" Wadah Perca-perca Mimpi Sebelum Terburai Melangit " (B.E.J.)

Jumat, 18 April 2014

Untuk Surgaku


Ini bukan sajak
Bukan pula kata bijak

Boleh kusebut ini puisi
Rangkaian sejuta intuisi

Untuk kau yang berhati suci
Meski kadang terselip padaku setitik
benci

Kutahu kau maklumi tanpa jemu
Karena aku ini anakmu

Tak tepat jika kuucap selamat
Panjangnya umur itu kata keramat

Tapi bolehlah kuburai rasa syukur
Sebab kasihmu padaku tak terukur

Untuk Mamaku yang berulang tahun
Semoga Allah memberkahi kasihmu
yang santun

Rasa-rasanya aku tahu tak ada secuil
bahagia
Kecuali hadiah dariNya surga

Namun tetap saja:
Bagiku kaulah surgaku, Mama!
Kini dan nanti.

(Untuk Surgaku-BEJ)


NB: Hai Ma! Kau tahu aku tak henti-
hentinya bersyukur karena Tuhan telah membiarkanmu berotasi 45 tahun di bumi ini.
Terima kasih telah hadir dan menghadirkanku. :)

Senin, 14 April 2014

Kata Teman


Kata teman saya, ketenangan danau dalam yang saya miliki menjadi surut dangkal jika di hadapan anda

Kata teman saya, kekhawatiran yang tersimpan rapi menjadi carut marut bubrah jika bertatap muka anda

Kata teman saya, apakah kebodohan ini harus terus berlanjut?
Saling mempertahankan ego dan tak ada mengakuinya

Ah, teman saya memang sok tahu
Dasar saja dia belum tahu!

Di dangkalnya ketenangan danau tetap ada keramahan yang hanya anda bisa nikmati
Dalam carut marut kekhawatiran terselip keceriaan yang memang anda cari

Anda bertanya-tanya, bagaimana saya tahu rahasia ini?

Ya, karena saya lihat amuk dan peluk di mata anda
Saya memang tidak mendalami 'mikro expression' seperti anda

Tapi saya tahu, keduanya siap anda hadirkan untuk saya

Dan saya siap menerimanya:
seperti anda siap menjelma saya dalam sajak kecil tentang cinta.

(Kata Teman-BEJ)

Minggu, 13 April 2014

Duduk di Bawah Hujan Sore


Begini, biar aku luruskan dulu
Duduklah sejenak di sampingku

Kubiarkan dulu umbaran makianmu
Bebaskan cokol kerutan di dahimu

Aku tahu kau cemburu
Itu sebabnya kau duga cintaku abu

Tentang sajak rindu bukan palsu
Tentang bara apimu dan jilat panasku

Dalam keroyokan hujan sore ini
Aku tak lagi menunggu
Tidak jua menjadi ragu
Karena kau tak lagi tergugu

Jadilah seperti gerimis selalu
Basah dan nyata menyentuh
Jangan...kumohon jangan jadi pelangi berlalu!
Indah namun tak mampu kuraih

Terima kasih,
telah kau biarkanku menitik silau terangmu
Maaf,
terpaksa pula kau harus menakar kelam gelapku

Nyatanya: kau masih yang terbaik hingga sore hujan ini. Ups!



(Duduk di Bawah Hujan Sore-BEJ)

Sabtu, 12 April 2014

Sampai Jumpa


Dia jujur sekali padaku
Pada kerinduan yang tak perlu berbelit
Pada tiap tawa renyah yang tak sengaja kuuarkan
Pada cintanya yang tak pernah ia duga akan tumbuh seliar ini
Padaku.

Aku memang tak berniat membandingkan dia dengan kau
Tapi...
Ya ampun! Sejak kapan kau begitu berkelit
Hanya untuk mengakui satu hal:
Cinta.

Kau memang bukan pengecut
Tapi sejauh ini kau belum mampu
Membuat hatiku terlucut

Sampai jumpa jika kau telah cukup ada nyali!



(Sampai Jumpa-BEJ)

Rabu, 09 April 2014

Senandung Papandayan (Catatan Pendakian Papandayan II-TAMAT)


Berjalan bersama
Lewati terjalnya bibir kawah
Melangkah bersama
Melihat hijaunya lembah

Angin bertiup menggoyang dedaunan
Gemercik air membuat ketenangan
Tekanan di bahu menambah nikmat
Proses perjalanan menuju Papandayan

Hutan mati dengan batang pohon yang kering
Pondok Salada dengan hamparan edelweissnya
Mulut terbuka memuji Ilahi
Atas harmoni keindahan yang terjadi

Semoga Ilahi mengizinkan kita kembali
Untuk menikmati semua keindahan itu
(Papandayan: a song by Alfarezel Arifin)

-------------------------------------------------

Berjalan bersamamu
Hal terindah dalam hidupku
Mulut terdiam, hati bicara…
Saat memandang kebesaranNya

Mentari bersinar hangatkan hatiku
Menghijau bersama hutan-hutan itu
Bunga bertaburan bersama senyummu
Tebing menjulang tegapkan hatiku

Aku kan menjagamu walau diriku pun rapuh
Aku melindungimu segenap hatiku
Segenap jiwaku…
Segenap hidupku…

Maukah engkau tetap di sampingku?
(Hal Terindah: a song by Lukman Paris Hakiem)
***
Masih stay tune di sana, Srikandi? Maaf, baru malam ini waktu berpihak untuk melanjutkan catatan pendakian yang tertunda ini. Srikandi, ingatkah kau sepulang kita dari Duo Kumbolo dulu? Seminggu bahkan dua minggu setelahnya efek rindu dan hangat tawa para PMS masih menjalar di tiap sendi kegiatan kita.

            Efek itu juga yang saya rasakan bekas perjalanan kali ini, Srikandi! Senior-senior Cihuuuy! meninggalkan kesan yang mendalam di hari-hari berikutnya. Setidaknya saya tahu ada dua lagu yang tercipta buah karya mereka, atau mungkin yang tidak saya tahu bahkan lebih banyak lagi.

Perjalanan selalu menciptakan persahabatan, keyakinan, harapan, impian, dan cinta. Itulah yang memberi saya kekuatan untuk menyusun catatan  di tiap perjalanan, seperti ini. Entah ada berapa bait sajak, berapa lagi syair lagu, dan catatan diary yang terilhami dari pendakian di akhir Maret ini.

Yang jelas, saya mengabadikan ini tanpa tendensi. Hanya untuk merekam jejak yang mungkin suatu ketika bisa kau simpan dalam space kecil memori ingatanmu.
***

Selasa, 08 April 2014

(Sulit) Memaknai Rindumu


Aku memang suka berpuisi
Namun dalam hal ini kumohon jujurlah tanpa teka-teki

Aku tak mau lahir banyak interpretasi
Kusangkakan cinta ternyata hanya delusi

Jangan emosi, jika aku sedikit naik tensi
Ini musabab kau yang berpuisi

Satu lagi:

Kau tahu? Aku selalu meragu saat kau sebut K I T A.
Sebenarnya, kau dan dia
atau kau dan aku?

Maaf, aku terlalu kerdil untuk menafsirkan bahasa langitmu.

([Sulit] Memaknai Rindumu-BEJ)

Rabu, 02 April 2014

Hai, Srikandi! (Catatan Pendakian Papandayan I)


