" Wadah Perca-perca Mimpi Sebelum Terburai Melangit " (B.E.J.)

Jumat, 31 Oktober 2014

Sang November

Diam-diam dia diam lalu berpikir
Diantara pekat kopi hitam dan getir malam sabit
Sesekali ia mendongak 
Mencari sesuatu yang tak jua ia pahami 

Rupanya tepi malam menetaskan rasa
Tentang getir, pekat, lalu pahit
Lepas

Setelah ini akan dia cari lagi
Apa itu lepas lalu berdarah?
Lantaran mereka tidak mau bungkam:

Ini bulan berdarah! Semua-mua dibantai dan diurap. 

Ternyata ini dia, November! 
Sang diam yang mengacuhkan segala musim. 
Membantai semua pekat.
Mengurap segala rasa. 

Kelak, ia akan berbaik hati;
Pada sepasang merpati yang tak henti merapal doa dalam hati. 

doa: ketidakpastian yang selalu mereka semogakan.


(Sang November-B.E.J)

Selasa, 28 Oktober 2014

Hati-hati dengan Hati

Seringkali ketika saya tidak mampu menahan emosi negatif, pelarian terakhirnya adalah tidur! Entah itu lelah, marah, kecewa, sedih, benci, kalut, dan kacau, tidur selalu bisa mengendurkan syaraf-syaraf yang tegang akibat emosi negatif tersebut.

Sama seperti semalam, ketika tetiba bapak dosen mengirim pesan singkat yang isinya tentang ujian dadakan esok pagi. Bukan masalah apa, kami baru menyelesaikan ujian terakhir saat senja turun perlahan dan maghrib menelan bumi.
Oh, Bapak! Kenapa tidak sekalian saja besok selepas Subuh Bapak baru mengabari? Batin saya gemas.

Alhasil amanah sebagai KM pun tetap harus dijalankan, untuk menyebar luaskan informasi penting ini. Tidak sedikit kawan yang tidak terima dengan keputusan dosen yang mendadak ini. Sebab, hari ini memang sudah dipesan oleh mata kuliah lain untuk ujian dengan materinya yang berbuku-buku.

Saya pun mengajak Ri menginap, sebab kasihan dia jika selepas maghrib baru pulang dan dikepung oleh macet jalanan. Bisa-bisa ia mendarat mulus di rumah malam sekali dan hanya tinggal lelah yang ia rasakan. Belajar pun jadi terbengkalai. Akhirnya kami berdua menghabiskan waktu semalaman seperti dua gadis yang melakukan pajamas party, kami habiskan waktu untuk bertukar kisah lalu lama-kelamaan tertidur karena sama-sama kelelahan menghadapi ujian seharian kemarin.

Di awal sepertiga malam, kami terbangun karena mengingat paginya akan menghadapi dua ujian yang luar biasa banyaknya materi yang akan diujikan. Me-review materi belum selesai, kami kelaparan dan mulai mencari-cari sesuatu yang bisa disantap di dini hari. Dua bungkus mie instan rebus pun akhirnya menjadi sasaran nikmat untuk menu makan malam kami.

Malam tadi, dua mangkuk mie rebus, segelas teh tarik panas, dan secangkir kopi panas yang mengepul menjadi saksi obrolan sensistif Ri dan saya, yakni: masalah hati.

Minggu, 26 Oktober 2014

Fly, Dear.... Fly High!

Adakah tempat yang lebih romantis dari taman bunga? 
      Ada, yakni: toko buku

Setelah kurang lebih tiga bulan tidak berkunjung ke 'tempat main', akhirnya dua hari lalu saya berkesempatan mengunjungi kawan diskusi di sana. Jajaran toko buku di Blok M Square selalu bisa membuat hati saya merdeka dan pikiran saya mengembara jauh. 

Berdiskusi dengan abang penjual buku langganan adalah salah satu kegiatan yang selalu menyenangkan dan membekaskan jejak sepeninggal obrolan kami usai. Kami membicarakan banyak hal tentang buku dan penulis. Tentang industri penerbitan dan pelelangan buku. Selalu ada hal baru yang ia ceritakan jika saya mengunjunginya, sekadar menanyakan rekomendasi buku baru atau singgah sejenak untuk membaca bukunya.

