Nyalahan
We're Coming!
"Jembatan
akar jauhkah?" tanya saya sebelum meninggalkan rumah jaro, sebelumnya
pertanyaan ini telah saya lontarkan pada Doni dan ia menjawab
"Jauuuuuh". Kali ini saya tanyakan pada Sapri, dan ia menjawab
"Jauh. Mau lewat sana, Bel?" tanyanya. "Berapa kilo
kira-kira?" saya masih belum menyerah untuk melihat ikon Baduy yang
terkenal itu. "Ya, sekitar 16 kilo kalau sampai Cibeo". "Gimana,
Mas?" tanya saya meminta persetujuan pada senior. "Ya, ayo monggo aja".
Mendengar jawaban senior saya yang mantap, saya tidak ragu untuk mengangguk
mengiyakan pertanyaan Sapri. "Mumpung langit lagi baik!" jawab saya
semangat.
Here
We are! Petualangan menjelajahi kampung
Baduy yang tersohor pun segera dimulai. Kami berempat memulai trekking
setelah sebelumnya bernegosiasi masalah jarak dan waktu yang akan kami tempuh.
Memang kami tidak dikejar target harus sampai tujuan pukul berapa, namun ada
baiknya jika menyamakan persepsi terlebih dahulu. Karena bisa jadi dekat
menurut Sapri dan Doni, namun jauh menurut saya dan senior seperjalanan dan
bisa jadi jauh menurut mereka berdua, berarti lebih jauh lagi menurut kami.
Bismillahirrahmanirrahiim. Dengan menyertakan Dia di setiap langkah, kami pun bergegas
melangkah menemui nyalahan. Rute menuju jembatan akar berbeda dengan
rute menuju kampung Baduy Luar dan Dalam dari Kaduketu yakni kampung Baduy Luar
pertama yang akan pengunjung temui jika melalui gerbang "Selamat Datang di
Baduy" setelah turun dari Elf Ciboleger.
![]() |
Perkampungan masyarakat luar Baduy |
Sepanjang
jalan kami melewati perkampungan masyarakat luar Baduy, sesekali mereka menyapa
kami dengan menanyakan tujuan kami. Seringkali saya hanya tersenyum menanggapi
pertanyaan mereka, karena pertanyaan yang mereka ajukan menggunakan bahasa
Sunda. Maka, pertanyaan tersebut secara otomatis diambil alih oleh Sapri dan
Doni yang paham dengan maksud mereka.
Siang
masih terik dan matahari masih setia menemani perjalanan kami. Kira-kira dua kilometer
sudah kami berjalan namun tak kunjung menemukan rimba untuk dijelajahi.
"Lumayan juga ya, kampung di sini", sapa saya pada Sapri dan Doni
karena dari tadi kami berjalan dalam sunyi. "Iya, biasanya kalau
beruntung. Kamu bisa naik ojek buat ke nyalahan", jawab Sapri
tak mengganggu langkah kaki telanjangnya. "Nah, itu dia! Aku merasa
ditipu, masa dari tadi ada motor sliweran tapi kita jalan kaki?" ujar
saya agak sewot. "Sekarang lagi nggak bisa ngojek, soalnya di depan sana
ada perbaikan jalan", kali ini ganti Doni yang menanggapi. "Lagipula,
dengan jalan kaki akan lebih terasa feel trekkingnya daripada
ngojek. Ngojek kan di Ciputat ada, ngapain musti jauh-jauh ke Baduy buat
ngojek? Hahaha", senior saya tak mau kalah meredam rasa sewot saya.
![]() |
Ngapain musti jauh-jauh ke Baduy buat ngojek? |
Jadilah,
dengan perasaan enteng dan sudah tidak tertipu saya melanjutkan langkah sambil
sesekali mengamati pematang sawah dengan latar lanskap bukit-bukit nun di sana.
Sebuah terapi untuk mata yang tiap hari hanya menyadapi kepadatan kota. Ternyata
benar apa yang dikatakan Doni, beberapa meter setelah kami meninggalkan
perkampungan masyarakat luar Baduy, ada perbaikan jalan berupa pemasangan
batu-batu untuk meratakan jalan yang seringkali menjadi becek dan berlumpur
jika hujan turun. Saya berdecak tanpa henti saat kaki Sapri dan Doni melewati
batu-batu cadas itu dengan lihai, bahkan mereka sempat menyapa ramah
pekerja-pekerja yang mengerjakan konstruksi jalan tersebut. Bolehlah saya sebut
kekuatan kaki mereka luar biasa meskipun itu timbul karena kebiasaan mereka
berjalan jauh di segala medan tanpa alas kaki.
