" Wadah Perca-perca Mimpi Sebelum Terburai Melangit " (B.E.J.)

Rabu, 08 Januari 2014

BADUY: "Pesan Ambu, Ridho Nak!"



Nyalahan We're Coming!
"Jembatan akar jauhkah?" tanya saya sebelum meninggalkan rumah jaro, sebelumnya pertanyaan ini telah saya lontarkan pada Doni dan ia menjawab "Jauuuuuh". Kali ini saya tanyakan pada Sapri, dan ia menjawab "Jauh. Mau lewat sana, Bel?" tanyanya. "Berapa kilo kira-kira?" saya masih belum menyerah untuk melihat ikon Baduy yang terkenal itu. "Ya, sekitar 16 kilo kalau sampai Cibeo". "Gimana, Mas?" tanya saya meminta persetujuan pada senior. "Ya, ayo monggo aja". Mendengar jawaban senior saya yang mantap, saya tidak ragu untuk mengangguk mengiyakan pertanyaan Sapri. "Mumpung langit lagi baik!" jawab saya semangat. 

Here We are! Petualangan menjelajahi kampung Baduy yang tersohor pun segera dimulai. Kami berempat memulai trekking setelah sebelumnya bernegosiasi masalah jarak dan waktu yang akan kami tempuh. Memang kami tidak dikejar target harus sampai tujuan pukul berapa, namun ada baiknya jika menyamakan persepsi terlebih dahulu. Karena bisa jadi dekat menurut Sapri dan Doni, namun jauh menurut saya dan senior seperjalanan dan bisa jadi jauh menurut mereka berdua, berarti lebih jauh lagi menurut kami. 

Bismillahirrahmanirrahiim. Dengan menyertakan Dia di setiap langkah, kami pun bergegas melangkah menemui nyalahan. Rute menuju jembatan akar berbeda dengan rute menuju kampung Baduy Luar dan Dalam dari Kaduketu yakni kampung Baduy Luar pertama yang akan pengunjung temui jika melalui gerbang "Selamat Datang di Baduy" setelah turun dari Elf Ciboleger.

Perkampungan masyarakat luar Baduy


Sepanjang jalan kami melewati perkampungan masyarakat luar Baduy, sesekali mereka menyapa kami dengan menanyakan tujuan kami. Seringkali saya hanya tersenyum menanggapi pertanyaan mereka, karena pertanyaan yang mereka ajukan menggunakan bahasa Sunda. Maka, pertanyaan tersebut secara otomatis diambil alih oleh Sapri dan Doni yang paham dengan maksud mereka. 
 
Padi milik masyarakat yang dijemur
Siang masih terik dan matahari masih setia menemani perjalanan kami. Kira-kira dua kilometer sudah kami berjalan namun tak kunjung menemukan rimba untuk dijelajahi. "Lumayan juga ya, kampung di sini", sapa saya pada Sapri dan Doni karena dari tadi kami berjalan dalam sunyi. "Iya, biasanya kalau beruntung. Kamu bisa naik ojek buat ke nyalahan", jawab Sapri tak mengganggu langkah kaki telanjangnya. "Nah, itu dia! Aku merasa ditipu, masa dari tadi ada motor sliweran tapi kita jalan kaki?" ujar saya agak sewot. "Sekarang lagi nggak bisa ngojek, soalnya di depan sana ada perbaikan jalan", kali ini ganti Doni yang menanggapi. "Lagipula, dengan jalan kaki akan lebih terasa feel trekkingnya daripada ngojek. Ngojek kan di Ciputat ada, ngapain musti jauh-jauh ke Baduy buat ngojek? Hahaha", senior saya tak mau kalah meredam rasa sewot saya.

Ngapain musti jauh-jauh ke Baduy buat ngojek?
Jadilah, dengan perasaan enteng dan sudah tidak tertipu saya melanjutkan langkah sambil sesekali mengamati pematang sawah dengan latar lanskap bukit-bukit nun di sana. Sebuah terapi untuk mata yang tiap hari hanya menyadapi kepadatan kota. Ternyata benar apa yang dikatakan Doni, beberapa meter setelah kami meninggalkan perkampungan masyarakat luar Baduy, ada perbaikan jalan berupa pemasangan batu-batu untuk meratakan jalan yang seringkali menjadi becek dan berlumpur jika hujan turun. Saya berdecak tanpa henti saat kaki Sapri dan Doni melewati batu-batu cadas itu dengan lihai, bahkan mereka sempat menyapa ramah pekerja-pekerja yang mengerjakan konstruksi jalan tersebut. Bolehlah saya sebut kekuatan kaki mereka luar biasa meskipun itu timbul karena kebiasaan mereka berjalan jauh di segala medan tanpa alas kaki. 

