" Wadah Perca-perca Mimpi Sebelum Terburai Melangit " (B.E.J.)

Senin, 22 Desember 2014

(Belajar Membaca) Kunci dan Gembok

Ada kunci dan gembok.

Mereka sepasang.

Boleh terpisah,

tapi

tetap saja

kunci dan gembok

hanya akan bercinta

jika

bertemu pasangannya

kalau tidak

kunci akan merusak dirinya
sendiri

dan

gembok rapat takkan terbuka

es a sa: sa, dipaten m: sam, pe a pa: pa, dibubuhi i: sampai
ka a ka: ka, pe a pa: pa, dipaten n: kapan
pu u pu: pu, dipaten n: pun

disambung semua:

sampai kapanpun.




[(Belajar Membaca) Kunci dan Gembok-B.E.J]

Sabtu, 29 November 2014

Pulanglah Panglima Hujan!





Lalu dalam keroyokan prajurit hujan sore ini, kuwanti-wanti pada mereka:
bilakah panglimanya terjebak,
maka mohon lindungi dan pulangkan ia dengan selamat.
Lantaran kami kekasih hujan,
jika sang panglima tak berpulang maka sang putri pun akan sederas rinai matanya
sebab sebentar lagi ia memutuskan tidak lagi menjadi: pluviophile!

(Pulanglah Panglima Hujan! - B.E.J)


(Picture source: Google)

Sabtu, 22 November 2014

Titip Rindu Pada Bulan

Titip rindu pada bulan,

Saat pungguk tak memalu meruahkan rindu

Titip rindu pada bulan,

Sungguh pungguk tetap juga tak bisa maju untuk bertemu

Titip rindu pada bulan,

Pungguk ini apa-apaan selalu tak lelap tidur asbab rasanya sudah menyulur

Titip rindu pada bulan,

Apakah akan sampai salam ini? Lantaran pungguk tak pernah belajar berapa lama evolusi bulan atau bagaimana orbit garis edar bulan.

Yang ia tahu:

Bulan ada di atas sana. Tersenyum. Manis sekali diaduk gulita malam.
Entah senyum untuk siapa.



(Titip Rindu Pada Bulan-B.E.J)

Selasa, 18 November 2014

Konpeito

Untuk Nona senyum beku yang (semoga) segera melumer...

Kau tahu, Nona?

Masalah itu hanyalah pengulangan dari jemu kebaikan. Kau akan terkungkung selamanya jika kau mengulangnya selalu dan selalu. Barangkali, sekali saja kau boleh mencoba berangkat agak siang saat jalanan mulai lengang dan matahari sedikit lebih terik dari sinar biasanya di jam tanganmu. Bisa jadi, kemurtadanmu dari taat jadwal setiap hari akan membawamu pada kelegaan yang lebih plong.

 Ini bukan masalahmu atau dia, apalagi tentang aku. Ini hanya masalah pengulangan, Nona. Sebab kau selalu menghindar saat hidupmu yang serba sistematis itu mulai melenceng. Padahal, di situlah seni hidup dimulai. 

Sebentar, Nona. Coba selami lagi apa yang selama ini kau khawatirkan? Atau sebenarnya tidak ada rasa khawatir, kau hanya tidak mau mengambil risiko kecewa dan mengecewakan. Karena selama ini kau anggap mereka menganggapmu sebagai jantung hati. Itulah, mengapa hidupmu tak lain hanya sebuah beban. Menyandarkan sesuatu yang memberatkan langkahmu sendiri.

Nona, sampai kapan kau akan gamang meninju congkak waktu? 

Minggu, 16 November 2014

Hai, Kapten!

Belakangan hari ini, mungkin Tuhan sengaja mengirimkan armadanya untuk menularkan banyak kebaikan padaku. Semangat para novelis muda itu seakan menyengat kuat pada sekujur syarafku sehingga sepulang dari menemui mereka, aku jadi begitu bersemangat kembali bermesraan dengan apa yang harus kuselesaikan. 

Hai, Kapten!
Rupanya waktu tak berhasil mengaburkan rindu. Hanya hendak menyapa dalam belantara semu. Semoga kau bahagia selalu. 


B.E.J

7 Points of Synopsis

Ada jasa penulisan sinopsis gak sih, Mbak Ai?”

            Demi apapun! Ini sudah kali keempat saya revisi sinopsis novel sendiri. Sedikit putus asa memang, sampai tercetus pertanyaan di atas. Bagaimana bisa saya menulis berlembar-lembar halaman karangan sendiri saja bisa tetapi meringkasnya dalam maksimal tiga halaman saja kocar-kacir. Ckckck...

       Hari itu saya seharian penuh mengekor sang mentor untuk menemaninya menyelesaikan beberapa urusan. Kami menandaskan satu hari bersama dan bagian yang paling saya gemari adalah pembantaian sinopsis yang lima jam saya tulis. Bayangkan saja untuk menulis sinopsis 3 halaman saya membutuhkan lima jam, sedang untuk menulis cerpen 8-12 halaman saya bisa menghabiskan tiga jam saja. Rupanya ini yang sering mentor saya sebut penyakit novelis. Saat penulis sudah biasa menulis panjang, pasti suatu waktu ia akan kesulitan untuk menulis karangan pendek. 