           
Sebut saya kawan paling kejam dan tak tahu diri!
 Ketika kau jauh-jauh datang dari kota Apel untuk sebuah kompetisi program otomasi industri, saya hanya sempat menemuimu dua jam waktu itu. Ah, Srikandi! Rupanya kau semakin dekat dengan jengkalan mimpi yang sering kita obrolkan di banyak perjalanan kemarin. Meski hanya bermalam di sebuah ruang kos yang baru dipasang lampu ulir, senyummu senja itu benar-benar menguatkan saya kembali. 
"Aku pergi ke Papandayan, ya?" sempat ragu saya lontarkan pertanyaan ini padamu di bawah langit sore lapangan Politeknik Negeri Jakarta. Saya tahu pertanyaan ini akan sangat menyakitimu karena dulu tanah setinggi 2665 Mdpl inilah yang sering kau bicarakan dan segera ingin kau daki. 
"Iya, kakak pergi aja! Pokoknya pas nanti pulang bawa oleh-oleh cerita yang banyak!" 
"Beneran? Tapi kan…" saya semakin ragu mengingat ini nantinya adalah kali pertama saya melakukan perjalanan bersama orang-orang baru. 
 
"Bener! Jangan ragu, Kak! Gak selamanya kita bisa jalan bersama. Toh, kalau aku jalan tanpa kakak aku bakalan bawa kakak di tiap langkahku. Begitu pula kakak. Ya kan?" Wah, rupanya adik kecilku atlet pemanah ini sudah beranjak jadi perempuan dewasa.
Sore itu, saya mantap bergabung dengan kelompok baru. Kelompok yang akan membawa saya ke Papandayan. Salah satu gundukan tanah tinggi impianmu, Srikandi. Gundukan tanah yang kita baca pesonanya di catatan perjalanan tumblr milik Arief Syakur Sutedjo, pria gondrong menawan itu. Hahaha. 
Dan inilah, langkah saya ke gunung sejuta rasa itu, Srikandi! Sejuta rasa merindu alam yang begitu dominan karena belum bisa berjalan bersamamu. Inilah rasa lega mengurai kalut pada kabut. Rasa membenihi legawa pada orang-orang baru yang akhirnya bisa saya sebut, keluarga. Sama seperti kita menemukan keluarga saat perjalanan 'Duo Kumbolo' dulu. Saat bertemu PMS.
***
Awal Pertemuan
Dari dulu saya selalu antusias dengan suratan Tuhan. Hingga adanya warna merah pada angka di kalender pun juga membuat saya berpikir keras. Kira-kira mau saya apakan tanggal merah itu? Alhasil, saya hubungi senior sepermainan untuk merencanakan sesuatu. 
Sudahkah saya bocorkan, bahwa saya memiliki banyak senior dalam urusan melancong, makan, dan menulis? Selepas kepergian satu senior saya ke pulau Bintan untuk urusan dinas. Tuhan mengirimkan seorang senior lagi untuk menemani saya mentadabburi alam-Nya. Ia tak mau saya terlalu lama terpaku dengan penat hiruk-pikuk kota.
Awalnya saya mengusulkan untuk menjarah gunung Gede di Cianjur. Tapi, senior saya bilang bahwa gunung Gede ditutup hingga April nanti. Jadilah, opsi kedua adalah gunung Papandayan yang tersohor dengan ikon hutan mati, padang edelweiss, dan semburan asap belerang.
Malam itu, 28 Maret 2014 kami berenam bertemu di pertigaan Kampung Utan. Dengan komposisi tiga perempuan dan tiga laki-laki. Kami bergegas meretas jarak mengunakan angkutan umum pukul 21:21 menuju perempatan Pasar Jumat. Dari sini saya mulai mengakrabi kawan seperjalanan lainnya, selain senior yang sudah dulu saya kenal.
 Kak Liah. Adalah senior saya dalam urusan tulis menulis. Memegang amanah sebagai ketua harian sebuah komunitas menulis tempat saya belajar, rupanya tak membuat ia mengesampingkan tantangan baru. Mungkin, ini pendakian pertama yang agak sial baginya karena harus berjalan bersama junior nakal seperti saya. Hehehe. 
Kak Salby. Bulu matanya lentik dan sorotnya berbinar. Dari situ saya bisa tahu ia akan menjadi senior yang menyenangkan dan bisa diandalkan dalam banyak urusan. Mengingat saya tidak banyak berpengalaman dalam masalah camping, tali-temali, dan semua pendidikan yang biasa dilakukan oleh anggota pramuka sejati seperti senior perempuan saya ini.
   
