" Wadah Perca-perca Mimpi Sebelum Terburai Melangit " (B.E.J.)

Minggu, 16 September 2012

Wisata Tak Terduga


     Allah selalu punya plan B untuk skenario kehidupan yang diperankan oleh hambaNya. Itulah mengapa selalu ada kejutan dibalik tidak terwujudnya sebuah rencana.”

            Kata-kata itulah yang seringkali terngiang di benak saya ketika saya hendak melakukan suatu rencana yang tidak biasa. Layaknya sebuah mantra yang selalu menjadi pengingat bagi saya bahwa tidak sepenuhnya manusia berhak mengatur kehidupannya. Manusia hanya boleh bermimpi, hanya bisa berusaha, hanya berharap dengan doa, dan sisanya faktor X kehendak Tuhanlah yang menentukan sesuatu itu dapat terwujud atau tidak.

            Hari itu, Sabtu, 15 September 2012. Akhir pekan yang memang sudah ditunggu oleh banyak orang dengan berjuta rencana refreshing yang siap dilaksanakan. Begitu pula dengan saya, hari itu saya berniat menghabiskan akhir pekan untuk menghirup oksigen yang sedikit berbeda dari hari biasanya. Yap, destinasi kali ini adalah sebuah rumah sakit! Lebih tepatnya,  job saya kali ini adalah menemani kawan saya untuk menjenguk seorang teman lamanya yang (kabarnya) sedang dirawat inap di rumah sakit Saiful Anwar-Malang.


            Kamipun lepas landas setelah melaksanakan salat dhuhur langsung menuju RS Saiful Anwar dengan menggunakan angkutan umum berinisial LDG. Sesampainya di pertigaan supermarket Avia kami diturunkan tepat di depan  kantor PLN. Kemudian kami kembali memfungsikan kedua kaki kami untuk merasakan padatnya aspal jalan. Setelah kami berhasil mencapai lapangan parkir rumah sakit besar itu, saya kembali menanyakan kepastian dimana ruangan sang pasien yang akan kami besuk itu berada kepada teman saya. Dengan tegas teman saya menjawab, “Iya mbak! Aku yakin kok, menurut kabar w2w an ku sama ibunya di FB. Dia itu dirawat di ruang dua kamar dua nomor dua puluh dua.” Okelah, berbekal info singkat dan nada meyakinkan teman saya tersebut, saya beranikan diri untuk menanyakan dimana letak ruangan tersebut kepada petugas resepsionis.

            “Dari sini, mbak lurus aja terus sampai mentok. Baru belok kanan!”, begitu beliau menjelaskan saya langsung yakin bahwa ruangan yang kami cari tidaklah sulit. Baiklah, setelah kami jalan sekitar 20 meter ternyata memang benar ada perempatan. Akhirnya kami ambil kanan sesuai dengan petunjuk dari bapak resepsionis di depan tadi. Sebagaimana semestinya rumah sakit, aktifitas yang tampak adalah banyak para dokter muda lengkap dengan kostum jas putihnya hilir mudik membicarakan sesuatu sambil membawa beberapa map ditangannya, ada juga pasien yang duduk diatas kursi roda didorong oleh seorang lagi di belakangnya masih berwajah pucat namun nampak sedikit sumringah, saya tebak dia hendak pulang menyongsong rumah yang sudah lama ia tinggalkan untuk beralih di paviliun rumah sakit ini. Beberapa keluarga pasien juga terlihat tidur-tiduran di teras paviliun, wajah mereka sangat kusut seperti sudah berhari-hari tidak menyentuh air, mungkin faktor pikiran dan tenaga mereka dalam mengurus keluarga yang sedang dirawat inap disana.

            Kami terus berjalan mencari ruangan yang dihuni oleh pasien bernama Mirzania. Namun tiba-tiba sebuah plangkat menunjukkan angka 12-24. Nah lho? Saya dan teman saya jadi bingung. Mana mungkin  kami mencari ruang 2 di ruangan 12-24? Akhirnya kami pun kembali ke titik awal yakni, perempatan koridor rumah sakit. Setelah sempat diam beberapa lama, karena bingung akan bertanya pada siapa (maklum semua orang disini nampak sangat sibuk). Akhirnya kami putuskan untuk kembali menelusuri jalan ruangan 12-24 hingga sebuah titik terang terlihat. Kami melihat petugas rumah sakit yang sedang membersihkan sisa makanan pasien. Alhasil, kami bertanya kepada beliau dimana letak ruangan dua kamar dua nomor dua puluh dua. Beliau malah bertanya balik, apa penyakit yang diderita oleh pasien yang akan kami jenguk ini? Setelah kami jawab seperlunya, beliau menjelaskan panjang lebar kali tinggi hingga menghasilkan volume yang tidak saya mengerti satu pun maksudnya. Hahaha

