"Di atas segalanya masih ada
mukjizat dan keajaiban yang tidak bisa kita duga. Maka sah-sah saja jika kita
yakin suatu saat akan ada mukjizat datang dan membuat tiap butir pasir segara
wedi mendesiskan mimpi-mimpi kita. Lalu Tuhan iba dan mengabulkan seluruh
harapan kita. Itu sangat mungkin terjadi."
Ah,
purnama penuh malam ini. Lingkaran cahaya yang selalu ditunggu kehadirannya
oleh bapak, ibu, adik-adikku, dan warga sekampung. Malam ini bulan sempurna
membentuk lingkaran penuh dan menerangi langit bumi Tengger. Semua bersuka cita
menyambut datangnya hari ini. Tua-muda, laki-laki-perempuan, wisatawan lokal
maupun mancanegara segera merapat memenuhi pelataran Pura Agung Poten. Biasanya
Pura ini terlihat nampak agung dan anggun di tengah lautan pasir Bromo, tidak
seperti saat ini. Semua orang tumpah ruah bergabung dalam khidmat peringatan Yadna
Kasada.
Peringatan ini memang
hanya dihelat sekali dalam setahun. Yakni pada saat purnama penuh seperti malam
ini. Tradisi masyarakat suku Tengger
untuk memperingati pengorbanan Raden Kusuma yang dikorbankan oleh bapak-ibunya,
Joko Seger dan Roro Anteng (nama Tengger sendiri diambil dari nama mereka), ke
dalam kawah Bromo pada Hyang Widhi ini kemudian dijadikan festival wisata
andalan oleh pemerintah daerah yang rupanya berhasil membuat banyak wisatawan
berbondong-bondong menciptakan blitz dari kamera bawaan mereka untuk
mengabadikan momen yang tak biasa ini.
"Tamala! Setelah
Dukun Pandhita Sumal selesai membaca sejarah Tengger tolong bawa pisang-pisang
ini ke sana," pinta ibu untuk membawa sesajen persembahan agar didoakan
oleh para sesepuh adat.
"Baik, Bu!"
jawabku kemudian kembali memfokuskan pikiran pada suatu hal.
"Dan jangan pernah kau coba
layu, Edelweissku! Wangimulah yang hanya akan merekahkan Purnama"
Tunggu dulu! Suara
siapa itu tadi? Apakah benar itu suara miliknya? Milik purnama kelima belas
yang selalu kurindukan. Ck! Tidak..tidak mungkin! Ini semua hanya
halusinasiku saja. Mana mungkin purnama membumi? Bukankah ia hanya pantas
berada di langit? Bersinar terang dan membuat iri semua penghuni langit malam. Ah,
purnama apa kabar kau jauh di sana?
***
"Tamala, tunggu!
Mau kemana?" cegahnya saat itu.
"Mau ke Ranu Pane,
mas. Manen Edelweiss," jawabku singkat berusaha untuk tidak
melanjutkan percakapan basa-basi ini, mengingat jarak dari rumahku di
perkampungan Tengger ke Ranu Pane, danau di kaki gunung Semeru itu cukup
memakan waktu dua jam berjalan kaki.
"Mau aku
antar?" Ah, dia ini memang tidak mengerti bahasa halus orang tidak
ingin diganggu.
"Ndak usah
repot-repot mas, makasih," ujarku masih berusaha menjaga sopan santun.
"Enggak,
sekalian aja aku mau ajak si Rambo buat merumput," kejarnya menuntut izin
dariku. Rambo adalah kuda jantan milik mas Fadli yang sudah seperti kekasih
hatinya. Kemanapun mas Fadli pergi di situ pasti ada Rambo, ke sekolah, ke
pasar, ke manapun ia pergi, meskipun kecuali ke kamar mandi.
"Hmm, baiklah.
Tapi jangan macem-macem lho ya!" kataku memperingatkan.
"Tenaaaang! Rambo
masih belum mau diduain kok," jawabnya ngasal.
***
Sebenarnya ladang
Edelweiss milik bapak tidak berada tepat di dekat danau berbentuk telinga yang
disebut Ranu Pane dan sering menjadi magnet alam bagi siapapun yang pernah
melihatnya. Ranu Pane memang menghadirkan daya magis tersendiri, menguarkan
ketenangan bagi siapa saja yang bisa menerima suguhan darinya.