Akhirnya setelah sekitar 45 menit berjalan, tibalah kami di Gerendeng, kampung pertama Baduy Luar. Oh tidak! Jangan terburu ingin sampai di jembatan akar, karena kami masih harus berjalan lagi menembus hutan dan melewati satu kampung bernama Batara. Berbicara tentang Batara saya teringat tentang laporan observasi saya hasil perjalanan ke Baduy bulan lalu.

Jika banyak orang yang bertanya mengenai agama dan kepercayaan masyarakat Baduy maka, inilah jawabannya. Masyarakat Baduy memegang kepercayaan Sunda Wiwitan yakni, meyakini adanya Allah sebagai Guriang Mangtua atau pencipta alam semesta dan melaksanakan kehidupan sesuai ajaran nabi Adam yang dipercaya sebagi leluhur mereka. Mereka tidak melakukan kewajiban rukum Islam dalam beribadah sebagaimana umat muslim yang mengakui Allah SWT sebagai Tuhannya.

Masyarakat suku Baduy juga mengenal Batara Tunggal sebagai penguasa bumi dan langit. Konsep Batara Tunggal merupakan konsep ketuhanan dalam religi yang bersifat monotheisme, suatu konsep kepercayaan perkembangan tertua dalam sejarah kebudayaan manusia. Dasar-dasar kepercayaan masyarakat Baduy berasal dari kepercayaan jauh sebelum Islam masuk ke Indonesia, yakni suatu kepercayaan animistis-meskipun dalam praktek sehari-hari juga terlihat adanya pengaruh agama Hindu atau Buddha. 

Inti dari beberapa cuplikan dua paragraf di atas adalah Orang Baduy memang tidak menganut agama Islam sebagaimana apa yang dianut oleh mayoritas masyarakat Indonesia namun dalam norma adat yang mereka percaya dan pegang teguh sejak zaman leluhur mereka dahulu, orang Baduy tidak diperkenankan membunuh, mencuri, berdusta, mabuk-mabukan, berpakaian mewah, tidur di ranjang empuk. Tidak diperbolehkan pula menari, menyanyi, dan menikmati berbagai macam kesenangan lainnya. 

Memang ada hukuman tertentu yang akan dijatuhkan kepada mereka jika melanggar aturan adat, mulai dari diperingatkan oleh jaro (ketua adat) setempat hingga dikeluarkan dari Baduy Dalam, jika pelanggar merupakan masyarakat Baduy Dalam. Namun, yang membuat saya salut adalah mereka tulus dan ridho melakukan semua norma yang telah dijunjung tinggi sedari dulu. Bahkan, tidak ada niatan untuk mencuri-curi dan memanupulasi peraturan mereka sebagaimana yang banyak terjadi di tengah masyarakat kita saat ini. Rupanya tulus dan ridho, itulah yang belum kita miliki. Atau mungkin, sudah kita miliki namun belum kita terapkan hingga belum terjadi harmoni dalam masyarakat kita saat ini. 

Perkampungan Baduy Luar bernama Batara ternyata bukan merupakan kampung yang besar, saat kami melewatinya pun terasa hening dan sepi. Sepertinya semua penghuni sedang berladang, sebagaimana mata pencaharian mereka sehari-hari. Maka dengan ringan kaki kami melangkah dan segera meninggalkan perkampungan yang mengambil nama salah satu Dewa kepercayaan Baduy tersebut, Batara Tunggal.