Akhirnya
setelah sekitar 45 menit berjalan, tibalah kami di Gerendeng, kampung pertama
Baduy Luar. Oh tidak! Jangan terburu ingin sampai di jembatan akar,
karena kami masih harus berjalan lagi menembus hutan dan melewati satu kampung
bernama Batara. Berbicara tentang Batara saya teringat tentang laporan
observasi saya hasil perjalanan ke Baduy bulan lalu.
Jika
banyak orang yang bertanya mengenai agama dan kepercayaan masyarakat Baduy
maka, inilah jawabannya. Masyarakat Baduy memegang kepercayaan Sunda Wiwitan yakni,
meyakini adanya Allah sebagai Guriang Mangtua atau pencipta alam semesta
dan melaksanakan kehidupan sesuai ajaran nabi Adam yang dipercaya sebagi
leluhur mereka. Mereka tidak melakukan kewajiban rukum Islam dalam beribadah
sebagaimana umat muslim yang mengakui Allah SWT sebagai Tuhannya.
Masyarakat
suku Baduy juga mengenal Batara Tunggal sebagai penguasa bumi dan langit. Konsep
Batara Tunggal merupakan konsep ketuhanan dalam religi yang bersifat monotheisme,
suatu konsep kepercayaan perkembangan tertua dalam sejarah kebudayaan manusia.
Dasar-dasar kepercayaan masyarakat Baduy berasal dari kepercayaan jauh sebelum
Islam masuk ke Indonesia, yakni suatu kepercayaan animistis-meskipun dalam
praktek sehari-hari juga terlihat adanya pengaruh agama Hindu atau Buddha.
Inti
dari beberapa cuplikan dua paragraf di atas adalah Orang Baduy memang tidak
menganut agama Islam sebagaimana apa yang dianut oleh mayoritas masyarakat
Indonesia namun dalam norma adat yang mereka percaya dan pegang teguh sejak
zaman leluhur mereka dahulu, orang Baduy tidak diperkenankan membunuh, mencuri,
berdusta, mabuk-mabukan, berpakaian mewah, tidur di ranjang empuk. Tidak
diperbolehkan pula menari, menyanyi, dan menikmati berbagai macam kesenangan
lainnya.
Memang
ada hukuman tertentu yang akan dijatuhkan kepada mereka jika melanggar aturan
adat, mulai dari diperingatkan oleh jaro (ketua adat) setempat hingga
dikeluarkan dari Baduy Dalam, jika pelanggar merupakan masyarakat Baduy Dalam.
Namun, yang membuat saya salut adalah mereka tulus dan ridho melakukan semua
norma yang telah dijunjung tinggi sedari dulu. Bahkan, tidak ada niatan untuk
mencuri-curi dan memanupulasi peraturan mereka sebagaimana yang banyak terjadi
di tengah masyarakat kita saat ini. Rupanya tulus dan ridho, itulah yang belum
kita miliki. Atau mungkin, sudah kita miliki namun belum kita terapkan hingga
belum terjadi harmoni dalam masyarakat kita saat ini.
Perkampungan
Baduy Luar bernama Batara ternyata bukan merupakan kampung yang besar, saat
kami melewatinya pun terasa hening dan sepi. Sepertinya semua penghuni sedang
berladang, sebagaimana mata pencaharian mereka sehari-hari. Maka dengan ringan
kaki kami melangkah dan segera meninggalkan perkampungan yang mengambil nama
salah satu Dewa kepercayaan Baduy tersebut, Batara Tunggal.
Jika
dibuat perbandingan, tanjakan yang kami lewati ini berbanding jauh dengan jalan
datar. 4:1 mungkin begitu saya membuat grafik perbandingannya. Sungguh
menghabiskan rasa optimis dan semakin menebalkan kekuatan mental karena setiap
selesai tanjakan saya pasti berteriak, "Depan jembatankah?". Dan
selalu mereka berdua jawab dengan, "Masih jauh!". "Sial, ini mah
beneran jauh!" gerutu saya mulai pesimis. Senior saya tertawa sembari
berkata, "Depan itu lho, dikit lagi!". Barulah saya sadar bahwa Sapri
dan Doni telah menghilang dari pandangan. Dasar kaki Sonic, tidak bisa ya
berkompromi dengan siput seperti saya. Hahaha.
