" Wadah Perca-perca Mimpi Sebelum Terburai Melangit " (B.E.J.)

Minggu, 25 Mei 2014

Sore Tanpa Koma


Hari ini
di tengah terik sore
Kita hanya berbagi tawa
Dan renyah cita.
Tak ada kata esok atau lusa
Enggan peduli desa apalagi kala
yang ada cuma sayap-sayap patra
Asbab bisa jadi ini bakal cerita.

Tentang kita:
Saya dan Anda. Tanpa koma.


(Sore Tanpa Koma, BEJ 250514)

Jumat, 23 Mei 2014

Tayana Taya



Isu pengorekan kasus lawas tentang penculikan aktivis politik, pemenuhan hak korban Lapindo yang entah kapan akan dilunasi, sampai duet koalisi capres-cawapres benar-benar membuat dua lembar telingaku panas! Apa pentingnya mengurus carut-marut yang sudah dari dulunya semrawut? 
Ini semua gegara Leta! Dia titik simpul dari seluruh kesialan yang menimpaku hari ini. Cuti melahirkan yang ia ambil lebih awal, membuat jam terbangku bertambah dua sesi. Satu sesi teen-on air yang memang kupegang, satu lagi jam siaran berita milik Leta.
Sebelumnya, sudah kuusulkan pada broadcast manajer untuk mencari pengganti Leta tapi lelaki tua tambun itu menolak dengan berkata, “untuk apa kita bayar orang lain yang belum tentu kompeten di bidang ini?”
Pak Broto, pria keturunan Jawa-Bugis itu selalu semena-mena. Tak peduli pada perasaan bawahannya apa lagi perasaanku, penyiar yang baru saja enam bulan lalu memiliki jam mengudara tetap.
Slurrp. Kuseruput kembali lemontea yang kupesan di caffe lantai dasar gedung tempatku bekerja. Ah, sepertinya segelas lemontea bisa mengintervensi kondisi pikiranku yang tadinya ruwet kembali segar.
Let’s Rest! sudah menjadi rujukan untuk para manusia berdasi di gedung berlantai dua puluh ini agar sejenak mengendurkan kancing rapat di lehernya. Memesan minuman, makanan ringan, hingga kudapan berat adalah fungsi utama hadirnya caffe ini. Juga sebagai pelarian untuk rehat barang sebentar, mengurai segala kekalutan kerjaan atau bentakan atasan. 
Aku masih duduk sendiri menikmati silau terik bola pijar di luar sana. Dari kaca trasparan tempatku duduk di kursi aksen unik pilinan rotan Kalimantan, bisa kulihat padatnya dua ruas jalan yang digilas roda kendaraan. Semua berebut saling mendahului tapi, apa daya? Semut Angkrang pun memilih untuk mengalah jika celah hanya sekecil biji dzarrah seperti itu.
Tapi tunggu sebentar! Apa aku tidak salah lihat? Ada florist&bouquet yang baru buka di seberang sana. Ternyata celah biji dzarrah yang tercipta antar jarak kendaraan roda empat mampu membuat pandang okulusku membesat. Ya, hanya wanita yang tak bisa meraba fitrahnya sendiri yang tidak tertarik dengan bunga. Sepertinya aku harus mampir ke toko bunga baru itu sepulang siaran sore nanti.    
***

Kamis, 15 Mei 2014

Ode Untuk Orang Utara


Mentari bersungut-sungut:
ini hari apa bilakah aku merindu?

Purnama memenuhi janjinya
menggenapkan lingkaran cahaya

Adakah mereka bertemu di ekuilibrium?
Jika mentari bisa mencapai kulminasi
lalu purmana merapal mantera fullmoon

Bodoh! Bagimana bisa mereka bertemu meski luberan buncah rindu menggebu?
Tunggu saja sentilan kuku Tuhan kalau kau ingin mereka bersatu.

Aih, apa-apaan aku ini!
Mendikte takdir cinta dua lentera

Sejujurnya:
sepanjang bebaris kalimat di atas tak ada artinya.
karena pagi ini aku hanya ingin selatankan--

Rindu ini tak pernah menuju utara
selalu berlawanan navigasi
         .padamu. yang selalu urung kukirim ucap selamat pagi, meski doa kubumbungkan hingga malam nanti.


-Ode Untuk Orang Utara-
(BEJ, 15-05-2014)

Selasa, 13 Mei 2014

Refleksi


Untuk: Abang Penyair Cilok


Kata-kata adalah udara bagi pujangga
kau akan menghirupnya sepanjang hayat
Namun, sesak dan lega alveolusmu
Bergantung pada --

Pada diksi yang menggelayut
langit-langit kamarmu
Pun (belantara) langit Tuhan.

Pada tarik dan hembusmu. Pada
hidup merdeka-mu.
Sendiri.


(BEJ, 12-05-2014)