" Wadah Perca-perca Mimpi Sebelum Terburai Melangit " (B.E.J.)

Sabtu, 07 Desember 2013

Purnama Bertengger di Langit Tengger



"Di atas segalanya masih ada mukjizat dan keajaiban yang tidak bisa kita duga. Maka sah-sah saja jika kita yakin suatu saat akan ada mukjizat datang dan membuat tiap butir pasir segara wedi mendesiskan mimpi-mimpi kita. Lalu Tuhan iba dan mengabulkan seluruh harapan kita. Itu sangat mungkin terjadi."

Ah, purnama penuh malam ini. Lingkaran cahaya yang selalu ditunggu kehadirannya oleh bapak, ibu, adik-adikku, dan warga sekampung. Malam ini bulan sempurna membentuk lingkaran penuh dan menerangi langit bumi Tengger. Semua bersuka cita menyambut datangnya hari ini. Tua-muda, laki-laki-perempuan, wisatawan lokal maupun mancanegara segera merapat memenuhi pelataran Pura Agung Poten. Biasanya Pura ini terlihat nampak agung dan anggun di tengah lautan pasir Bromo, tidak seperti saat ini. Semua orang tumpah ruah bergabung dalam khidmat peringatan Yadna Kasada.
Peringatan ini memang hanya dihelat sekali dalam setahun. Yakni pada saat purnama penuh seperti malam ini. Tradisi  masyarakat suku Tengger untuk memperingati pengorbanan Raden Kusuma yang dikorbankan oleh bapak-ibunya, Joko Seger dan Roro Anteng (nama Tengger sendiri diambil dari nama mereka), ke dalam kawah Bromo pada Hyang Widhi ini kemudian dijadikan festival wisata andalan oleh pemerintah daerah yang rupanya berhasil membuat banyak wisatawan berbondong-bondong menciptakan blitz dari kamera bawaan mereka untuk mengabadikan momen yang tak biasa ini.
"Tamala! Setelah Dukun Pandhita Sumal selesai membaca sejarah Tengger tolong bawa pisang-pisang ini ke sana," pinta ibu untuk membawa sesajen persembahan agar didoakan oleh para sesepuh adat.
"Baik, Bu!" jawabku kemudian kembali memfokuskan pikiran pada suatu hal.
"Dan jangan pernah kau coba layu, Edelweissku! Wangimulah yang hanya akan merekahkan Purnama"
Tunggu dulu! Suara siapa itu tadi? Apakah benar itu suara miliknya? Milik purnama kelima belas yang selalu kurindukan. Ck! Tidak..tidak mungkin! Ini semua hanya halusinasiku saja. Mana mungkin purnama membumi? Bukankah ia hanya pantas berada di langit? Bersinar terang dan membuat iri semua penghuni langit malam. Ah, purnama apa kabar kau jauh di sana?
***

