" Wadah Perca-perca Mimpi Sebelum Terburai Melangit " (B.E.J.)

Senin, 29 Juli 2013

Mencari Mahadewi

Setelah sekian lama kita sibuk mengurus hajat hidup tiada akhir, mari hari ini bertandang mengunjungi sahabat lama kita untuk mendekapnya, memeluknya, mencari kekuatan dari damainya, dan menumpahkan semua kerinduan tak bertuan ini padanya, Alam.
 Sore tadi kota Malang dan daerah sekitarnya memang basah diguyur hujan. Terbukti malam ini jalanan masih basah, tetes-tetes air pun masih menggelayut di ranting-ranting pohon perdu jalan raya kembar area jalan Bandung ini.  Sejuk. Mungkin hawa sejuk inilah yang membuat 6 armada sepeda motor berbaris rapi di depan masjid Al-Falah sebagai meeting point untuk berkumpul dan segera lepas landas.

 Kota Malang memang sedang sensitif  karena sering bersuhu ekstrim, walaupun wajahnya sering dingin, dia tetap se-menawan Drupadi. Kemolekkan bagian-bagian tubuhnya sedang dipertontonkan indah se-indah Dewi Sri. Daya tariknya begitu kuat dapat menghadirkan ide-ide cemerlang se-cemerlang Nyai Onotosoroh. Malam itu kami berniat mencari rupa-rupa Drupadi, Dewi Sri, maupun Nyai Ontosoroh dalam beberapa sisi alam kota Malang… 

Sejak tahun lalu kata-kata itu selalu menggaungi benak saya untuk menilik bagaimana keindahan salah satu sudut negeri ini, hingga senior saya mampu menganalogikannya bak lakon dewi-dewi hebat dalam sejarah pewayangan.

Dalam pewayangan disebutkan bahwa siklus Kosmogini memiliki Dewi Sri sebagai lambang aneka kesuburan, dalam siklus Lokapala Dewi Citrawati simbol segala keindahan, dalam siklus Ramayana Dewi Sinta tauladan puncak kesetiaan, dan dalam siklus Mahabarata Dewi Kuntinalibrata-lah guru semua keilmuan. Jika setiap siklus memiliki seorang dewi pemimpin dengan keahlian khas masing-masing karakter. Berarti di alam semesta ini pasti ada sang Mahadewi; pemimpin dan guru dari semua dewi-dewi hebat tersebut. Lagi-lagi, itu kesimpulan ngawur saya. Hahaha.

 Maka, dengan bantuan dan kebaikan para senior saya, malam itu saya pun berhasil bergabung dengan kelompok pencari mahadewi. Terkomposisi dari 6 laki-laki dan 4 perempuan, pukul 23.07 kami bersepuluh sepakat untuk memacu kendaraan dan segera memulai pencarian sang mahadewi.

Hamparan langit maha sempurna
Bertahta bintang-bintang angkasa
Namun satu bintang yang berpijar
Teruntai turun menyapa aku

Malam ini purnama memang sedang bahagia. Terbukti sinarnya mampu membuat siapapun yang melihatnya tersenyum-senyum sendiri. Langit cerah, bintang-bintang kecil tertawa riang sibuk bermain gobak sodor tak nampak gurat duka di wajah mereka bekas hujan tadi sore. Perjalanan kami pun berlanjut dengan naungan permainan langit yang ceria. Sesekali kami tengok kanan-kiri, rumah-rumah yang sepi , gang-gang kecil yang sunyi sinkron sekali deru mesin kendaraan yang melaju di jalanan yang lenggang.

Kami menepi sejenak untuk mengisi bahan bakar, bekal untuk stamina kendaraan roda dua kami yang sebentar lagi akan dipaksa untuk meraung di jalanan menanjak dan tikungan meliuk. Kami sempatkan juga untuk membeli bekal stamina makan sahur kami, mengingat sebagai muslim yang baik berpergian di bulan Ramadhan tidak boleh mengganggu kewajiban utama kami.

