Belum terbesit di benakku untuk memetik buah dari sebatang pohon besar di tengah rimbun belantara. Banyak hal yang menjadikannya gerombolan pertimbangan. Aku belum punya kekuatan. Belum sanggup untuk meraihnya
Sejauh ini
Aku masih sama seperti dulu. Pungguk yang selalu merindukan purnama. Entah purnama ke berapa. Boleh jadi ini hanya sekadar mimpi buruk yang tak kunjung usai. Tapi sungguh, melihatmu bersinar di atas sana cukup menentramkan kalbuku
Sejauh ini
Banyak sekali yang datang untuk singgah dan mengobrol ringan. Tak ada tendensi apalagi elevasi. Ini hanya masalah waktu dan desolasi. Maaf, telah menjadikanmu seorang yang dejeksi. Kau ataukah malah aku?
Sejauh ini
Temanku tetap itu-itu saja. Udara, Angin, dan Air. Sudah kubilang tadi, aku sama seperti dulu. Aku, Tanah. Aku darimana kau berasal. Aku yang selalu kau injak. Aku yang selalu kau belai. Aku yang selalu kau maki. Aku yang selalu kau rindukan. Aku-kau kembali!
Sejauh ini
Hanya Udara. Yang selalu membebaskanku berekspresi. Membuatku bernapas, meski kadang sering sesak jika kuingat kau
Sejauh ini
Hanya Angin. Yang selalu menyejukkanku. Kadangkala ia sedikit nakal dengan menerbangkan benih-benih kecil hingga tumbuh tunas baru. Namun tetap saja, tak pernah berbunga mekar arum sepertimu
Sejauh ini
Ada Air. Yang selalu menyirami sedu sedanku. Mengajakku berinteraksi. Menguatkanku, bahwa akulah yang terhebat. Aku mampu menjadikan apapun. Aku muasal segala bermulai.
Sejauh ini
Adakah selain Cahaya? Yang sanggup membuatku terus menapak dan bertahan agar tak menjadi tandus. Kepada Cahaya Itulah, selalu kuselipkan salam untukmu. Adakah kau di jauh sana atau mungkin di sekitarku sini namun tak terbesat? Hanya kepada Cahaya kutitipkan pula jengah ini. Rasa jengah terus menunggumu
Begitulah, sudah sejauh ini
Aku tetap maha dahsyat!
Selalu membiarkan bias rasa ini termaram oleh cahaya.
B.E.J, 31-05-2013
12:55 am
B.E.J, 31-05-2013
12:55 am