"Tamala, tunggu! Mau kemana?" cegahnya saat itu.
"Mau ke Ranu Pane, mas. Manen Edelweiss," jawabku singkat berusaha untuk tidak melanjutkan percakapan basa-basi ini, mengingat jarak dari rumahku di perkampungan Tengger ke Ranu Pane, danau di kaki gunung Semeru itu cukup memakan waktu dua jam berjalan kaki.
"Mau aku antar?" Ah, dia ini memang tidak mengerti bahasa halus orang tidak ingin diganggu.
"Ndak usah repot-repot mas, makasih," ujarku masih berusaha menjaga sopan santun.
"Enggak, sekalian aja aku mau ajak si Rambo buat merumput," kejarnya menuntut izin dariku. Rambo adalah kuda jantan milik mas Fadli yang sudah seperti kekasih hatinya. Kemanapun mas Fadli pergi di situ pasti ada Rambo, ke sekolah, ke pasar, ke manapun ia pergi, meskipun kecuali ke kamar mandi.
"Hmm, baiklah. Tapi jangan macem-macem lho ya!" kataku memperingatkan.
"Tenaaaang! Rambo masih belum mau diduain kok," jawabnya ngasal.
***
Sebenarnya ladang Edelweiss milik bapak tidak berada tepat di dekat danau berbentuk telinga yang disebut Ranu Pane dan sering menjadi magnet alam bagi siapapun yang pernah melihatnya. Ranu Pane memang menghadirkan daya magis tersendiri, menguarkan ketenangan bagi siapa saja yang bisa menerima suguhan darinya.
"Mal, berhenti sebentar ya! Kita lihat Ranu Pane dulu," pintanya kemudian mengikatkan tali pengekang Rambo pada sebuah pohon dipinggir danau ini.
"Ranu Pane selalu bisa menjadi tempat pulang," aku menoleh melihat muka mas Fadli yang seakan sedang meluapkan apa yang ada dalam dirinya. Entah apa itu.
"Damaimu pasti kurindukan. Desaumu akan selalu kuimpikan dalam malam-malam panjangku berikutnya. Parasmu di bawah agung Semeru akan kusimpan rapi dalam kotak pendar. Tak ada siapapun yang boleh membukanya kecuali dengan kunci sucimu. Kunci itu kusimpan rapi dalam harmonimu. Dan akan kulebur dalam simfoni ke-aku-anku. Terimakasih Pane!" ceracaunya tak karuan, jika tidak mau kusebut aku yang tidak paham maksudnya.
"Sampean ini ngomong opo toh mas? Aku ndak paham," ujarku kemudian melangkah menuju ladang Edelweiss milik bapak.
"Tam! Tamala! Tunggu!" teriaknya mengejarku sambil sedikit kesulitan menarik Rambo yang rupanya sudah keasyikan merumput.
"Ya sudah toh sana, mbok ya dilanjutkan berpuisinya. Ndak usah ngikutin aku!"
"Kadangkala, manusia tidak butuh otak untuk memahami bahasa kalbu. Ia hanya perlu sedikit membiarkan nuraninya bangun," kan apa kubilang ini orang memang pujangga Tengger yang tidak ada saingannya untuk masalah ngeyel.
"Kalau begitu, mas Fadli pasti bisa ngerti bahasa kalbu saya toh? Mas Fadli tunggu di sini sebentar, saya mau manen Edelweiss dulu biar kita nanti pulangnya ndak kemalaman," gertakku dengan tampang sedikit galak. Dia hanya diam tidak mengelak juga tidak mengiyakan.
Edelweiss-edelweiss ini memang sengaja bapak kembang biakkan dengan cara stek, setelah satu bulan kemudian siap dipanen dan diberi pewarna serta dibentuk menyerupai boneka atau bentuk-bentuk unik lainnya untuk dijual pada wisatawan yang mengunjungi kawah Bromo. Kegiatan ini kami lakukan bergantian, kadangkala jika kegiatan sekolahku sedang tidak banyak tugas dan ulangan maka akulah yang memanen bunga-bunga abadi ini. Namun, jika kesibukan sekolah sedang berada dalam level klimaks maka ibulah yang memanen kemudian memberi warna, membentuk, dan menjajakannya di kawasan wisata gunung Bromo. Jika sedang sepi pengunjung, biasanya sasaran kami berganti ke gunung Penanjakan. Tanah setinggi 2770 meter di atas permukaan laut yang sering dikunjungi para wisatawan untuk menikmati salah satu pemandangan matahari terbit terindah di bumi khatulistiwa.
Saat pinggang terasa sedikit pegal, ketika memotongi tangkai Edelweiss kusempatkan melirik apa yang sedang pujangga Tengger yang keras hati itu lakukan. Anteng sekali dia. Apa dia tersinggung dengan kata-kataku tadi? Ah, masa bodoh! Toh, tadi dia yang memaksa untuk ikut bersamaku. O..oo rupanya dia sedang membaca buku. Serius sekali rautnya. Aku jadi geli sendiri melihat tampangnya.