Puas mengantungi sepuluh nasi bungkus dan beberapa botol air mineral, kami pun capcus segera mengeratkan jaket dan masker melindungi diri agar dingin angin malam tak menembus pori-pori kulit. Pertigaan Nongkojajar sebagai gerbang pembuka untuk menemukan dimana sang mahadewi pun menyambut kami dengan damainya nyanyian binatang malam. Sangat dianjurkan turut bernyanyi dengan mereka untuk mengurangi rasa kantuk yang memang berhak menuntut di jam malam seperti saat ini. 

Sekitar satu setengah jam dari pertigaan Nongkojajar, kami menepi lagi untuk  meregangkan otot-otot yang tegang. Menyantap jajanan ringan bekal dari rumah sambil sedikit berpose untuk melemaskan otot dan syaraf tidak ada salahnya dilakukan agar tidak terpuruk oleh hawa dingin yang semakin menggigit.


Setelah kami rasa semua stamina para pencari mahadewi kembali fit, kami pun melanjutkan perjalanan. Mengingat waktu sudah menunjukkan pukul 02.00 dini hari. Perjalanan masih panjang, dan kami harus segera membunuh waktu agar bisa mendapatkan semua target yang kami inginkan.

Rasa bosan rupanya berkolaborasi dengan rasa kantuk di suasana yang damai dan tenang dari ingar bingar perkotaan. Sah-sah saja mengeluarkan permen sebanyak mungkin untuk merusak kolaborasi berbahaya itu.

Bau tanah basah berbaur dengan klorofil mulai mengusik indera penciuman kami. Ini artinya tak lama lagi kami akan memasuki wilayah perkampungan masyarakat Tengger yang memiliki berhektar-hektar lahan terasering yang bau tanamannya selalu dirindukan oleh siapa saja yang pernah bertandang kemari. Eits, sabar dulu! Sebentar lagi akan saya bocorkan kemana destinasi pencarian ini akan bermuara.

Tibalah kami di pos perizinan alias daerah Wonokitri. Wajarnya disini kami harus mengurus perizinan dan membayar karcis pengunjung seharga 6000 rupiah per armada sepeda motor. Namun, lain halnya dengan hari biasa. Malam ini pos perizinan kosong tak berpenghuni, para pengunjung yang biasa berjubel untuk mengantri membeli karcis atau sekadar menunggu rombongannya berkumpul, warga sekitar yang menjajakan barang-barang hangat seperti syal, topi rajut, dan sarung tangan pun tak jua nampak. Ah, kemana meraka pergi? Batin saya mulai tak tenang. Jangan-jangan, sang mahadewi sudah memulai atraksinya.

Selepas kami melewati gapura yang melambaikan spanduk dan umbul-umbul bertuliskan ‘Selamat Datang di Festival Yadnya Kasada 2013’ saya melihat pemandangan yang tidak etis. Para pekerja malam telah membongkar panggung festival dan dekorasinya. Bagaimana mungkin kami baru datang, padahal acara telah selesai? Batin saya mulai tidak terima.

Perayaaan Yadnya Kasada ini merupakan ritual adat suku Tengger yang diperingati pada hari ke-15 purnama di Bulan Kasada, atau Asadha menurut penanggalan Jawa kuno. Tradisi ini dilakukan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Sang Hyang Dewata dan para leluhur.

Suku Tengger yang bermukim di empat kabupaten yang mengelilingi Gunung Bromo memulai ritual adat ini sejak sehari yang lalu (Selasa, 230713) dengan melakukan mendak tirta atau mengambil air suci di sejumlah mata air di kawasan Gunung Bromo. Warga suku Tengger yang tinggal di Brang Kulon (seberang barat), yakni daerah Pasuruan dan Malang, mendak tirta di Gunung Widodaren. Sedangkan Brang Wetan (seberang timur), yaitu daerah Lumajang dan Probolinggo, mendak tirta di Ranu Pane dan Air Terjun Madakaripura. Air suci dari berbagai sumber tersebut dipergunakan untuk keperluan ritual di Pura Agung Poten yang berada di segara wedi Gunung Bromo. Puncak ritual upacara ini di kawasan Pura Agung Poten dan berakhir dengan melarung seluruh hasil bumi yang masyarakat Tengger miliki.

Itu yang sempat saya baca di sebuah sumber literasi sebelum berangkat melakukan pencarian ini. Lalu kenapa terop-terop ini sudah dibongkar? Bukankah acara ritual larung sesaji hasil bumi ini berlangsung dua hari? Wah, benak saya mulai kacau digantungi berbagai macam pertanyaan dan kemungkinan yang tidak-tidak.

“Semalam di sini masyarakat Tengger menggelar berbagai kesenian tradisional,” ujar senior saya mulai bisa membaca gelagat khawatir saya.
“Iya kah?” tanya saya mencari kepastian lebih lanjut.
“Yadnya Kasada kan digelar dua hari. Hari pertama warga Tengger menggelar pertunjukkan Tayuban, Reog, dan kesenian tradisional lainnya untuk menyambut para tamu yang hadir. Dan sekarang tujuan kita adalah ke Poten, pura agungnya. Di sana acara inti sedang dimulai,” mulut saya membentuk huruf ‘O’ sembari manggut-manggut memahami apa yang dikatakan senior saya ini.

Ada tutur kata terucap
Ada damai yang kurasakan
Bila sinarnya sentuh wajahku
Kepedihanku pun terhapuskan

            Mesin-mesin ajaib yang kami tumpangi mulai melolong bagai serigala ketiga belas yang kelaparan. Semakin naik menuju ke ketinggian semakin keras pula lolongan mesin-mesin ini. Gemertak suara rantai dan jeruji ban pun tak mau kalah menyuarakan jeritan mereka. Kami tiba di pertigaan yang mengarah ke Gunung Penanjakan, Bromo, dan jalur yang kami lewati sebelumnya tadi.

Malam semakin naik namun, kabut justru semakin turun. Di ketinggian 2770 Mdpl ini kami benar-benar dihadapkan dengan suasana dan nuansa mistis seperti dalam film-film western spesialisasi yang berbau-bau vampir. Salah seorang rekan malah sudah melalang buana jauh, membayangkan tegak berdirinya saat ini berada di sebuah hutan pedalaman Forks tempat syuting adegan film horor-romance, The Twilight Saga.

Hahaha, siapa melarang berimajinasi tingkat dewa di alam terbuka seperti saat ini? Toh, saat ini bukan ruang bukan tugas bukan laporan bukan sidang akhir bukan prosedur daftar ulang yang sedang menghimpit keberadaan kami. Tapi, alam beserta seluruh simfoninya. Alam yang selalu membebaskan jiwa-jiwa seperti kami yang sedang mengembara mencari hakikat hidup sebenarnya.   

Setelah mengecek kelengkapan jumlah personil, kami pun melaju kembali. Jalanan yang kami lewati saat ini bisa dikatakan berstatus awas. Jalanan yang curam dengan tikungan yang tajam disertai kabut yang terus menerus turun menghalangi penglihatan, membuat siapa saja pengendara motor dan personilnya menambah tingkat kefokusan dalam berkendara.

Ada sebuah rasa syukur terbetik saat kami berhasil melewati medan curam tersebut dengan keadaan sempurna seperti sedia kala. Duhai, belum berakhir sampai di sini rupanya kami masih harus mengarungi lautan pasir yang tersohor itu hingga tercipta sebuah film yang terinspirasi dari medan ini sekaligus menjadikannya tempat pengambilan adegan. Pasir Berbisik, sebuah film lawas yang dibintangi oleh Dian Sastro W.

Untuk menyelami segara wedi atau lautan pasir menggunakan sepeda motor ini diperlukan kemampuan cakap dan lihai dalam bermain stang setir motor tak lupa juga diperlukan pandangan yang jelas dalam melihat rute pasir yang akan dilewati jika tidak, alamat tubuh bisa berguling-guling di atas pasir ini seperti salah satu adegan dalam Pasir Berbisik.

Dari jauh pendar-pendar cahaya lampu mulai nampak berjejer. Suara tabuhan gamelan dan karawitan pun mulai terdengar. Tak ayal, ternyata jam tangan saya menunjukkan pukul tiga lebih dini hari. Kami mulai merayap menuju Pura Agung Poten untuk menyaksikan apa yang sedang diributkan di dalam sana.

            Pelataran Pura Agung Poten yang biasanya anggun dan tenang saat ini sudah disulap menjadi lahan rejeki oleh para pedagang lokal. Maka, keheranan saya tadi pun terjawab sudah ternyata semua manusia tumpah ruah di sini menyaksikan para dukun yang berkomat-kamit membaca mantra untuk sesajen yang akan di larung di kawah Gunung Bromo, ikon wisata andalan propinsi Jawa Timur ini. 
 
para dukun berkumpul di poten

            Acara utama berlangsung di mandala utama, di mana para dukun duduk bersila di depan dupa yang dibakar sambil menunduk khidmat melafalkan seluruh mantra dan doa-doa yang mereka yakini. Jika anda tahu, festival inilah yang selalu ditunggu oleh para turis. Entah itu turis mancanegara atau pun lokal seperti kami. Maka tak heran, jika sampai ada yang rela mendirikan tenda dan mencari sudut pojok untuk mencari kehangatan sembari menunggu matahari terbit yang akan menghantarkan rombongan dukun ini ke atas kawah nanti pagi.

ayam bakar = sesajen *eman
hasil bumi untuk dilarung

            Suara iring-iringan gamelan dan karawitan menjadikan prosesi ritual ini terkesan semakin sakral. Tak jarang pula, juru kamera menciptakan blitz dari kamera bawaannya untuk mengabadikan momen jarang seperti ini. Pukul 03.30, acara resmi dimulai. Dibuka dengan pembacaan sejarah masyarakat Tengger yakni, kisah Rara Anteng dan Joko Seger.

Konon, Roro Anteng dan Jaka Seger adalah sepasang suami-istri yang tidak memiliki keturunan. Karena itu mereka mengajukan permohonan kepada Hyang Widhi di bibir kawah Bromo. Mereka berjanji, bila mendapatkan anak, maka salah satu dari anak mereka akan dikurbankan ke kawah Bromo sebagai tanda terimakasih.

Ternyata permohonan Roro Anteng & Jaka Seger dikabulkan. Mereka dikaruniai 25 orang anak. Pasangan ini sangat berbahagia. Saking bahagianya, mereka lupa janji. Akibatnya, dari kawah Bromo muncul letusan-letusan berapi dan muncratan lahar, pada saat yang sama, cuaca pun menjadi sangat buruk.


Roro Anteng & Jaka Seger teringat akan janji mereka. Bersama dengan ke-25 anaknya, mereka mendatangi bibir kawah Bromo dan memohon ampunan atas kesalahan yang telah mereka perbuat. Keluarga ini terus berdoa di bibir kawah dalam cuaca mendung, gelap, disertai sambaran-sambaran halilintar.


Tak disangka, Raden Kusuma, salah satu anak suami-istri ini, tersambar petir hinga terjatuh ke dalam kawah Bromo. Setelah agak tenang dari kepanikan, terdengarlah gemuruh dari dalam kawah yang disertai suara Raden Kusuma, “Wahai, Ayah dan Ibuku serta saudara-saudaraku semua, hidupku sudah tentram dan aku sudah berkorban untuk kalian semua. Karena itu, hiduplah dengan rukun dan berbaktilah kepada Sang Hyang Widhi. Jangan memikirkan aku. Pesanku, kirimkanlah sebagian hasil ladang tanah ini ke kawah dan lakukanlah pada saat purnama pada bulan Kasada.


            Selagi Dhukun Pandita Sumal membacakan sejarah Tengger, kami going to the corner untuk melakukan ritual sahur kami. Menghangatkan tubuh dengan minuman hangat, mengisi perut dengan bungkusan nasi yang kami bawa dari bawah tadi, mencicipi jajanan bekal dari rumah menjadi lebih bermakna dengan gelak tawa dan kebersamaan.

merampal mantra

            Kami masih melanjutkan makan sahur kami, hingga dari dalam Poten terdengar Tetua dukun membacakan serentetan do’a yang kemudian disahuti oleh banyak suara di sekitarnya. Saya simpulkan itu seperti saat kaum muslim berjamaah sholat, sang imam membaca Al-Fatihah dan makmumnya menjawab amiiin di bagian akhir surat.


            Rembulan masih setia bertengger di langit barat tidak terganggu oleh kembang api dan mercon yang menghiasi langit timur untuk menambah semarak festival tahunan ini. Pagi semakin merosot, namun matahari masih enggan mengumbar pesonanya. Saat kami berbenah menyudahi ritual pribadi kami, ternyata lampu senter dan obor mulai berjalan keluar dar poten. Tanda rombongan dukun dan masyarakat Tengger bersiap melarung hasil bumi. Iring-iringan gamelan dan karawitan menyertai rombongan tersebut berjalan melintasi gelap jalan menuju kawah.

            Rombongan tersebut tak lama kemudian menjadi titik-titik oranye yang berjalan semakin ke atas. Obor dan senter berjalan beriringan menghiasi sudut-sudut gunung dewa kebaikan itu, Bromo yang konon diambil dari kata Brahma berarti dewa kebaikan menurut kepercayaan masyarakat Hindu.


            Kami segera beringsut untuk menunaikan ibadah Subuh kami. Suara mesin diesel meronta yang dipaksa untuk menghidupkan lampu-lampu neon di tenda para pedagang menjadi alunan tersendiri yang mengiringi sujud khusyuk kami di alam terbuka. Tuhan, kami berasal dari tanah, saat ini menatap tanah, menambatkan diri pada tanah, luruh pada tanah, dan akhirnya nanti akan kembali menjadi tanah. Sujud kami pagi ini benar-benar tanpa satir antara kami dan ke-aku-an kami.


            Pagi semakin merosot, namun sepertinya hari ini matahari absen hadir menyinari belahan bumi yang kami pijak ini. Mahadewi takkan hadir hari ini, batin saya kecewa. Mengobati kekecewaan yang bertunas ini, saya perlambat jalan menuju kawah. Para pencari mahadewi  lainnya sudah berada di depan bergegas segera mencapai pinggiran kawah. Saya bersama seorang kawan mengabadikan kesibukan yang ada. Menjepret apapun sekenanya, mencuri dengar percakapan bule dengan logat khas mereka, meneliti cara berkuda para wisatawan yang dibimbing sang pemilik.


            Dari bawah terlihat, pinggiran kawah Bromo semakin padat pengujung yang ingin tahu puncak acara Yadnya Kasodo 2013. Meskipun langit mendung dan matahari enggan terbit, setiap menit ada saja pengunjung yang memadati anak tangga kuning menuju kawah yag memiliki ukuran kurang lebih 800 meter (utara-selatan) dan 600 meter (timur-barat). Saya bersama seorang kawan segera menyusul rombongan lain yang telah berhasil mencapai atas.


            Alangkah terkejutnya saya, ketika melihat ternyata di pinggiran kawah-di dalam pagar pembatas banyak sekali masyarakat Tengger yang merapat ke bagian dalam kawah untuk memunguti sesajen yang di serahkan penduduk sekitar. Menurut keterangan dari senior saya, mereka adalah golongan masyarakat Tengger menengah bawah rela mengambil risiko untuk memungut seserahan berupa hewan ternak dan hasil bumi yang dilarung ke kawah oleh masyarakat Tengger golongan atas. Hingga detik ini, tercatat tidak ada satu pun kecelakaan seperti para pemungut ini tergelincir ke kawah yang panas di bawah sana atau kecelakaan fatal lainnya. 

menanti giliran untuk dilempar ke kawah

            Tapi demi apapun! Ini adalah misteri risiko: Apa yang membuat beberapa manusia bersedia membahayakan diri begitu banyak dan terus melakukannya, bahkan ketika meghadapi konsekuensi yang mengerikan?


lakon-lakon misteri risiko Yadna Kasodo 2013
            Dalam sebuah majalah bulanan yang saya baca, sebuah penelitian membuktikan bahwa rumus pengambilan risiko adalah dopamin. Zat ini membantu mengendalikan keterampilan motorik, juga mendorong manusia mencari dan mempelajari hal baru serta memproses emosi seperti kecemasaan dan ketakutan.


