" Wadah Perca-perca Mimpi Sebelum Terburai Melangit " (B.E.J.)

Selasa, 05 Agustus 2014

Kutu


Kuberitahu kau satu hal besar yang sangat rahasia. Setelah aku dan Tuhan mungkin kaulah orang pertama dan satu-satunya yang tahu ini. Tapi entah, jika setelah ini kau ceritakan rahasia ini pada orang lain. Tak papa, aku tidak marah jika hal ini nantinya kau beberkan pada temanmu atau adikmu atau ibumu atau pedagang manisan di pinggir langgar tempat kita rehat beberapa jenak untuk bertukar kabar.
Tapi maukah untuk tiga anak bentar yang kupinjam dari ibu waktu ini, kau berjanji padaku? Untuk melebarkan lipatan matamu atas kisah singkat ini. Sebab rebahan jarak, tak bisa menahan golak untuk selalu berbagi denganmu.

Mari sini, silangkan jari kelingkingmu di kelingking mungilku! Biar aku mantap memulai kisah ini dengan janji tanpa hitam di atas putih. Tapi bukan pula abu. Karena kau tahu aku sudah lama biru oleh harumu.

Baiklah, terima kasih. Kelingkingmu masih sehangat dulu saat pertama kali terpaksa menggandengku di halte pusat kota.

Sudah siap?
Baiklah
Aku mulai ceritanya kini...

Sebenarnya sebelum kau datang, aku sudah lama memiliki sesosok yang selalu menemaniku kemana pun. Bahkan kapan pun.

Aku bangun, dia pun begitu. Aku lelap, dia pun ikut. Aku makan, dia pun kenyang. Aku menangis, dia bahkan lebih lama tersedu dibandingku. Aku gembira, dia terbahak suka cita. Apa pun yang aku lakukan dia pun turut menemani.

Bukan... Sosok itu bukan dua malaikat Tuhan di bahu kanan kiri yang memang selalu pasti mendampingi.

Bukankah aku tadi bilang bahwa ia hanya se-sosok? Hanya satu. Namun pengaruhnya kuat, tajam, dan dalam bagi polahku semua saat.

Dia adalah kutu.
Bersemayam di kepalaku. Menancap tajam cakar-cakarnya hingga sel-sel otakku.

Kutu itu tak beranak pinak. Dari dulu hidupnya hanya sebatang kara. Namun, ia bukan makhluk yang malang.

Sebab seringkali ialah yang menyuarakan kata bijak hingga menggema di gendang kuping. Ia juga yang menuliskan sajak-sajak akan banyak perjalanan yang aku dan dia lalui.

Dia yang selalu memiliki ruang hampa untuk kontemplasi, mencaci, menyanyi, jejingkrakkan, dan sembahyang.

Aku harap dia takkan mati meski nanti kau atau bukan yang kelak mendampingi.
Tapi mungkin, aku takkan membagi kutu ini pada sang suami.
Sebab jika ia pun merasa gatal sama denganku maka istana kami akan banyak aroma pestisida yang tekuar.
Sedang aku tak mau ia mati.
Aku ingin ia selamanya hidup. Hingga jariku lelah menggesek kulit kepala dengan garukan-garukan manja.

Aku ingin dia hidup dan berpindah pada kepala anakku nanti. Atau jika tidak, mungkin dia lelah menjadi kutu maka ia harus reinkarnasi sebagai hama baru di tubuh anakku.

Sebab kunamakan kutu ini:
       kegilaan.

Kutu yang bersajak, berkontemplasi, mencaci, memaki, menyanyi, jejingkrak, dan selalu sembahyang dalam pembebasan dan pengekangan immateri Tuhan.

Kutuku di tiap repih perjalanan
Yang mengajar tentang gatalnya kehidupan


Selesai


       Entah setelah rahasia ini kubongkar kau masih mau berjalan bersamaku atau tidak



Terserah.


(Kutu-B.E.J)