          Yang perlu dipahami, sinopsis di sini bukanlah cuplikan cerita yang ada di belakang cover buku. Sebab serinngkali kita salah menyebutnya sebagai sinopsis, padahal itu blurb. Blurb ditulis oleh pihak penerbitan dengan bahasa yang menarik dan menimbulkan penasaran calon pembacanya bertujuan untuk promosi. Sedangkan sinopsis adalah ringkasan cerita dari naskah novel atau karangan kita yang penulis buat ditujukan untuk mempromosikannya pada editor atau rumah produksi. 

            Alhasil malam ini bagaimana pun, dengan sekuat tenaga saya menyingsingkan lengan untuk membenahi sinopsis yang harus diselesaikan ini. Sebab sinopsislah yang menjadi salah satu faktor lolos tidaknya naskah kita dalam seleksi editor penerbitan atau rumah produksi. Semakin menarik sinopsis yang kita buat, semakin mudah kita menembus penerbitan. Sebaliknya jika sinopsis dianggap kurang mampu memikat editor, maka sebaik apapun naskah eksekusi kita tidak akan lolos penerbitan.

            Setidaknya ada 7 komponen yang mentor wejangkan untuk mempermudah menyusun sinopsis yang sering dikoarkan sebagai pemikat editor sebuah penerbitan:

Pertama, Siapa tokoh utama cerita? Agar menarik, kita bisa menambahkan sedikit karakter dari si tokoh utama. Mulai dari parasnya, cara ia berjalan atau cara ia bersikap, sehingga saat kita membicarakan si tokoh utama, maka akan terbangun karakter dari tokoh utama.

Sebagai contohnya, dalam fanfic The Invention of Hugo Cabret – Brian Selznick.

Tokoh Hugo, anak kecil yang berusia 12 tahun, memiliki rambut ikal, mata berbinar, suka mencuri makanan, dan sangat ahli dalam memperbaiki dan merawat mesin-mesin terutama jam dinding di stasiun kereta api di kota Paris. (The Invention of Hugo Cabret – Brian Selznick).

            Kedua, Apa yang dihadapi oleh tokoh utama? Atau apa keinginan, masalah yang dihadapi oleh tokoh utama? Terkadang masalah atau keinginan yang dialami oleh si tokoh utama sangat sederhana saja, mungkin bisa karena permasalahan percaya diri karena memiliki tubuh yang pendek (dalam cerita remaja) atau masalah-masalah yang rumit lainnya. Sinopsis yang baik harus mampu menghadirkan premis ini, dan mampu menjawab apa masalah yang dihadapi si tokoh utama.

            Sebagai contoh masalah yang dihadapi oleh tokoh Humbert Humbert dalam Lolita, sebuah novel Vladimir Nabokov berceritakan tentang Humbert seorang professor yang terobsesi pada gadis remaja yang bernama Dolores Haze- sang Lolita, gadis remaja yang mengingatkannya pada kekasih di masa ia remaja, yang bernama Annabelle.

            Ketiga, Siapa yang menghalangi si tokoh utama dalam menyelesaikan masalahnya atau mencapai keinginannya? Dalam sebuah sinopsis juga harus menyelipkan seorang tokoh antagonis yang berhadapan langsung dengan si tokoh utama. Tokoh antagonis ini tak selalu harus menjadi musuh utama seperti dalam film action, tapi seseorang yang menghalangi tujuan atau keinginan dari si tokoh utama pun bisa dikatakan seorang tokoh antagonis. Tanpa adanya si tokoh antagonis ini sinopsis akan terasa datar-datar saja.

            Contohnya bisa dilihat dalam Film The Vow, sebuah film besutan dari sutradara Michael Sucsy, bagaimana peran orang tua Paige untuk memisahkan Paige yang sudah menikah dengan Leo.

            Keempat, Bagaimana si tokoh utama mencapai keinginannya, atau menyelesaikan masalahnya. Ini merupakan point penting dalam sebuah sinopsis, jika dipaparkan dengan cara yang unik, bisa dipastikan akan menarik untuk dibaca.

            Misal saja, tokoh Humbert (Lolita, Vladimir Nabokov) agar bisa mendekati Lolita, maka ia menikah dengan Ibu Lolita, begitu ibu dari gadis itu meninggal dunia, maka ia bisa leluasa membawa Lolita jalan-jalan mengelilingi Amerika Serikat selayaknya sepasang kekasih.

            Kelima, bagaimana perubahan dari si tokoh utama dalam menyelesaikan masalahnya? Bagian ini bisa ditampilkan sedikit atau secara umum saja dalam sebuah sinopsis, bagaimana proses jatuh bangun si tokoh utama, sehingga mampu menciptakan dramatisasi yang sangat menarik dan membuat editor penasaran.