Setelah
tidak menemukan jejak mereka, saya terus menyusuri jalan setapak lurus dan
akhirnya menemukan mereka berdua bertengger indah di akar-akar yang ternyata
inilah tujuan utama kami. Jembatan akar yang terlebih dahulu telah menerbangkan
imajinasi saya akan suku Baduy, sebelum mencari tahu lebih lanjut tentang
peradaban yang mereka bangun.
![]() |
Nyalahan: Ikon Baduy termasyhur |
Maha
Suci Allah atas Maha karya
ini! Saking terkagum-kagumnya saya sampai bungkam untuk membahasakan apa yang
saya rasakan ketika berhasil memegang akar-akar besar nan kokoh yang menjalin
jembatan ini. "Jembatan ini dibilang nyalahan soalnya akar yang ada
ini malang-melintang", Sapri berhasil memecah kekaguman saya.
"Hmm?" gumam saya masih belum ngeh dengan penjelasan Sapri.
"Jadi akar yang ada di dua pohon ini sudah ada dari dulu, orang Baduy
tinggal nambahin bambu yang ada di bawah ini", ujar Sapri sambil
menginjakkan kakinya bermaksud menunjukkan bambu sebagai alas tempat kami
menikmati keindahan nyalahan ini. "Oo, jadi kenapa dibilang nyalahan?"
otak saya masih berpikir apa hubungannya malang-melintang dengan nyalahan.
"Ya, karena akar ini menyalahi kodratnya. Seharusnya akar tumbuh merambat
ke bawah, tapi ini malah merambat keluar dan saling menjalin. Ini benar-benar
menyalahi apa yang biasanya terjadi", papar senior saya. "Oo begitu,
jadi jembatan ini disebut nyalahan karena memang salah. Menyalahi
kodrat", tanya saya memperjelas pernyataan. "Yap, bisa dibilang
begitu", tutup sang senior sebelum kemudian kami melanjutkan berpose ria
di ikon Baduy ini dan mencicipi segarnya air sungai di bawah sana yang terlihat
hijau jernih.
![]() |
Jembatan akar |
Kami
turun ke sungai jernih yang berwarna hijau dan bermain air sepuasnya. Mungkin
warna hijau di sungai ini disebabkan oleh kandungan sesuatu atau banyaknya
endemik yang hidup di dalamnya. Entahlah, saya belum menelitinya secara benar.
Atau mungkin menjadi tugas anda selanjutnya yang penasaran dan berniat
berkunjung kemari suatu waktu nanti. Jika telah mendapatkan jawaban pastinya,
sila beritahu saya agar saya tidak berargumen ngawur melulu tentang warna hijau
sungai ini yang sangat memanjakan mata.
![]() |
Sungai hijau |
Mencuci
muka, kecek-kecek , bermain lempar batu, dan bermain pasir di bantaran
sungai rupanya mampu mengembalikan nostalgia masa kanak-kanak kami. Saya juga
sempat berduet dengan Sapri untuk membuat buaya-buayaan dari pasir di pinggir
sungai. Kadang kami terbahak ketika bagian-bagian badan 'buaya' itu terhempas
air sungai kemudian mulai menempelnya kembali dengan pasir-pasir basah yang
baru. Kami serupa anak SD yang sangat senang dan cekikikan jika berinteraksi
dengan air dan membebaskan ekspresi dengan kebebasan yang sederhana. Kebebasan
tertawa dan merasa lega dengan apa yang ada di hadapannya, hanya itu tidak muluk-muluk.
![]() |
Main di sungai |
Si Hijau
Elok dan Sunset dalam Rimba
Hampir
satu jam kami merasakan bahagia yang sederhana itu. Sekitar pukul 15:30 kami
memutuskan untuk menyudahi bermain air dan kembali menjinjing ransel untuk
melanjutkan perjalanan ke rumah Sapri. Saat kami bergegas memulai trekking,
tiba-tiba Doni berteriak, "Hati-hati di sana tadi ada ular!". Sontak
sayalah orang pertama yang kaget dan gemetar. "Dimana?", senior saya
mencari tahu. "Di sela-sela bambu itu", tunjuk Doni. Sapri? Mana
Sapri? Hahaha. Rupanya dia juga bungkam karena takut dengan makhluk panjang
melata itu. Doni dan senior saya asik mencari keberadaan ular hijau yang berada
di rerumpun bambu itu. Mereka juga menyempatkan memfoto hewan rimba yang
katanya elok itu. Hadeh.
Dengan
sedikit keberanian alias banyak sok memberanikan diri saya dan Sapri melewati
rumpun bambu itu tanpa melirik sedikitpun. Takut kalau tiba-tiba si 'elok'
menyapa kami. Setelah kami berempat berada di tempat yang aman, Doni
melemparkan batu berharap membuat si hijau elok itu jatuh dari tempat
persemayamannya. Begitulah pekerjaan anak iseng. Apapun bisa menjadi sarana
untuk menyalurkan keisengannya. Hahaha.
Kami
berjalan hampir satu jam ketika matahari mulai condong ke arah barat, bersiap
untuk pulang ke peraduan. Sayangnya, ketika matahari terbingkai sempurna akan
terbenam di balik pegunungan Kendeng, kami sudah memasuki wilayah Baduy Dalam
yang tidak menghalalkan kami untuk memfoto apapun yang ada di sana. Termasuk fenomena
alam ini. Mungkin kamera yang kami bawa tidak berhasil mengabadikan momen indah
ini, namun pikiran dan hati saya berhasil merekam tiap detail keindahan sunset
saat itu. Matahari berarak turun ke arah bukit-bukit dengan langit cerah yang
dihiasi sedikit awan. Jingga bagaskara beradu dalam bayang hijau rimba. Syukur
saya pada Tuhan atas bonus yang Ia berikan untuk perjalanan kami kali ini.
"Tuhan yang memelihara kedua tempat terbit matahari dan
Tuhan yang memelihara kedua tempat terbenamnya. Maka nikmat Tuhan kamu yang
manakah yang kamu dustakan?" (TQS. Ar-Rahmaan: 17-18)
***
Sejuta
Kebahagiaan di Cibeo
Kami
sampai di Cibeo kampung Baduy Dalam kediaman Sapri pukul 17:30. Hari sudah
gelap namun itu bukan berarti suasana kampung ini menjadi sepi dan sunyi.
Sebagaimana yang telah saya tuliskan dlam catatan perjalanan edisi sebelumnya, BADUY: "Karena Bahagia itu
Sederhana", para backpacker
rupanya telah sampai lebih dahulu daripada kami. Sesekali kami melempar senyum ketika
tidak sengaja bertatap muka, saat saya dan rombongan melewati mereka yang
sedang bercengkrama dengan warga Baduy Dalam di beranda rumahnya.
Selepas
memburai lelah sejenak dan meletakkan barang bawaan di rumah Sapri, saya dan
senior pamit sejenak untuk melakukan bersih diri dan mengambil air wudhu untuk
tarian senja kami. Perlu digaris bawahi bahwa kegiatan mandi dan bersih diri
dengan air di kawasan Baduy Dalam
tidak diperbolehkan menggunakan sabun dan sesuatu berbusa lainnya. Hal
ini telah menjadi peraturan adat yang mereka terapkan sejak dahulu baik untuk
warga Baduy Dalam maupun pengunjung seperti kami. Tapi, tenang saja sumber air
di Cibeo ini jernih dan segar, jadi bukan suatu masalah besar jika harus
meninggalkan sabun untuk beberapa waktu.
Sebenarnya
peraturan ini dibuat untuk melestarikan dan menjaga keaslian alam Baduy Dalam.
Mereka tidak ingin alam yang telah mereka jaga dengan susah payah
terkontaminasi oleh bahan-bahan kimia seperti sabun dan sejenisnya. Pernah
suatu ketika, saya membaca buku catatan perjalanan karya penulis senior, Eni
Martini yang berjudul Soul Travel in Baduy.
Saat
itu ia dan rekan seperjalanannya mencoba mandi menggunakan sabun dan pasta gigi
di sebuah sungai di Baduy Dalam padahal mbak Eni tahu bahwa itu merupakan salah
satu pantangan jika mengunjungi Baduy Dalam pada awalnya ia telah mengingatkan
rekan-rekannya namun salah seorang rekannya malah menghasut ia dengan berkata,
"Tidak ada yang tahu kita pakai sabun, toh cuma sedikit. Tidak akan mencemari
sungai". Alhasil tidak lama setelah ia mandi, kulit sekujur tubuhnya
merasakan gatal-gatal dan bersisik layaknya kadal. Herannya hal aneh ini hanya
terjadi pada mbak Eni dan rekan-rekan yang mengajaknya baik-baik saja. Beruntung,
mbak Eni segera diobati oleh warga dan dukun setempat hingga ia tak perlu
berlama-lama menderita penyakit kulit yang ajaib tersebut.
Terlepas
dari masalah gaib dan ajaib cerita tersebut, sebenarnya bagaimana sikap
kita seharusnya sebagai tamu dalam menghormati peraturan pemilik 'rumah'lah
yang harus kita junjung. Kita hanya pengunjung yang ingin menilik bagaimana
kehidupan mereka, maka sudah seyogyanya kita mengikuti peraturan yang telah
mereka buat. Ada yang ingin mencoba mandi di Baduy Dalam dengan sabun? Lebih
baik kita pikir ulang akibatnya bagi diri sendiri dan alam mereka.
Saat
kami kembali dengan keadaan bersih dan segar, rupanya keluarga Sapri telah
berkumpul dalam rumah. Ada Ambu (Ibu), Sapri dan kelima adiknya. Bulan
lalu ketika kami berkunjung kemari, di rumah ini hanya ada Sanirah adik
perempuan Sapri yang tertua. Anggota keluarga lainnya saat itu sedang berada di
huma (rumah ladang).
Selesai
melaksanakan ritual senja, kami berdua mulai bertukar kisah dengan Ambu
yang sedikit-sedikit mengerti dan bisa berbahasa Indonesia. Ambu adalah
wanita pemalu yang seringkali menanggapi pertanyaan saya dengan senyum penuh
makna. Kadangkala antara saya dan Ambu tidak menemukan titik temu untuk
berkomunikasi. Hal ini dikarenakan penguasaan bahasa Sunda saya yang sangat
minim begitu pula sebaliknya dengan Ambu dalam berbahasa Indonesia.
Namun, hal ini tidak membuat saya menyerah untuk mengajak Ambu
mengobrol. Peran Sapri dalam menjembatani komunikasi kami sangat membantu.
Sesi
tukar cerita selesai ketika Surtini, adik Sapri yang masih balita menangis. Ambu
memilih masuk ke ruang keluarga yang hnaya bersekat bambu dengan ruang tamu
yang kami tempati untuk menenangkan Surtini. Bertepatan dengan itu, saya,
senior, dan Sapri memutuskan untuk memasak bekal yang kami bawa untuk makan
malam bersama.
Kami
melakukan ngariung (makan bersama) dengan penghuni keluarga Sapri
ditambah Doni yang kami panggil karena rumahnya tidak jauh dari rumah Sapri.
Menu makan malam kami adalah nasi, nugget, dan mie goreng. Ada kekhasan
tersendiri dalam memasak nasi di Baduy. Selain tidak menggunakan rice cooker,
teknik memasak beras yang mereka lakukan berbeda yakni setelah beras dicuci
bersih beras dimasukkan dalam wadah anyaman bambu yang sudah dilapisi dengan
daun pisang. Setelah itu wadah tersebut dimasukkan dalam panci yang berisi air
mendidih. Dengan kata lain, beras tersebut dimasak dengan cara diuapi. Jadilah,
tekstur nasi yang tercipta adalah nasi sedikit lembek dengan tampilan yang
kering.
Setelah
perut terisi sekarang giliran kami menikmati kopi tutuk gula aren.
Dinamakan kopi tutuk karena dalam proses pembuatannya biji-biji kopi ini
ditumbuk terlebih dahulu sebelum menjadi bubuk-bubuk yang bisa diseduh. Hal
unik lainnya dari peradaban suku Baduy adalah gelas yang mereka gunakan
berbahan dasar potongan bambu atau mereka biasa menyebutnya somong
(gelas bambu). Minum kopi tutuk ditemani cauk (pisang) ulik bakar
dengan gula aren yang telah dihancurkan menjadi suatu kenikmatan tersendiri
setelah melewati medannya yang cukup menguras tenaga siang tadi.
Pukul
20:00 kami berempat; saya, Sapri, Doni, dan Sanip (teman Sapri) memutuskan
untuk belajar bahasa Inggris. Sebelumnya kami memang sudah merencakan ini
karena pada kunjungan sebelumnya Sapri dan Doni mengeluh ingin bisa bahasa
Inggris. Akhirnya, pada kunjungan kali ini saya bawakan mereka perangkat
belajar berupa buku-buku bahasa Inggris yang bergambar. Kebahagiaan berbagi
tidak perlu menunggu waktu yang lama. Dari sesi ini saja saya sudah sangat
bahagia melihat semangat mereka dalam belajar. Belum lagi tingkah dan pelafalan
mereka yang lucu membuat saya tak henti-hentinya tertawa.
Tidak
ada rasa tersinggung dan merasa direndahkan kala kami belajar bersama di sini.
Mereka malah bersikap jahil dan senang sekali ketika saya berubah menjadi sok
galak karena kami terlalu banyak bercanda. Di pertengahan belajar kami, rupanya
sesosok tubuh datang menghampiri kami. Dialah Bapak Sapri yang baru saja datang
dari mengantar tamu. Bapak yang telah mahir berbahasa Indonesia mengambil jeda
sebentar pada sesi belajar kami dengan menanyakan asal saya dan perjalanan kami
siang tadi ketika menuju kemari. Sebentar kemudian, Bapak masuk ke ruang
keluarga untuk melepas lelah dan kami melanjutkan belajar. Hampir sejam lamanya
kami belajar berhitung dalam bahasa Inggris dan sesi ini kami sudahi karena
mereka bertiga harus segera pergi ke rumah salah seorang pemuda Baduy Dalam
untuk menghadiri acara rutin kumpul pemuda tiap Sabtu malam.
Acara
tersebut merupakan ajang para pemuda Cibeo untuk menguatkan silaturahmi
diantara mereka dan biasanya mereka juga bermalam di sana, begitu ujar Sapri.
Sejalan dengan kepergian mereka, saya keluar untuk menemui senior saya yang
dari tadi telah puas menikmati planetarium alam. Benar saja, bintang telah
tumpah di langit malam itu. Kami pun memutuskan untuk melihat bintang lebih
leluasa di tanah lapang. Sungguh keindahan yang sulit didapatkan di langit kota
yang telah dijejali polusi udara dan polusi cahaya. Seluruh penjuru mata angin
langit dipenuhi bintang tanpa sela sedikitpun.
Sekitar
tiga puluh menit menunggu tidak ada satu pun bintang jatuh seperti yang telah
senior saya pamerkan bahwa ia tadi melihat tiga bintang jatuh, ternyata membuat
pori-pori kulit meremang karena dinginnya angin malam. Kami memutuskan untuk
kembali ke rumah Sapri agar bisa segera beristirahat. Sebelum masuk rumah, kami
sempat membumbungkan syukur bersama tumpahan bintang atas segala nikmat yang
Dia berikan hari ini. Bahkan jutaan bintang di langitMu tak mampu menyaingi
kuantitas syukur kami hari ini.
***
Pesan
Ambu: "Ridho, Nak!"
Kami
terbangun ketika ayam-ayam telah berkokok di bawah bilik rumah Sapri. Maklum,
kolong rumah panggung ini selalu menjadi tempat menarik bagi ayam, anjing, dan
hewan lainnya untuk berlindung atau sekadar lewat. Kami berdua harus melewati
sebuah jembatan bambu agar bisa sampai ke sumber air dan mengambil wudhu. Air
yang dingin nan segar seketika membuat semua syaraf kembali bekerja.
Seusai
menunaikan ritual Subuh kami bersantai di beranda rumah dengan mengobrol
bersama Bapak. Anis, adik Sapri keempat pun turut bergabung dengan obrolan pagi
kami ini. Dia bersikap manis dan berlaku manja pada si Bapak. Bapak berkisah
tentang silsiah keluarganya dan rutinitas pekerjaan masyarakat Cibeo
sehari-hari. Bapak membagi kisah tentang Sasaka Domas atau kerap kali
disebut Arca Domas yang dianggap sebagai tanah larangan, tanah suci tempat
pemujaan bagi orang-orang Baduy.
Sebagaimana
umat beragama yang memiliki pusat tempat ibadah atau pemujaan. Seperti umat
Islam yang memiliki Ka'bah di Mekkah dan umat Kristiani yang memiliki Gereja
Ortodoks di Vatikan, masyarakat Baduy pun memiliki pusat pemujaan itulah Arca
Domas. Tidak semua masyarakat Baduy bisa mendatangi Arca Domas sesuka hati,
mereka yang boleh melakukan pemujaan di Arca Domas adalah orang-orang Baduy
yang telah memiliki kesiapan batin, mental, dan materi tertentu. Arca Domas
juga dirahasiakan keberadaannya dari masyarakat luar Baduy untuk melindungi
kesuciannya.
Setelah
bayak berbagi cerita, kami berdua memohon diri untuk memasak sarapan. Sekitar
30 menit kemudian kami sudah bisa bersantap ria ngariung (makan bersama)
Sapri, Doni yang telah kembali dari acara pemuda Cibeo, Bapak, Ambu, dan
adik-adik Sapri lainnya.
Packing
pun kami lakukan setelah dirasa sarapan cukup. Pukul 07:30 kami
berpamitan pada Ambu dan Bapak. Ketika bersalaman dengan Ambu dan
menyelipkan sedikit tanda terima kasih, Ambu berbicara banyak
menggunakan bahasa Sunda. Sambil mengelus pundak saya matanya berkaca-kaca
terus mengucapkan semacam wejangan berbahasa Sunda yang sangat disayangkan
tidak saya mengerti artinya. Ambu menekankan kalimatnya dengan berkata
pada saya, "Ridho, Nak! Ridho, Ridho ya Nak!".
Wanita di hadapan saya
ini kemudian menatap lekat dan mengakhirinya dengan berkata,
"Hati-hati". Bibir saya kelu untuk menanggapi perkataan Ambu.
Seketika saya luruh dalam haru dan mencium tangan Ambu yang seakan telah
mentransferkan kasih sayang tulus pada saya. Berat saya meninggalkan rumah yang
hangat akan banyak kasih sayang ini. Kehadiran kami seakan merupakan bagian
dari mereka. Kami dijamu dan dianggap layaknya keluarga, bukan orang asing yang
datang berkunjung. Ah, sepertinya benar kata Windy Ariestanti dalam Life
Traveler yang ia tulis beberapa waktu lalu. Bahwa, "Love is a
'place' that we keep visiting again and again. It annoys us to no end. And for
something like this, we may call it 'home'. Yes, love is a home for everyone.
Indeed! "
Mungkin
memang inilah yang belum saya punya untuk mengurai kekalutan yang mengikat saya
beberapa hari terakhir: Tulus dan Ridho!
***
Sayonara
Baduy!
Kami
pulang melalui jalur yang berbeda dengan berangkat kemarin. Kali ini kami
memilih jalur Gajebo-Baduy Luar. Sebenarnya ada beberapa pilihan jalur pulang
dari Cibeo ke Ciboleger namun, kami pilih Gajebo karena pemandangan di
sepanjang jalan yang indah dan banyak melewati jembatan bambu untuk digunakan
sebagai spot berfoto. Di samping banyak spot foto via Gajebo ini
juga menyuguhkan tanjakan setan yang memang benar setannya.
Maksud
saya, tanjakan ini panjang sekali dan serasa tak berujung membuat orang yang
melewatinya sering mengumpat kata "setan" karena sebal. Hahaha. Tapi
tenang saja, setiap perjuangan pasti terbayar sebuah kenikmatan. Setelah
melewati tanjakan setan ini kita bisa menikmati semangkuk es cendol yang dijual
oleh teteh cantik (bukan spesies kuntilanak!), warga luar Baduy yang memang
sealu 'nongkrong' di situ pada siang hari untuk menjajakan dagangannya.
Perjalanan
dan istirahat memakan waktu 3 jam tepat. Kami melemaskan punggung sejenak di
beranda rumah kang Arkam sebelum mengambil titipan barang kami kemarin dan
berpamitan. Kami bergegas melakukan bersih diri dan menunaikan ritual tengah
hari. Setelah selesai mengurus hajat diri, kami berdua mengabadikan momen
dengan berfoto bersama Sapri dan Doni di depan tugu Ciboleger. Setelah itu kami
bersalaman dan memberikan tanda banyak terima kasih pada mereka. Kami
berpamitan kemudian memasukkan barang bawaan ke dalam elf yang akan membawa
kami hingga stasiun Rangkasbitung.
![]() |
Senior seperjalanan bersama Sapri & Doni |
Jadwal
keberangkatan elf dari Ciboleger ke stasiun Rangkasbitung adalah pukul 13:00.
Ada dan tiada penumpang, sang supir akan tetap melaju jika waktu telah
menunjukkan jam keberangkatan. Maka, saya sarankan jika anda berniat menumpang
elf ini ketika pulang. Sebaiknya setelah turun dari elf pada saat berangkat,
membuat perjanjian dengan supir bahwa anda beserta rombongan akan memesan beberapa
tempat duduk untuk pulang esok hari. Sembari menunggu jam keberangkatan elf,
kami berdua menyempatkan diri untuk mencicipi bakso di sebuah warung.
Di
pertengahan makan, kami melihat Doni lewat. Entah ia dari mana. Kami sapa dia
namun dia hanya tersenyum dan berlari melesat hilang dari pandangan kami. Tak
lama kemudian ia kembali ke hadapan kami dengan membawa sebungkus plastik hitam
berisi dua buntelan daun pisang berwarna kecoklatan. Dia bilang,
"Ini gula aren, buat dibawa pulang ya". Astaga! Ternyata dia
buru-buru tadi untuk membelikan kami gula aren sebagai buah tangan. Kami hanya
sanggup mengucap terima kasih, namun jauh di dalam hati kami dipukul telak.
Bahwa, yang terpenting dari sebuah perjalanan memang bukan tujuan namun bertemu
orang-orang dengan karakter-karakter mereka.
***
Siap
Berpetualang ke Baduy?
Kami
sempurna duduk manis dalam elf ketika gerimis turun. Terselip lagi sebuah
syukur. Penguasa langit dan bumi benar-benar mengizinkan kami menikmati alam
Baduy kemarin hingga detik kami menerima ketulusan pemberian Doni dengan cuaca
cerah, tidak seperti bulan lalu kala hujan menjadi sahabat setia kami.
Dua
jam kemudian, kami telah menjejak stasiun Rangkasbitung. Untuk transportasi
dari stasiun Rangkasbitung menuju stasiun Tanah Abang bisa ditempuh menggunakan
kereta api ekonomi Kalimaya dengan tarif 2.000 rupiah dan jadwal
keberangkatan pukul 14:40. Dan jika anda menghendaki segerasampai tujuan
maka pilihan jatuh pada kereta api ekspress Rangkasjaya dengan tarif 15.000
rupiah dan jadwal keberangkatan pukul 15:00.
Jadi
bagaimana, siap mengunjungi Baduy dan mendapat pengalaman tak terlupakan? Satu
lagi catatan kecil, warga Baduy tidak menerima kunjungan pada bulan Kawalu
yakni kisaran bulan Januari-Maret, karena mereka sedang melaksanakan puasa tiga
bulan sebagai simbol ketaatan mereka terhadap Guriang Mangtua. TAMAT.
Dok.
Baihakki Ahmadz
Sidoarjo, 9 Jan 2013
B.E.J, 02:46
Sumber:
Alquran
Soul Travel in Baduy-Eni Martini
Life Traveler-Windy
A
Laporan Penelitian "Menilik
Kehidupan Sosial Masyarakat Suku Baduy"-Belda Eldrit
Janitra
asik mba belda jalan-jalan ke Baduy haha aku yang orang banten aja belom pernah ke Baduy
BalasHapuswah, asiiik.aku mau dong diajakin kesana . (y)
BalasHapusWowo, tulisannya keren, fotonya nice
BalasHapusada sedikit koreksi dari saya pribadi:
Noted: dalam Soul Travel In Baduy yang mengalami dikentutin jurik cuma saya, bukan teman-teman dan tidak gatal..tapi seperti perasaan tidak nyaman di seluruh tubuh. Tidak seperti kadal, apalagi bersisik..iiiih SERAM. tapi hanya bentul yang menyepaikulit totol di tokek
Wah... Disambangin sama mbak Eni. Sesepuh sekaligus guru ekspedisi Baduy. Xixixi. 😄 Suatu kehormatan buat toples mimpi. Terima kasih mbak Eni, atas ralatnya. Saya publish komentar mbak ya biar pembaca juga tahu informasi yg akurat dari penulis inspiratif saya di buku Soul Travel In Baduy. 😊
Hapus