Jika dibuat perbandingan, tanjakan yang kami lewati ini berbanding jauh dengan jalan datar. 4:1 mungkin begitu saya membuat grafik perbandingannya. Sungguh menghabiskan rasa optimis dan semakin menebalkan kekuatan mental karena setiap selesai tanjakan saya pasti berteriak, "Depan jembatankah?". Dan selalu mereka berdua jawab dengan, "Masih jauh!". "Sial, ini mah beneran jauh!" gerutu saya mulai pesimis. Senior saya tertawa sembari berkata, "Depan itu lho, dikit lagi!". Barulah saya sadar bahwa Sapri dan Doni telah menghilang dari pandangan. Dasar kaki Sonic, tidak bisa ya berkompromi dengan siput seperti saya. Hahaha.

Setelah tidak menemukan jejak mereka, saya terus menyusuri jalan setapak lurus dan akhirnya menemukan mereka berdua bertengger indah di akar-akar yang ternyata inilah tujuan utama kami. Jembatan akar yang terlebih dahulu telah menerbangkan imajinasi saya akan suku Baduy, sebelum mencari tahu lebih lanjut tentang peradaban yang mereka bangun. 

Nyalahan: Ikon Baduy termasyhur
Maha Suci Allah atas Maha karya ini! Saking terkagum-kagumnya saya sampai bungkam untuk membahasakan apa yang saya rasakan ketika berhasil memegang akar-akar besar nan kokoh yang menjalin jembatan ini. "Jembatan ini dibilang nyalahan soalnya akar yang ada ini malang-melintang", Sapri berhasil memecah kekaguman saya. "Hmm?" gumam saya masih belum ngeh dengan penjelasan Sapri. "Jadi akar yang ada di dua pohon ini sudah ada dari dulu, orang Baduy tinggal nambahin bambu yang ada di bawah ini", ujar Sapri sambil menginjakkan kakinya bermaksud menunjukkan bambu sebagai alas tempat kami menikmati keindahan nyalahan ini. "Oo, jadi kenapa dibilang nyalahan?" otak saya masih berpikir apa hubungannya malang-melintang dengan nyalahan. "Ya, karena akar ini menyalahi kodratnya. Seharusnya akar tumbuh merambat ke bawah, tapi ini malah merambat keluar dan saling menjalin. Ini benar-benar menyalahi apa yang biasanya terjadi", papar senior saya. "Oo begitu, jadi jembatan ini disebut nyalahan karena memang salah. Menyalahi kodrat", tanya saya memperjelas pernyataan. "Yap, bisa dibilang begitu", tutup sang senior sebelum kemudian kami melanjutkan berpose ria di ikon Baduy ini dan mencicipi segarnya air sungai di bawah sana yang terlihat hijau jernih.

Jembatan akar
Kami turun ke sungai jernih yang berwarna hijau dan bermain air sepuasnya. Mungkin warna hijau di sungai ini disebabkan oleh kandungan sesuatu atau banyaknya endemik yang hidup di dalamnya. Entahlah, saya belum menelitinya secara benar. Atau mungkin menjadi tugas anda selanjutnya yang penasaran dan berniat berkunjung kemari suatu waktu nanti. Jika telah mendapatkan jawaban pastinya, sila beritahu saya agar saya tidak berargumen ngawur melulu tentang warna hijau sungai ini yang sangat memanjakan mata.

Sungai hijau
Mencuci muka, kecek-kecek , bermain lempar batu, dan bermain pasir di bantaran sungai rupanya mampu mengembalikan nostalgia masa kanak-kanak kami. Saya juga sempat berduet dengan Sapri untuk membuat buaya-buayaan dari pasir di pinggir sungai. Kadang kami terbahak ketika bagian-bagian badan 'buaya' itu terhempas air sungai kemudian mulai menempelnya kembali dengan pasir-pasir basah yang baru. Kami serupa anak SD yang sangat senang dan cekikikan jika berinteraksi dengan air dan membebaskan ekspresi dengan kebebasan yang sederhana. Kebebasan tertawa dan merasa lega dengan apa yang ada di hadapannya, hanya itu tidak muluk-muluk.

Main di sungai
Si Hijau Elok dan Sunset dalam Rimba
Hampir satu jam kami merasakan bahagia yang sederhana itu. Sekitar pukul 15:30 kami memutuskan untuk menyudahi bermain air dan kembali menjinjing ransel untuk melanjutkan perjalanan ke rumah Sapri. Saat kami bergegas memulai trekking, tiba-tiba Doni berteriak, "Hati-hati di sana tadi ada ular!". Sontak sayalah orang pertama yang kaget dan gemetar. "Dimana?", senior saya mencari tahu. "Di sela-sela bambu itu", tunjuk Doni. Sapri? Mana Sapri? Hahaha. Rupanya dia juga bungkam karena takut dengan makhluk panjang melata itu. Doni dan senior saya asik mencari keberadaan ular hijau yang berada di rerumpun bambu itu. Mereka juga menyempatkan memfoto hewan rimba yang katanya elok itu. Hadeh. 

Dengan sedikit keberanian alias banyak sok memberanikan diri saya dan Sapri melewati rumpun bambu itu tanpa melirik sedikitpun. Takut kalau tiba-tiba si 'elok' menyapa kami. Setelah kami berempat berada di tempat yang aman, Doni melemparkan batu berharap membuat si hijau elok itu jatuh dari tempat persemayamannya. Begitulah pekerjaan anak iseng. Apapun bisa menjadi sarana untuk menyalurkan keisengannya. Hahaha.

Kami berjalan hampir satu jam ketika matahari mulai condong ke arah barat, bersiap untuk pulang ke peraduan. Sayangnya, ketika matahari terbingkai sempurna akan terbenam di balik pegunungan Kendeng, kami sudah memasuki wilayah Baduy Dalam yang tidak menghalalkan kami untuk memfoto apapun yang ada di sana. Termasuk fenomena alam ini. Mungkin kamera yang kami bawa tidak berhasil mengabadikan momen indah ini, namun pikiran dan hati saya berhasil merekam tiap detail keindahan sunset saat itu. Matahari berarak turun ke arah bukit-bukit dengan langit cerah yang dihiasi sedikit awan. Jingga bagaskara beradu dalam bayang hijau rimba. Syukur saya pada Tuhan atas bonus yang Ia berikan untuk perjalanan kami kali ini.
"Tuhan yang memelihara kedua tempat terbit matahari dan Tuhan yang memelihara kedua tempat terbenamnya. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?"  (TQS. Ar-Rahmaan: 17-18)
***
           
            Sejuta Kebahagiaan di Cibeo
Kami sampai di Cibeo kampung Baduy Dalam kediaman Sapri pukul 17:30. Hari sudah gelap namun itu bukan berarti suasana kampung ini menjadi sepi dan sunyi. Sebagaimana yang telah saya tuliskan dlam catatan perjalanan edisi sebelumnya, BADUY: "Karena Bahagia itu Sederhana", para backpacker rupanya telah sampai lebih dahulu daripada kami. Sesekali kami melempar senyum ketika tidak sengaja bertatap muka, saat saya dan rombongan melewati mereka yang sedang bercengkrama dengan warga Baduy Dalam di beranda rumahnya.

            Selepas memburai lelah sejenak dan meletakkan barang bawaan di rumah Sapri, saya dan senior pamit sejenak untuk melakukan bersih diri dan mengambil air wudhu untuk tarian senja kami. Perlu digaris bawahi bahwa kegiatan mandi dan bersih diri dengan air di kawasan  Baduy Dalam tidak diperbolehkan menggunakan sabun dan sesuatu berbusa lainnya. Hal ini telah menjadi peraturan adat yang mereka terapkan sejak dahulu baik untuk warga Baduy Dalam maupun pengunjung seperti kami. Tapi, tenang saja sumber air di Cibeo ini jernih dan segar, jadi bukan suatu masalah besar jika harus meninggalkan sabun untuk beberapa waktu. 

            Sebenarnya peraturan ini dibuat untuk melestarikan dan menjaga keaslian alam Baduy Dalam. Mereka tidak ingin alam yang telah mereka jaga dengan susah payah terkontaminasi oleh bahan-bahan kimia seperti sabun dan sejenisnya. Pernah suatu ketika, saya membaca buku catatan perjalanan karya penulis senior, Eni Martini yang berjudul Soul Travel in Baduy

Saat itu ia dan rekan seperjalanannya mencoba mandi menggunakan sabun dan pasta gigi di sebuah sungai di Baduy Dalam padahal mbak Eni tahu bahwa itu merupakan salah satu pantangan jika mengunjungi Baduy Dalam pada awalnya ia telah mengingatkan rekan-rekannya namun salah seorang rekannya malah menghasut ia dengan berkata, "Tidak ada yang tahu kita pakai sabun, toh  cuma sedikit. Tidak akan mencemari sungai". Alhasil tidak lama setelah ia mandi, kulit sekujur tubuhnya merasakan gatal-gatal dan bersisik layaknya kadal. Herannya hal aneh ini hanya terjadi pada mbak Eni dan rekan-rekan yang mengajaknya baik-baik saja. Beruntung, mbak Eni segera diobati oleh warga dan dukun setempat hingga ia tak perlu berlama-lama menderita penyakit kulit yang ajaib tersebut.

Terlepas dari masalah gaib dan ajaib cerita tersebut, sebenarnya bagaimana sikap kita seharusnya sebagai tamu dalam menghormati peraturan pemilik 'rumah'lah yang harus kita junjung. Kita hanya pengunjung yang ingin menilik bagaimana kehidupan mereka, maka sudah seyogyanya kita mengikuti peraturan yang telah mereka buat. Ada yang ingin mencoba mandi di Baduy Dalam dengan sabun? Lebih baik kita pikir ulang akibatnya bagi diri sendiri dan alam mereka. 

Saat kami kembali dengan keadaan bersih dan segar, rupanya keluarga Sapri telah berkumpul dalam rumah. Ada Ambu (Ibu), Sapri dan kelima adiknya. Bulan lalu ketika kami berkunjung kemari, di rumah ini hanya ada Sanirah adik perempuan Sapri yang tertua. Anggota keluarga lainnya saat itu sedang berada di huma (rumah ladang). 

Selesai melaksanakan ritual senja, kami berdua mulai bertukar kisah dengan Ambu yang sedikit-sedikit mengerti dan bisa berbahasa Indonesia. Ambu adalah wanita pemalu yang seringkali menanggapi pertanyaan saya dengan senyum penuh makna. Kadangkala antara saya dan Ambu tidak menemukan titik temu untuk berkomunikasi. Hal ini dikarenakan penguasaan bahasa Sunda saya yang sangat minim begitu pula sebaliknya dengan Ambu dalam berbahasa Indonesia. Namun, hal ini tidak membuat saya menyerah untuk mengajak Ambu mengobrol. Peran Sapri dalam menjembatani komunikasi kami sangat membantu. 

Sesi tukar cerita selesai ketika Surtini, adik Sapri yang masih balita menangis. Ambu memilih masuk ke ruang keluarga yang hnaya bersekat bambu dengan ruang tamu yang kami tempati untuk menenangkan Surtini. Bertepatan dengan itu, saya, senior, dan Sapri memutuskan untuk memasak bekal yang kami bawa untuk makan malam bersama. 

Kami melakukan ngariung (makan bersama) dengan penghuni keluarga Sapri ditambah Doni yang kami panggil karena rumahnya tidak jauh dari rumah Sapri. Menu makan malam kami adalah nasi, nugget, dan mie goreng. Ada kekhasan tersendiri dalam memasak nasi di Baduy. Selain tidak menggunakan rice cooker, teknik memasak beras yang mereka lakukan berbeda yakni setelah beras dicuci bersih beras dimasukkan dalam wadah anyaman bambu yang sudah dilapisi dengan daun pisang. Setelah itu wadah tersebut dimasukkan dalam panci yang berisi air mendidih. Dengan kata lain, beras tersebut dimasak dengan cara diuapi. Jadilah, tekstur nasi yang tercipta adalah nasi sedikit lembek dengan tampilan yang kering. 

Setelah perut terisi sekarang giliran kami menikmati kopi tutuk gula aren. Dinamakan kopi tutuk karena dalam proses pembuatannya biji-biji kopi ini ditumbuk terlebih dahulu sebelum menjadi bubuk-bubuk yang bisa diseduh. Hal unik lainnya dari peradaban suku Baduy adalah gelas yang mereka gunakan berbahan dasar potongan bambu atau mereka biasa menyebutnya somong (gelas bambu). Minum kopi tutuk ditemani cauk (pisang) ulik bakar dengan gula aren yang telah dihancurkan menjadi suatu kenikmatan tersendiri setelah melewati medannya yang cukup menguras tenaga siang tadi. 

Pukul 20:00 kami berempat; saya, Sapri, Doni, dan Sanip (teman Sapri) memutuskan untuk belajar bahasa Inggris. Sebelumnya kami memang sudah merencakan ini karena pada kunjungan sebelumnya Sapri dan Doni mengeluh ingin bisa bahasa Inggris. Akhirnya, pada kunjungan kali ini saya bawakan mereka perangkat belajar berupa buku-buku bahasa Inggris yang bergambar. Kebahagiaan berbagi tidak perlu menunggu waktu yang lama. Dari sesi ini saja saya sudah sangat bahagia melihat semangat mereka dalam belajar. Belum lagi tingkah dan pelafalan mereka yang lucu membuat saya tak henti-hentinya tertawa. 

Tidak ada rasa tersinggung dan merasa direndahkan kala kami belajar bersama di sini. Mereka malah bersikap jahil dan senang sekali ketika saya berubah menjadi sok galak karena kami terlalu banyak bercanda. Di pertengahan belajar kami, rupanya sesosok tubuh datang menghampiri kami. Dialah Bapak Sapri yang baru saja datang dari mengantar tamu. Bapak yang telah mahir berbahasa Indonesia mengambil jeda sebentar pada sesi belajar kami dengan menanyakan asal saya dan perjalanan kami siang tadi ketika menuju kemari. Sebentar kemudian, Bapak masuk ke ruang keluarga untuk melepas lelah dan kami melanjutkan belajar. Hampir sejam lamanya kami belajar berhitung dalam bahasa Inggris dan sesi ini kami sudahi karena mereka bertiga harus segera pergi ke rumah salah seorang pemuda Baduy Dalam untuk menghadiri acara rutin kumpul pemuda tiap Sabtu malam.

Acara tersebut merupakan ajang para pemuda Cibeo untuk menguatkan silaturahmi diantara mereka dan biasanya mereka juga bermalam di sana, begitu ujar Sapri. Sejalan dengan kepergian mereka, saya keluar untuk menemui senior saya yang dari tadi telah puas menikmati planetarium alam. Benar saja, bintang telah tumpah di langit malam itu. Kami pun memutuskan untuk melihat bintang lebih leluasa di tanah lapang. Sungguh keindahan yang sulit didapatkan di langit kota yang telah dijejali polusi udara dan polusi cahaya. Seluruh penjuru mata angin langit dipenuhi bintang tanpa sela sedikitpun.

Sekitar tiga puluh menit menunggu tidak ada satu pun bintang jatuh seperti yang telah senior saya pamerkan bahwa ia tadi melihat tiga bintang jatuh, ternyata membuat pori-pori kulit meremang karena dinginnya angin malam. Kami memutuskan untuk kembali ke rumah Sapri agar bisa segera beristirahat. Sebelum masuk rumah, kami sempat membumbungkan syukur bersama tumpahan bintang atas segala nikmat yang Dia berikan hari ini. Bahkan jutaan bintang di langitMu tak mampu menyaingi kuantitas syukur kami hari ini.
***
Pesan Ambu: "Ridho, Nak!"
Kami terbangun ketika ayam-ayam telah berkokok di bawah bilik rumah Sapri. Maklum, kolong rumah panggung ini selalu menjadi tempat menarik bagi ayam, anjing, dan hewan lainnya untuk berlindung atau sekadar lewat. Kami berdua harus melewati sebuah jembatan bambu agar bisa sampai ke sumber air dan mengambil wudhu. Air yang dingin nan segar seketika membuat semua syaraf kembali bekerja. 

Seusai menunaikan ritual Subuh kami bersantai di beranda rumah dengan mengobrol bersama Bapak. Anis, adik Sapri keempat pun turut bergabung dengan obrolan pagi kami ini. Dia bersikap manis dan berlaku manja pada si Bapak. Bapak berkisah tentang silsiah keluarganya dan rutinitas pekerjaan masyarakat Cibeo sehari-hari. Bapak membagi kisah tentang Sasaka Domas atau kerap kali disebut Arca Domas yang dianggap sebagai tanah larangan, tanah suci tempat pemujaan bagi orang-orang Baduy. 

Sebagaimana umat beragama yang memiliki pusat tempat ibadah atau pemujaan. Seperti umat Islam yang memiliki Ka'bah di Mekkah dan umat Kristiani yang memiliki Gereja Ortodoks di Vatikan, masyarakat Baduy pun memiliki pusat pemujaan itulah Arca Domas. Tidak semua masyarakat Baduy bisa mendatangi Arca Domas sesuka hati, mereka yang boleh melakukan pemujaan di Arca Domas adalah orang-orang Baduy yang telah memiliki kesiapan batin, mental, dan materi tertentu. Arca Domas juga dirahasiakan keberadaannya dari masyarakat luar Baduy untuk melindungi kesuciannya.

Setelah bayak berbagi cerita, kami berdua memohon diri untuk memasak sarapan. Sekitar 30 menit kemudian kami sudah bisa bersantap ria ngariung (makan bersama) Sapri, Doni yang telah kembali dari acara pemuda Cibeo, Bapak, Ambu, dan adik-adik Sapri lainnya. 

Packing pun kami lakukan setelah dirasa sarapan cukup. Pukul 07:30 kami berpamitan pada Ambu dan Bapak. Ketika bersalaman dengan Ambu dan menyelipkan sedikit tanda terima kasih, Ambu berbicara banyak menggunakan bahasa Sunda. Sambil mengelus pundak saya matanya berkaca-kaca terus mengucapkan semacam wejangan berbahasa Sunda yang sangat disayangkan tidak saya mengerti artinya. Ambu menekankan kalimatnya dengan berkata pada saya, "Ridho, Nak! Ridho, Ridho ya Nak!".

 Wanita di hadapan saya ini kemudian menatap lekat dan mengakhirinya dengan berkata, "Hati-hati". Bibir saya kelu untuk menanggapi perkataan Ambu. Seketika saya luruh dalam haru dan mencium tangan Ambu yang seakan telah mentransferkan kasih sayang tulus pada saya. Berat saya meninggalkan rumah yang hangat akan banyak kasih sayang ini. Kehadiran kami seakan merupakan bagian dari mereka. Kami dijamu dan dianggap layaknya keluarga, bukan orang asing yang datang berkunjung. Ah, sepertinya benar kata Windy Ariestanti dalam Life Traveler yang ia tulis beberapa waktu lalu. Bahwa, "Love is a 'place' that we keep visiting again and again. It annoys us to no end. And for something like this, we may call it 'home'. Yes, love is a home for everyone. Indeed! "

Mungkin memang inilah yang belum saya punya untuk mengurai kekalutan yang mengikat saya beberapa hari terakhir: Tulus dan Ridho!
***
Sayonara Baduy!
Kami pulang melalui jalur yang berbeda dengan berangkat kemarin. Kali ini kami memilih jalur Gajebo-Baduy Luar. Sebenarnya ada beberapa pilihan jalur pulang dari Cibeo ke Ciboleger namun, kami pilih Gajebo karena pemandangan di sepanjang jalan yang indah dan banyak melewati jembatan bambu untuk digunakan sebagai spot berfoto. Di samping banyak spot foto via Gajebo ini juga menyuguhkan tanjakan setan yang memang benar setannya. 

Maksud saya, tanjakan ini panjang sekali dan serasa tak berujung membuat orang yang melewatinya sering mengumpat kata "setan" karena sebal. Hahaha. Tapi tenang saja, setiap perjuangan pasti terbayar sebuah kenikmatan. Setelah melewati tanjakan setan ini kita bisa menikmati semangkuk es cendol yang dijual oleh teteh cantik (bukan spesies kuntilanak!), warga luar Baduy yang memang sealu 'nongkrong' di situ pada siang hari untuk menjajakan dagangannya.  

Perjalanan dan istirahat memakan waktu 3 jam tepat. Kami melemaskan punggung sejenak di beranda rumah kang Arkam sebelum mengambil titipan barang kami kemarin dan berpamitan. Kami bergegas melakukan bersih diri dan menunaikan ritual tengah hari. Setelah selesai mengurus hajat diri, kami berdua mengabadikan momen dengan berfoto bersama Sapri dan Doni di depan tugu Ciboleger. Setelah itu kami bersalaman dan memberikan tanda banyak terima kasih pada mereka. Kami berpamitan kemudian memasukkan barang bawaan ke dalam elf yang akan membawa kami hingga stasiun Rangkasbitung. 

Senior seperjalanan bersama Sapri & Doni
Jadwal keberangkatan elf dari Ciboleger ke stasiun Rangkasbitung adalah pukul 13:00. Ada dan tiada penumpang, sang supir akan tetap melaju jika waktu telah menunjukkan jam keberangkatan. Maka, saya sarankan jika anda berniat menumpang elf ini ketika pulang. Sebaiknya setelah turun dari elf pada saat berangkat, membuat perjanjian dengan supir bahwa anda beserta rombongan akan memesan beberapa tempat duduk untuk pulang esok hari. Sembari menunggu jam keberangkatan elf, kami berdua menyempatkan diri untuk mencicipi bakso di sebuah warung.

Di pertengahan makan, kami melihat Doni lewat. Entah ia dari mana. Kami sapa dia namun dia hanya tersenyum dan berlari melesat hilang dari pandangan kami. Tak lama kemudian ia kembali ke hadapan kami dengan membawa sebungkus plastik hitam berisi dua buntelan daun pisang berwarna kecoklatan. Dia bilang, "Ini gula aren, buat dibawa pulang ya". Astaga! Ternyata dia buru-buru tadi untuk membelikan kami gula aren sebagai buah tangan. Kami hanya sanggup mengucap terima kasih, namun jauh di dalam hati kami dipukul telak. Bahwa, yang terpenting dari sebuah perjalanan memang bukan tujuan namun bertemu orang-orang dengan karakter-karakter mereka.
***
Siap Berpetualang ke Baduy?
Kami sempurna duduk manis dalam elf ketika gerimis turun. Terselip lagi sebuah syukur. Penguasa langit dan bumi benar-benar mengizinkan kami menikmati alam Baduy kemarin hingga detik kami menerima ketulusan pemberian Doni dengan cuaca cerah, tidak seperti bulan lalu kala hujan menjadi sahabat setia kami. 

Dua jam kemudian, kami telah menjejak stasiun Rangkasbitung. Untuk transportasi dari stasiun Rangkasbitung menuju stasiun Tanah Abang bisa ditempuh menggunakan kereta api ekonomi Kalimaya dengan tarif 2.000 rupiah dan jadwal keberangkatan pukul 14:40. Dan jika anda menghendaki segerasampai tujuan maka pilihan jatuh pada kereta api ekspress Rangkasjaya dengan tarif 15.000 rupiah dan jadwal keberangkatan pukul 15:00

Jadi bagaimana, siap mengunjungi Baduy dan mendapat pengalaman tak terlupakan? Satu lagi catatan kecil, warga Baduy tidak menerima kunjungan pada bulan Kawalu yakni kisaran bulan Januari-Maret, karena mereka sedang melaksanakan puasa tiga bulan sebagai simbol ketaatan mereka terhadap Guriang Mangtua. TAMAT.
Dok. Baihakki Ahmadz

Sidoarjo, 9 Jan 2013
B.E.J, 02:46              

Sumber:
Alquran
Soul Travel in Baduy-Eni Martini
Life Traveler-Windy A
Laporan Penelitian "Menilik Kehidupan Sosial Masyarakat Suku Baduy"-Belda Eldrit Janitra

  




4 komentar:

  1. asik mba belda jalan-jalan ke Baduy haha aku yang orang banten aja belom pernah ke Baduy

    BalasHapus
  2. wah, asiiik.aku mau dong diajakin kesana . (y)

    BalasHapus
  3. Wowo, tulisannya keren, fotonya nice
    ada sedikit koreksi dari saya pribadi:
    Noted: dalam Soul Travel In Baduy yang mengalami dikentutin jurik cuma saya, bukan teman-teman dan tidak gatal..tapi seperti perasaan tidak nyaman di seluruh tubuh. Tidak seperti kadal, apalagi bersisik..iiiih SERAM. tapi hanya bentul yang menyepaikulit totol di tokek

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah... Disambangin sama mbak Eni. Sesepuh sekaligus guru ekspedisi Baduy. Xixixi. 😄 Suatu kehormatan buat toples mimpi. Terima kasih mbak Eni, atas ralatnya. Saya publish komentar mbak ya biar pembaca juga tahu informasi yg akurat dari penulis inspiratif saya di buku Soul Travel In Baduy. 😊

      Hapus