            Keenam, Apa pesan yang ingin disampaikan dalam sebuah cerita? Dalam hal ini bisa disisipi dalam sebuah sinopsis, menurut saya sebuah cerita ada baiknya memiliki misi dan pesan bagi pembacanya, begitu juga perlu menghadirkan pesan dalam sebuah sinopsis, bukan harus pesan tertulis seperti dalam teks book, namun pesan tersebut berbaur dalam alur cerita dalam sinopsis cerita.

            Ketujuh, Bagaimana gaya penulisan dan cara tutur penulis. Ini menjadi point terakhir, akan berjalan seiring waktu ketika penulis sudah memulai menulis cerita dalam sinopsisnya. (Aida MA).”

            Saya kira beberapa poin di atas dapat diterapkan dengan mudah jika kita membuat skema terlebih dahulu. So, what are We waitin’ for? Yuk, segera susun sinopsismu dan pikat editor impianmu.  

            Enjoy Writing! 

16 November 2014

B.E.J

Kamis, 13 November 2014

Obrolan Tanah

Mengapa seseorang bisa puas dengan pilihan orang lain?

Mengapa seseorang justru tersiksa dengan pilihannya sendiri?


            Hingga menit ke-75 kami masih belum bisa memahami konflik apa yang menjadi premis awal film yang layarnya tergeber di hadapan kami. Sungguh film remaja yang kami tonton malam ini memiliki persoalan klise layakanya kisah percintaan yang banyak disuguhkan di film maupun novel teenlit.

            Selepas hujan turun sore ini, saya memang berniat mengajak hang out Tanah. Sebab ia sedang ingin merasakan hawa yang berbeda di rotasi dua dasawarsanya yang jatuh kemarin. Namanya memang bukan Tanah, tapi sejak awal pertama kali kami berkenalan saya sudah menganggapnya seperti stabilizer. Bahkan saat itu kami berdua sama-sama belum mengenal teman lain.

             Tanah adalah jelmaan sungai yang sama-sama memberi kedamaian tersendiri jika berada di dekatnya. Tanah selalu bisa menumbuhkan tunas saat angin membawa terbang benih. Tanah senantiasa setia menyerap air saat ia kalut dan menangis. Tanah tak pernah gagal memadamkan bara jika ia mulai terbakar. Mungkin inilah juga yang terlihat di mata orang-orang itu, hingga ia dipercaya untuk menebar potensi manfaatnya bagi elemen lain.

 Ringkasnya, gadis itu kebalikan dari sifat saya yang seringkali membuncah dan tetiba bisa gundah dalam satu waktu. Tanah tidak, ia selalu tenang dan menunggu saat yang tepat untuk membenarkan argumen atau membuktikan kesalahan saya.

Kembali pada obrolan Tanah. Hari ini menjadi hari yang berkualitas untk kami. Lantaran sejak kami tidak lagi tinggal di satu atap, waktu bertemu dan bertukar kisah kami hanya dalam durasi jam kampus. Amat singkat. Karena selepas jam kelas berakhir, kami pasti langsung melalang ke tujuan masing-masing.

Lipatan kantung matanya yang bertambah dua lampir jelas menandakan bahwa Tanah kurang tidur akhir-akhir ini. Ia pun berkata bahwa banyak yang harus ia kerjakan dalam waktu dekat. Saya mengangguk, membenarkan perkataannya sebab kami berada di posisi yang sama meski beda kesibukan.

Namun, berbeda dengan saya. Tanah agaknya kurang menikmati apa yang ia perjuangkan belakangan itu. Ia sendiri masih ragu. Apakah yang ia jalani saat ini benar-benar akan membuatnya bahagia dan merdeka? Apakah setelah ini ada jaminan bahwa pilihannya tak akan membuat kecewa?

Ah, Tanah... tak ada jaminan pasti dalam kehidupan yang serba fana ini. Biarkan saja kita mencicipi semuanya. Biar kita tahu apa rasa asam, manis, pedas, getir, dan tawarnya kehidupan. Semua rasa itu adalah kamuflase dari pelajaran hidup.

Kami masih berbincang tentang konflik apa yang dipermasalahkan oleh tokoh di hadapan kami sampai akhirnya kami paham. Bahwa menentukan sebuah pilihan dan menuruti garis takdir itu bertentangan. Itu menurut film yang kami tonton.

Senin, 10 November 2014

(from) Nothing Becomes Lasting


            Masih ditemani dengan botol air minum setinggi 30 cm, saya berusaha menetralisir zat-zat makanan yang masuk pencernaan malam ini. Belakangan hari ini perut saya dijejali bermacam-macam makanan. Mulai dari makanan yang seringan kapas hingga makanan yang seberat beton. Hahaha.

            Ungkapan yang sedikit berlebihan memang, tapi begitulah adanya. Beberapa hari ini saya merasa sangat bersemangat apalagi dengan kehadiran tim yang baru saja kami bentuk. Beranggotakan enam orang, kami para calon novelis membentuk tim kecil sesuai dengan kesepakatan dan ketentuan organisasi agar dapat naik jenjang.