"Ayo mas, kita pulang!" ajakku setelah semua bertangkai-tangkai Edelweiss kugenggam.
"Hmm, sudah selesaikah bahasa kalbumu bersuara?" ia beringsut dari buku bacaannya kemudian menatap manik mataku lekat.
"Eh…, sudah mas! Ayo jalan nanti kita kemalaman!" sergahku mengusir rasa canggung akibat ulahnya yang tiba-tiba.
"Ayo Rambo ganteng! Kita pulang bersama puteri Edelweiss", nadanya seolah mengejek. Rambo yang diajak berbicara hanya menurut apa kata tuannya.
***
"Mal, aku boleh tanya sesuatu  nggak?" tanyanya tiba-tiba saat berjalan melintasi bukit teletubbies yang tak kalah tersohor di kalangan para wisatawan karena bentuknya yang memang tidak ditumbuhi oleh sebatang pohon pun hingga membuatnya mirip seperti bukit yang ada di serial anak-anak itu.
"Monggo saja mas, asalkan saya bisa menjawab," responku.
"Apa mimpi besarmu, Mal?" nadanya terdengar serius.
"Mimpi apa toh, mas?" tanyaku tidak mengerti.
"Mimpi, cita-cita, hal yang pingin kamu capai Mal," sepertinya dia memang serius menanyakan hal ini. Aku terdiam. Jujur, aku belum tahu apa yang ingin aku capai dalam hidup ini. Bisa sekolah sampai detik ini saja sudah bersyukur kok ndadak minta aneh-aneh.
Aku menggeleng kemudian melihat wajahnya. Dia menghentikan langkah kemudian tersenyum. Rambo di belakangnya ikut berhenti mendadak lalu meringkik pelan, mungkin ia kaget dengan rem mendadak milik tuannya.
"Aku kasih contoh nih, aku pingin sekali jadi astronot, pingin ke bulan, melihat langsung Yadna Kasada dari purnama yang selalu kita tunggu berkahnya. Aku pingin jadi purnama itu, Mal. Purnama pertama dari Tengger," bukan kata-katanya yang membuat aku serasa limbung tapi tatapan kesungguhan saat ia mengucapkan kata-kata barusan yang membuatku tercengang.
"Sampean itu edyaaaan[1], mas! Mana bisa orang gunung kayak kita jadi orang hebat kayak gitu. Boro-boro jadi purnama, bahkan jadi pungguk pun belum tentu bisa hidup," agak keterlaluan memang kata-kataku, tapi kenyataannya memang itulah yang keluar dari mulutku.
"Mal! Tidak ada yang melarang seseorang untuk bermimpi. Bahkan Tuhan pun tidak berhak. Hanya gabah padi yang hidup kemudian hilang ditiup angin, tanpa mimpi, harapan, dan tujuan pencapaian. Aku boleh bermimpi jadi apa saja, kamu pun boleh. Lalu kenapa tidak mulai kita ukir mimpi kita diantara butir lautan pasir gunung Bromo ini," katanya sambil mengguncang bahuku pelan.
 "Ini hidup nyata, mas! Bukan dongeng yang selalu berakhir bahagia. Ini hidup yang keras, yang kuat boleh bermimpi setinggi mungkin. Orang di luar sana boleh bermimpi menjadi insinyur, dokter, pegawai negeri, bahkan presiden sekalipun. Tapi mereka bukan kita, yang lemah. Yang bahkan hanya berpikir apa itu mimpi saja dilarang keras. Kita orang Tengger yang hidup dalam kesederhanaan. Dari hasil menjual Edelweiss stek dan jasa kuda untuk wisatawan. Mimpi-mimpi itu bukan untuk orang Tengger, bukan untuk kita," aku bergetar mengucapkan kata-kata itu.
"Mal, di atas segalanya masih ada mukjizat dan keajaiban yang tidak bisa kita duga. Maka sah-sah saja jika kita yakin suatu saat akan ada mukjizat datang dan membuat tiap butir pasir segara wedi mendesiskan mimpi-mimpi kita. Lalu Tuhan iba dan mengabulkan seluruh harapan kita. Itu sangat mungkin terjadi," nada suara mas Fadli mulai melunak.
"Sudah mulai gelap, Mal. Ayo kita jalan lagi," ajaknya kemudian berlalu meninggalkanku yang masih bungkam.
