injak. Aku yang selalu kau belai. Aku yang selalu kau maki. Aku yang selalu kau rindukan. Aku-kau kembali!

   Sejauh ini
Hanya Udara. Yang selalu membebaskanku berekspresi. Membuatku bernapas, meski kadang sering sesak jika kuingat kau

   Sejauh ini
Hanya Angin. Yang selalu menyejukkanku. Kadangkala ia sedikit nakal dengan menerbangkan benih-benih kecil hingga tumbuh tunas baru. Namun tetap saja, tak pernah berbunga mekar arum sepertimu

   Sejauh ini
Ada Air. Yang selalu menyirami sedu sedanku. Mengajakku berinteraksi. Menguatkanku, bahwa akulah yang terhebat. Aku mampu menjadikan apapun. Aku muasal segala bermulai.

   Sejauh ini
Adakah selain Cahaya? Yang sanggup membuatku terus menapak dan bertahan agar tak menjadi tandus. Kepada Cahaya Itulah, selalu kuselipkan salam untukmu. Adakah kau di jauh sana atau mungkin di sekitarku sini namun tak terbesat? Hanya kepada Cahaya kutitipkan pula jengah ini. Rasa jengah terus menunggumu

   Begitulah, sudah sejauh ini
Aku tetap maha dahsyat!
Selalu membiarkan bias rasa ini termaram oleh cahaya.




                                       B.E.J, 31-05-2013
                                               12:55 am

Rabu, 29 Mei 2013

Nirwana


Wah..wah..Toples Mimpi terlihat sangat lenggang sebulan terakhir ini. Maklumlah, untuk hari-hari selepas ujian-ujian akhir akademik sekolah menengah atas ini hidup saya kluntang-kluntung tidak jelas. There is no passion to dream and to do anything. Miris sekali memang. Sedikit berbagi, kegiatan formal saya tiap harinya hanya menghabiskan waktu paling banyak sekitar 2 jam di pagi hari dan 2 jam di malam hari. Total sehari 4 jam, selebihnya? Saya serahkan pada waktu itu sendiri.
Secara teori dan logika sederhana, orang yang tidak banyak kegiatan maka akan lebih produktif dalam berpikir, berimajinasi, dan, berkarya. Namun, sepertinya teori awam itu tidak berlaku untuk diri saya. Semakin banyak menganggur, semakin beku jalan pikiran saya. Draft kewajiban terbengkalai, deadline mepet, beberapa persyaratan tidak memenuhi kualifikasi, dan lain sebagainya. Saya rasa semua kemelut ini memang sudah waktunya terjadi secara bersamaan jadi, saya nikmati saja ritme ngelantur ini. Hahaha.
***
Malam itu selepas saya menikmati sebungkus nasi goreng, seorang kawan menanyakan rencana libur tanggal merah peringatan kenaikan Isa Al-Masih. Awalnya, dia mengajak untuk hiking Panderman. Saya yang have no passion  jelas langsung menolak. Jadilah, ia melejit dan akhirnya terlontar sebuah tantangan bertajuk ‘Explore Yok!’.
Tantangan yang ditujukan untuk tiga orang di antara kami ini, mengharuskan kami untuk berwisata dan mendokumentasikannya berupa foto dan catatan perjalanan. Wisata apapun, bebas.  Bagi siapa yang tidak berwisata maka wajib mentraktir pihak yang berwisata segelas Mc Flurry Caramel dan makan di kantin. Okelah, saya terima! Mengingat beberapa hari kemarin saya terus dihantui sebuah destinasi bernama ‘Kakek Bodo’. Hahaha
***

Gerimis Ranu Pane


Hari ini berita cuaca belum jelas benar
Sebentar terik sebentar hujan
Sebentar panas sebentar dingin
Sebentar-sebentar
Sebentar saja, jangan berbentar-bentar!

Saat truk sayur mulai menggebu
Bergelut pada makadam yang juga berego seribu
Kita berdecap-decap
Membatin apakah rindu ini akan sampai pada muaranya?

Lihatlah sayang, tawa lugu anak-anak SD itu
Tawa yang selalu  kita ingat dalam malam-malam sunyi
Sebelah sana  sayang, ibu-ibu menungging menyusun seledri-seledri
Yang wanginya selalu tercium dalam indera kita yang kadang mampat

Mesin truk ini masih terus meraung
Sayang, apakah kau lelah?
Perjalanan ini masih jauh. Jauh sekali.
Hingga kita akan menapak lebih jauh
Lebih lama…lebih banyak…sampai kita menjadi tamak
Plangkat ucapan selamat datang
Yang sering kita gunjingkan
Terlihat jelas di depan sana
Desa mungil ini selalu menjadi sasaran kita
Sasaran menambatkan luapan rasa sesak

Sayang, mari sejenak kita mendongak ke  atas
Melihat langit hitam berhiaskan gumpalan awan mendung
Tidak, jangan takut! Aku di sampingmu
Sambar-menyambar kilat-kilat kecil itu
Hanyalah sambutan hangat untuk kehadiran kita

Tik…tik…tik…
Tiga tetes ini dia datang

Sayang! Dia akhirnya datang
Buka tanganmu dan pejamkan matamu
Rasakanlah!
Ini yang kita tunggu
Anugerah langit yang damai
Menyirami luapan emosi dada kita

Rasakan sayang
Rasakan lagi lebih dalam
Luapkan rasa sesakmu
Menangislah jika perlu
Jangan ragu!
Gerimis ini akan mengaburkan air matamu
Gerimis ini akan menutupi raut sedihmu

Sayangku, biar semua apa kata orang
Kita akan selalu ada
Bersama gerimis di desa mungil ini
Entah tetap ada hingga
Esok atau lusa.
Malang, 22-05-2013
B.E.J / 06:20


Selasa, 28 Mei 2013

Untuk Alam


Ada angin dingin yang mengelus lembut di pipi
Ada gerimis ramai yang menyerbu jatuh ke bumi
Ada kau, aku, dia
Hanya kita
                        Pada sepatu  boot  karet  yang  kokoh menjejak ladang perbukitan
                        Pada kain sarung  yang  terselempang sembarang  di  leher pemiliknya
                        Padamu alang-alang,  padamu aral, padamu asa
                        Padamu hujan, padamu hutan, padamu hidup
                        Aku padaMu!
Hari itu kita masih sibuk bercekcok
Tentang beban di punggung yang seberat dosa
Saat kita mulai berhenti terkekeh
Menertawakan carut-marut tanah khatulistiwa
Sambil sibuk menekankan jari pada cokelat beku
Saat itu  yang  terlampau itu! 
                        Hingga pada klimaksnya
                        Kita berjalan terpisah
                        Di jalan setapak yang  menuntun kita
                        Untuk kembali mencumbu sejuknya embun
Yang  jatuh pada dahan cemara Oro-oro Ombo
Pada saatnya nanti
Kita kembali bertemu
Terdiam hikmat menikmati sembulan jingga
Matahari satu
Matahari  yang  muncul dari belahan bukit Ranu Kumbolo
                        Ada kalanya kawan menjadi lawan
                        Ada saatnya dekat semakin menjauh
                        Tapi itu tidak berlaku untuk kita
                        Kita yang pernah ada, bersama
                        Meski tak selamanya
Ingatkah kau pesan  Gie,
“Kita tidak pernah menanamkan apa-apa
Kita takkan pernah kehilangan apa-apa”
                        Untuk itu, tetaplah berbahagia
                        Meski kebobrokan sering merubah nuansa
                        Untuk itu, tetaplah berpijak
                        Meski kepalsuan memburamkan cakrawala
Tak lama lagi ya takkan  lama lagi
Akan datang peri hutan
Membawa sejumput rotan
Rotan suci untuk sebuah misi suci
                        Untuk Alam beserta seluruh simfoni
                        Untuk kita
                        Untukku
                        Untukmu.
Malang, 21-05-2013
B.E.J / 11:35