            Bagi saya pribadi, kehadiran tim ini memberi warna baru dalam hari-hari saya. Kami berenam yang terkomposisi dari dua lelaki dan empat perempuan bukan hanya berdiskusi soal naskah yang harus kami selesaikan, kami juga merancang bagaimana agar kami berenam bisa menerbitkan semua naskah kami dengan bantuan manajer dan pihak sponsor.

            Kami juga melakukan brainstorming serta banyak mendiskusikan bagaimana baiknya naskah dan kemaslahatan tim ini. Sebab kebijakan dari para senior, jika salah satu anggota tim kami tidak berhasil mencapai target akhir yakni, menghasilkan novel hingga terlihat wujudnya maka, kami satu tim akan gagal untuk dapat rekomendasi kenaikan jenjang.

            Beberapa kali pertemuan hingga tengah malam ditemani dengan diskusi renyah dan bervariasi cemilan dan makanan berat membuat kami sering lupa waktu. Jika saja, tidak ingat ada anak istri  papi mami pakde bude paklik bulik atau kakek nenek di rumah, pasti para anggota tim ini betah berlama-lama ngetem di rumah saya yang telah dideklarasikan menjadi basecamp darurat.

            Ya, kami beri nama tim ini NoBeL: (from) Nothing Becomes Lasting. Sebab hakikat kami menulis adalah mengabadikan sesuatu yang tak berwujud (tidak ada) menjadi sesuatu yang nyata hingga dapat dinikmati tanpa masa (abadi).

Senin, 03 November 2014

Jagakan Dia Untukku

Jika tidak melangkah maju dengan keyakinan. Maka lepaskanlah dengan penuh keikhlasan.
Cinta itu tidak mengenal kata “Menunggu”


Kalimat di atas adalah kalimat sakti yang selalu digaungkan oleh mentor saya kala ia mendapati saya mulai kacau dengan komitmen diri untuk menulis. Awal tercetusnya kalimat ini adalah beberapa bulan yang lalu, saat kami berdua bercanda sepulang dari Pejanten Village pasca acara bedah buku komunitas ibu-ibu penulis produktif yang di dalamnya terdapat mentor saya juga. Saat itu saya dan seorang kawan dipaksa datang karena hendak ia kenalkan dengan rekan-rekan penulisnya.

            Selepas acara tersebut kami berdua banyak mengobrolkan tentang seorang lelaki yang mendekati mentor. Ia bilang sangat iba melihat lelaki yang sulit menerima statusnya sebagai istri orang lain. Padahal, sang mentor pun tak ada hati dengan lelaki tersebut. Obrolan kami berlanjut via pesan pribadi. Entah mengapa, sejak pertama kali mengenal wanita berdarah Aceh ini, saya langsung merasa memiliki sahabat sekaligus kakak. Dan benar saja, semakin kemari ia bukan saja sebagai mentor di kelas peminatan yang saya ambil tetapi juga teman curhat dan kakak pembimbing.

            Hingga satu hari, saya, seorang kawan, dan mentor memutuskan untuk fokus membedah unsur intrinsik naskah novel kami. Kami bertiga makan malam di sebuah kedai dan obrolan kami merembet mencipta banyak sulur. Salah satunya adalah: cinta.

***

Minggu, 02 November 2014

Tanyakan Jawaban

Sebelumku terpejam
Lampu tampak termaram
Kerinduan yang datang
Usik jiwa yang tenang


Hidup terlalu singkat untuk tak berbuat
Hidup terlalu indah untuk tak berubah


Mataku pun terbuka
Dan jiwa pun bicara


Hidup terlalu singkat untuk tak berbuat
Hidup terlalu indah untuk tak berubah


Yang kusebut Sayang kau tak menghilang
Ketika sedang sepi
Yang kusebut Sayang mengisi ruang
Hati yang sedang sunyi


Kerinduan yang datang
Susah tuk dielakkan


Hidup terlalu singkat untuk tak berbuat
Hidup terlalu indah untuk tak berubah


Yang kusebut Sayang kau tak menghilang
Ketika sedang sepi
Yang kusebut Sayang mengisi ruang
Hati yang sedang sunyi


(Yang Kusebut Sayang-Letto)


***
Ini hari kedua setelah bersua dengannya. Tak ada yang salah, bahkan tidak pantas menyandarkan kesalahan pada sebuah kata: menunggu. Ritme tidur saya jadi tak beraturan. Entah, efek tidur terlalu awal atau mengingat-ingat wejangan sahabatnya tadi pagi. Setelah membuka kotak email malam ini, saya jadi sadar (mungkin agak terlambat). 

Sabtu, 01 November 2014

Engkau Selalu

Lalu kami pulang dalam beku bisu
Meski buncah rindu merah meruah dalam kalbu

Apa daya? Kelu

"Sungguh, jika raga tak mampu merengkuhmu
Hanya doa yang sanggup memelukmu."

Sayang, dahsyat nian inginku lari ke dekapmu
Maka biarlah, waktu yang memusarkan rindu ini tanpa tapi

Biar tetap kugaungkan kata sayang, engkau selalu. 


