Setelah sekian lama
kita sibuk mengurus hajat hidup tiada akhir, mari hari ini bertandang
mengunjungi sahabat lama kita untuk mendekapnya, memeluknya, mencari kekuatan
dari damainya, dan menumpahkan semua kerinduan tak bertuan ini padanya, Alam.
Sore tadi kota Malang dan
daerah sekitarnya memang basah diguyur hujan. Terbukti malam ini jalanan masih
basah, tetes-tetes air pun masih menggelayut di ranting-ranting pohon perdu
jalan raya kembar area jalan Bandung ini.
Sejuk. Mungkin hawa sejuk inilah yang membuat 6 armada sepeda motor
berbaris rapi di depan masjid Al-Falah sebagai meeting point untuk berkumpul dan segera lepas landas.
“Kota Malang memang sedang sensitif karena sering bersuhu ekstrim, walaupun
wajahnya sering dingin, dia tetap se-menawan Drupadi. Kemolekkan bagian-bagian
tubuhnya sedang dipertontonkan indah se-indah Dewi Sri. Daya tariknya begitu
kuat dapat menghadirkan ide-ide cemerlang se-cemerlang Nyai Onotosoroh. Malam
itu kami berniat mencari rupa-rupa Drupadi, Dewi Sri, maupun Nyai Ontosoroh
dalam beberapa sisi alam kota Malang… ”
Sejak tahun lalu kata-kata itu selalu menggaungi benak saya untuk
menilik bagaimana keindahan salah satu sudut negeri ini, hingga senior saya
mampu menganalogikannya bak lakon dewi-dewi hebat dalam sejarah pewayangan.
Dalam pewayangan disebutkan bahwa siklus Kosmogini memiliki Dewi
Sri sebagai lambang aneka kesuburan, dalam siklus Lokapala Dewi Citrawati
simbol segala keindahan, dalam siklus Ramayana Dewi Sinta tauladan puncak
kesetiaan, dan dalam siklus Mahabarata Dewi Kuntinalibrata-lah guru semua
keilmuan. Jika setiap siklus memiliki seorang dewi pemimpin dengan keahlian
khas masing-masing karakter. Berarti di alam semesta ini pasti ada sang
Mahadewi; pemimpin dan guru dari semua dewi-dewi hebat tersebut. Lagi-lagi, itu
kesimpulan ngawur saya. Hahaha.
Maka, dengan bantuan dan
kebaikan para senior saya, malam itu saya pun berhasil bergabung dengan
kelompok pencari mahadewi. Terkomposisi
dari 6 laki-laki dan 4 perempuan, pukul 23.07 kami bersepuluh sepakat untuk
memacu kendaraan dan segera memulai pencarian sang mahadewi.
Hamparan langit maha sempurna
Bertahta bintang-bintang angkasa
Namun satu bintang yang berpijar
Teruntai turun menyapa aku
Malam ini purnama memang sedang bahagia. Terbukti sinarnya mampu
membuat siapapun yang melihatnya tersenyum-senyum sendiri. Langit cerah,
bintang-bintang kecil tertawa riang sibuk bermain gobak sodor tak nampak gurat
duka di wajah mereka bekas hujan tadi sore. Perjalanan kami pun berlanjut
dengan naungan permainan langit yang ceria. Sesekali kami tengok kanan-kiri,
rumah-rumah yang sepi , gang-gang kecil yang sunyi sinkron sekali deru mesin
kendaraan yang melaju di jalanan yang lenggang.
Kami menepi sejenak untuk mengisi bahan bakar, bekal untuk stamina
kendaraan roda dua kami yang sebentar lagi akan dipaksa untuk meraung di
jalanan menanjak dan tikungan meliuk. Kami sempatkan juga untuk membeli bekal
stamina makan sahur kami, mengingat sebagai muslim yang baik berpergian di
bulan Ramadhan tidak boleh mengganggu kewajiban utama kami.