            Entah, zat dopamin orang-orang ini diproduksi terlampau banyak atau memang mereka tak mengenal kata mati. Yang jelas, “ketika suatu kegiatan menjadi rutinitas dan kebiasaan, maka seseorang akan membiarkan pertahanannya turun, terutama saat tak ada hal buruk yang terjadi selama beberapa waktu,” itu pendapat seorang psikolog evolusi di University of Michigan, Daniel Kruger, dan saya sepakat sekali dengan opini Kruger saat melihat realita masyarakat Tengger yang rela mberosot-mberosot  paha kawah panas ini.


bangga dengan hasil tangkapan

            Puas melihat pertunjukkan masyarakat Tengger menangkap sesajen dengan menggunakan jaring atau kain sarung kotak-kotaknya, kami berjalan sedikit mencari sudut yang lengang untuk menikmati panorama Yadnya Kasodo seutuhnya.


Mendung semakin pekat, angin semakin keras berhembus menerbangkan pasir-pasir lembut ke seluruh tubuh kami. Suasana mistis saat melihat segara wedi dinaungi langit mendung dan kepulan debu yang beterbangan. Sudah pukul 08.00 dan dingin masih setia membelenggu pori-pori kami. Sejenak berpose diantara dust in the wind membuat kami serasa berada di padang pasir di negeri nun jauh gersang di sana.


pose 'dust in the wind'

 Baiklah, mari kita pulang sekarang! Mengingat badan mulai lelah menuntut haknya untuk beristirahat. Lagipula Mahadewi memang tak akan datang kemari, batin saya kembali merutuk.   

Bukan hanya kabut yang mengiringi perjalanan pulang kami saaat ini, debu yang berterbangan pun menambah kewaspadaan kami dalam berkendara jika tidak mau menjadi artis Pasir Berbisik di segara wedi yang luasnya berhektar-hektar ini.


Berhati-hatilah, karena setelah berkendara cukup jauh dari arah Pura Agung Poten nantinya terdapat simpangan yang akan mengarah ke Probolinggo dan Tumpang-Malang. Kabut masih terus turun sambil menetaskan butir-butir gerimis. Tidak kelihatan hamparan bukit hijau yang menjulang di kanan-kiri lautan pasir ini. Sempurna! Mahadewi benar-benar tak berniat untuk turun ke bumi memberi sedikit kehangatan dan keindahan.


Semakin lama hawa dingin dan medan pasir yang stagnan ini membuat kantuk kembali menggelayut mata. Tak ada yang bisa dipandang di tengah kabut pekat seperti ini, membuat saya semakin bosan. Akhirnya, sesekali menoleh ke belakang mengecek kelengkapan jumlah personil rupanya dapat menghibur hati.


Wajah para pencari mahadewi  ini jelas tergurat rasa lelah namun ada aura terpancar dari wajah-wajah senior saya ini, mereka memiliki semangat yang tak akan padam sekalipun badai pasir menimbun mereka. Semangat yang hanya dimiliki sebagian kecil manusia modern saat ini, yang mau menyempatkan diri mengunjungi alam dan menilik khazanah budaya lokalnya, kemudian menetaskan sikap menghargai yang akan ditularkan lewat tutur kisah, status di social network, foto-foto dan aneka cara berbagi lainnya setelah perjalanan ini berakhir.

 
Alam raya pun semua tersenyum
Merunduk dan memuja hadirnya
Terpukau aku menatap wajahnya
Aku merasa mengenal dia

 

          Kami mulai merasakan sinar mentari meski terbatas hanya untuk menerangi pandangan dari kabut. “Bentar…sebentar…! Bisakah kita berhenti sebentar dan mengamati itu lamat-lamat?” tanya saya pada senior yang memegang kendali motor. “Ada apa?” tanyanya, belum menemukan apa yang membuat saya terkagum-kagum. Mungkin, inilah sosok mahadewi yang saya cari dalam perjalanan ini.  “Itu!” tunjuk saya ke arah pelangi yang melengkung indah bersandar di bukit-bukit hijau.


            Bergegas kami menghentikan perjalanan, untuk mengabadikan fenomena alam yang jarang ini. Kami tak rupa seperti anak kecil, senang sekali melihat pelangi yang alangkah indahmu-merah-kuning-hijau tapi bukan di langit yang biru melainkan di bukit yang hijau. 

menemukan mahadewi
            Ah, akhirnya kutemukan sosokmu yang lain wahai mahadewi. Benar nyata indahnya apalagi setelah mengingat perjuangan kami mengusir rasa bosan diterkam kabut dingin tadi. Kami berpose berlatar pelangi tersebut sambil tertawa melihat tingkah di antara kami yang konyol karena berkejar-kejaran dengan pelangi yang tampak dan cepat memudar warnanya, namun akan kembali lagi jika kami akan menyudahi sesi pemotretan. Puas menikmati tudung warna ciptaan Tuhan Yang Maha Indah itu, kami pamit dan bergegas melanjutkan perjalanan pulang.

Gerimis semakin marak mengguyur jalanan kami selanjutnya, namun tak lama. Saat kami melihat kemunculan bukit teletubbies. Bukit-bukit ini hijau tapi tak memiliki satu pohon pun di atasnya, maka dari itu gundukan ini dinamai bukit teletubbies karena mirip dengan bukit di serial anak-anak itu. Apa gunanya memabawa berat beban berisi kamera, jika tidak menyempatkan diri berpose di depan bukit lucu tersebut? Alhasil, jeprat-jepret dengan segala pose pun kami lakukan sambil hitung-hitung meregangkan otot-otot sejenak.

            Mesin motor kami mulai menderu berjuang menghapus jarak demi jarak yang akan berakhir di kediaman kami masing-masing. Pertigaan Ngadas, lewat. Pemukiman desa yang damai, juga kami lewati. Namun tak lama kemudian, hujan semakin menggila. Rombongan kami terbagi menjadi dua. Dua armada dari kami memutuskan untuk menepikan diri di oelataran rumah penduduk, berlindung dari derasnya hujan. Sedang empat armada lainnya memutuskan untuk menunggu di depan sana. 

            Hujan reda dan kami kembali membentuk satu formasi. Beristirahat sebentar di depan lokasi wisata Coban Pelangi, kami mulai berganti formasi susunan anggota mengingat tujuan rumah masing-masing agar sama-sama bisa mencapai rumah dengan aman, nyaman, dan cepat.

            Kami berpisah di daerah Tumpang dengan kecepatan laju masing-masing. Dengan senyum lelah namun sarat puas bertemu dengan  mahadewi dan segala komponennya hari ini. Terimakasih untuk segala kehangatan di tengah kabut dingin yang turun hari ini. Terimakasih untuk kebersamaan di sela tumpukan pasir yang sengaja diterbangkan bayu. Terimakasih untuk pelajaran untuk saling menghargai dan mensyukuri apa yang kita punya diterawang saat kita melihat perjuangan orang Tengger dengan wajah-wajah tangguh yang rela berebutan sesajen di paha kawah panas tadi.  Terimakasih mahadewi, semoga segala terima dan kasih ini akan berlanjut di kemudian hari.

Tapi entah di mana
Hanya hatiku mampu menjawabnya
Mahadewi resapkan nilainya
Pencarianku pun usai sudah




BEJ, 29 Juli 2013
16:08


              http:krjogja.com/m/read/181443/warga-tengger-rayakan-yadnya-kasada-2013.kr
              Sejarah Tokoh Perempuan dalam Pewayangan
              NGI edisi Juni 2013 ‘Everest YANG SESAK’
              Photos taken and edited by: Baihakki Ahmadz & Mutia Husna Avezahra 

2 komentar:

  1. nice story girl...,
    cocok nich jdi penulis novel..,
    ditunggu edisi berikutnya.., :)

    BalasHapus
  2. sometime, become younger and don't know what happen better than judgement in the mind. there I used to be

    mm have a wonderfull days :D

    BalasHapus