(Engkau Selalu-B.E.J)

Jumat, 31 Oktober 2014

Sang November

Diam-diam dia diam lalu berpikir
Diantara pekat kopi hitam dan getir malam sabit
Sesekali ia mendongak 
Mencari sesuatu yang tak jua ia pahami 

Rupanya tepi malam menetaskan rasa
Tentang getir, pekat, lalu pahit
Lepas

Setelah ini akan dia cari lagi
Apa itu lepas lalu berdarah?
Lantaran mereka tidak mau bungkam:

Ini bulan berdarah! Semua-mua dibantai dan diurap. 

Ternyata ini dia, November! 
Sang diam yang mengacuhkan segala musim. 
Membantai semua pekat.
Mengurap segala rasa. 

Kelak, ia akan berbaik hati;
Pada sepasang merpati yang tak henti merapal doa dalam hati. 

doa: ketidakpastian yang selalu mereka semogakan.


(Sang November-B.E.J)

Selasa, 28 Oktober 2014

Hati-hati dengan Hati

Seringkali ketika saya tidak mampu menahan emosi negatif, pelarian terakhirnya adalah tidur! Entah itu lelah, marah, kecewa, sedih, benci, kalut, dan kacau, tidur selalu bisa mengendurkan syaraf-syaraf yang tegang akibat emosi negatif tersebut.

Sama seperti semalam, ketika tetiba bapak dosen mengirim pesan singkat yang isinya tentang ujian dadakan esok pagi. Bukan masalah apa, kami baru menyelesaikan ujian terakhir saat senja turun perlahan dan maghrib menelan bumi.
Oh, Bapak! Kenapa tidak sekalian saja besok selepas Subuh Bapak baru mengabari? Batin saya gemas.

Alhasil amanah sebagai KM pun tetap harus dijalankan, untuk menyebar luaskan informasi penting ini. Tidak sedikit kawan yang tidak terima dengan keputusan dosen yang mendadak ini. Sebab, hari ini memang sudah dipesan oleh mata kuliah lain untuk ujian dengan materinya yang berbuku-buku.

Saya pun mengajak Ri menginap, sebab kasihan dia jika selepas maghrib baru pulang dan dikepung oleh macet jalanan. Bisa-bisa ia mendarat mulus di rumah malam sekali dan hanya tinggal lelah yang ia rasakan. Belajar pun jadi terbengkalai. Akhirnya kami berdua menghabiskan waktu semalaman seperti dua gadis yang melakukan pajamas party, kami habiskan waktu untuk bertukar kisah lalu lama-kelamaan tertidur karena sama-sama kelelahan menghadapi ujian seharian kemarin.

Di awal sepertiga malam, kami terbangun karena mengingat paginya akan menghadapi dua ujian yang luar biasa banyaknya materi yang akan diujikan. Me-review materi belum selesai, kami kelaparan dan mulai mencari-cari sesuatu yang bisa disantap di dini hari. Dua bungkus mie instan rebus pun akhirnya menjadi sasaran nikmat untuk menu makan malam kami.

Malam tadi, dua mangkuk mie rebus, segelas teh tarik panas, dan secangkir kopi panas yang mengepul menjadi saksi obrolan sensistif Ri dan saya, yakni: masalah hati.

Minggu, 26 Oktober 2014

Fly, Dear.... Fly High!

Adakah tempat yang lebih romantis dari taman bunga? 
      Ada, yakni: toko buku

Setelah kurang lebih tiga bulan tidak berkunjung ke 'tempat main', akhirnya dua hari lalu saya berkesempatan mengunjungi kawan diskusi di sana. Jajaran toko buku di Blok M Square selalu bisa membuat hati saya merdeka dan pikiran saya mengembara jauh. 

Berdiskusi dengan abang penjual buku langganan adalah salah satu kegiatan yang selalu menyenangkan dan membekaskan jejak sepeninggal obrolan kami usai. Kami membicarakan banyak hal tentang buku dan penulis. Tentang industri penerbitan dan pelelangan buku. Selalu ada hal baru yang ia ceritakan jika saya mengunjunginya, sekadar menanyakan rekomendasi buku baru atau singgah sejenak untuk membaca bukunya.

Bang BS begitu saya memanggilnya, lusa kemarin ia bercerita banyak tentang cetakan deluxe novel-novel lama milik Armijn Pane, Hamka, Abdoel Moeis, Marah Roesli, dan penulis-penulis kawakan yang tinta emasnya masih mengilap mewarnai dunia perbukuan Indonesia.  

Sebenarnya, lama tak bersua membuat saya banyak berperan menjadi pendengar kali itu. Sebab banyak informasi yang baru saya dapat kali ini. Lelaki yang selalu membanggakan kedua putrinya yang berdarah Aceh kental itu, mengisahkan singkat perjalanan panjang penulis-penulis luar biasa yang saya sebutkan tadi. Buku-buku mereka sekarang dicetak sedemikian rupawan sampul, kertas cetakan, dan lay out nya sebab peminatnya selalu saja bertambah makin hari.

Adik, mereka itu menulis pakai hati. Jadi orang membacanya juga pakai hati. Itulah mengapa, buku mereka selalu di hati.”