Puas mengantungi sepuluh nasi bungkus dan beberapa botol air
mineral, kami pun capcus segera
mengeratkan jaket dan masker melindungi diri agar dingin angin malam tak
menembus pori-pori kulit. Pertigaan Nongkojajar sebagai gerbang pembuka untuk
menemukan dimana sang mahadewi pun
menyambut kami dengan damainya nyanyian binatang malam. Sangat dianjurkan turut
bernyanyi dengan mereka untuk mengurangi rasa kantuk yang memang berhak
menuntut di jam malam seperti saat ini.
Sekitar satu setengah jam dari pertigaan Nongkojajar, kami menepi
lagi untuk meregangkan otot-otot yang
tegang. Menyantap jajanan ringan bekal dari rumah sambil sedikit berpose untuk
melemaskan otot dan syaraf tidak ada salahnya dilakukan agar tidak terpuruk
oleh hawa dingin yang semakin menggigit.
Setelah kami rasa semua stamina para pencari mahadewi kembali fit, kami pun melanjutkan perjalanan. Mengingat
waktu sudah menunjukkan pukul 02.00 dini hari. Perjalanan masih panjang, dan
kami harus segera membunuh waktu agar bisa mendapatkan semua target yang kami
inginkan.
Rasa bosan rupanya berkolaborasi dengan rasa kantuk di suasana
yang damai dan tenang dari ingar bingar perkotaan. Sah-sah saja mengeluarkan
permen sebanyak mungkin untuk merusak kolaborasi berbahaya itu.
Bau tanah basah berbaur dengan klorofil mulai mengusik indera penciuman
kami. Ini artinya tak lama lagi kami akan memasuki wilayah perkampungan
masyarakat Tengger yang memiliki berhektar-hektar lahan terasering yang bau
tanamannya selalu dirindukan oleh siapa saja yang pernah bertandang kemari. Eits, sabar dulu! Sebentar lagi akan
saya bocorkan kemana destinasi pencarian ini akan bermuara.
Tibalah kami di pos perizinan alias daerah Wonokitri. Wajarnya
disini kami harus mengurus perizinan dan membayar karcis pengunjung seharga
6000 rupiah per armada sepeda motor. Namun, lain halnya dengan hari biasa.
Malam ini pos perizinan kosong tak berpenghuni, para pengunjung yang biasa
berjubel untuk mengantri membeli karcis atau sekadar menunggu rombongannya berkumpul,
warga sekitar yang menjajakan barang-barang hangat seperti syal, topi rajut,
dan sarung tangan pun tak jua nampak. Ah,
kemana meraka pergi? Batin saya mulai tak tenang. Jangan-jangan, sang mahadewi sudah memulai atraksinya.
Selepas kami melewati gapura yang melambaikan spanduk dan
umbul-umbul bertuliskan ‘Selamat Datang di Festival Yadnya Kasada 2013’ saya
melihat pemandangan yang tidak etis. Para pekerja malam telah membongkar
panggung festival dan dekorasinya. Bagaimana mungkin kami baru datang, padahal
acara telah selesai? Batin saya mulai tidak terima.
Perayaaan Yadnya Kasada ini merupakan ritual adat suku Tengger yang
diperingati pada hari ke-15 purnama di Bulan Kasada, atau Asadha menurut
penanggalan Jawa kuno. Tradisi ini dilakukan sebagai ungkapan rasa syukur
kepada Sang Hyang Dewata dan para leluhur.
Suku Tengger yang bermukim di empat kabupaten yang mengelilingi
Gunung Bromo memulai ritual adat ini sejak sehari yang lalu (Selasa, 230713)
dengan melakukan mendak tirta atau
mengambil air suci di sejumlah mata air di kawasan Gunung Bromo. Warga suku
Tengger yang tinggal di Brang Kulon
(seberang barat), yakni daerah Pasuruan dan Malang, mendak tirta di Gunung Widodaren. Sedangkan Brang Wetan (seberang timur), yaitu daerah Lumajang dan Probolinggo,
mendak tirta di Ranu Pane dan Air
Terjun Madakaripura. Air suci dari berbagai sumber tersebut dipergunakan untuk
keperluan ritual di Pura Agung Poten yang berada di segara wedi Gunung Bromo. Puncak ritual upacara ini di kawasan Pura
Agung Poten dan berakhir dengan melarung seluruh hasil bumi yang masyarakat
Tengger miliki.
Itu yang sempat saya baca di sebuah sumber literasi sebelum
berangkat melakukan pencarian ini. Lalu kenapa terop-terop ini sudah dibongkar?
Bukankah acara ritual larung sesaji hasil bumi ini berlangsung dua hari? Wah, benak saya mulai kacau digantungi
berbagai macam pertanyaan dan kemungkinan yang tidak-tidak.
“Semalam di sini masyarakat Tengger menggelar berbagai kesenian
tradisional,” ujar senior saya mulai bisa membaca gelagat khawatir saya.
“Iya kah?” tanya saya mencari kepastian lebih lanjut.
“Yadnya Kasada kan digelar dua hari. Hari pertama warga Tengger
menggelar pertunjukkan Tayuban, Reog, dan kesenian tradisional lainnya untuk
menyambut para tamu yang hadir. Dan sekarang tujuan kita adalah ke Poten, pura
agungnya. Di sana acara inti sedang dimulai,” mulut saya membentuk huruf ‘O’
sembari manggut-manggut memahami apa yang dikatakan senior saya ini.
Ada tutur kata terucap
Ada damai yang kurasakan
Bila sinarnya sentuh wajahku
Kepedihanku pun terhapuskan
Mesin-mesin ajaib yang kami tumpangi
mulai melolong bagai serigala ketiga belas yang kelaparan. Semakin naik menuju
ke ketinggian semakin keras pula lolongan mesin-mesin ini. Gemertak suara
rantai dan jeruji ban pun tak mau kalah menyuarakan jeritan mereka. Kami tiba
di pertigaan yang mengarah ke Gunung Penanjakan, Bromo, dan jalur yang kami
lewati sebelumnya tadi.
Malam semakin naik namun, kabut justru semakin turun. Di
ketinggian 2770 Mdpl ini kami benar-benar dihadapkan dengan suasana dan nuansa
mistis seperti dalam film-film western
spesialisasi yang berbau-bau vampir. Salah seorang rekan malah sudah melalang
buana jauh, membayangkan tegak berdirinya saat ini berada di sebuah hutan
pedalaman Forks tempat syuting adegan film horor-romance, The Twilight Saga.
Hahaha, siapa melarang berimajinasi tingkat dewa di alam terbuka
seperti saat ini? Toh, saat ini bukan
ruang bukan tugas bukan laporan bukan sidang akhir bukan prosedur daftar ulang
yang sedang menghimpit keberadaan kami. Tapi, alam beserta seluruh simfoninya.
Alam yang selalu membebaskan jiwa-jiwa seperti kami yang sedang mengembara
mencari hakikat hidup sebenarnya.
Setelah mengecek kelengkapan jumlah personil, kami pun melaju
kembali. Jalanan yang kami lewati saat ini bisa dikatakan berstatus awas.
Jalanan yang curam dengan tikungan yang tajam disertai kabut yang terus menerus
turun menghalangi penglihatan, membuat siapa saja pengendara motor dan
personilnya menambah tingkat kefokusan dalam berkendara.
Ada sebuah rasa syukur terbetik saat kami berhasil melewati medan
curam tersebut dengan keadaan sempurna seperti sedia kala. Duhai, belum
berakhir sampai di sini rupanya kami masih harus mengarungi lautan pasir yang
tersohor itu hingga tercipta sebuah film yang terinspirasi dari medan ini
sekaligus menjadikannya tempat pengambilan adegan. Pasir Berbisik, sebuah film lawas yang dibintangi oleh Dian Sastro
W.
Untuk menyelami segara wedi atau
lautan pasir menggunakan sepeda motor ini diperlukan kemampuan cakap dan lihai
dalam bermain stang setir motor tak lupa juga diperlukan pandangan yang jelas
dalam melihat rute pasir yang akan dilewati jika tidak, alamat tubuh bisa
berguling-guling di atas pasir ini seperti salah satu adegan dalam Pasir
Berbisik.
Dari jauh pendar-pendar cahaya lampu mulai nampak berjejer. Suara
tabuhan gamelan dan karawitan pun mulai terdengar. Tak ayal, ternyata jam
tangan saya menunjukkan pukul tiga lebih dini hari. Kami mulai merayap menuju
Pura Agung Poten untuk menyaksikan apa yang sedang diributkan di dalam sana.
Pelataran Pura Agung Poten yang
biasanya anggun dan tenang saat ini sudah disulap menjadi lahan rejeki oleh
para pedagang lokal. Maka, keheranan saya tadi pun terjawab sudah ternyata
semua manusia tumpah ruah di sini menyaksikan para dukun yang berkomat-kamit
membaca mantra untuk sesajen yang akan di larung di kawah Gunung Bromo, ikon
wisata andalan propinsi Jawa Timur ini.
![]() |
para dukun berkumpul di poten |
Acara utama berlangsung di mandala
utama, di mana para dukun duduk bersila di depan dupa yang dibakar sambil menunduk
khidmat melafalkan seluruh mantra dan doa-doa yang mereka yakini. Jika anda
tahu, festival inilah yang selalu ditunggu oleh para turis. Entah itu turis
mancanegara atau pun lokal seperti kami. Maka tak heran, jika sampai ada yang
rela mendirikan tenda dan mencari sudut pojok untuk mencari kehangatan sembari
menunggu matahari terbit yang akan menghantarkan rombongan dukun ini ke atas
kawah nanti pagi.
![]() |
ayam bakar = sesajen *eman |
![]() |
hasil bumi untuk dilarung |
Suara iring-iringan gamelan dan
karawitan menjadikan prosesi ritual ini terkesan semakin sakral. Tak jarang
pula, juru kamera menciptakan blitz
dari kamera bawaannya untuk mengabadikan momen jarang seperti ini. Pukul 03.30,
acara resmi dimulai. Dibuka dengan pembacaan sejarah masyarakat Tengger yakni,
kisah Rara Anteng dan Joko Seger.
“Konon, Roro Anteng dan Jaka Seger adalah sepasang suami-istri yang tidak
memiliki keturunan. Karena itu mereka mengajukan permohonan kepada Hyang Widhi
di bibir kawah Bromo. Mereka berjanji, bila mendapatkan anak, maka salah satu
dari anak mereka akan dikurbankan ke kawah Bromo sebagai tanda terimakasih.
Ternyata permohonan Roro Anteng & Jaka Seger
dikabulkan. Mereka dikaruniai 25 orang anak. Pasangan ini sangat berbahagia.
Saking bahagianya, mereka lupa janji. Akibatnya, dari kawah Bromo muncul
letusan-letusan berapi dan muncratan lahar, pada saat yang sama, cuaca pun
menjadi sangat buruk.
Roro Anteng & Jaka Seger teringat akan janji mereka.
Bersama dengan ke-25 anaknya, mereka mendatangi bibir kawah Bromo dan memohon
ampunan atas kesalahan yang telah mereka perbuat. Keluarga ini terus berdoa di
bibir kawah dalam cuaca mendung, gelap, disertai sambaran-sambaran halilintar.
Tak disangka, Raden Kusuma, salah satu anak suami-istri
ini, tersambar petir hinga terjatuh ke dalam kawah Bromo. Setelah agak tenang
dari kepanikan, terdengarlah gemuruh dari dalam kawah yang disertai suara Raden
Kusuma, “Wahai, Ayah dan Ibuku serta saudara-saudaraku semua, hidupku sudah
tentram dan aku sudah berkorban untuk kalian semua. Karena itu, hiduplah dengan
rukun dan berbaktilah kepada Sang Hyang Widhi. Jangan memikirkan aku. Pesanku,
kirimkanlah sebagian hasil ladang tanah ini ke kawah dan lakukanlah pada saat
purnama pada bulan Kasada.”
Selagi Dhukun Pandita Sumal
membacakan sejarah Tengger, kami going to
the corner untuk melakukan ritual sahur kami. Menghangatkan tubuh dengan
minuman hangat, mengisi perut dengan bungkusan nasi yang kami bawa dari bawah
tadi, mencicipi jajanan bekal dari rumah menjadi lebih bermakna dengan gelak
tawa dan kebersamaan.
![]() |
merampal mantra |
Kami masih melanjutkan makan sahur
kami, hingga dari dalam Poten terdengar Tetua dukun membacakan serentetan do’a
yang kemudian disahuti oleh banyak suara di sekitarnya. Saya simpulkan itu
seperti saat kaum muslim berjamaah sholat, sang imam membaca Al-Fatihah dan
makmumnya menjawab amiiin di bagian
akhir surat.
Rembulan masih setia bertengger di
langit barat tidak terganggu oleh kembang api dan mercon yang menghiasi langit
timur untuk menambah semarak festival tahunan ini. Pagi semakin merosot, namun
matahari masih enggan mengumbar pesonanya. Saat kami berbenah menyudahi ritual
pribadi kami, ternyata lampu senter dan obor mulai berjalan keluar dar poten.
Tanda rombongan dukun dan masyarakat Tengger bersiap melarung hasil bumi.
Iring-iringan gamelan dan karawitan menyertai rombongan tersebut berjalan melintasi
gelap jalan menuju kawah.
Rombongan tersebut tak lama kemudian
menjadi titik-titik oranye yang berjalan semakin ke atas. Obor dan senter
berjalan beriringan menghiasi sudut-sudut gunung dewa kebaikan itu, Bromo yang
konon diambil dari kata Brahma
berarti dewa kebaikan menurut kepercayaan masyarakat Hindu.
Kami segera beringsut untuk
menunaikan ibadah Subuh kami. Suara mesin diesel meronta yang dipaksa untuk
menghidupkan lampu-lampu neon di tenda para pedagang menjadi alunan tersendiri
yang mengiringi sujud khusyuk kami di alam terbuka. Tuhan, kami berasal dari
tanah, saat ini menatap tanah, menambatkan diri pada tanah, luruh pada tanah,
dan akhirnya nanti akan kembali menjadi tanah. Sujud kami pagi ini benar-benar
tanpa satir antara kami dan ke-aku-an kami.
Pagi semakin merosot, namun
sepertinya hari ini matahari absen hadir menyinari belahan bumi yang kami pijak
ini. Mahadewi takkan hadir hari ini,
batin saya kecewa. Mengobati kekecewaan yang bertunas ini, saya perlambat jalan
menuju kawah. Para pencari mahadewi lainnya sudah berada di depan bergegas segera
mencapai pinggiran kawah. Saya bersama seorang kawan mengabadikan kesibukan
yang ada. Menjepret apapun sekenanya, mencuri dengar percakapan bule dengan
logat khas mereka, meneliti cara berkuda para wisatawan yang dibimbing sang
pemilik.
Dari bawah terlihat, pinggiran kawah
Bromo semakin padat pengujung yang ingin tahu puncak acara Yadnya Kasodo 2013.
Meskipun langit mendung dan matahari enggan terbit, setiap menit ada saja
pengunjung yang memadati anak tangga kuning menuju kawah yag memiliki ukuran
kurang lebih 800 meter (utara-selatan) dan 600 meter (timur-barat). Saya
bersama seorang kawan segera menyusul rombongan lain yang telah berhasil
mencapai atas.
Alangkah terkejutnya saya, ketika melihat
ternyata di pinggiran kawah-di dalam pagar pembatas banyak sekali masyarakat
Tengger yang merapat ke bagian dalam kawah untuk memunguti sesajen yang di
serahkan penduduk sekitar. Menurut keterangan dari senior saya, mereka adalah
golongan masyarakat Tengger menengah bawah rela mengambil risiko untuk memungut
seserahan berupa hewan ternak dan hasil bumi yang dilarung ke kawah oleh
masyarakat Tengger golongan atas. Hingga detik ini, tercatat tidak ada satu pun
kecelakaan seperti para pemungut ini tergelincir ke kawah yang panas di bawah
sana atau kecelakaan fatal lainnya.
![]() |
menanti giliran untuk dilempar ke kawah |
Tapi demi apapun! Ini adalah misteri
risiko: Apa yang membuat beberapa manusia bersedia membahayakan diri begitu
banyak dan terus melakukannya, bahkan ketika meghadapi konsekuensi yang
mengerikan?
![]() |
lakon-lakon misteri risiko Yadna Kasodo 2013 |
Dalam sebuah majalah bulanan yang
saya baca, sebuah penelitian membuktikan bahwa rumus pengambilan risiko adalah dopamin. Zat ini membantu mengendalikan
keterampilan motorik, juga mendorong manusia mencari dan mempelajari hal baru
serta memproses emosi seperti kecemasaan dan ketakutan.
Entah, zat dopamin orang-orang ini diproduksi terlampau banyak atau memang
mereka tak mengenal kata mati. Yang jelas, “ketika suatu kegiatan menjadi
rutinitas dan kebiasaan, maka seseorang akan membiarkan pertahanannya turun,
terutama saat tak ada hal buruk yang terjadi selama beberapa waktu,” itu
pendapat seorang psikolog evolusi di University of Michigan, Daniel Kruger, dan
saya sepakat sekali dengan opini Kruger saat melihat realita masyarakat Tengger
yang rela mberosot-mberosot paha kawah panas ini.
![]() |
bangga dengan hasil tangkapan |
Puas melihat pertunjukkan masyarakat
Tengger menangkap sesajen dengan menggunakan jaring atau kain sarung
kotak-kotaknya, kami berjalan sedikit mencari sudut yang lengang untuk menikmati
panorama Yadnya Kasodo seutuhnya.
Mendung semakin pekat, angin semakin keras berhembus menerbangkan
pasir-pasir lembut ke seluruh tubuh kami. Suasana mistis saat melihat segara wedi dinaungi langit mendung dan kepulan
debu yang beterbangan. Sudah pukul 08.00 dan dingin masih setia membelenggu
pori-pori kami. Sejenak berpose diantara dust
in the wind membuat kami serasa berada di padang pasir di negeri nun jauh
gersang di sana.
![]() | ||
pose 'dust in the wind' |
Baiklah, mari kita pulang
sekarang! Mengingat badan mulai lelah menuntut haknya untuk beristirahat.
Lagipula Mahadewi memang tak akan
datang kemari, batin saya kembali merutuk.
Bukan hanya kabut yang mengiringi perjalanan pulang kami saaat
ini, debu yang berterbangan pun menambah kewaspadaan kami dalam berkendara jika
tidak mau menjadi artis Pasir Berbisik di segara
wedi yang luasnya berhektar-hektar ini.
Berhati-hatilah, karena setelah berkendara cukup jauh dari arah
Pura Agung Poten nantinya terdapat simpangan yang akan mengarah ke Probolinggo
dan Tumpang-Malang. Kabut masih terus turun sambil menetaskan butir-butir
gerimis. Tidak kelihatan hamparan bukit hijau yang menjulang di kanan-kiri
lautan pasir ini. Sempurna! Mahadewi benar-benar
tak berniat untuk turun ke bumi memberi sedikit kehangatan dan keindahan.
Semakin lama hawa dingin dan medan pasir yang stagnan ini membuat
kantuk kembali menggelayut mata. Tak ada yang bisa dipandang di tengah kabut
pekat seperti ini, membuat saya semakin bosan. Akhirnya, sesekali menoleh ke
belakang mengecek kelengkapan jumlah personil rupanya dapat menghibur hati.
Wajah para pencari mahadewi ini jelas tergurat rasa lelah namun ada aura
terpancar dari wajah-wajah senior saya ini, mereka memiliki semangat yang tak
akan padam sekalipun badai pasir menimbun mereka. Semangat yang hanya dimiliki
sebagian kecil manusia modern saat ini, yang mau menyempatkan diri mengunjungi
alam dan menilik khazanah budaya lokalnya, kemudian menetaskan sikap menghargai
yang akan ditularkan lewat tutur kisah, status di social network, foto-foto dan aneka cara berbagi lainnya setelah
perjalanan ini berakhir.
Alam raya pun semua tersenyum
Merunduk dan memuja hadirnya
Terpukau aku menatap wajahnya
Aku merasa mengenal dia
Kami mulai merasakan sinar mentari
meski terbatas hanya untuk menerangi pandangan dari kabut. “Bentar…sebentar…!
Bisakah kita berhenti sebentar dan mengamati itu lamat-lamat?” tanya saya pada
senior yang memegang kendali motor. “Ada apa?” tanyanya, belum menemukan apa
yang membuat saya terkagum-kagum. Mungkin, inilah sosok mahadewi yang saya cari dalam perjalanan ini. “Itu!” tunjuk saya ke arah pelangi yang
melengkung indah bersandar di bukit-bukit hijau.
Bergegas kami menghentikan
perjalanan, untuk mengabadikan fenomena alam yang jarang ini. Kami tak rupa
seperti anak kecil, senang sekali melihat pelangi yang alangkah
indahmu-merah-kuning-hijau tapi bukan di langit yang biru melainkan di bukit
yang hijau.
![]() |
menemukan mahadewi |
Ah,
akhirnya kutemukan sosokmu yang lain wahai mahadewi.
Benar nyata indahnya apalagi setelah mengingat perjuangan kami mengusir rasa
bosan diterkam kabut dingin tadi. Kami berpose berlatar pelangi tersebut sambil
tertawa melihat tingkah di antara kami yang konyol karena berkejar-kejaran
dengan pelangi yang tampak dan cepat memudar warnanya, namun akan kembali lagi
jika kami akan menyudahi sesi pemotretan. Puas menikmati tudung warna ciptaan
Tuhan Yang Maha Indah itu, kami pamit dan bergegas melanjutkan perjalanan
pulang.
Gerimis semakin marak mengguyur jalanan kami selanjutnya, namun
tak lama. Saat kami melihat kemunculan bukit teletubbies. Bukit-bukit ini hijau
tapi tak memiliki satu pohon pun di atasnya, maka dari itu gundukan ini dinamai
bukit teletubbies karena mirip dengan bukit di serial anak-anak itu. Apa
gunanya memabawa berat beban berisi kamera, jika tidak menyempatkan diri
berpose di depan bukit lucu tersebut? Alhasil, jeprat-jepret dengan segala pose
pun kami lakukan sambil hitung-hitung meregangkan otot-otot sejenak.
Mesin motor kami mulai menderu
berjuang menghapus jarak demi jarak yang akan berakhir di kediaman kami
masing-masing. Pertigaan Ngadas, lewat. Pemukiman desa yang damai, juga kami
lewati. Namun tak lama kemudian, hujan semakin menggila. Rombongan kami terbagi
menjadi dua. Dua armada dari kami memutuskan untuk menepikan diri di oelataran
rumah penduduk, berlindung dari derasnya hujan. Sedang empat armada lainnya
memutuskan untuk menunggu di depan sana.
Hujan reda dan kami kembali
membentuk satu formasi. Beristirahat sebentar di depan lokasi wisata Coban
Pelangi, kami mulai berganti formasi susunan anggota mengingat tujuan rumah masing-masing
agar sama-sama bisa mencapai rumah dengan aman, nyaman, dan cepat.
Kami berpisah di daerah Tumpang
dengan kecepatan laju masing-masing. Dengan senyum lelah namun sarat puas
bertemu dengan mahadewi dan segala komponennya hari ini.
Terimakasih untuk segala kehangatan di tengah kabut dingin yang turun hari ini.
Terimakasih untuk kebersamaan di sela tumpukan pasir yang sengaja diterbangkan
bayu. Terimakasih untuk pelajaran untuk saling menghargai dan mensyukuri apa
yang kita punya diterawang saat kita melihat perjuangan orang Tengger dengan
wajah-wajah tangguh yang rela berebutan sesajen di paha kawah panas tadi. Terimakasih mahadewi, semoga segala terima dan kasih ini akan berlanjut di kemudian
hari.
Tapi entah di mana
Hanya hatiku mampu menjawabnya
Mahadewi resapkan nilainya
Pencarianku pun usai sudah
BEJ, 29
Juli 2013
16:08
http:krjogja.com/m/read/181443/warga-tengger-rayakan-yadnya-kasada-2013.kr
Sejarah Tokoh Perempuan dalam Pewayangan
NGI edisi Juni 2013 ‘Everest
YANG SESAK’
Photos taken and edited by: Baihakki Ahmadz & Mutia Husna Avezahra
nice story girl...,
BalasHapuscocok nich jdi penulis novel..,
ditunggu edisi berikutnya.., :)
sometime, become younger and don't know what happen better than judgement in the mind. there I used to be
BalasHapusmm have a wonderfull days :D