            Hanya satu poin yang bisa saya tangkap, yakni kami harus kembali menuju perempatan koridor kemudian belok kiri dan mencari dimana lift. Hanya itu. Akhirnya kami kembali mengembara hingga menemukan sebuah lift dan meja resepsionis. Namun lagi-lagi saya mengerutkan dahi. Apa benar ini tempatnya? Batin saya dalam hati. “Balai Lactasi-Tempat Pemberian ASI Bayi”, petunjuk nama di papan itu benar-benar terbaca jelas. Dengan ragu saya dan teman saya menghampiri meja resepsionis yang ada di situ. Sembari saya membujuk teman saya agar ia mau bertanya kepada petugas resepsionis yang kali ini bertitel seorang ibu dengan wajah garang.

            “Mau jenguk siapa dik?”, tanya beliau berusaha ramah. “Saya mau jenguk pasien bernama Mirzania di ruang dua kamar dua nomor dua puluh dua”, jawab teman saya sedikit keder. “Bu Mirzania, usia berapa hari bayinya disini?”, si ibu resepsionis nampak masih beruasaha sabar. “Masih sekolah bu, teman saya kok”, mendengar jawaban teman saya kali ini si ibu garang terlihat shocked. “Apa nggak salah kamar dik?”, tanya beliau memastikan. Haduh jadi salah paham begini ceritanya. “Jadi begini bu, kami kesini ceritanya nyasar. Kami mencari pasien bernama Mirzania yang menderita typus dan anemia, sudah dua minggu dia dirawat di rumah sakit ini. Nah, kami berniat menjenguknya. Katanya dia dirawat inap di ruang dua kamar dua nomor dua puluh dua”, jelas saya tdak tahan melihat situasi yang agak genting ini terjadi. “Ooo, saya kira. Begini dik, kalian jalan saja….” Si ibu resepsionis yang saya kira garang awalnya, ternyata beliau dengan telaten menjelaskan kepada kami diman ruangan yang sudah hampir sejam itu kami cari. Setelah kami berterimakasih kami langsung tancap gas kembali ke paviliun yang ternyata letaknya tidak jauh dari tempat kami bertanya pada bapak guru matematika (yang menjelaskan rute seperti menerangkan rumus volume tabung dan ternyata beliau juga mneyesatkan) hahaha. Tapi ada benarnya juga, dari keterangan yang diberikan bapak pembersih makanan tersebut akhirnya kami bertemu dengan ibu garang yang telaten tersebut. Terimakasih bapak-ibu. J

            Kami langsung menuju ke tempat yang dimaksud dan guess what! Ternyata kamar pasien KOSONG! Saya yang sudah berfirasat tidak enak memutuskan diam mengamati isi kamar yang sudah rapi dan bersih, sedangkan teman saya seperti tidak dapat menerima kenyataan yang ada. Akhirnya kami pergi ke ruang perawat setempat dan bertanya apakah benar pasien bernama Mirzania pernaha dirawat di paviliun tersebut?

            Setelah beberapa perawat melihat data yang ada dan sempat bercakap-cakap pula. Alhasil kami mendapatkan berita yang sangat mengujutkan. Yakni, pasien bernama Mirzania tersebut telah pulang tiga hari yang lalu! OMG! Bukannya kami tidak mensyukuri bahwa si pasien telah pulih dan diijinkan pulang, namun mengingat perjuangan mencari letak ruangan tersebut yang sepertinya tidak setimpal dengan apa yang baru saja diberitahukan perawat kepada kami adalah hal konyol yang dilakukan oleh dua orang pelajar SMA lengkap dengan seragam sekolahnya berjalan tak tahu arah di area rumah sakit.

            Kami berjalan menuju pintu keluar dalam diam kemudian menjelang keluar dari area resepsionis utama rumah sakit kami tergelak, tertawa bersama-sama mengingat apa yang baru saja terjadi. Saya dan teman saya kemudian saling berpandangan. Dan kami tahu apa arti tatapan dalam diam tersebut. “Mau kemana kita sekarang? Mumpung sudah terlanjur di luar!”

