….
Senja yang merah tak akan pernah
sanggup membakar dahan-dahan pinus yang semakin mengerut kehilangan airnya di
musim gugur.
Begitu pun angin yang dingin, tak akan pernah mampu membekukan helaian daun bambu yang semakin memucat karena sang surya semakin sibuk di musim dingin. Begitu pun aku yang terjepit diantara ideologi pribadi dan tradisi.
Begitu pun angin yang dingin, tak akan pernah mampu membekukan helaian daun bambu yang semakin memucat karena sang surya semakin sibuk di musim dingin. Begitu pun aku yang terjepit diantara ideologi pribadi dan tradisi.
Menyusuri jalan di seputaran danau Lugu dengan angina
yang mengajak rambutku menarikan tarian salsa sudah menjadi rutinitasku setiap
sore dan minggu pagi-sore aku berbelanja di kota Lijiang dan minggu pagi
menjual hasil kebun di Beijing-. Inilah satu-satunya jalan yang menghubungkan
desaku dengan kota Lijiang. Kemudian dari Lijiang dengan menumpang truk sayur,
aku pergi ke Beijing. Disanalah aku biasa menjual bubuk kopi hasil kebunku
dengan harga yang cukup mahal dan cepat. Tidak perlu berlama-lama menunggu
pembeli untuk datang. Aku hanya cukup menjualnya kepada seorang pedagang yang
langsung membeli seluruh bubuk kopi yang kubawa. Para penjual kopi itu sudah
akrab dengan pakaian tradisional dan namaku, Lacuo.
Di tepi danau Lugu inilah sejak kecil aku hidup. Danau
yang menyimpan ribuan ikan dan air yang sangat jernih. Air itulah yang menjadi
sumber kehidupan penduduk desa Lugoni-semuanya etnis Mosuo- yang kehidupannya
masih sangat tradisional. Banyak tradisi China kuno yang masih dilestarikan
oleh penduduk desa ini. Setiap fajar mulai menyingsing dari peraduannya,
orang-orang tua- perempuan dan laki-laki- dengan pakaian khas etnis Mosuo; baju
berkerah lebar dan rok atau celana berenda yang penuh pernak-pernik bermotif
gurun serta hiasan kepala, selalu berdoa di tepi danau dengan dupa di hadapan
mereka, bersamaan dengan terbitnya matahari dari balik gunung Himalaya di atas
danau Lugu.
Ketika burung-burung camar mulai berkicauan, para
perempuan segera menggiring ternak mereka ke padang rumput yang terletak tak
jauh dari perkebunan. Sambil mengawasi ternak, perempuan-perempuan itu mulai
menggarap kebun kopi mereka. Ya, hampir satu per empat daerah ini didominasi
perkebunan kopi. Hanya ada laki-laki berusia kepala empat ke atas dan para
perempuan di kebun, begitu juga untuk pekerjaan-pekerjaan lainnya, sebelum
genap berusia empat puluh, para lelaki di sini tidak diperbolehkan bekerja.
Begitulah tradisi menggariskan kehidupan etnisku. Mosuo.
Melihat mereka, membawa diriku yang masih berusia 19
tahun dengan dua saudara laki-laki seakan menjalani masadepan yang berat dan
membosankan. Itu sudah menjadi kewajiban yang digariskan oleh tradisi dan aku
menerimanya, tetapi bukan berarti aku hanya akan menerima seperti
perempuan-perempuan lain menerimanya. Aku ingin menjalani kehidupanku sesuai
dengan apa yang aku inginkan, tanpa melanggar nilai-nilai tradisi etnis Mosuo.
Hidupku adalah milikku, begitupula tradisiku.
....
(Lacuo-Muwaffiqol Fahmi A)
***
….
Ratih!,
28 Maret 2012
Sudah dua jam yang lalu aku berusaha menyergah perasaan
tidak enak yang berkecamuk dalam dada. Rasa khawatir, takut, penasaran berpadu
menjadi satu, membentuk gumpalan rasa sesak. Lelaki sendu itu belum datang hari
ini, padahal matahari senja sudah menyingsing beberapa jam yang lalu. Apakah ia
sakit? Atau kemungkinan buruk lain telah terjadi padanya? Tuhan, aku juga tidak
tahu sejak kapan aku harus repot-repot memikirkan orang lain yang bahkan
namanya saja tidak kuketahui hingga saat ini. Aku sendiri heran mulai kapan
lelaki sendu itu bisa memboikot pikiranku dengan tatapannya.
Aku menyibukkan diri dengan membaca buku berusaha
mengusir malaikat jahat yang sudah sedari tadi berperang dengan batinku. Namun,
belum lama aku menyelam dalam deretan tulisan pada buku itu, tanganku segera
menghempaskan benda persegi simestris itu ke meja. Aku kalah dengan malaikat
jahat. Aku tetap tidak bisa mengusir bayangnya. Akhirnya aku putuskan untuk
menautkan tatapanku pada kesibukan kota malam ini. Langit mendung malam ini, membuat
bintang malu-malu untuk menampakkan keindahannya. Hanya terlihat satu dua yang
berani memamerkan pendar cahayanya.
Aku menarik nafas dalam setelah melirik arloji di
tanganku. Pukul 21:45. Berarti lima belas menit lagi, Cream House tutup. Saat
aku mulai putus asa menunggunya. Seorang lelaki bertubuh tinggi memakai kemeja
krem dengan bagian lengan sedikit dilipat telah berdiri di depan pintu masuk.
Itu lelaki sendu yang telah mengobrak-abrik hatiku akhir-akhir ini. Astaga,
lihatlah! Dia datang. Namun, tak seperti biasanya kali ini dia diam lama
seperti enggan untuk melangkah masuk. Tak tahan menunggunya tidak segera
beringsut akhirnya aku putuskan untuk keluar menemuinya. Aku atur perasaan yang
terlanjur membuncah di dada. Sebelum kemudian aku putuskan untuk mengajaknya
berbicara. “Ada yang bisa saya bantu, Mas?” aku tersenyum menghampirinya
berusaha sebiasa mungkin, menyikapinya seperti pelanggan yang lain. “Ratih!”
Bukannya menjawab pertanyaanku, lelaki di hadapanku ini malah menatapku tepat
di manik mataku kemudian menelusuri wajahku dengan tangannya. Rasanya ia baru
saja menemukan sesuatu yang selama ini ia cari. Aku menahan napas, berusaha
memahami apa yang ia lakukan setelah menyebutkan satu nama yang sama saat
pertama kali bertemu, Ratih.
“Ehm! Maaf mas, nama saya Nadia.” Aku berhasil menguasai
diri kembali. Dan saat itulah, reaksi yang tak terduga muncul darinya. Lelaki
sendu itu tersentak dan menghempaskan tangannya keras dari wajahku. Kemudian ia
berlari meninggalkanku sendiri yang masih berusaha memahami selintas adegan
yang baru saja terjadi. Berlari dan tak pernah kembali.
….
(Intuisi Serpihan Hati-Belda Eldrit
J)