Kamis, 23 Oktober 2014

Rindu itu Bisu

kami Rindu

Kami tahu

kami bisu

             kami

  tahu

         rindu

      (itu)

bisu


(Rindu itu Bisu-B.E.J)

Langit, Hujan, dan Rindu


            “Dooor!”

            “Aku tembak langit, pasti sebentar lagi hujan!” Teriak seorang sahabat memecah mendung kemarin. Ia sumringah sekali ketika mengarahkan tangannya rapat membentuk moncong pistol ke langit. Niat awalnya untuk membuat saya terkejut, tapi gagal setelah melihat respon ekspresi saya menunjukkan tidak tertarik dengan permainannya.

            Tembak-tembakan langit. Permainan itu sudah lama saya terapkan sejak lama. Awalnya hanya untuk mengusir rasa bosan saat berkumpul bersama teman-teman di lorong sebelum masuk kelas. Namun, lama-kelamaan permainan itu sudah menjadi tidak karuan. Bukan hanya langit yang kena tembak tapi kawan dan dosen pun turut menjadi korban.

            Sore itu selepas mengurai hafalan SKS untuk ujian, kami berangsur-angsur keluar kelas dengan wajah kuyu. “Soalnya sepele, tapi menuntut jawaban yang luar biasa”, begitu kata pak Dosen memberi pengantar sebelum ujian dimulai. Ri keluar dengan wajah sumringah bukan semata-mata ia sanggup menyelesaikan semua soal dengan jawaban yang ia yakini benar. Tapi, memang bawaan dari lahir ia sudah cengengesan. Seingat saya, selama kenal setahun terakhir ini tidak pernah sekali pun saya lihat dia berwajah lesu dan tak ceria, kecuali karena alasan mengantuk.  

            “Ah, gak asik banget sih! Ayo dong kita main tembak-tembakan lagi.” Ajaknya menggiring langkah kami menuju lift.

            “Lagi nggak mood tuh dia.” En, kawan saya yang lain, seperti bisa membaca bungkam saat itu. Saya memang kurang enak hati untuk bercanda sebab bukan karena ujian yang cukup menguras otak, tapi karena jantung saya berdebar hebat. Entah ini masih bawaan kondisi tubuh yang kurang baik atau efek lainnya.

            “Kamu sakit?” Ri mulai menyadari perubahan air muka saya. Saya menggeleng.

            “Dia kan nggak pernah sakit! Tapi tapi kalau lihat lingkaran mata pandanya, kayaknya dia gak enak badan. Iyakah?” kali ini En menembak saya dengan pertanyaan singkat. Saya menggeleng.

            “Laper.”

Selasa, 21 Oktober 2014

Komunikasi


Lagi-lagi bukan karena kami mendalami bidang studi yang sama yakni, komunikasi. Juga bukan karena besok dosen akan mengadakan Ujian Tengah Semester Manajemen Industri Media Massa yang akan banyak mengulas tentang komunikasi dalam kehidupan sehari-hari dan komunikasi media massa. Tajuk untuk postingan kali ini semata-mata karena hari ini saya baru sadar betapa pentingnya menjalin dan menjaga komunikasi. Sekali lagi, baru sadar.

Tidak terhitung berapa banyak tokoh dan pakar ilmu komunikasi yang membeberkan teori komunikasi dalam banyak buku. Intinya, komunikasi diartikan tidak lain sebagai proses di mana seseorang menyampaikan pesannya, baik dengan lambang bahasa maupun dengan isyarat, gambar, gaya, yang antara keduanya telah terdapat kesamaan makna, sehingga keduanya dapat mengerti apa yang sedang dikomunikasikan. Setidaknya, komunikasi memiliki tiga tahapan:

1. Persepsi, yang sering kita sebut sebagai penginderaan suatu gejala di luar diri. Gampangnya, persepsi adalah anggapan atau pemantauan seseorang terhadap segala sesuatu yang ada di sekelilingnya.
2.      Ideasi, penataan hasil persepsinya ke dalam benak.
3.      Transmisi, melontarkannya kepada orang dalam bentuk pesan.

Di samping itu, tiga unsur yang paling esensi lainnya dalam komunikasi adalah pengirim (communicator), pesan (message), dan penerima (communican). Bisa dibayangkan, apabila tidak ada penyampai pesan, pasti komunikasi tidak akan terjadi sebab dialah kunci utama terjadinya komunikasi. Sedang jika tak ada pesan, lalu apa yang akan dilakukan kedua belah pihak? Hambar sebab tak ada yang disampaikan dan dibahas. Begitu pun jika tak ada penerima pesan, maka sang komunikator akan gedek karena tak ada orang yang akan menggubrisnya.

Baik, saya tidak akan membuat postingan kali ini semacam makalah tapi cukuplah paparan di atas menjadi mata rantai dari kejadian hari ini. Semua berhubungan dengan komunikasi.
***
Cuaca yang sering galau akhir-akhir ini rupanya andil membuat tubuh galau pula. Saat kemarin sebuah pesan masuk dalam alat komunikasi elektronik, saya tahu bahwa musim pancaroba seperti sekarang pasti banyak memakan korban. Teman-teman main saya banyak yang tumbang, sebab kondisi yang kurang fit. Mendengar kabar tersebut, pastinya saya lebih semangat dalam menjaga kondisi tubuh agar tidak ikut-ikutan tumbang.

