Selasa, 29 Oktober 2013
Hujan di Langgar Dempet Rel
Kakak alif ba ta setelah itu apa?
Mahroji gembul berteriak mencari jawaban
Tsaaaa!
Kompak teman-temannya menjawab
Fwhiiing..Jrekk..jrek..
Sekeras apapun suara mereka tetap saja tertelan desing getar rel kereta sebelah
Maklum, langgar Mahroji dan kawan-kawan tempat mengaji kitab suci
Dempet rel kereta api
Bledaaaaar...!
Bukan kereta roboh mengguncang langgar tikus ini
Tapi hujan Oktober mengumbar petir bumi
Kakaaaak aku takut!
Ayu mungil berlari menggigil
Tapi ubin kotak-kotak langgar tak kenal iba
Ayu mungil terpeleset merembeslah dari matanya tuba
Ayu malang
Namun ia tahu sakit kepeleset tak seberapa
Dibanding sakit hidup jungkir balik dempet rel sebelah
Berhentilah aliran tuba mata Ayu
Lalu ia melihat Mahroji kemudian tengadah ke langit
Tuhan aku sudah mengeja huruf sucimu tapi mengapa Kau tak jua membaca luka ibuku
Bisiknya pada hujan.
-B.E.J dalam gelegar hujan di Tanah Abang, 291013-17:51-
Senin, 28 Oktober 2013
Dari stasiun Tanah Abang ke Pondok Ranji
Petang tadi saat petugas stasiun bilang maaf karena kereta sedang diperbaiki
Semua lidah berdecak. Ck!
Baru saja ketika jalur enam
Dijejaki ular besi
Seorang ibu berteriak, "Misiii, beri jalan yang turun!"
Sontak barisan kami bukan lagi menjelma seperti mahasiswa berdemo pada gubernur
Tapi menjadi nyiur kelapa yang siar siur
Semenit, kereta belum jalan. Dua menit, tak bergerak juga. Tiga menit, masih tetap diam.
Ah, mungkin kami sengaja dijadikan sarden dalam kaleng gerbong kereta ini
Kepala ketiak bertemu jadi kelopak
Pinggul punggung berdesak jadi pantat
Ya Tuhan! Ibu! Bapak!
Barulah terpekik nama terkasih kala kereta oleng menghimpit tiap jasad sarden
Kenapa bukan keparat, bangsat, bajingan yang terucap?
Ah, bangsa ini memang terlalu sopan
Hingga petang ini tidak jua membuat kapok para tikus mempan
Baiklah, permisi saya mau turun di pondok ranji!
Lalu melengang ke warung mak Surti beli neo remasil
Ups, maaf sebut merek
Karena encok pinggangku sudah tak tertahankan.
-B.E.J- Dalam S10
28/10/13-19:23
Senin, 21 Oktober 2013
BLAUR: B-L-A-U-R
"Ngapunten
Pak! Bisa lebih cepat sedikit, kereta saya jam tiga soalnya", ujar
saya gupuh meminta maaf pada
sopir angkot yang saya tumpangi sambil terus menantang laju jarum jam tangan. Salah saya memang, menuruti intuisi rindu hingga
lupa waktu. Lupa bahwa jarak stasiun yang berkelit dengan kemacetan mungkin
tidak bisa ditolerir dengan rasa lega milik individu. Kereta akan tetap
berangkat sesuai jadwal!
Sore ini saya diharuskan untuk
kembali ke perantauan bukan untuk mengadu nasib melainkan untuk mengaduk kota mimpi.
Jakarta-Tangerang Selatan-Ciputat. Tiga titik rayon yang mungkin akan jadi tolak
awal pergolakan semua ambisi yang telah lama bergumul dalam sanubari dan selalu
menciptakan intervensi. Saya sudah banyak merepotkan semua orang, tinggallah
sekarang membuktikan bahwa kerepot-repotan mereka tidak akan menjadi abu yang
sia-sia belaka. Tak membuat saya naik tangga kemandirian maupun kelegawaan.
Kereta Gajayana kelas eksekutif yang
terpaksa membawa saya melaju terus menggaungkan desau gesekannya dengan ular
besi di bawahnya. Stasiun kota Malang melambaikan tangan tegas, meneriakan
sebuah afirmasi bahwa: suatu saat kau akan kembali untukku! Suaranya yang hanya
berupa isyarat instrumen alam memantapkan saya untuk tidak lagi menganggap
sebuah perpisahan sebagai elegi.
21 jam! Cukup menguarkan rasa lelah,
rindu, dan kalut selama adaptasi dalam masa transisi. Kota ini sungguh terlalu
besar untuk nyali ciut yang bahkan seekor kecoak got pun tak memilikinya. Namun,
bisa jadi ini hanya sebuah titik amat kecil untuk daya keberanian seorang
makhluk Tuhan yang yakin bila suatu saat yang namanya mimpi dan ambisi bukan
hanya diingini namun perlu diperjuangkan.
Kembali pada 21 jam di kota Malang
dengan lanskap pegunungan di utara, selatan, barat, dan timurnya. Bahkan semua
mata anginnya dicover dengan siluet tanah tinggi ciptaan Tuhan yang amat
saya gemari. Gunung.
Semua berasa sangat berharga saat
kita tahu waktu akan merampasnya sekejap. Tawa pendekar-pendekar yang selalu
bosan dan akan bertambah bosan jika tidak mendengar cerita dari hati ke hati
yang sering direpetisi. 21 jam bianglala spektakuler!
Bahkan doa dan ungkapan polos dari
para patriot tanpa pamrih pun terdengar bak simfoni yang indah dari sang
maestro. Terimakasih, untuk aliran harapan mulia yang selalu kau bumbungkan
dalam malam panjangmu.
Untuk dua pintu besar di rumah yang
selalu mau menerima penyakit, caci maki, dan keluh kesah tanpa batas. Anda berdua
bukan malaikat, namun kasih tanpa tedeng aling-aling yang selalu anda
alirkan membuat seluruh penghuni langit mencibir iri.
Gadis tambun di sana yang masih saja
cengeng, ingatlah! Untuk membuat kuda pacu berlari kadangkala kau harus rela
ditendang bahkan dikencinginya. Namun, tunggulah sebentar lagi hingga kau
membusungkan dada bangga duduk di atas pelananya.
Dari atas laju Gajayana ini jelas
sekali penampilan matahari menyipitkan awan hingga membentuk pintu langit
dengan guratan benang surya oranye kesana kemari. Sebentar lagi ia berpulang.
BLAUR:
B-L-A-U-R ruwet,
kacau, tak terdefinisi (: jawa) komposisi kata yang berhasil saya comot
untuk memburaikan sadap sedu ini karena, lagi-lagi sunset selalu membuat
saya kagum namun farewell terus menerus menyisakan bungkam.
B.E.J
Ciputat, 21 Oktoblaur 2013
21:51
Kamis, 10 Oktober 2013
Rindu
Rindu sudah nasib untung di badan
Maka kujinjing ransel
Kupakai sandal gunung butut
Akan kucumbui rinduku
Rindu tak bertuan
Hingga tak kutahu harus
Kumuarakan kemana aliran ini ?
Di atas ubin bumi
Atap langit
Kuforsir seluruh darah merindu ini
PadaMu!
Maka kujinjing ransel
Kupakai sandal gunung butut
Akan kucumbui rinduku
Rindu tak bertuan
Hingga tak kutahu harus
Kumuarakan kemana aliran ini ?
Di atas ubin bumi
Atap langit
Kuforsir seluruh darah merindu ini
PadaMu!
Langganan:
Postingan (Atom)