" Wadah Perca-perca Mimpi Sebelum Terburai Melangit " (B.E.J.)

Selasa, 15 Januari 2013

Dua Cerita


….
Senja yang merah tak akan pernah sanggup membakar dahan-dahan pinus yang semakin mengerut kehilangan airnya di musim gugur.
Begitu pun angin yang dingin, tak akan pernah mampu membekukan helaian daun bambu yang semakin memucat karena sang surya semakin sibuk di musim dingin. Begitu pun aku yang terjepit diantara ideologi pribadi dan tradisi.

            Menyusuri jalan di seputaran danau Lugu dengan angina yang mengajak rambutku menarikan tarian salsa sudah menjadi rutinitasku setiap sore dan minggu pagi-sore aku berbelanja di kota Lijiang dan minggu pagi menjual hasil kebun di Beijing-. Inilah satu-satunya jalan yang menghubungkan desaku dengan kota Lijiang. Kemudian dari Lijiang dengan menumpang truk sayur, aku pergi ke Beijing. Disanalah aku biasa menjual bubuk kopi hasil kebunku dengan harga yang cukup mahal dan cepat. Tidak perlu berlama-lama menunggu pembeli untuk datang. Aku hanya cukup menjualnya kepada seorang pedagang yang langsung membeli seluruh bubuk kopi yang kubawa. Para penjual kopi itu sudah akrab dengan pakaian tradisional dan namaku, Lacuo.

            Di tepi danau Lugu inilah sejak kecil aku hidup. Danau yang menyimpan ribuan ikan dan air yang sangat jernih. Air itulah yang menjadi sumber kehidupan penduduk desa Lugoni-semuanya etnis Mosuo- yang kehidupannya masih sangat tradisional. Banyak tradisi China kuno yang masih dilestarikan oleh penduduk desa ini. Setiap fajar mulai menyingsing dari peraduannya, orang-orang tua- perempuan dan laki-laki- dengan pakaian khas etnis Mosuo; baju berkerah lebar dan rok atau celana berenda yang penuh pernak-pernik bermotif gurun serta hiasan kepala, selalu berdoa di tepi danau dengan dupa di hadapan mereka, bersamaan dengan terbitnya matahari dari balik gunung Himalaya di atas danau Lugu.

            Ketika burung-burung camar mulai berkicauan, para perempuan segera menggiring ternak mereka ke padang rumput yang terletak tak jauh dari perkebunan. Sambil mengawasi ternak, perempuan-perempuan itu mulai menggarap kebun kopi mereka. Ya, hampir satu per empat daerah ini didominasi perkebunan kopi. Hanya ada laki-laki berusia kepala empat ke atas dan para perempuan di kebun, begitu juga untuk pekerjaan-pekerjaan lainnya, sebelum genap berusia empat puluh, para lelaki di sini tidak diperbolehkan bekerja. Begitulah tradisi menggariskan kehidupan etnisku. Mosuo.

            Melihat mereka, membawa diriku yang masih berusia 19 tahun dengan dua saudara laki-laki seakan menjalani masadepan yang berat dan membosankan. Itu sudah menjadi kewajiban yang digariskan oleh tradisi dan aku menerimanya, tetapi bukan berarti aku hanya akan menerima seperti perempuan-perempuan lain menerimanya. Aku ingin menjalani kehidupanku sesuai dengan apa yang aku inginkan, tanpa melanggar nilai-nilai tradisi etnis Mosuo. Hidupku adalah milikku, begitupula tradisiku.
....
(Lacuo-Muwaffiqol Fahmi A) 
***
….
Ratih!, 28 Maret 2012

            Sudah dua jam yang lalu aku berusaha menyergah perasaan tidak enak yang berkecamuk dalam dada. Rasa khawatir, takut, penasaran berpadu menjadi satu, membentuk gumpalan rasa sesak. Lelaki sendu itu belum datang hari ini, padahal matahari senja sudah menyingsing beberapa jam yang lalu. Apakah ia sakit? Atau kemungkinan buruk lain telah terjadi padanya? Tuhan, aku juga tidak tahu sejak kapan aku harus repot-repot memikirkan orang lain yang bahkan namanya saja tidak kuketahui hingga saat ini. Aku sendiri heran mulai kapan lelaki sendu itu bisa memboikot pikiranku dengan tatapannya.