Apa daya setelah semalam bisa bertahan dengan sebungkus tisu, flu pagi ini meraja lela menggerogoti tubuh. Bangun dengan kepala yang cukup berat, saya berazzam hari ini harus mampu melampaui semua kegiatan. Sebab tubuh yang kurang sehat jika dimanjakan maka akan menjadi-jadi. Itu prinsip awal.

Dengan suara sengau alias serak-serak seksi, jam pertama pun terlewati semenyenangkan biasanya. Sesi selanjutnya adalah sesi presentasi akbar pra UTS yang mengharuskan pemateri berdiri di depan kelas selama durasi 30-60 menit. Tebak, apakah saya bertahan? Pastinya! Tubuh tidak rewel hingga presentasi bagian saya usai. Namun, menit berikutnya suhu ruangan berasa meningkat. AC yang tidak berkurang derajat Celciusnya membuat kulit tiba-tiba meremang dan gawatnya keringat dingin mulai mengucur.

Saya sempat heran, sejak kapan aklimatisasi tubuh saya sedemikian buruk? Sejak lama tak melakukan ritual jogging kah? Atau sejak lama tak berbaur dengan suhu dingin di ketinggian gunung? Entahlah, mungkin kombinasi dari kemungkinan-kemungkinan tersebut.

Senin, 20 Oktober 2014

River Flows In You

Tears flowing down my cheek
Tearing me up as I think
Of what could have been

Tidak, kami tidak sedang berseteru atau pun bertengkar. Kami hanya sedang sama-sama memberi waktu pada diri untuk menuntaskan apa yang belum tandas. Juga memberi ruang untuk lebih banyak mendengar nurani tanpa diintervensi emosi. Singkatnya kami sedang berpuasa dan memamah biakkan sabar agar tercipta rindu yang kerap kali memang sudah susah sirna meski sering berjumpa.

Rencana untuk mendepa jarak dan membekukan waktu benar-benar terjadi. Awalnya saya pikir ini adalah permintaan paling egois yang tidak akan dikabulkan. Sebab alasan ini terlalu mengada-ada dan kekanakan. Tapi begitulah adanya, pengguna otak kanan seperti saya ini memang agak payah memfokuskan diri pada urusan lain jika sudah berkutat dengan estetika, cinta, dan hati. Meskipun, banyak yang menyanggah sebenarnya teori pengembangan potensi otak kanan dan kiri adalah hasil bualan para profesor yang memiliki tujuan tertentu. Entahlah.

Jujur saja, saya sulit mengingat tanggal, hari, nama, dan angka. Segala hal yang berbau matematik sepertinya telah lama membuat alergi saya kambuh. Hahaha. Pengguna potensi otak kanan memang payah dalam hal akumulasi angka dan sejarah tertulis, tetapi ia akan mudah mengingat warna, suasana, gaya bicara, gaya berjalan, dan kenangan.

 Itulah mengapa, jika ditanya tanggal berapa kami pertama kali bertemu dan kapan waktu tepatnya, mungkin saya akan mengendikkan bahu. Payah sekali. Tapi coba tolong, tanyakan pada saat kami pertama kali bertemu bagaimana garis mukanya tergambar, bagaimana binar matanya terpancar, apa warna baju yang ia pakai: pasti saya akan jawab dengan mantap! Dan salah satu keuntungan pemaksimalan otak kanan adalah saat ujian bisa dengan mudah menerapkan sistem SKS alias Sistem Kebut Sejam. Apakah Anda mengalami hal yang serupa dengan saya? Baiklah, berarti kita toss dulu! Hahaha.

My Ben and Jerry’s melting
Falling apart like me
Dripping down insinuating

Lagi-lagi tingkat ketidak stabilan emosi saya membuat sempat ragu saat bangun dini hari tadi. Padahal, saya baru tidur kurang dari dua jam. Sebab penghuni rumah malam tadi sedang asyik menguarkan kisah selama dua hari kami tidak bertatap muka. Ada beberapa kesibukan di akhir pekan yang harus kami jalani ditambah sumber air yang bermasalah membuat kami berempat mengungsi sementara.

Seperti kebiasaan penghuni rumah mungil saya biasanya, tiap malam kami selalu membagi apa saja yang telah terlewati hari ini dan apa yang akan dilakukan esok hari. Kami benar-benar menjunjung asas keterbukaan. For us, open and trust is more important than anything. Itu semboyan kami.

Wacana sebulan akan berlari juga sebelumnya sudah saya share pada mereka, dan saya perkuat tadi malam. Mereka mengiyakan dengan mantap dan berjanji akan menguatkan kala saya mulai goyah. Terima kasih Rabb, Kau isi hidup saya dengan orang-orang penuh kasih sayang.

What if things had been different
What if we'd kept it light
What if I could hold you
I wish you'd never lied

            Kita kembali pada pemanfaatan otak kanan. Prof. Makoto Shicida seorang ilmuwan dari Jepang mengatakan bahwa, perkembangan otak kanan itu seperti piramida terbalik seiring bertambahnya usia seseorang. Semakin hari semakin bertambahnya usia, maka perkembangan otak kanan seseorang akan semakin berkurang. Umumnya, otak kanan akan berkembang dan mencapai puncaknya pada usia 0-6 tahun, yang sering disebut-sebut oleh para bunda “golden age”-nya anak.

            Sepertinya Mama melakukan tindakan yang over tepat saat saya berada di golden age. Sebab hingga saat ini, umur saya berlipat tiga dan lebih-lebih setahun beberapa bulan dari usia keemasan anak-anak tersebut, otak kanan saya berkembang dengan luar biasa baik. Saking baiknya, neural circuit membiak tak keruan di otak kanan saya.  

        Kalau saja ada mata kuliah khusus untuk mahasiswa pendaya guna otak kanan yang berhubungan dengan image ability, extrasensory perception, perfect picth, photographic memory, dan banyak hal tentang daya menggambarkan dan mendeskripsikan sesuatu lewat pikiran, gambar, dan persepsi, pasti saya paling unggul. Bukannya sombong, tapi kenyataannya saya suka sekali bermain-main dengan teknik pendeskripsian. Hahaha.

I remember clearly you saying
You and me forever
Though I'm still praying

Minggu, 19 Oktober 2014

20-20

Mari kita tidak lagi membicarakan omong kosong tentang mimpi dan target yang melambai-lambai sebab lama tak diperjuangkan. Mari kita tidak lagi memanjakan diri dan menganggap telah melakukan banyak hal, padahal masih berpijak di titik yang sama seperti sebelumnya. Mari kita berhenti sejenak sebelum kemudian berlari kencang menatap lurus ke depan, batas yang memang bukan akhir, tapi setidaknya di sanalah kita bisa berjumpa (kembali)

Mari kita istirah setelah memanjakan diri dengan luapan emosi yang sering kali berfluktuasi tiap hari. Mari kita menjengkal mimpi walau harus menjangkah jarak. Mari menjadi kepompong untuk berpuasa barangkali setelah ini ada banyak kebaikan yang mengubah diri. Mari sayang, bersabar sebentar. Terima kasih.


19 Oktober 2014, 23:09

Rabu, 15 Oktober 2014

Sayang

Sayang, ada yang indah ketika kita bicara bukan lagi soal cinta
yakni: cerita semesta

Saat kita tidak lagi mempermasalahkan apa selempang status kita
tapi mencari tahu tentang aksi-reaksi kita pada sesama

Sayang, ada yang lega ketika kita tak lagi mempermasalahkan jarak
yakni: waktu porak

Saat kita hendak mencairkan semua kebekuan tanpa takut comoohan
waktu mulai bersahabat dengan kita, ia tak lagi sinis

Sayang, tahukah kau betapa sayang itu sangat erat gengamannya dengan khawatir?
justru karena itulah kita merentangkan jarak dan membekukan waktu

agar aksi-reaksi kita memburai bersama cerita semesta diantara tasbih penghuni langit
kala sepertiga malam
temui aku tiap kali kau rindu
kita lebur sayang dan khawatir dalam satu wadah berasma:
               taat

kutunggu kau dalam sujudmu, biar Dia memerantarai
hingga lenyap segala sendu

itulah mengapa kau kugemakan: Sayang.

Semanggi Dua, 16 Oktober 2014; 01:16

(Sayang-B.EJ)

Senin, 13 Oktober 2014

Janji Pertemuan

Hari ini aku membuat janji pertemuan

Saat pagi tadi seorang tukang sampah mengangkut plastik hitam besar ke dalam gerobak reyot. Kiranya sudi mampir ke beranda rumah untuk mencicipi secangkir kopi instan panas dan beberapa cuil tempe goreng.
Tapi ia menolak, ia bilang akan lanjut berjalan memungut sampah-sampah manusia lalu mendepa peruntungan.

Hari ini aku membuat janji pertemuan

Saat waktu belum utuh di perempat jalan, sudah lama tukang buah sebelah warung lalapan yang buka selepas Maghrib, itu mengupas kulit melon. Tak tahulah, ini kepala melon ke berapa yang ia gunduli. Lalu kutanya, seberapa maniskah melon miliknya?
Katanya, semua manis hanya saja kadang hambar adalah salah satu pelarian dari raut kesialan.

Hari ini aku membuat janji pertemuan
Setelah sebelumnya bersua dengan dua Mamang penyembat gerobak

Hari ini

aku

membuat
janji pertemuan

Sebentar saja sesaat lebih dulu dari matahari yang menghunus ubun-ubun

Paling pelit dua rakaat bolehlah
akan kutanyakan pada Dia:

mengapa peruntungan dan kesialan bisa jalan bergandengan?



Ujung Dhuha, 13-10-14
(Janji Pertemuan-B.E.J)