“Allah selalu punya plan B untuk skenario kehidupan
yang diperankan oleh hambaNya. Itulah mengapa selalu ada kejutan dibalik tidak
terwujudnya sebuah rencana.”
Kata-kata
itulah yang seringkali terngiang di benak saya ketika saya hendak melakukan
suatu rencana yang tidak biasa. Layaknya sebuah mantra yang selalu menjadi
pengingat bagi saya bahwa tidak sepenuhnya manusia berhak mengatur
kehidupannya. Manusia hanya boleh bermimpi, hanya bisa berusaha, hanya berharap
dengan doa, dan sisanya faktor X kehendak Tuhanlah yang menentukan sesuatu itu
dapat terwujud atau tidak.
Hari
itu, Sabtu, 15 September 2012. Akhir pekan yang memang sudah ditunggu oleh
banyak orang dengan berjuta rencana
refreshing yang siap dilaksanakan. Begitu pula dengan saya, hari itu saya
berniat menghabiskan akhir pekan untuk menghirup oksigen yang sedikit berbeda
dari hari biasanya. Yap, destinasi kali ini adalah sebuah rumah sakit! Lebih
tepatnya, job saya kali ini adalah
menemani kawan saya untuk menjenguk seorang teman lamanya yang (kabarnya)
sedang dirawat inap di rumah sakit Saiful Anwar-Malang.
Kamipun
lepas landas setelah melaksanakan salat dhuhur langsung menuju RS Saiful Anwar
dengan menggunakan angkutan umum berinisial LDG. Sesampainya di pertigaan
supermarket Avia kami diturunkan tepat di depan
kantor PLN. Kemudian kami kembali memfungsikan kedua kaki kami untuk
merasakan padatnya aspal jalan. Setelah kami berhasil mencapai lapangan parkir
rumah sakit besar itu, saya kembali menanyakan kepastian dimana ruangan sang
pasien yang akan kami besuk itu berada kepada teman saya. Dengan tegas teman
saya menjawab, “Iya mbak! Aku yakin kok, menurut kabar w2w an ku sama ibunya di
FB. Dia itu dirawat di ruang dua kamar dua nomor dua puluh dua.” Okelah,
berbekal info singkat dan nada meyakinkan teman saya tersebut, saya beranikan
diri untuk menanyakan dimana letak ruangan tersebut kepada petugas resepsionis.
“Dari
sini, mbak lurus aja terus sampai mentok. Baru belok kanan!”, begitu beliau menjelaskan
saya langsung yakin bahwa ruangan yang kami cari tidaklah sulit. Baiklah,
setelah kami jalan sekitar 20 meter ternyata memang benar ada perempatan.
Akhirnya kami ambil kanan sesuai dengan petunjuk dari bapak resepsionis di
depan tadi. Sebagaimana semestinya rumah sakit, aktifitas yang tampak adalah
banyak para dokter muda lengkap dengan kostum jas putihnya hilir mudik
membicarakan sesuatu sambil membawa beberapa map ditangannya, ada juga pasien
yang duduk diatas kursi roda didorong oleh seorang lagi di belakangnya masih
berwajah pucat namun nampak sedikit sumringah, saya tebak dia hendak pulang
menyongsong rumah yang sudah lama ia tinggalkan untuk beralih di paviliun rumah
sakit ini. Beberapa keluarga pasien juga terlihat tidur-tiduran di teras paviliun,
wajah mereka sangat kusut seperti sudah berhari-hari tidak menyentuh air,
mungkin faktor pikiran dan tenaga mereka dalam mengurus keluarga yang sedang
dirawat inap disana.
Kami
terus berjalan mencari ruangan yang dihuni oleh pasien bernama Mirzania. Namun
tiba-tiba sebuah plangkat menunjukkan angka 12-24. Nah lho? Saya dan teman saya
jadi bingung. Mana mungkin kami mencari
ruang 2 di ruangan 12-24? Akhirnya kami pun kembali ke titik awal yakni,
perempatan koridor rumah sakit. Setelah sempat diam beberapa lama, karena
bingung akan bertanya pada siapa (maklum semua orang disini nampak sangat
sibuk). Akhirnya kami putuskan untuk kembali menelusuri jalan ruangan 12-24
hingga sebuah titik terang terlihat. Kami melihat petugas rumah sakit yang
sedang membersihkan sisa makanan pasien. Alhasil, kami bertanya kepada beliau
dimana letak ruangan dua kamar dua nomor dua puluh dua. Beliau malah bertanya
balik, apa penyakit yang diderita oleh pasien yang akan kami jenguk ini?