            Aku menyibukkan diri dengan membaca buku berusaha mengusir malaikat jahat yang sudah sedari tadi berperang dengan batinku. Namun, belum lama aku menyelam dalam deretan tulisan pada buku itu, tanganku segera menghempaskan benda persegi simestris itu ke meja. Aku kalah dengan malaikat jahat. Aku tetap tidak bisa mengusir bayangnya. Akhirnya aku putuskan untuk menautkan tatapanku pada kesibukan kota malam ini. Langit mendung malam ini, membuat bintang malu-malu untuk menampakkan keindahannya. Hanya terlihat satu dua yang berani memamerkan pendar cahayanya.

            Aku menarik nafas dalam setelah melirik arloji di tanganku. Pukul 21:45. Berarti lima belas menit lagi, Cream House tutup. Saat aku mulai putus asa menunggunya. Seorang lelaki bertubuh tinggi memakai kemeja krem dengan bagian lengan sedikit dilipat telah berdiri di depan pintu masuk. Itu lelaki sendu yang telah mengobrak-abrik hatiku akhir-akhir ini. Astaga, lihatlah! Dia datang. Namun, tak seperti biasanya kali ini dia diam lama seperti enggan untuk melangkah masuk. Tak tahan menunggunya tidak segera beringsut akhirnya aku putuskan untuk keluar menemuinya. Aku atur perasaan yang terlanjur membuncah di dada. Sebelum kemudian aku putuskan untuk mengajaknya berbicara. “Ada yang bisa saya bantu, Mas?” aku tersenyum menghampirinya berusaha sebiasa mungkin, menyikapinya seperti pelanggan yang lain. “Ratih!” Bukannya menjawab pertanyaanku, lelaki di hadapanku ini malah menatapku tepat di manik mataku kemudian menelusuri wajahku dengan tangannya. Rasanya ia baru saja menemukan sesuatu yang selama ini ia cari. Aku menahan napas, berusaha memahami apa yang ia lakukan setelah menyebutkan satu nama yang sama saat pertama kali bertemu, Ratih.

            “Ehm! Maaf mas, nama saya Nadia.” Aku berhasil menguasai diri kembali. Dan saat itulah, reaksi yang tak terduga muncul darinya. Lelaki sendu itu tersentak dan menghempaskan tangannya keras dari wajahku. Kemudian ia berlari meninggalkanku sendiri yang masih berusaha memahami selintas adegan yang baru saja terjadi. Berlari dan tak pernah kembali.
….
(Intuisi Serpihan Hati-Belda Eldrit J)

****
Yeah, it’s telling story day! Sebelum seminggu yang lalu, hari yang paling ditunggu-tunggu oleh penghuni kelas saya hari Jumat. Tapi setelah masuk sekolah aktif selepas libur semester gasal lalu hari Jumat tergeser peringkatnya oleh hari Rabu. Why? Karena, pelajaran bahasa Inggris yang semula diletakkan di hari Jumat sekarang pindah jadwal di hari Rabu. Sebenarnya, bukan mapelnya yang membuat seisi kelas mungkin hampir seangkatan kelas XII jatuh cinta sekonyong-konyong koder dengan ini, namun gurunya yang super duper gokil. Mr. Yoga. He is an multitalent man. Sometime he can be a good singer, sometime a dancer, a jokester, a friend, a brother, and the conclusion is he always can be a good teacher. Materi pembahasan kali ini adalah telling short story. Semua siswa-siswi bebas memungut bacaan dari sumber mana pun dan setelah itu kami harus me-retell nya kembali maju di depan kelas.