Bang Herman. Garis mukanya tegas namun setiap kata yang keluar dari mulutnya bersajak. Rupanya saya tahu di akhir perjalanan, bahwa ia sangat berbakat dalam menulis fiksi dan berpuisi. Layak, senior laki-laki yang baru saya kenal ini mampu membawa untaian kata sejak awal bertemu.
Mas Arif. Masih satu ras dengan saya, Jawa! Hahaha. Lelaki berambut cepak ini banyak tersenyum. Mengingatkan saya pada tokoh Ibel dalam film lawas Dealova.  Senior saya yang ini nantinya banyak mengajarkan tentang teknik mengambil foto yang baik di alam.  
Kak Lukman. Ini dia senior kiriman Tuhan. Saya selalu banyak merepotkannya mulai sebelum hingga akhir perjalanan ini. Leader, guide, porter sekaligus cheef dalam pendakian ini. Benar-benar multitalent! Hahaha.
Hanya dalam jangka lima belas menit kami berenam sudah sempurna menjejak perempatan Pasar Jumat untuk menunggu empat kawan lainnya. Pukul 21:38. Gelap telah merajai malam dan bulan hanya menyumbang seulas garis cahaya. 
Seorang perempuan anggun perlahan mendekati gerombolan kami. Ia menyertakan senyum sipu saat mengucap salam, menyapa kami. Kak Hafizhah. Senior berjilbab lebar ini ternyata menyempurnakan formasi empat wanita pendaki gunung  yang ada di Garut itu.
Setengah jam kemudian bus Primajasa yang akan kami tumpangi hingga Garut pun melenggang tanpa dosa di depan kami. Kami belum bisa berkutik.
"Masih ada tiga kawan lagi yang belum bergabung dalam kelompok ini," begitu kata sang leader saat saya tanya apa yang kami tunggu di perempatan jalan remang ini.
"Woi! Nungguin siapa lu?" ini dia abang yang kami tunggu batang hidungnya hampir satu jam.
Bang Arifin tapi nama bekennya Bang Ipin. Mungkin, ia penggemar serial kartun Malaysia itu. Hingga terobsesi menggunakan nama beken saudara kembar Upin. Saya tak tahu, mungkin besok-besok akan saya tanya kejelasannya. Hahaha. Bang Ipin tidak datang sendirian. Ia membawa dua orang lelaki lainnya. 
Bang Marwan Saipul Kamal itu nama pemberian saya tanpa harus membagikan bubur merah ke tetangga sebelah. Nama asli bang Ipul ini sengaja saya tambahkan depan dan belakangnya karena di perjalanan nanti ia sering sekali memperkenalkan diri pada orang dengan banyak nama. Benar-benar makhluk langka! Hahaha. 
Dan ini dia abang terakhir yang nantinya akan menjadi pahlawan saya. Bang Ovick! Tubuhnya jangkung dan banyak diam. Tapi, soal ingatan ia sangat bisa diandalkan. Sudah saya bilang, senior yang baru saya kenal ini nantinya akan menjadi pahlawan saya. Tunggu saja, hingga kisahnya tiba. 
Jarum panjang arloji di tangan bergerak pelan. Hampir pukul setengah sebelas malam. Saya tengok itu setelah mendarat mulus di bangku bus Primajasa terakhir tujuan Lebak Bulus-Garut via tol Cipularang. 
Bus AC bertarif 42 ribu ini telah sesak penumpang. Bagian bangku belakangnya sudah dipenuhi pendaki lain yang hendak menuju Garut pula. Rupanya mereka juga akan menikmati libur akhir pekan ditambah bonus tanggal merah Hari Raya Nyepi ini di atas sana.
Lampu panjang yang membelah atas bangku bus mulai meredup. Saatnya meredupkan mata pula. Bergegas mencharge tenaga untuk pendakian esok pagi setelah enam jam ke depan tiba di kota Chocodot, Garut.
***