Setelah kami jawab seperlunya, beliau menjelaskan panjang lebar kali tinggi
hingga menghasilkan volume yang tidak saya mengerti satu pun maksudnya. Hahaha
Hanya
satu poin yang bisa saya tangkap, yakni kami harus kembali menuju perempatan
koridor kemudian belok kiri dan mencari dimana lift. Hanya itu. Akhirnya kami
kembali mengembara hingga menemukan sebuah lift dan meja resepsionis. Namun
lagi-lagi saya mengerutkan dahi. Apa benar ini tempatnya? Batin saya dalam
hati. “Balai Lactasi-Tempat Pemberian ASI Bayi”, petunjuk nama di papan itu
benar-benar terbaca jelas. Dengan ragu saya dan teman saya menghampiri meja
resepsionis yang ada di situ. Sembari saya membujuk teman saya agar ia mau
bertanya kepada petugas resepsionis yang kali ini bertitel seorang ibu dengan
wajah garang.
“Mau
jenguk siapa dik?”, tanya beliau berusaha ramah. “Saya mau jenguk pasien
bernama Mirzania di ruang dua kamar dua nomor dua puluh dua”, jawab teman saya
sedikit keder. “Bu Mirzania, usia berapa hari bayinya disini?”, si ibu
resepsionis nampak masih beruasaha sabar. “Masih sekolah bu, teman saya kok”,
mendengar jawaban teman saya kali ini si ibu garang terlihat shocked. “Apa nggak salah kamar dik?”,
tanya beliau memastikan. Haduh jadi salah paham begini ceritanya. “Jadi begini
bu, kami kesini ceritanya nyasar. Kami mencari pasien bernama Mirzania yang
menderita typus dan anemia, sudah dua
minggu dia dirawat di rumah sakit ini. Nah, kami berniat menjenguknya. Katanya
dia dirawat inap di ruang dua kamar dua nomor dua puluh dua”, jelas saya tdak
tahan melihat situasi yang agak genting ini terjadi. “Ooo, saya kira. Begini
dik, kalian jalan saja….” Si ibu resepsionis yang saya kira garang awalnya,
ternyata beliau dengan telaten menjelaskan kepada kami diman ruangan yang sudah
hampir sejam itu kami cari. Setelah kami berterimakasih kami langsung tancap
gas kembali ke paviliun yang ternyata letaknya tidak jauh dari tempat kami
bertanya pada bapak guru matematika (yang menjelaskan rute seperti menerangkan
rumus volume tabung dan ternyata beliau juga mneyesatkan) hahaha. Tapi ada
benarnya juga, dari keterangan yang diberikan bapak pembersih makanan tersebut
akhirnya kami bertemu dengan ibu garang yang telaten tersebut. Terimakasih
bapak-ibu. J
Kami
langsung menuju ke tempat yang dimaksud dan guess
what! Ternyata kamar pasien KOSONG! Saya yang sudah berfirasat tidak enak
memutuskan diam mengamati isi kamar yang sudah rapi dan bersih, sedangkan teman
saya seperti tidak dapat menerima kenyataan yang ada. Akhirnya kami pergi ke
ruang perawat setempat dan bertanya apakah benar pasien bernama Mirzania
pernaha dirawat di paviliun tersebut?
Setelah
beberapa perawat melihat data yang ada dan sempat bercakap-cakap pula. Alhasil
kami mendapatkan berita yang sangat mengujutkan. Yakni, pasien bernama Mirzania
tersebut telah pulang tiga hari yang lalu! OMG! Bukannya kami tidak mensyukuri bahwa
si pasien telah pulih dan diijinkan pulang, namun mengingat perjuangan mencari
letak ruangan tersebut yang sepertinya tidak setimpal dengan apa yang baru saja
diberitahukan perawat kepada kami adalah hal konyol yang dilakukan oleh dua
orang pelajar SMA lengkap dengan seragam sekolahnya berjalan tak tahu arah di
area rumah sakit.
Kami
berjalan menuju pintu keluar dalam diam kemudian menjelang keluar dari area resepsionis
utama rumah sakit kami tergelak, tertawa bersama-sama mengingat apa yang baru
saja terjadi. Saya dan teman saya kemudian saling berpandangan. Dan kami tahu
apa arti tatapan dalam diam tersebut. “Mau kemana kita sekarang? Mumpung sudah
terlanjur di luar!”
Jadwal
kami yang kosong dan waktu yang masih terlampau lama dari batas perijinan
keluar asrama membuat kami berinisiatif membajak sebuah angkot berinisial AG.
Dengan tujuan pemberhentian akhir yakni, terminal Gadang. Kami yang sesama
pendatang, bukan kera Ngalam asli justru sangat menikmati momen memakai jasa
transportasi umum dengan jarak jauh-dekat tarif sama. Toh, ini berarti kami bisa mencapai tempat pemberhentian terakhir
dengan terjangkau ditambah lagi diskon pelajar karena masih mengenakan seragam
sekolah lengkap.
Sepanjang
jalan saya berusaha menyimpan benar nama-nama jalan yang ada dalam memori otak
saya. Agar tidak mudah tersesat seperti yang dulu sering terjadi saat saya
masih baru menginjakkan kaki di bumi Arema ini. Ada pemandangan unik yang saya
temukan di jalan Prof Muh Yamin, yakni di sepanjang jalan ini banyak sekali penjual sepeda onthel. Mulai dari sepeda roda tiga
hingga sepeda roda satu, mulai dari sepeda fixie
hingga sepeda kumbang, semua ada disini. Sayang sekali, hari itu udara yang
sangat panas mengurungkan niat saya untuk menelusuri lebih jauh tempat
penjualan sepeda-sepeda itu.
Beranjak
dari jalan Prof Muh Yamin, kali ini saya menemukan berbagai macam barang loakan
yang terlihat masih bagus dipajang berjejer di pinggir jalan. Mulai dari kipas
angin hingga helm dan kacamata yang mungkin harganya relatif murah. Lagi-lagi
saya tidak bisa memastikan dengan detail bagaimana prosedur transaksi
barang-barang tersebut. Karena saya hanya mengamati dari balik kaca jendela AG.
Pemandangan semacam ini bisa anda temukan di jalan Sartono.
Saya
kembali mengamati keadaan dalam angkot, hari itu angkot yang kami tumpangi
memang agak longgar. Hanya ada saya, teman saya, seorang ibu dengan dua anaknya
yang satu masih balita, sedang yang satu lagi saya tebak sedang duduk di bangku
SD, dan yang pasti ada si sopir yang menjalankan kendali. Lamat-lamat saya
amati, suasana di dalam angkot yang kurang menarik kembali membawa imajinasi
saya terbang.
Ketika saya sadar bahwa
saya sudah berada di sebuah jalan yang sepertinya pernah saya lewati
sebelumnya, saya kembali mengorek kenangan yang ada dalam memori internal saya.
Aha, saya ingat! Jalanan ini pernah saya
lewati malam hari bersama kawan-kawan saya ketika kami kembali dari tadabbur
Ranu Kumbolo. Happy serum atau ingatan terhadap apa pun yang membuat kita
merasa lebih baik dan bahagia, terlintas begitu saja. Saat itu kami
membelah pekatnya jalan (yang akhirnya saya tahu itu adalah daerah Gadang)
sekitar pukul 22.30. Arus lalu lintas yang mulai sepi dari kendaraan cilik
seperti mobil dan sepeda motor kini diganti dengan kehadiran truk-truk barang dan
bus malam yang siap menggerus jalan beraspal ini menuju berbagai daerah. Saat
itu kami benar-benar buta arah, keadaan mata yang tinggal 40% daya tahannya,
ditambah kekuatan fisik yang mulai menuntut haknya untuk diistirahatkan, dan
lampu penerangan jalan yang remang-remang menambah lengkap alasan kami untuk
acuh dimana kami berada saat itu. Yang saya ingat, saya dan para kawan ranu
kombolo hanya ingin segera sampai rumah dan merebahkan punggung yang sudah
berteriak karena ditindih carrier.
Suara bising yang
menawarkan berbagai macam jasa transportasi menghentakkan saya kembali dalam
realitas. Ternyata kami sudah sampai di terminal Gadang. Saya melirik arloji,
pukul 14.15, masih terlalu cepat jika kami kembali ke asrama sekarang. Saya dan
teman saya yang memang tidak memiliki tujuan akan kemana akhirnya memutuskan
untuk naik bus. Dampit! Tujuan selanjutnya. Jangan tanya mau kemana dan mau
ngapain disana? Karena sesungguhnya kami belum memiliki jawaban untuk
pertanyaan itu. Satu hal yang bisa kami teriakkan jika ada orang yang berani
melontarkan pertanyaan itu pada kami, membunuh waktu! Hahaha.
Kami duduk terpisah dalam bus, kawan saya
duduk di dua baris lebih depan dari saya. Dan saya duduk bersebelahan dengan
seorang ibu kali ini. Tak lama setelah mesin bus menderu-deru kemudian melaju,
sang ibu disebelah saya bertanya “Mau kemana dik?”. “Dampit, bu”, jawab saya
tegas padahal sesungguhnya saya juga belum tahu mau kemana ini. “Ibu?”, Tanya
saya balik. “Turen”, jawabnya seraya tersenyum bersahabat. Saya gunakan
kesempatan emas ini bertanya banyak hal tentang daerah-daerah wisata yang ada
di Malang selatan kepada ibu itu, maklumlah beliau warga Ngalam asli. Saya
bertanya banyak hal dan si ibu menjawab dengan jelas dan rinci. Hingga
kehadiran kondektur menyela percakapan kami. “Karcis mbak! Turun mana?”, Tanya
seorang laki-laki berusia sekitar dua puluhan saat menyenggol bahu saya dengan
spidol yang ia bawa. “Dampit, dua!”, batin saya berusaha meyakinkan lagi apakah lisan
saya mengucapkan destinasi yang benar. “Enam ribu”, katanya kemudian. Segera
saya sodorkan beberapa lembar uang kertas. Mas-mas kondektur ini menatap saya
dengan heran. “Dua, jadinya dua belas ribu dik!”, ibu di sebelah saya segra
mengartikan tatapan heran sang kondektur. “Ooh”, ungkap saya ber-oh ria. Ya
bilang dong dari tadi kalau satu karcisnya enam ribu. Kan saya kira enam ribu
dua orang. Hahaha
Jalanan menuju kota
Dampit banyak berliku dan naik turun, mirip-mirip arena hot wheels, mobil-mobilan keren yang sering dimainkan oleh
berbagai macam kalangan. Di sepanjang jalan banyak saya lihat lading singkong
yang tandus, mungkin pengaruh dari tekanan suhu yang sangat tinggi jadi tanah
di sekitar daerah Bululawang dan Turen hanya cocok ditanami umbi-umbian.
Memasuki kawasan pabrik gula Krebet, nabati yang menancap pada tanah sudah
beralih jenis. Kanan-kiri saya banyak menemui pohon kelapa. It likes I’m going to go to the beach.
Lagi-lagi happy serum kembali
melalang jauh, saya ingat sekali beberapa bulan yang lalu saat saya mengunjungi
kota Blitar. Di sana saya dibawa berpetualang oleh seorang teman menuju tiga
pantai; pantai Pangi, pantai Tambakrejo, dan pantai pasetran Gondo Mayit. Dan
dari ketiga pantai tersebut saya paling suka yang terakhir. Pantai pasetran
Gondo Mayit-Blitar, Gondo mayit yang berarti bau mayat, dipilih sebagai nama
karena konon dahulu di pantai inilah sering ditemukan mayat para pejuang
kemerdekaan yang terdampar di bibir pantai.
Kami melewati kawasan bukit kapur yang gersang dan
tandus, kawasan hutan jati, jalan sempit menanjak dan belokan-belokan yang
tajam. Kemudian saya mulai dapat mengintip
hamparan pasir putih yang membingkai birunya ombak. Untuk mencapai
pantai Pasetran Gondo Mayit kami harus melewati pantai Tambakrejo kemudian
mendaki sebuah bukit yang dipenuhi tumbuhan bakau. Benar saja, setelah bersusah
payah kami mendaki tampaklah lautan yang memeluk erat pantai pasir putih yang
berkilauan terkena terik matahari. Saya dan teman saya langsung berlari
menambatkan rasa ingin tahu ini pada pantai yang kebetulan saat itu hanya ada
kami berdua sebagai penghuninya.
Kami pun langsung
membiarkan remah-remah pasir yang menyerupai kristal-kristal kecil ini
menjelajahi tiap jari kaki kami. Deburan ombak di lautan bergradasi biru,
hijau, hingga warna tosca yang menari
mampu menciptakan buih putih yang menyerupai gaun lembut membungkus sepanjang
tepian pantai. Rasa kagum akan ciptaan Sang Kuasa bertambah besar kadarnya saat
kami menambatkan pandangan pada karang-karang besar yang masih kokoh bertahan
meski dihantam kerasnya ombak. Lagi-lagi kami tak berhenti berdecak saat
melihat langit biru yang tampak menggantung sejengkal diatas kepala kami dengan
beberapa guratan awan putih yang berarak, menambah hikmat sabda alam hari itu.
Belum lagi saat kami disodori keunikan khas pantai ini, saat beberapa anak
kepiting berlarian kesana kemari. Langsung saja kami nikmati untuk bersenda
gurau, menangkap kepiting kecil tersebut kemudian melepaskannya kembali.
Bayangan indah sebuah
pantai antah berantah tersebut seketika hilang, saat bus berhenti di pasar
Turen. Ngetem sebentar, mencari
penumpang. Waktu menunjukkan pukul 14:40, saat ibu di sebelah saya berpamitan
turun. Saying sekali, saya lupa menanyakan di mana rumah beliau dan siapa nama
beliau. Kan, lumayan bisa nambah saudara baru. J
Huuuuung~ mesin bus
kembali menderu. Saya bersiap memakai kacamata pengamatan saya. Sebuah jembatan
dengan sungai deras di bawahnya, berhasil tertangkap mata saya. Aliran sungai
yang bersih banyak digunakan oleh masyarakat sekitar untuk MCK. Ada juga
sopir-sopir truk yang menundukkan kepala truknya kemudian mulai mencuci
kendaraan besarnya itu.
Roda bus terus berputar
mengalihkan setiap detail pemandangan yang tersaji. Kali ini saya melihat makam
umum gunung Leker, tempat pemakaman yang unik dimana letaknya memang dibiarkan
berada diatas bukit. Jadi siapa saja bisa melihatnya dengan leluasa jika
benar-benar sadar. Pukul 15:10 kami disambut oleh tulisan besar “SELAMAT DATANG
di KOTA DAMPIT”. Tikungan yang tajam, kendaraan besar yang berlalu lalang,
bukit-bukit yang membusungkan dada, hingga sawah-sawah yang membentang bebas
menjadi sebuah ingatan tersendiri jika suatu saat kami mendengar kata “Kota
Dampit”.
Sepuluh menit kemudian kami baru sadar bahwa
kami belum menjalankan kewajiban salat Asar. Saat dua remaja memutuskan untuk
turun di sebuah halte, kami memutuskan untuk menguntit mereka di belakang.
Mengingat kami tidak tahu benar di daerah ini dan dimana letak masjid atau mushola.
Akhirnya saya dan teman saya berjalan hingga menemukan dua orang ibu yang
nampak sedang bergosip ria. Beliau menjelaskan bahwa masjid terletak agak jauh
dari titik kami berdiri. “Masih sekian kilo lagi dekat pasar dampit”, terang
seorang ibu yang lebih muda. Kemudian kami menanyakan apakah tidak ada mushola
di sekitar daerah situ. Ibu-ibu itu menyarankan kami ke sebuah mushola dalam
perkampungan.
Alhasil setelah kami
berterimakasih, kami melenggang menyeberang jalan kemudian memasuki sebuah gang
yang menyimpan sebuah perkampungan kecil bertuliskan JL. Tumapel. Beberapa
aktifitas yang dilakukan para warga membuat saya benar-benar merasa beruntung
hidup di bumi pertiwi ini. Sesibuk apapun mereka, masih menyempatkan untuk
tersenyum pada orang asing yang lewat. Seorang bapak yang sibuk menyepet
mobilnya bersedia membuka maskernya dan menyapa kami ringan. “Monggo pak!”,
sambut kami. Ada pula, empat anak kecil
yang bermain sepak bola. Tertawa riang menikmati masa kecil mereka. Tertawalah
dik! Sebelum segebok tugas dan presentasi menunggumu di bangku sekolah yang
lebih tinggi.
Untuk mencapai mushola
yang dimaksud, kami harus melewati jalanan menanjak. Barulah kemudian sebuah
mushola kecil berwarna dasar biru bertuliskan “Mushola Al-Hikmah, Jalan
Demak-Dampit” terlihat. Kami bergegas melaksanakan salat agar bisa segera
menikmati keadaan lingkungan sekitar. Selesai salat, kami duduk merenung di
emperan mushola. Melihat bukit yang tampak seperti siluet diatas atap-atap
rumah penduduk. Jika waktu diputar ulang, kami benar-benar tidak menyangka akan
beranjangsana ke tempat ini. Terutama saya terus berdecak kagum dengan apa yang
saat itu terjadi. Bagaimana bisa tujuan menjenguk orang sakit tergantikan
dengan wisata tak terduga yang banyak mengajarkan kebijaksanaan? Campur tangan
Yang Maha Berkehendak memang dahsyat! Satu hal itu yang kemudian saya sadari.
Manusia hanya bisa berencana, berusaha, dan berdoa. Selanjutnya Tuhanlah yang
menentukan. J
B.E.J
16 September 2012; 09:01
orang-orang beruntung hidup dalam ketidaktahuan :)
BalasHapusKetidaktahuan yang mengantarkan pada kebijaksanaan :)
BalasHapus