Sebelum hari ini tiba, saya kelimpungan setengah hidup. Bingung short story mana yang harus saya retell kan besok (hari ini).  Bukan masalah sudah banyak cerpen yang saya baca. Namun, masalahnya saya bingung menentukan cerpen mana yang layak untuk dishare kan kepada teman-teman besok. Jadilah, semalam saya bongkar habis rak buku saya. Saya cari buku mana saja yang memuat kumpulan cerpen. Alhasil, cuci gudang saya menghasilkan 8 buah novel, 2 buah buku catper, 3 buah majalah, dan 1 buah buku kumpulan cerpen. Memang mudik liburan kemarin banyak buku bacaan yang saya ungsikan ke rumah karena rak buku saya di kamar sini tidak mampu menampung lebih banyak lagi.

Taraaa…! Lacuo. Itu judul harta karun yang saya temukan. Sebuah buku kumpulan cerpen hasil “Lomba Menulis Cerita Pendek Tingkat SLTA se-Malang Th.2012” yang diselenggarakan Akademi Sinau dan Sampoerna Academy. Ada sepuluh cerpen pilihan yang dipilih oleh dewan juri kemudian kesepuluh cerpen itu dibukukan menjadi satu. Saya pribadi sudah tamat membaca buku ini lama. Semua cerpen dalam buku kumcer itu sangat memesona. Tidak tahu juga bagaimana sang penulis mampu melalang buanakan imajinasinya. 

Seingat saya, dulu pamflet lomba menulis ini ditempel di dinding pengumuman belokan jalan akan ke masjid dan kantin. “Gimana kalau kamu ikut aja lomba itu?”, ujar seorang teman saya ketika kami hendak ke kantin waktu itu. “Enggak ah, temanya terlalu berat belum lagi deadlinenya mepet!”, saya mengernyit menolak usulan teman saya. ‘Buku, Kopi, dan Puisi Bercangkir-cangkir’, itu tema yang diberikan oleh panitia untuk lomba kali ini. Ah, mendengarnya saja saya belum punya gambaran akan menulis apa. Lagipula, saya benci deadline! Pengumpulan terakhir adalah delapan hari setelah saya membaca pengumuman itu. What a suck time I have!

Jadilah setelah beberapa bulan kemudian saya mendengar kabar dari teman bahwa cerpen-cerpen terbaik hasil lomba itu telah dibukukan dan telah dijual di toko buku manapun. Saya tersenyum. Andai saja waktu itu saya turuti apa kata teman saya, pasti salah satu dari cerpen-cerpen itu adalah milik saya. Hanya berandai-andai. Hahaha

Perihal Kisah Beraroma Kopi (Axellina Muara S), Esok (Nur Wijaya), Gadis Rembulan (Galih Ramadan S), Terjerat Wajah (Muhammad Abdul M), Lacuo (Muwaffiqol Fahmi A), Seduhan Yang Berbahasa (Hilya Fitri A), Secangkir Untuk Yang Tercinta: Ibu (Nabilla Hefin R), Intuisi Serpihan Hati (BEJ), Cangkir Kopi Dan Puisi Terakhir (Nur Hasanah P), Selaksa (Vita Fitria P). 
Cerpen-cerpen yang keren. Saya semalam membaca ulang habis kumcer tersebut. Sembari sedikit nostalgia, membayangkan bertemu dengan mereka penulis muda yang berbakat. Padahal dalam hati terkadang merasa iri, kapan bisa melahirkan sebuah karya seperti mereka? Kapan ya? Kapaaan? Kapan-kapan, mungkin. 

Dua cuplikan kisah di atas yang saya cantumkan sebagai pembuka postingan kali ini sebenarnya sedikit membuat saya bingung. Mana yang harus saya retell kan untuk telling short story performing kali ini. Mr. Yoga hanya menghendaki satu. Hmm, sepertinya saya harus sholat istikharah untuk memutuskan salah satu dari keduanya. Atau mungkin sholat hajat agar retell kedua cerita itu sekaligus lancar di depan Mr. Yoga dan teman-teman saya. Kriiiing! Dan Tuhan pun mendengar doa saya. Bel pergantian pelajaran telah menjerit. Itu artinya: Saya maju retell short story performing  MINGGU DEPAN! Yes! Hahaha J

1 komentar:

  1. hahaha, thanks belda udah mengingatkan saya sama Lacuo lagi.. ga tau kok saya bisa kesasar di blog kamu haha.. jadi terus mana yang di re-tell?? :D wkwkwk

    BalasHapus