            Jadwal kami yang kosong dan waktu yang masih terlampau lama dari batas perijinan keluar asrama membuat kami berinisiatif membajak sebuah angkot berinisial AG. Dengan tujuan pemberhentian akhir yakni, terminal Gadang. Kami yang sesama pendatang, bukan kera Ngalam asli justru sangat menikmati momen memakai jasa transportasi umum dengan jarak jauh-dekat tarif sama. Toh, ini berarti kami bisa mencapai tempat pemberhentian terakhir dengan terjangkau ditambah lagi diskon pelajar karena masih mengenakan seragam sekolah lengkap.

            Sepanjang jalan saya berusaha menyimpan benar nama-nama jalan yang ada dalam memori otak saya. Agar tidak mudah tersesat seperti yang dulu sering terjadi saat saya masih baru menginjakkan kaki di bumi Arema ini. Ada pemandangan unik yang saya temukan di jalan Prof Muh Yamin, yakni di sepanjang  jalan ini banyak sekali penjual sepeda onthel. Mulai dari sepeda roda tiga hingga sepeda roda satu, mulai dari sepeda fixie hingga sepeda kumbang, semua ada disini. Sayang sekali, hari itu udara yang sangat panas mengurungkan niat saya untuk menelusuri lebih jauh tempat penjualan sepeda-sepeda itu.

            Beranjak dari jalan Prof Muh Yamin, kali ini saya menemukan berbagai macam barang loakan yang terlihat masih bagus dipajang berjejer di pinggir jalan. Mulai dari kipas angin hingga helm dan kacamata yang mungkin harganya relatif murah. Lagi-lagi saya tidak bisa memastikan dengan detail bagaimana prosedur transaksi barang-barang tersebut. Karena saya hanya mengamati dari balik kaca jendela AG. Pemandangan semacam ini bisa anda temukan di jalan Sartono.

            Saya kembali mengamati keadaan dalam angkot, hari itu angkot yang kami tumpangi memang agak longgar. Hanya ada saya, teman saya, seorang ibu dengan dua anaknya yang satu masih balita, sedang yang satu lagi saya tebak sedang duduk di bangku SD, dan yang pasti ada si sopir yang menjalankan kendali. Lamat-lamat saya amati, suasana di dalam angkot yang kurang menarik kembali membawa imajinasi saya terbang.

Ketika saya sadar bahwa saya sudah berada di sebuah jalan yang sepertinya pernah saya lewati sebelumnya, saya kembali mengorek kenangan yang ada dalam memori internal saya. Aha, saya ingat!  Jalanan ini pernah saya lewati malam hari bersama kawan-kawan saya ketika kami kembali dari tadabbur Ranu Kumbolo. Happy serum atau ingatan terhadap apa pun yang membuat kita merasa lebih baik dan bahagia, terlintas begitu saja. Saat itu kami membelah pekatnya jalan (yang akhirnya saya tahu itu adalah daerah Gadang) sekitar pukul 22.30. Arus lalu lintas yang mulai sepi dari kendaraan cilik seperti mobil dan sepeda motor kini diganti dengan kehadiran truk-truk barang dan bus malam yang siap menggerus jalan beraspal ini menuju berbagai daerah. Saat itu kami benar-benar buta arah, keadaan mata yang tinggal 40% daya tahannya, ditambah kekuatan fisik yang mulai menuntut haknya untuk diistirahatkan, dan lampu penerangan jalan yang remang-remang menambah lengkap alasan kami untuk acuh dimana kami berada saat itu. Yang saya ingat, saya dan para kawan ranu kombolo hanya ingin segera sampai rumah dan merebahkan punggung yang sudah berteriak karena ditindih carrier.

Suara bising yang menawarkan berbagai macam jasa transportasi menghentakkan saya kembali dalam realitas. Ternyata kami sudah sampai di terminal Gadang. Saya melirik arloji, pukul 14.15, masih terlalu cepat jika kami kembali ke asrama sekarang. Saya dan teman saya yang memang tidak memiliki tujuan akan kemana akhirnya memutuskan untuk naik bus. Dampit! Tujuan selanjutnya. Jangan tanya mau kemana dan mau ngapain disana? Karena sesungguhnya kami belum memiliki jawaban untuk pertanyaan itu. Satu hal yang bisa kami teriakkan jika ada orang yang berani melontarkan pertanyaan itu pada kami, membunuh waktu! Hahaha.