***
Adalah Mas Fadli senior dua tingkat di atasku yang selalu menjadi bahan obrolan seisi sekolah. Ada saja ulahnya dalam mengharumkan nama sekolah. Prestasi dalam bidang akademik, olahraga, seni, dan, sastra semua ia raih. Ia seringkali mendapat undangan ke kota Malang, Surabaya, dan Jakarta untuk menghadiri berbagai acara siswa berprestasi, sayangnya kondisi ekonomi masyarakat Tengger, termasuk keluarganya yang minim mengharuskan dia hidup dalam kesederhanaan dan tidak bisa sering-sering menghadiri acara bergengsi seperti itu. Rambolah kawan setia yang selalu menemaninya dalam memungut  lembar-lembar berharga. Jasa penyewaan kuda wisata untuk para wisatawan membuat ia bisa bertahan di tingkat akhir sekolah menengah atas ini.
Mas Fadli yang selalu dielu-elukan di bibir warga kampung. Anak lelaki yang pandai, cekatan, terampil, dan tampan. Anak laki-laki yang selalu diharapkan kehadirannya oleh para ibu. Mas Fadli, anak semata wayang yang hidup dengan ibu penderita stroke. Semenjak ibu mas Fadli menderita stroke bapaknya lama pergi meninggalkan kampung Tengger dan tak pernah kembali. Entah, kemana hati nuraninya sebagai manusia. Hash¸ nurani! Sepertinya itulah yang memang harus aku bangunkan untuk mulai menyusun pondasi mimpi. Benar kata mas Fadli. Ada mukjizat, ada keajaiban dan biarkan Tuhan iba lalu mengabulkan seluruh harapan kita.
***
Purnama masih setia bertengger di langit barat tidak terganggu oleh kembang api dan mercon yang menghiasi langit timur untuk menambah semarak festival tahunan ini. Pagi semakin merosot, namun matahari masih enggan mengumbar pesonanya. Lampu senter dan obor mulai berjalan keluar dari poten membawa berbagai sesajen. Tanda rombongan dukun dan masyarakat Tengger bersiap melarung hasil bumi ke kawah Bromo. Iring-iringan gamelan dan karawitan menyertai rombongan tersebut berjalan melintasi gelap jalan menuju kawah.
Aku, ibu, bapak, serta kedua adikku segera bergabung dengan rombongan tersebut yang tidak lama kemudian menjadi titik-titik oranye yang berjalan semakin ke atas. Obor dan senter yang kami bawa berjalan beriringan menghiasi sudut-sudut gunung dewa kebaikan, Bromo, yang konon diambil dari kata Brahma berarti dewa kebaikan menurut kepercayaan masyarakat Hindu.
Ibu dan bapak segera melarung sesajen yang berisi sesisir pisang, tiga butir telur, dan hasil kebun seraya memanjatkan doa agar berkah dan keselamatan senantiasa melimpah pada keluarga kami. Kedua adikku menangkupkan tangan ke depan dada seraya mengamini doa mereka. Sedang aku, sudah lama tidak meyakini apa yang setiap tahun menjadi tradisi masyarakat kami ini. Jadi kuputuskan untuk diam dan menatap lekat-lekat purnama di atas. Berharap dimana pun ia berada, ia akan tahu bahwa tahun ini mungkin adalah tahun terakhir aku melihatnya bertengger di langit Tengger. Karena tahun selanjutnya aku memutuskan untuk mengambil akademi keperawatan di salah satu kota besar di Jawa Timur.
***
"Aku akan benar-benar menjadi purnama! Tunggu hadirku di hari kelima belas bulan Kasada. Aku akan melihatmu dari atas sana," ujar mas Fadli dua tahun yang lalu sambil mengedarkan amplop surat dengan kop bertuliskan Institut Aerotika dan Astronotika Indonesia.
"Iyo mas, pasti akan aku tunggu!" kataku tersenyum bangga padanya, mengingat prestasi emas yang ia lakukan setelah melewati hari-hari berat pasca kepergian ibunya ke alam fana.
"Purnama pertama yang bertengger di langit Tengger!" ucapku lagi dengan nada sarat gembira tak terkira.
"Dan ingat satu hal, Tamala! Jangan pernah kau coba layu, Edelweissku! Wangimulah yang hanya akan merekahkan purnama," kata-katanya itu yang terus menggantung dan membebaniku hingga berhasil meletakkan bata-bata pertama mimpi besarku ini.
*SELESAI*

Ciputat, 14-11-13/23:52
Belda Eldrit Janitra

Alhamdulillah, anugerah I lomba cerpen dwi mingguan dalam bidang sastra (Cerpen) FLP Ciputat angkatan X. Terima kasih atas doa dan dukungannya. Semoga kisah singkat di atas sesuai dengan apa yang anda harapkan. :)  

 
  



[1] Edan: gila (jawa)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar