" Wadah Perca-perca Mimpi Sebelum Terburai Melangit " (B.E.J.)

Kamis, 22 Desember 2011

Bungo Jeumpa, sebuah bingkisan kecil untuk pahlawan muda bangsa

Huuffft, dan akupun kembali berkhayal liar dengan sedikit paksaan dari teman-teman kelasku. "Beldaaa! Ayolah! Siapa lagi yang mau mengarang bebas buat lomba cerpen dalam rangka bulan bahasa dan hari pahlawan ini, kalo bukan kamu! Daripada sekelas kita didenda LIMA PULUH RIBU" Ujar salah satu temanku yang sengaja menekankan kata 'lima puluh ribu' disambut oleh batinku yang ke ge er an seolah-olah akulah satu-satunya harapan sekelas, hehehe. "Ok lah!" Aku sanggupi juga permintaan lima puluh ribu itu padahal deadline pengumpulan cerpen itu empat hari lagi dan I don't have any idea about the topic! 

Inilah buah karya pikiranku yang melalang buana, dan membuahkan satu trophy kecil sebagai pemenang kedua. It's more than enough. Thanks Allah. :) 


Bungo Jeumpa

          Malang, 29 Juni 2011
          “Ni, ngerasa gak sih kalo kita hidup di Indonesia selama ini cuma jadi orang munafiq?” Rafi memulai percakapan sepulang sekolah.
          “Hmm, kumat deh calon pak presiden kita yang satu ini. Kena setan apa nih, pak pres?” Bukannya menjawab pertanyaan Rafi, gadis mungil yang berjalan sejajar dengannya ini malah menggodanya.
          “Ya nggak kena setan apa-apa lah! Cuma aku baru sadar aja setelah tadi Pak Danar nerangin panjang lebar tentang sejarah kemerdekaan bangsa Indonesia.” Terang Rafi pada gadis itu.
          “Ouh, kirain kamu kesetanan nasionalisme. Lagi. Hahaha. Eh, tapi maksud kamu kita cuma jadi orang munafiq?” Nia akhirnya mulai mencerna pertanyaan awal Rafi.
“Heran aja sih, semua orang udah ngakuin kalau Indonesia itu udah merdeka. Yang katanya bebas dari belenggu penjajahan. Mana buktinya? Dimana-mana masih banyak anak sekolah yang tawuran, masih banyak anak jalanan yang nggak dapet pendidikan secara layak eh, boro-boro mau sekolah buat makan aja mereka musti ngamen dulu di perempatan lampu merah! Katanya, negara bakalan menjamin penuh atas kesejahteraan rakyatnya? Ckckckck. Ini mah namanya penjajahan ideologi.” Rafi masih menggandeng tangan Nia.
“Hmm, iya sih.”
“Kamu tunggu sini ya, aku ambil motor dulu.”  Rafi mulai melenggang menuju tempat parkir meninggalkan Nia di depan gerbang sekolah.
“He em.”
Adalah suatu hal yang lumrah jika, suasana sekolah sangat ramai apalagi ini kan memang jam bubaran anak sekolah.
‘Apaan sih itu rame-rame?’ Batin Nia saat melihat gerombolan siswa berseragam yang tak biasanya, ada garis kemarahan di raut wajah mereka.  
Nia semakin gugup saat dia telah yakin bahwa gerombolan itu adalah gerombolan SMA Bakti Nusa. SMA yang telah lama menjadi musuh bebuyutan sekolahnya.
“Aduh, mana Rafi lama banget ambil motornya!” Nia mulai mendesis ketakutan karena seperti yang bisa diprediksi sebentar lagi pasti ada keributan besar.
‘Pyaaar...’ Benar saja, sebuah batu berhasil memecahkan kaca jendela kantor resepsionis sekolah.
“Heh, lu! Keluar lu bajingan SMA Airlangga!” Teriak salah seorang pentolan tawuran itu.
“Keluar! Atau gue bakar ni sekolah!” Teriak anggota yang lain. Sontak Nia yang sedari tadi berdiri di depan pintu gerbang mualai beringsut mundur.
‘Satu…, Dua…,’ Nia mulai menghitung langkah kakinya, sebelum sebuah suara menghentikannya.
“Eh lu!” Teriak salah seorang siswa SMA Bakti Nusa denga suara parau.
‘Mampus deh!’ Batin Nia menyumpahi.
“Ya?” Nia memberanikan diri menjawab pertanyaan itu.
“Mau kemana lu? Kabur?” Tantang siswa itu.
“Eh, mau kemana ya suka-suka gue lah! Kaki kaki gue juga! Gak minjem lu!” Jawab Nia menyolot.
“Eh, berani lu ya?” Siswa itu mulai mencengkeram kedua tangan Nia.
“ Kurang ajar lu! Lepasin, gak?!” Nia mulai memberontak. Siswa SMA Bakti Nusa memang tak pernah pandang bulu jika telah memulai pertempuran. Mereka menganggap yang namanya musuh dimana-mana itu sama, gak peduli cewek atau cowok.
“Nggak akan gue lepasin sebelum pentolan bajingan sekolah lu keluar ngadepin kita!”
‘Rafi cepetan dong ambil motornya!’ Mohon Nia dalam hati.
“Lepasin!” Teriak Nia.
“Eh, berani ngelawan lu!” Cengkeraman itu semakin kuat sehingga menyebabkan Nia meringis kesakitan.
‘Buuk!’ Spontan suara hantaman keras itu membuat cengkeraman yang menyakiti Nia mengendur.
“Lepasin cewek gue!” Suara tenang itu, Rafi!
“Rafi…!” Teriak Nia lantas langsung memeluk Rafi.
“Lari Ni, cepet panggil bantuan! Aku beresin mereka dulu.” Bukannya menenangkan Nia, Rafi malah mengusirnya.
“Tapi…,” Kalimat Nia menggantung.
“Cepetan!”
**********

 
Malang, 17 Agustus 2011
“Untuk mengenang jasa-jasa para pahlawan yang telah mendahului kita, marilah kita mengheningkan cipta. Mengheningkan cipta mulai!”  Intruksi Pembina upacara diikuti dengan alunan lagu mengheningkan cipta oleh barisan anggota choir paduan suara.
‘Hai Raf, hari ini Indonesia ultah yang ke 65 lho! Aku harap, kamu disana tahu betapa bangganya Indonesia punya mantan calon presiden kayak kamu.’ Batin Nia mengenang.
Satu bulan sembilan belas hari, Rafi telah pergi. Ya, tragedi tawuran berdarah itu merenggut Rafi untuk selamanya. Perut Rafi terhunus pisau sebelum kemudian mengalami pendarahan hebat dalam perjalanan menuju rumah sakit.

**********
Malang, 09 September 2011
“Baiklah, perolehan suara terbanyak pertama di duduki oleh Pandhu Perwira, kemudian Cut Niary, Rohman Hakiki, dan Sukma Wulandari. Jadi, ketua umum OSIS kita periode 2010-2011 adalah Pandhu dengan ketua I adalah Nia , sekretaris Rohman dan bendaharanya adalah Sukma. Ada yang kurang sepakat dengan penghitungan suara ini?” Kak Ardi bersiap menutup rapat penghitungan suara OSIS tersebut. Setelah dirasa semua sepakat dengan hasil penghitungan tersebut Kak Ardi melanjutkan.
“Saya rasa, cukup. Baiklah, pelantikan akan dilakukan pada minggu depan.  Sebelumnya, saya ucapkan selamat untuk pengurus-pengurus OSIS yang baru.”
**********
Aceh, 12 Oktober 2011
“Nia…! Jangan ada yang tertinggal! Bundo tak mau  titipan buat paman kau itu tak sampai padanya!” Teriak bundo dari ruang makan.
“Beres bundo!” Sahut Nia sembari menyiapkan segala barang yang harus dia bawa kembali ke Malang.
“Bundo, tambahlah uang Nia! Kan Nia, tak langsung kembali ke Malang. Setelah dari rumah paman nanti, Nia mau singgah sebentar ke pusara Cut Nyak Dhien.” Rengek Nia pada ibunya.
“Aish! Kau itu, tabungan kau kan masih banyak. Kenapa pula masih minta bundo? Sekali-kali dipakai buat keperluan kau sendiri kan tak papa.”
“Tak mau! Itu tabungan kan buat Nia nanti kuliah, Bun. Ayolah, Bun! Sedikit sajalah, Bun!”
“Ini. Tapi, ingat! Jangan kau langsung habiskan itu uang!” Bundo mengeluarkan beberapa lembar uang.
“Siap, komandan! Hahaha.”
**********

Sumedang, 13 Oktober 2011(07:12)
“Benar kau Ni, tak ingin paman antar ke pusara Cut Nyak Dhien?” Paman Nia menawari keponakannya yang mungil itu sekali lagi.
“Tak usah lah, Paman! Paman kan sibuk! Lagipula, disana nanti Nia juga ada teman kok.” Nia berusaha meyakinkan pamannya yang terlihat sangat khawatir itu.
**********
Pusara Cut Nyak Dhien. Sumedang, 13 Oktober 2011 (16:25)
“Cut Nyak Dhien. Nama saya Nia,  Cut Niary. Lama sudah saya ingin sekali berkunjung kemari. Namun, baru kali ini terealisasi. “ Nia mulai bergumam pelan diatas pusara salah seorang tokoh yang benar-benar menginspirasi hidupnya itu. Selain kemiripan nama, tempat mereka dilahirkan yakni tanah rencong, keberanian serta kesetiaan abadi Cut Nyak Dhien ini benar-benar telah memotivasi Nia.
“Tiga bulan empat belas hari yang lalu, tepatnya tanggal dua puluh sembilan Juni. Tanggal dimana persis, Tuanku Ibrahim Lamnga meninggalkan Cut untuk selamanya. Tanggal itu pula, namun di tahun dan era yang sudah jauh berbeda  Nia juga merasakan kehilangan dan kesedihan yang sama seperti Cut rasakan di tahun 1878 itu. Berat Cut, Nia ngerasain itu sendiri. Banyak hal yang berubah semenjak kepergian dia. Termasuk keberanian ini, bagai bungo jeumpa mekar  yang memang sengaja dia tinggalkan.” Nia melanjutkan curhatnya, seakan-akan Cut Nyak Dien benar-benar mendengarkan dengan seksama setiap detail penuturannya.
“Nia, mau jadi orang yang kuat dan tegar kayak Cut! Nia pengen kayak Cut yang bisa nerusin cita-cita Tuanku Ibrahim. ” Mata Nia mulai berkaca-kaca.
“Nia, pasti bisa jadi ngewujudin cita-cita Rafi! Sebagaimana Cut Nyak Dhien udah berusaha ngewujudin cita-cita Tuanku Ibrahim Lamnga!” Setelah puas menumpahkan semua unek-unek hatinya, Nia meninggalkan pusara itu bersiap menuju bandara untuk take off  kembali kota Malang menyongsong semua rutinitasnya semula.
*********

Malang, 08 November 2011
“Pan, udah siap buat berangkat ke Jakarta minggu depan?” Tanya Nia.
“Selalu siap, Ni.” Jawab Pandhu sambil tertawa ringan.
“Enak ya, lu! Bisa ikut Indonesia Student Leadrship Camp. Udah pelatihan kepemimpinan dan campnya di Universitas Indonesia, bareng seratus ketua OSIS terbaik se-Indonesia, eventnya keren-keren, enam hari pula!” Sindir Nia.
“Hahaha. Kenapa, iri lu?” Pandhu memukul ringan bahu Nia.
“Kalo iya, kenapa?”  Canda Nia.
“Makanya, jadi ketua OSIS dong!”
“Hufft, kalo bukan karena dia aja. Gue gak…” Kata Nia menerawang jauh.
“Ssstt!” Pandhu yang mengetahui jelas maksud kalimat terakhir Nia, buru-buru menyilangkan jarinya di depan bibir Nia.
**********
Malang, 13 November 2011
“Elu, gak boleh sakit Pan! Terus yang mau berangkat ke Jakarta siapa?” Suara Nia terlihat sangat khawatir diseberang.
“Apa gunanya, gue punya ketua I kalo gak bisa gantiin ketua umum disaat urgent kayak gini?”
“Maksud lu?”
“Cut Niary, lu harus berangkat gantiin gue!”
“Tapi…,” ‘Klik’ Suara itu terputus.
**********


Indonesia Student Leadership Camp at UI. Jakarta, 15 November 2011
‘Selamat bersenang-senang!’ Satu pesan dari Pandhu tertera di layar ponsel Nia.
‘Lu, udah sembuh?’ Nia mengirimkan satu pesan balasan.
‘Emang kapan gue pernah sakit?’
‘Lho?’ Nia mengetikkan satu kata yang menyiratkan kebingungan.
‘Gue sehat kok! Udah gak usah banyak tanya! Yang penting lu udah berhasil menuhin salah satu cita-cita Rafi kan?Dan satu lagi, lu pulang harus bawa resume apa aja pelatihan dari ISLC ini. Hmm, ada satu lagi yang terpenting! Setelah balik dari Jakarta, lu harus jadi pacar gue! (Tanpa harus melupakan Rafi.) .’ Nia membaca pesan Pandhu dengan seksama sembari mengingat bahwa, setelah ditinggal wafat Ibrahim Lamnga, Cut Nyak Dhien dilamar oleh Teuku Umar salah satu tokoh yang melawan Belanda. Pada awalnya Cut Nyak Dhien menolak, tetapi karena Teuku Umar memperbolehkannya ikut serta dalam medan perang, Cut Nyak Dhien setuju untuk menikah dengannya pada tahun 1880.
*TAMAT*







2 komentar:

  1. waaaaaaa... belda... bagus sekali...
    selamat atas pialanya... :)
    terus berkarya tanpa kenal lelah...
    :)

    BalasHapus
  2. Waa, jadi malu sama penulis handal. ini mah belum ada apa-apanya sama karyamu chan~
    Insyaallah, sama-sama berkarya untuk kontribusi nyata agama dan bangsa ini. :)

    BalasHapus