 Kami duduk terpisah dalam bus, kawan saya duduk di dua baris lebih depan dari saya. Dan saya duduk bersebelahan dengan seorang ibu kali ini. Tak lama setelah mesin bus menderu-deru kemudian melaju, sang ibu disebelah saya bertanya “Mau kemana dik?”. “Dampit, bu”, jawab saya tegas padahal sesungguhnya saya juga belum tahu mau kemana ini. “Ibu?”, Tanya saya balik. “Turen”, jawabnya seraya tersenyum bersahabat. Saya gunakan kesempatan emas ini bertanya banyak hal tentang daerah-daerah wisata yang ada di Malang selatan kepada ibu itu, maklumlah beliau warga Ngalam asli. Saya bertanya banyak hal dan si ibu menjawab dengan jelas dan rinci. Hingga kehadiran kondektur menyela percakapan kami. “Karcis mbak! Turun mana?”, Tanya seorang laki-laki berusia sekitar dua puluhan saat menyenggol bahu saya dengan spidol yang ia bawa. “Dampit, dua!”, batin  saya berusaha meyakinkan lagi apakah lisan saya mengucapkan destinasi yang benar. “Enam ribu”, katanya kemudian. Segera saya sodorkan beberapa lembar uang kertas. Mas-mas kondektur ini menatap saya dengan heran. “Dua, jadinya dua belas ribu dik!”, ibu di sebelah saya segra mengartikan tatapan heran sang kondektur. “Ooh”, ungkap saya ber-oh ria. Ya bilang dong dari tadi kalau satu karcisnya enam ribu. Kan saya kira enam ribu dua orang. Hahaha

Jalanan menuju kota Dampit banyak berliku dan naik turun, mirip-mirip arena hot wheels, mobil-mobilan keren yang sering dimainkan oleh berbagai macam kalangan. Di sepanjang jalan banyak saya lihat lading singkong yang tandus, mungkin pengaruh dari tekanan suhu yang sangat tinggi jadi tanah di sekitar daerah Bululawang dan Turen hanya cocok ditanami umbi-umbian. Memasuki kawasan pabrik gula Krebet, nabati yang menancap pada tanah sudah beralih jenis. Kanan-kiri saya banyak menemui pohon kelapa. It likes I’m going to go to the beach. Lagi-lagi happy serum kembali melalang jauh, saya ingat sekali beberapa bulan yang lalu saat saya mengunjungi kota Blitar. Di sana saya dibawa berpetualang oleh seorang teman menuju tiga pantai; pantai Pangi, pantai Tambakrejo, dan pantai pasetran Gondo Mayit. Dan dari ketiga pantai tersebut saya paling suka yang terakhir. Pantai pasetran Gondo Mayit-Blitar, Gondo mayit yang berarti bau mayat, dipilih sebagai nama karena konon dahulu di pantai inilah sering ditemukan mayat para pejuang kemerdekaan yang terdampar di bibir pantai.

Kami  melewati kawasan bukit kapur yang gersang dan tandus, kawasan hutan jati, jalan sempit menanjak dan belokan-belokan yang tajam. Kemudian saya mulai dapat mengintip  hamparan pasir putih yang membingkai birunya ombak. Untuk mencapai pantai Pasetran Gondo Mayit kami harus melewati pantai Tambakrejo kemudian mendaki sebuah bukit yang dipenuhi tumbuhan bakau. Benar saja, setelah bersusah payah kami mendaki tampaklah lautan yang memeluk erat pantai pasir putih yang berkilauan terkena terik matahari. Saya dan teman saya langsung berlari menambatkan rasa ingin tahu ini pada pantai yang kebetulan saat itu hanya ada kami berdua sebagai penghuninya.

Kami pun langsung membiarkan remah-remah pasir yang menyerupai kristal-kristal kecil ini menjelajahi tiap jari kaki kami. Deburan ombak di lautan bergradasi biru, hijau, hingga warna tosca yang menari mampu menciptakan buih putih yang menyerupai gaun lembut membungkus sepanjang tepian pantai. Rasa kagum akan ciptaan Sang Kuasa bertambah besar kadarnya saat kami menambatkan pandangan pada karang-karang besar yang masih kokoh bertahan meski dihantam kerasnya ombak. Lagi-lagi kami tak berhenti berdecak saat melihat langit biru yang tampak menggantung sejengkal diatas kepala kami dengan beberapa guratan awan putih yang berarak, menambah hikmat sabda alam hari itu. Belum lagi saat kami disodori keunikan khas pantai ini, saat beberapa anak kepiting berlarian kesana kemari. Langsung saja kami nikmati untuk bersenda gurau, menangkap kepiting kecil tersebut kemudian melepaskannya kembali.