"Mal, berhenti
sebentar ya! Kita lihat Ranu Pane dulu," pintanya kemudian mengikatkan
tali pengekang Rambo pada sebuah pohon dipinggir danau ini.
"Ranu Pane selalu
bisa menjadi tempat pulang," aku menoleh melihat muka mas Fadli yang
seakan sedang meluapkan apa yang ada dalam dirinya. Entah apa itu.
"Damaimu pasti
kurindukan. Desaumu akan selalu kuimpikan dalam malam-malam panjangku
berikutnya. Parasmu di bawah agung Semeru akan kusimpan rapi dalam kotak
pendar. Tak ada siapapun yang boleh membukanya kecuali dengan kunci sucimu.
Kunci itu kusimpan rapi dalam harmonimu. Dan akan kulebur dalam simfoni
ke-aku-anku. Terimakasih Pane!" ceracaunya tak karuan, jika tidak mau
kusebut aku yang tidak paham maksudnya.
"Sampean
ini ngomong opo toh mas? Aku ndak paham," ujarku kemudian
melangkah menuju ladang Edelweiss milik bapak.
"Tam! Tamala!
Tunggu!" teriaknya mengejarku sambil sedikit kesulitan menarik Rambo yang
rupanya sudah keasyikan merumput.
"Ya sudah toh
sana, mbok ya dilanjutkan berpuisinya. Ndak usah ngikutin aku!"
"Kadangkala,
manusia tidak butuh otak untuk memahami bahasa kalbu. Ia hanya perlu sedikit
membiarkan nuraninya bangun," kan apa kubilang ini orang memang
pujangga Tengger yang tidak ada saingannya untuk masalah ngeyel.
"Kalau begitu, mas
Fadli pasti bisa ngerti bahasa kalbu saya toh? Mas Fadli tunggu di sini
sebentar, saya mau manen Edelweiss dulu biar kita nanti pulangnya ndak
kemalaman," gertakku dengan tampang sedikit galak. Dia hanya diam tidak
mengelak juga tidak mengiyakan.
Edelweiss-edelweiss
ini memang sengaja bapak kembang biakkan dengan cara stek, setelah satu bulan
kemudian siap dipanen dan diberi pewarna serta dibentuk menyerupai boneka atau
bentuk-bentuk unik lainnya untuk dijual pada wisatawan yang mengunjungi kawah
Bromo. Kegiatan ini kami lakukan bergantian, kadangkala jika kegiatan sekolahku
sedang tidak banyak tugas dan ulangan maka akulah yang memanen bunga-bunga
abadi ini. Namun, jika kesibukan sekolah sedang berada dalam level klimaks maka
ibulah yang memanen kemudian memberi warna, membentuk, dan menjajakannya di
kawasan wisata gunung Bromo. Jika sedang sepi pengunjung, biasanya sasaran kami
berganti ke gunung Penanjakan. Tanah setinggi 2770 meter di atas permukaan laut
yang sering dikunjungi para wisatawan untuk menikmati salah satu pemandangan
matahari terbit terindah di bumi khatulistiwa.
Saat
pinggang terasa sedikit pegal, ketika memotongi tangkai Edelweiss kusempatkan
melirik apa yang sedang pujangga Tengger yang keras hati itu lakukan. Anteng
sekali dia. Apa dia tersinggung dengan kata-kataku tadi? Ah, masa
bodoh! Toh, tadi dia yang memaksa untuk ikut bersamaku. O..oo rupanya
dia sedang membaca buku. Serius sekali rautnya. Aku jadi geli sendiri melihat
tampangnya.
"Ayo
mas, kita pulang!" ajakku setelah semua bertangkai-tangkai Edelweiss
kugenggam.
"Hmm,
sudah selesaikah bahasa kalbumu bersuara?" ia beringsut dari buku
bacaannya kemudian menatap manik mataku lekat.
"Eh…,
sudah mas! Ayo jalan nanti kita kemalaman!" sergahku mengusir rasa
canggung akibat ulahnya yang tiba-tiba.
"Ayo
Rambo ganteng! Kita pulang bersama puteri Edelweiss", nadanya seolah
mengejek. Rambo yang diajak berbicara hanya menurut apa kata tuannya.