Bang BS begitu saya memanggilnya, lusa kemarin ia bercerita banyak tentang cetakan deluxe novel-novel lama milik Armijn Pane, Hamka, Abdoel Moeis, Marah Roesli, dan penulis-penulis kawakan yang tinta emasnya masih mengilap mewarnai dunia perbukuan Indonesia.  

Sebenarnya, lama tak bersua membuat saya banyak berperan menjadi pendengar kali itu. Sebab banyak informasi yang baru saya dapat kali ini. Lelaki yang selalu membanggakan kedua putrinya yang berdarah Aceh kental itu, mengisahkan singkat perjalanan panjang penulis-penulis luar biasa yang saya sebutkan tadi. Buku-buku mereka sekarang dicetak sedemikian rupawan sampul, kertas cetakan, dan lay out nya sebab peminatnya selalu saja bertambah makin hari.

Adik, mereka itu menulis pakai hati. Jadi orang membacanya juga pakai hati. Itulah mengapa, buku mereka selalu di hati.”

Kamis, 23 Oktober 2014

Rindu itu Bisu

kami Rindu

Kami tahu

kami bisu

             kami

  tahu

         rindu

      (itu)

bisu


(Rindu itu Bisu-B.E.J)

Langit, Hujan, dan Rindu


            “Dooor!”

            “Aku tembak langit, pasti sebentar lagi hujan!” Teriak seorang sahabat memecah mendung kemarin. Ia sumringah sekali ketika mengarahkan tangannya rapat membentuk moncong pistol ke langit. Niat awalnya untuk membuat saya terkejut, tapi gagal setelah melihat respon ekspresi saya menunjukkan tidak tertarik dengan permainannya.

            Tembak-tembakan langit. Permainan itu sudah lama saya terapkan sejak lama. Awalnya hanya untuk mengusir rasa bosan saat berkumpul bersama teman-teman di lorong sebelum masuk kelas. Namun, lama-kelamaan permainan itu sudah menjadi tidak karuan. Bukan hanya langit yang kena tembak tapi kawan dan dosen pun turut menjadi korban.

            Sore itu selepas mengurai hafalan SKS untuk ujian, kami berangsur-angsur keluar kelas dengan wajah kuyu. “Soalnya sepele, tapi menuntut jawaban yang luar biasa”, begitu kata pak Dosen memberi pengantar sebelum ujian dimulai. Ri keluar dengan wajah sumringah bukan semata-mata ia sanggup menyelesaikan semua soal dengan jawaban yang ia yakini benar. Tapi, memang bawaan dari lahir ia sudah cengengesan. Seingat saya, selama kenal setahun terakhir ini tidak pernah sekali pun saya lihat dia berwajah lesu dan tak ceria, kecuali karena alasan mengantuk.  

            “Ah, gak asik banget sih! Ayo dong kita main tembak-tembakan lagi.” Ajaknya menggiring langkah kami menuju lift.

            “Lagi nggak mood tuh dia.” En, kawan saya yang lain, seperti bisa membaca bungkam saat itu. Saya memang kurang enak hati untuk bercanda sebab bukan karena ujian yang cukup menguras otak, tapi karena jantung saya berdebar hebat. Entah ini masih bawaan kondisi tubuh yang kurang baik atau efek lainnya.

            “Kamu sakit?” Ri mulai menyadari perubahan air muka saya. Saya menggeleng.

            “Dia kan nggak pernah sakit! Tapi tapi kalau lihat lingkaran mata pandanya, kayaknya dia gak enak badan. Iyakah?” kali ini En menembak saya dengan pertanyaan singkat. Saya menggeleng.

            “Laper.”

Selasa, 21 Oktober 2014

Komunikasi


Lagi-lagi bukan karena kami mendalami bidang studi yang sama yakni, komunikasi. Juga bukan karena besok dosen akan mengadakan Ujian Tengah Semester Manajemen Industri Media Massa yang akan banyak mengulas tentang komunikasi dalam kehidupan sehari-hari dan komunikasi media massa. Tajuk untuk postingan kali ini semata-mata karena hari ini saya baru sadar betapa pentingnya menjalin dan menjaga komunikasi. Sekali lagi, baru sadar.

Tidak terhitung berapa banyak tokoh dan pakar ilmu komunikasi yang membeberkan teori komunikasi dalam banyak buku. Intinya, komunikasi diartikan tidak lain sebagai proses di mana seseorang menyampaikan pesannya, baik dengan lambang bahasa maupun dengan isyarat, gambar, gaya, yang antara keduanya telah terdapat kesamaan makna, sehingga keduanya dapat mengerti apa yang sedang dikomunikasikan. Setidaknya, komunikasi memiliki tiga tahapan:

1. Persepsi, yang sering kita sebut sebagai penginderaan suatu gejala di luar diri. Gampangnya, persepsi adalah anggapan atau pemantauan seseorang terhadap segala sesuatu yang ada di sekelilingnya.
2.      Ideasi, penataan hasil persepsinya ke dalam benak.
3.      Transmisi, melontarkannya kepada orang dalam bentuk pesan.

Di samping itu, tiga unsur yang paling esensi lainnya dalam komunikasi adalah pengirim (communicator), pesan (message), dan penerima (communican). Bisa dibayangkan, apabila tidak ada penyampai pesan, pasti komunikasi tidak akan terjadi sebab dialah kunci utama terjadinya komunikasi. Sedang jika tak ada pesan, lalu apa yang akan dilakukan kedua belah pihak? Hambar sebab tak ada yang disampaikan dan dibahas. Begitu pun jika tak ada penerima pesan, maka sang komunikator akan gedek karena tak ada orang yang akan menggubrisnya.

Baik, saya tidak akan membuat postingan kali ini semacam makalah tapi cukuplah paparan di atas menjadi mata rantai dari kejadian hari ini. Semua berhubungan dengan komunikasi.
***
Cuaca yang sering galau akhir-akhir ini rupanya andil membuat tubuh galau pula. Saat kemarin sebuah pesan masuk dalam alat komunikasi elektronik, saya tahu bahwa musim pancaroba seperti sekarang pasti banyak memakan korban. Teman-teman main saya banyak yang tumbang, sebab kondisi yang kurang fit. Mendengar kabar tersebut, pastinya saya lebih semangat dalam menjaga kondisi tubuh agar tidak ikut-ikutan tumbang.

Apa daya setelah semalam bisa bertahan dengan sebungkus tisu, flu pagi ini meraja lela menggerogoti tubuh. Bangun dengan kepala yang cukup berat, saya berazzam hari ini harus mampu melampaui semua kegiatan. Sebab tubuh yang kurang sehat jika dimanjakan maka akan menjadi-jadi. Itu prinsip awal.

Dengan suara sengau alias serak-serak seksi, jam pertama pun terlewati semenyenangkan biasanya. Sesi selanjutnya adalah sesi presentasi akbar pra UTS yang mengharuskan pemateri berdiri di depan kelas selama durasi 30-60 menit. Tebak, apakah saya bertahan? Pastinya! Tubuh tidak rewel hingga presentasi bagian saya usai. Namun, menit berikutnya suhu ruangan berasa meningkat. AC yang tidak berkurang derajat Celciusnya membuat kulit tiba-tiba meremang dan gawatnya keringat dingin mulai mengucur.

Saya sempat heran, sejak kapan aklimatisasi tubuh saya sedemikian buruk? Sejak lama tak melakukan ritual jogging kah? Atau sejak lama tak berbaur dengan suhu dingin di ketinggian gunung? Entahlah, mungkin kombinasi dari kemungkinan-kemungkinan tersebut.

Senin, 20 Oktober 2014

River Flows In You

Tears flowing down my cheek
Tearing me up as I think
Of what could have been

Tidak, kami tidak sedang berseteru atau pun bertengkar. Kami hanya sedang sama-sama memberi waktu pada diri untuk menuntaskan apa yang belum tandas. Juga memberi ruang untuk lebih banyak mendengar nurani tanpa diintervensi emosi. Singkatnya kami sedang berpuasa dan memamah biakkan sabar agar tercipta rindu yang kerap kali memang sudah susah sirna meski sering berjumpa.

Rencana untuk mendepa jarak dan membekukan waktu benar-benar terjadi. Awalnya saya pikir ini adalah permintaan paling egois yang tidak akan dikabulkan. Sebab alasan ini terlalu mengada-ada dan kekanakan. Tapi begitulah adanya, pengguna otak kanan seperti saya ini memang agak payah memfokuskan diri pada urusan lain jika sudah berkutat dengan estetika, cinta, dan hati. Meskipun, banyak yang menyanggah sebenarnya teori pengembangan potensi otak kanan dan kiri adalah hasil bualan para profesor yang memiliki tujuan tertentu. Entahlah.

Jujur saja, saya sulit mengingat tanggal, hari, nama, dan angka. Segala hal yang berbau matematik sepertinya telah lama membuat alergi saya kambuh. Hahaha. Pengguna potensi otak kanan memang payah dalam hal akumulasi angka dan sejarah tertulis, tetapi ia akan mudah mengingat warna, suasana, gaya bicara, gaya berjalan, dan kenangan.

 Itulah mengapa, jika ditanya tanggal berapa kami pertama kali bertemu dan kapan waktu tepatnya, mungkin saya akan mengendikkan bahu. Payah sekali. Tapi coba tolong, tanyakan pada saat kami pertama kali bertemu bagaimana garis mukanya tergambar, bagaimana binar matanya terpancar, apa warna baju yang ia pakai: pasti saya akan jawab dengan mantap! Dan salah satu keuntungan pemaksimalan otak kanan adalah saat ujian bisa dengan mudah menerapkan sistem SKS alias Sistem Kebut Sejam. Apakah Anda mengalami hal yang serupa dengan saya? Baiklah, berarti kita toss dulu! Hahaha.

My Ben and Jerry’s melting
Falling apart like me
Dripping down insinuating

Lagi-lagi tingkat ketidak stabilan emosi saya membuat sempat ragu saat bangun dini hari tadi. Padahal, saya baru tidur kurang dari dua jam. Sebab penghuni rumah malam tadi sedang asyik menguarkan kisah selama dua hari kami tidak bertatap muka. Ada beberapa kesibukan di akhir pekan yang harus kami jalani ditambah sumber air yang bermasalah membuat kami berempat mengungsi sementara.

Seperti kebiasaan penghuni rumah mungil saya biasanya, tiap malam kami selalu membagi apa saja yang telah terlewati hari ini dan apa yang akan dilakukan esok hari. Kami benar-benar menjunjung asas keterbukaan. For us, open and trust is more important than anything. Itu semboyan kami.

Wacana sebulan akan berlari juga sebelumnya sudah saya share pada mereka, dan saya perkuat tadi malam. Mereka mengiyakan dengan mantap dan berjanji akan menguatkan kala saya mulai goyah. Terima kasih Rabb, Kau isi hidup saya dengan orang-orang penuh kasih sayang.

What if things had been different
What if we'd kept it light
What if I could hold you
I wish you'd never lied

            Kita kembali pada pemanfaatan otak kanan. Prof. Makoto Shicida seorang ilmuwan dari Jepang mengatakan bahwa, perkembangan otak kanan itu seperti piramida terbalik seiring bertambahnya usia seseorang. Semakin hari semakin bertambahnya usia, maka perkembangan otak kanan seseorang akan semakin berkurang. Umumnya, otak kanan akan berkembang dan mencapai puncaknya pada usia 0-6 tahun, yang sering disebut-sebut oleh para bunda “golden age”-nya anak.

            Sepertinya Mama melakukan tindakan yang over tepat saat saya berada di golden age. Sebab hingga saat ini, umur saya berlipat tiga dan lebih-lebih setahun beberapa bulan dari usia keemasan anak-anak tersebut, otak kanan saya berkembang dengan luar biasa baik. Saking baiknya, neural circuit membiak tak keruan di otak kanan saya.  

        Kalau saja ada mata kuliah khusus untuk mahasiswa pendaya guna otak kanan yang berhubungan dengan image ability, extrasensory perception, perfect picth, photographic memory, dan banyak hal tentang daya menggambarkan dan mendeskripsikan sesuatu lewat pikiran, gambar, dan persepsi, pasti saya paling unggul. Bukannya sombong, tapi kenyataannya saya suka sekali bermain-main dengan teknik pendeskripsian. Hahaha.

I remember clearly you saying
You and me forever
Though I'm still praying

Minggu, 19 Oktober 2014

20-20

Mari kita tidak lagi membicarakan omong kosong tentang mimpi dan target yang melambai-lambai sebab lama tak diperjuangkan. Mari kita tidak lagi memanjakan diri dan menganggap telah melakukan banyak hal, padahal masih berpijak di titik yang sama seperti sebelumnya. Mari kita berhenti sejenak sebelum kemudian berlari kencang menatap lurus ke depan, batas yang memang bukan akhir, tapi setidaknya di sanalah kita bisa berjumpa (kembali)

Mari kita istirah setelah memanjakan diri dengan luapan emosi yang sering kali berfluktuasi tiap hari. Mari kita menjengkal mimpi walau harus menjangkah jarak. Mari menjadi kepompong untuk berpuasa barangkali setelah ini ada banyak kebaikan yang mengubah diri. Mari sayang, bersabar sebentar. Terima kasih.


19 Oktober 2014, 23:09

Rabu, 15 Oktober 2014

Sayang

Sayang, ada yang indah ketika kita bicara bukan lagi soal cinta
yakni: cerita semesta

Saat kita tidak lagi mempermasalahkan apa selempang status kita
tapi mencari tahu tentang aksi-reaksi kita pada sesama

Sayang, ada yang lega ketika kita tak lagi mempermasalahkan jarak
yakni: waktu porak

Saat kita hendak mencairkan semua kebekuan tanpa takut comoohan
waktu mulai bersahabat dengan kita, ia tak lagi sinis

Sayang, tahukah kau betapa sayang itu sangat erat gengamannya dengan khawatir?
justru karena itulah kita merentangkan jarak dan membekukan waktu

agar aksi-reaksi kita memburai bersama cerita semesta diantara tasbih penghuni langit
kala sepertiga malam
temui aku tiap kali kau rindu
kita lebur sayang dan khawatir dalam satu wadah berasma:
               taat

kutunggu kau dalam sujudmu, biar Dia memerantarai
hingga lenyap segala sendu

itulah mengapa kau kugemakan: Sayang.

Semanggi Dua, 16 Oktober 2014; 01:16

(Sayang-B.EJ)

Senin, 13 Oktober 2014

Janji Pertemuan

Hari ini aku membuat janji pertemuan

Saat pagi tadi seorang tukang sampah mengangkut plastik hitam besar ke dalam gerobak reyot. Kiranya sudi mampir ke beranda rumah untuk mencicipi secangkir kopi instan panas dan beberapa cuil tempe goreng.
Tapi ia menolak, ia bilang akan lanjut berjalan memungut sampah-sampah manusia lalu mendepa peruntungan.

Hari ini aku membuat janji pertemuan

Saat waktu belum utuh di perempat jalan, sudah lama tukang buah sebelah warung lalapan yang buka selepas Maghrib, itu mengupas kulit melon. Tak tahulah, ini kepala melon ke berapa yang ia gunduli. Lalu kutanya, seberapa maniskah melon miliknya?
Katanya, semua manis hanya saja kadang hambar adalah salah satu pelarian dari raut kesialan.

Hari ini aku membuat janji pertemuan
Setelah sebelumnya bersua dengan dua Mamang penyembat gerobak

Hari ini

aku

membuat
janji pertemuan

Sebentar saja sesaat lebih dulu dari matahari yang menghunus ubun-ubun

Paling pelit dua rakaat bolehlah
akan kutanyakan pada Dia:

mengapa peruntungan dan kesialan bisa jalan bergandengan?



Ujung Dhuha, 13-10-14
(Janji Pertemuan-B.E.J)