Bayangan indah sebuah pantai antah berantah tersebut seketika hilang, saat bus berhenti di pasar Turen. Ngetem sebentar, mencari penumpang. Waktu menunjukkan pukul 14:40, saat ibu di sebelah saya berpamitan turun. Saying sekali, saya lupa menanyakan di mana rumah beliau dan siapa nama beliau. Kan, lumayan bisa nambah saudara baru. J

Huuuuung~ mesin bus kembali menderu. Saya bersiap memakai kacamata pengamatan saya. Sebuah jembatan dengan sungai deras di bawahnya, berhasil tertangkap mata saya. Aliran sungai yang bersih banyak digunakan oleh masyarakat sekitar untuk MCK. Ada juga sopir-sopir truk yang menundukkan kepala truknya kemudian mulai mencuci kendaraan besarnya itu.

Roda bus terus berputar mengalihkan setiap detail pemandangan yang tersaji. Kali ini saya melihat makam umum gunung Leker, tempat pemakaman yang unik dimana letaknya memang dibiarkan berada diatas bukit. Jadi siapa saja bisa melihatnya dengan leluasa jika benar-benar sadar. Pukul 15:10 kami disambut oleh tulisan besar “SELAMAT DATANG di KOTA DAMPIT”. Tikungan yang tajam, kendaraan besar yang berlalu lalang, bukit-bukit yang membusungkan dada, hingga sawah-sawah yang membentang bebas menjadi sebuah ingatan tersendiri jika suatu saat kami mendengar kata “Kota Dampit”.

  Sepuluh menit kemudian kami baru sadar bahwa kami belum menjalankan kewajiban salat Asar. Saat dua remaja memutuskan untuk turun di sebuah halte, kami memutuskan untuk menguntit mereka di belakang. Mengingat kami tidak tahu benar di daerah ini dan dimana letak masjid atau mushola. Akhirnya saya dan teman saya berjalan hingga menemukan dua orang ibu yang nampak sedang bergosip ria. Beliau menjelaskan bahwa masjid terletak agak jauh dari titik kami berdiri. “Masih sekian kilo lagi dekat pasar dampit”, terang seorang ibu yang lebih muda. Kemudian kami menanyakan apakah tidak ada mushola di sekitar daerah situ. Ibu-ibu itu menyarankan kami ke sebuah mushola dalam perkampungan.

Alhasil setelah kami berterimakasih, kami melenggang menyeberang jalan kemudian memasuki sebuah gang yang menyimpan sebuah perkampungan kecil bertuliskan JL. Tumapel. Beberapa aktifitas yang dilakukan para warga membuat saya benar-benar merasa beruntung hidup di bumi pertiwi ini. Sesibuk apapun mereka, masih menyempatkan untuk tersenyum pada orang asing yang lewat. Seorang bapak yang sibuk menyepet mobilnya bersedia membuka maskernya dan menyapa kami ringan. “Monggo pak!”, sambut kami.  Ada pula, empat anak kecil yang bermain sepak bola. Tertawa riang menikmati masa kecil mereka. Tertawalah dik! Sebelum segebok tugas dan presentasi menunggumu di bangku sekolah yang lebih tinggi.

Untuk mencapai mushola yang dimaksud, kami harus melewati jalanan menanjak. Barulah kemudian sebuah mushola kecil berwarna dasar biru bertuliskan “Mushola Al-Hikmah, Jalan Demak-Dampit” terlihat. Kami bergegas melaksanakan salat agar bisa segera menikmati keadaan lingkungan sekitar. Selesai salat, kami duduk merenung di emperan mushola. Melihat bukit yang tampak seperti siluet diatas atap-atap rumah penduduk. Jika waktu diputar ulang, kami benar-benar tidak menyangka akan beranjangsana ke tempat ini. Terutama saya terus berdecak kagum dengan apa yang saat itu terjadi. Bagaimana bisa tujuan menjenguk orang sakit tergantikan dengan wisata tak terduga yang banyak mengajarkan kebijaksanaan? Campur tangan Yang Maha Berkehendak memang dahsyat! Satu hal itu yang kemudian saya sadari. Manusia hanya bisa berencana, berusaha, dan berdoa. Selanjutnya Tuhanlah yang menentukan. J

B.E.J
16 September 2012; 09:01

2 komentar:

  1. orang-orang beruntung hidup dalam ketidaktahuan :)

    BalasHapus
  2. Ketidaktahuan yang mengantarkan pada kebijaksanaan :)

    BalasHapus