***
"Mal,
aku boleh tanya sesuatu nggak?"
tanyanya tiba-tiba saat berjalan melintasi bukit teletubbies yang tak kalah
tersohor di kalangan para wisatawan karena bentuknya yang memang tidak
ditumbuhi oleh sebatang pohon pun hingga membuatnya mirip seperti bukit yang
ada di serial anak-anak itu.
"Monggo
saja mas, asalkan saya bisa menjawab," responku.
"Apa
mimpi besarmu, Mal?" nadanya terdengar serius.
"Mimpi
apa toh, mas?" tanyaku tidak mengerti.
"Mimpi,
cita-cita, hal yang pingin kamu capai Mal," sepertinya dia memang serius
menanyakan hal ini. Aku terdiam. Jujur, aku belum tahu apa yang ingin aku capai
dalam hidup ini. Bisa sekolah sampai detik ini saja sudah bersyukur kok ndadak
minta aneh-aneh.
Aku
menggeleng kemudian melihat wajahnya. Dia menghentikan langkah kemudian
tersenyum. Rambo di belakangnya ikut berhenti mendadak lalu meringkik pelan,
mungkin ia kaget dengan rem mendadak milik tuannya.
"Aku
kasih contoh nih, aku pingin sekali jadi astronot, pingin ke bulan, melihat
langsung Yadna Kasada dari purnama yang selalu kita tunggu berkahnya. Aku
pingin jadi purnama itu, Mal. Purnama pertama dari Tengger," bukan
kata-katanya yang membuat aku serasa limbung tapi tatapan kesungguhan saat ia
mengucapkan kata-kata barusan yang membuatku tercengang.
"Sampean
itu edyaaaan[1],
mas! Mana bisa orang gunung kayak kita jadi orang hebat kayak gitu. Boro-boro
jadi purnama, bahkan jadi pungguk pun belum tentu bisa hidup," agak
keterlaluan memang kata-kataku, tapi kenyataannya memang itulah yang keluar
dari mulutku.
"Mal!
Tidak ada yang melarang seseorang untuk bermimpi. Bahkan Tuhan pun tidak
berhak. Hanya gabah padi yang hidup kemudian hilang ditiup angin, tanpa mimpi,
harapan, dan tujuan pencapaian. Aku boleh bermimpi jadi apa saja, kamu pun
boleh. Lalu kenapa tidak mulai kita ukir mimpi kita diantara butir lautan pasir
gunung Bromo ini," katanya sambil mengguncang bahuku pelan.
"Ini hidup nyata, mas! Bukan dongeng yang
selalu berakhir bahagia. Ini hidup yang keras, yang kuat boleh bermimpi
setinggi mungkin. Orang di luar sana boleh bermimpi menjadi insinyur, dokter,
pegawai negeri, bahkan presiden sekalipun. Tapi mereka bukan kita, yang lemah.
Yang bahkan hanya berpikir apa itu mimpi saja dilarang keras. Kita orang
Tengger yang hidup dalam kesederhanaan. Dari hasil menjual Edelweiss stek dan
jasa kuda untuk wisatawan. Mimpi-mimpi itu bukan untuk orang Tengger, bukan
untuk kita," aku bergetar mengucapkan kata-kata itu.
"Mal,
di atas segalanya masih ada mukjizat dan keajaiban yang tidak bisa kita duga.
Maka sah-sah saja jika kita yakin suatu saat akan ada mukjizat datang dan
membuat tiap butir pasir segara wedi mendesiskan mimpi-mimpi kita. Lalu
Tuhan iba dan mengabulkan seluruh harapan kita. Itu sangat mungkin
terjadi," nada suara mas Fadli mulai melunak.
"Sudah
mulai gelap, Mal. Ayo kita jalan lagi," ajaknya kemudian berlalu
meninggalkanku yang masih bungkam.
***
Adalah
Mas Fadli senior dua tingkat di atasku yang selalu menjadi bahan obrolan seisi
sekolah. Ada saja ulahnya dalam mengharumkan nama sekolah. Prestasi dalam
bidang akademik, olahraga, seni, dan, sastra semua ia raih. Ia seringkali
mendapat undangan ke kota Malang, Surabaya, dan Jakarta untuk menghadiri
berbagai acara siswa berprestasi, sayangnya kondisi ekonomi masyarakat Tengger,
termasuk keluarganya yang minim mengharuskan dia hidup dalam kesederhanaan dan
tidak bisa sering-sering menghadiri acara bergengsi seperti itu. Rambolah kawan
setia yang selalu menemaninya dalam memungut
lembar-lembar berharga. Jasa penyewaan kuda wisata untuk para wisatawan membuat
ia bisa bertahan di tingkat akhir sekolah menengah atas ini.
Mas
Fadli yang selalu dielu-elukan di bibir warga kampung. Anak lelaki yang pandai,
cekatan, terampil, dan tampan. Anak laki-laki yang selalu diharapkan kehadirannya
oleh para ibu. Mas Fadli, anak semata wayang yang hidup dengan ibu penderita stroke.
Semenjak ibu mas Fadli menderita stroke bapaknya lama pergi meninggalkan
kampung Tengger dan tak pernah kembali. Entah, kemana hati nuraninya sebagai
manusia. Hash¸ nurani! Sepertinya itulah yang memang harus aku bangunkan
untuk mulai menyusun pondasi mimpi. Benar kata mas Fadli. Ada mukjizat, ada
keajaiban dan biarkan Tuhan iba lalu mengabulkan seluruh harapan kita.
***
Purnama
masih setia bertengger di langit barat tidak terganggu oleh kembang api dan
mercon yang menghiasi langit timur untuk menambah semarak festival tahunan ini.
Pagi semakin merosot, namun matahari masih enggan mengumbar pesonanya. Lampu
senter dan obor mulai berjalan keluar dari poten membawa berbagai sesajen.
Tanda rombongan dukun dan masyarakat Tengger bersiap melarung hasil bumi ke
kawah Bromo. Iring-iringan gamelan dan karawitan menyertai rombongan tersebut
berjalan melintasi gelap jalan menuju kawah.
Aku,
ibu, bapak, serta kedua adikku segera bergabung dengan rombongan tersebut yang
tidak lama kemudian menjadi titik-titik oranye yang berjalan semakin ke atas.
Obor dan senter yang kami bawa berjalan beriringan menghiasi sudut-sudut gunung
dewa kebaikan, Bromo, yang konon diambil dari kata Brahma berarti
dewa kebaikan menurut kepercayaan masyarakat Hindu.
Ibu
dan bapak segera melarung sesajen yang berisi sesisir pisang, tiga butir telur,
dan hasil kebun seraya memanjatkan doa agar berkah dan keselamatan senantiasa
melimpah pada keluarga kami. Kedua adikku menangkupkan tangan ke depan dada
seraya mengamini doa mereka. Sedang aku, sudah lama tidak meyakini apa yang
setiap tahun menjadi tradisi masyarakat kami ini. Jadi kuputuskan untuk diam dan
menatap lekat-lekat purnama di atas. Berharap dimana pun ia berada, ia akan
tahu bahwa tahun ini mungkin adalah tahun terakhir aku melihatnya bertengger di
langit Tengger. Karena tahun selanjutnya aku memutuskan untuk mengambil akademi
keperawatan di salah satu kota besar di Jawa Timur.
***
"Aku
akan benar-benar menjadi purnama! Tunggu hadirku di hari kelima belas bulan
Kasada. Aku akan melihatmu dari atas sana," ujar mas Fadli dua tahun yang
lalu sambil mengedarkan amplop surat dengan kop bertuliskan Institut Aerotika
dan Astronotika Indonesia.
"Iyo
mas, pasti akan aku tunggu!" kataku tersenyum bangga padanya, mengingat
prestasi emas yang ia lakukan setelah melewati hari-hari berat pasca kepergian
ibunya ke alam fana.
"Purnama
pertama yang bertengger di langit Tengger!" ucapku lagi dengan nada sarat
gembira tak terkira.
"Dan
ingat satu hal, Tamala! Jangan pernah kau coba layu, Edelweissku! Wangimulah
yang hanya akan merekahkan purnama," kata-katanya itu yang terus
menggantung dan membebaniku hingga berhasil meletakkan bata-bata pertama mimpi
besarku ini.
*SELESAI*
Ciputat, 14-11-13/23:52
Belda Eldrit Janitra
Alhamdulillah, anugerah I lomba cerpen dwi mingguan dalam bidang sastra (Cerpen) FLP Ciputat angkatan X. Terima kasih atas doa dan dukungannya. Semoga kisah singkat di atas sesuai dengan apa yang anda harapkan. :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar