" Wadah Perca-perca Mimpi Sebelum Terburai Melangit " (B.E.J.)

Jumat, 03 Januari 2014

BADUY: "Karena Bahagia itu Sederhana"


Baduy, sebuah mimpi lama
Keinginan untuk menyambangi saudara-saudara luar biasa yang terkumpul dalam satu komunitas "suku Baduy" telah mengetem lama di benak saya sejak Desember 2012 lalu. Kampung Baduy yang berada di Banten tepatnya daerah Ciboleger berhasil menyadap pikiran saya tentang peradaban manusia suci yang tidak terjamah oleh modernisasi dan alat-alat elektronik beserta sosial media yang saat ini menjadi kebutuhan pokok orang-orang banyak termasuk saya sendiri.
            Jadilah, setelah saya mendapat kesempatan berkuliah di sebuah universitas di Jawa Barat (karena saya bingung kampus saya ini statusnya milik Jakarta atau Tangerang Selatan -_-), saya manfaatkan objek-objek dolen yang ada di sekitar. Dan tujuan utama saya adalah mimpi lama ke peradaban manusia suci yang namanya banyak digaung-gaungkan di forum backpacker Indonesia: BADUY!
***
            Bertemu manusia impian!
Sebelum saya berangkat, Sabtu dulu sekali saya melihat empat orang berpakaian putih dan ada yang berpakaian hitam mengenakan ikat kepala putih berjalan tanpa alas kaki dengan menjinjing tas kain yang menggembung di punggung mereka. "Sumpah! Mereka ada, aku nggak mimpi!" kata saya pada seorang teman ketika saat itu kebetulan sedang jalan keluar membeli makan di sebuah warung. "Apa sih, Bel?" tanya kawan saya. "Ituuuu! Merekaaaaa!" Saya menunjuk-nunujuk empat orang yang punggungnya segera menjauh dari pandangan. Saya tak kuasa membahasakan kekaguman yang saya lihat. "Ooh, orang Baduy. Mereka memang sering lewat sini mbak. Kayaknya belanja keperluan. Pernah saya ajak makan di sini, mereka nggak mau pakai sendok sama garpu. Maunya pakai tangan", ujar pemilik warung tempat saya beli makan, ternyata virus kepo juga sudah mulai menyebar kepada dia. Hahaha. Wah, sejak saat itu saya terus melanjutkan kekepoan saya terhadap suku Baduy yang nyata adanya. Saya harus bisa makan bersama mereka! Satu kalimat itu yang saya tancapkan kuat-kuat setelah pulang dari warung itu.
 
Perjalanan mengunjungi peradaban orang-orang yang terkenal kekeuh  dalam mempertahankan nilai dan norma adatnya ini saya lakukan dua kali dalam kurun waktu satu setangah bulan! Serasa pulang ke rumah nenek. Hahaha.
            Perjalanan pertama saya lakukan pada 16-17 November 2013, bertepatan dengan tugas observasi mata kuliah sosiologi agama yang mengharuskan saya meneliti spiritualitas sebuah komunitas. Saya pilihlah suku Baduy untuk diteliti, sekalian main batin saya. Alhasil, izin yang saya ajukan pada orangtua adalah "Buat tugas penelitian, Ma-Yah!". Bisa dipastikan proposal dolen sulit di ACC bos besar jika alasannya tidak urgent seperti itu, mengingat November adalah bulan kecintaan dewa hujan.
            Benar saja, perjalanan yang ditemani oleh senior-senior saya ini (2 perempuan tambah saya jadi 3, dan 1 laki-laki) ditemani hujan sepanjang masa. Agak berlebihan memang, tapi kenyataannya ketika kami datang disambut oleh hujan, saat berjalan digandeng hujan, dan ketika pulang diantar hujan. Sebenarnya sambutan baik hujan ini tidak menyurutkan rasa senang saya karena berhasil mengunjungi peradaban suku Baduy sekaligus mencoret salah satu destinasi travelution 2013 saya.
 Di samping itu, waktu dua hari semalam yang kami habiskan lebih banyak dimakan untuk perjalanan daripada mengorek kisah tentan kehidupan mereka. Apalagi saya membawa misi suci untuk mengerjakan laporan yang alibi itu. Hadeh.  Jadilah, perjalanan kali ini masih banyak meninggalkan teka-teki bagi saya. Tentang bagaimana nikmatnya kopi tumbuk Baduy (meskipun saya bukan coffeeholic), planetarium alam Baduy, dan jembatan akar yang tersohor yang menjadikan seseorang itu afdol mengunjungi Baduy.  Saya harus kembali lagi jika kemarau datang! Batin saya kurang puas dengan dolen kali ini.
***
Dari Tn.Abang ke Tr. Awe
Ikrar saya kala itu adalah kembali lagi mengunjungi Baduy ketika kemarau datang. Maklum, medan yang asik jika tidak ingin mengatakannya berat membuat saya berpikir dua kali untuk kembali menjajakinya diantara becek dan hujan.
Hari itu seminggu sebelumnya, tiba-tiba saja saya terbesit rindu pada alam pegunungan Kendeng yang mengelilingi kampung Baduy. Dan ternyata rindu saya terhantarkan dengan adanya satu misi khusus kali ini, tapi bukan laporan alibi lagi seperti dulu. Melainkan tugas yang lebih asik. Hahaha.
Akhirnya, saya nekat mengontak seorang senior saya yang kemarin juga terlibat dalam perjalanan Baduy, padahal saya tahu kabar langit Jakarta, Ciputat, dan sekitarnya masih galau, kadang hujan-kadang cerah-kadang nano-nano.
Deal! Senior saya mau menemani perjalanan kali ini. Kami pun bertemu di stasiun Tanah Abang pada 28 Desember 2013. Rute yang akan kami tempuh adalah stasiun Tanah Abang-Stasiun Rangkasbitung. Untuk menuju Rangkasbitung bisa menggunakan kereta ekspress Rangkasjaya dengan tarif 15 ribu rupiah dan waktu tempuh 1 jam 40 menit. Kereta ini beroperasi dua kali sehari dari Tanah Abang yakni pukul 08.00 pagi dan 18.00 sore. Siapkan KTP atau identitas diri sebelum membeli tiket, karena jika tidak anda akan mendapati kekecewaan berupa balik mengantre lagi di antrean yang panjang karena ditolak oleh petugas.
Di perjalanan sebelumnya, saat saya yang bertugas membeli tiket Rangkasjaya ini karena senior saya masih berada dalam perjalanan dari Bekasi menuju Tanah Abang dan dua senior yang lain menjagakan barang bawaan kami, saya tidak dimintai KTP oleh petugas loket. Namun, entah saat kali ini wewenang membeli tiket Rangkasjaya jatuh pada senior saya semata wayang yang datang terlebih dahulu di stasiun dan saya masih dalam kereta menuju Tanah Abang, ia dimintai identitas oleh petugas. Alhasil, satu tiket resmi dengan nomor identitas asli ia kantongi, dan satu tiket untuk saya beridentitas nama asli saya dengan umur 16 tahun! Alamak, rupanya saya masih pantas dibilang anak SMA jika tidak mau menyebut saya awet muda. Hahaha. Terimakasih senior, berkat anda saya kembali muda. :p
 Berangkat pukul 08.00 kami banyak melihat para backpacker yang juga ingin menikmati alam Baduy. Sepanjang perjalanan kami membunuh waktu dengan mengobrol apapun bahan yang bisa diobrolkan, daripada bengong dan akhirnya mengantuk. Iya kan? Singkatnya, kami tiba di stasiun Rangkasbitung yang selalu padat setiap kali saya datangi itu pukul 09:40. Kebanyakan rombongan backpacker sudah menyewa kendaraan dari Rangkasbitung agar bisa langsung sampai di Ciboleger, pintu gerbang menuju kampung Baduy.
Kami berdua pun mengambil transport jalur biasa yakni menumpang angkot 07 berwarna merah dengan tarif 4000 rupiah hingga terminal Awe. Jangan kaget, jika angkot di sini sedikit lebih ekstrem dari angkot-angkot biasanya. Saya katakan begitu karena jika penumpang telah penuh, sang sopir akan tetap memaksakan penumpang hingga sulit bernafas, bahkan ada penumpang yang rela berdiri nggandol di pintu angkot. Miris.   Perjalanan dari stasiun Rangkasbitung menuju terminal Awe hanya memakan waktu 30 menit. Seanjutnya kami harus menumpang Elf agar bisa sampai di Ciboleger.  
Elf menuju Ciboleger

      Bulan lalu saat kami berempat harus menunggu selama satu jam setengah hingga sopir elf mau menstater mesin kendaraannya. Bayangkan saja kami yang tiba di terminal pukul 10.30 harus rela menunggu hingga pukul 12.00. Kata sang sopir, "Tunggu bentar ya The, biasanya kita emang jalan jam 12". What theeee! Padahal saat itu langit sudah sangat mendung dan sang sopir tetap tidak mau berkompromi dengan kami.
Tapi, berbeda dengan perjalanan kedua kali ini. Kami berdua yang belum sempat sarapan sengaja menunggu elf ini jalan dengan menyantap bubur ayam bekal dari abang depan asrama saya. Hahaha. Kira-kira sepuluh menit setelah kami selesai makan, pukul 10:50 messin elf pun mendengung. Asik! Berarti kami tidak perlu menunggu lama seperti kemarin. Kami sempatkan melihat keadaan langit sebelum elf melaju jauh. Ah,  langit cerah rupanya! Semoga cerahnya awet hingga nanti kami tiba di Ciboleger.
Butuh waktu 2 jam dan tarif 20 ribu untuk meretas jarak dari terminal Awe ke Ciboleger. Berbagai pemandangan tersaji dapat kami lihat melalui jendela kaca elf, mulai dari perkampungan warga hingga jajaran pegunungan Kendeng yang menyerupai jajaran pegunungan Tengger. Kan, ini dia yang membuat saya kangen dengan Bromo. Baiklah, mungkin liburan kali ini saya harus menemui dia dan melepas rindu.
Kami kembali menyadapi apa yang disajikan di hadapan kami. Namun, lama-lama saya bosan dan mulai mengantuk. Maklum, beberapa hari sebelumnya hidup saya tidak tenang dihantui dengan artikel ilmiah yang hingga detik saya pergi dolen ini belum terselesaikan. "Cari insprasi buat tugas", pamit saya pada teman sekamar saya. Padahal, tugas tentang apa? Demokrasi. Cari inspirasinya dimana? Baduy! Lagi-lagi ini hanya alibi untuk rehabilitasi pikiran yang kacau. Atau lebih tepatnya pelarian dari tugas ruwet yang buka saya banget. Hahaha. Saya sempatkan tidur lumayan lama setelah capek membaca buku dengan kedaan dikoyak-koyak seperti naik rollercoaster.

Tugu Ciboleger

Kami tiba di Ciboleger mendekati waktu zuhur, saya lupa jam pastinya. Ternyata, sahabat Baduy Dalam kami, Doni telah menunggu sedari tadi. Ah, iya. Sebelumnya, saya perkenalkan dua sahabat Baduy Dalam yang berhasil saya temui namanya Sapri dan Doni. Mereka berdua adalah guide kami ketika November lalu kami berkunjung. Di rumah Sapri jugalah kami dijamu dengan baik dan menginap dengan tenteram.
"Sapri mana?" tanya saya ketika mendapati Doni hanya sendirian duduk di depan sebuah warung, menunggu kami. "Masih mengantarkan tamu ke Baduy Luar", jawab Doni singkat. Jangan salah sangka dulu! Banyak artikel dan catatan perjalanan yang menyatakan bahwa orang-orang Baduy pendiam dan pemalu. Tapi, itu tidak berlaku untuk semua orang-orang Baduy terutama untuk dua orang sahabat kami ini. Mereka sangat asik dan berisik. Hahaha. Maklum, usia mereka sepantaran dengan saya. Eits, bukan yang 16 tahun lho! Tapi usia asli. Hahaha.  


Kami berdua melakukan ritual tengah hari sebelum melakukan trekking Baduy. Setelah kami rasa cukup, kami sempatkan makan oncom goreng yang wow (sangat direkomendasikan mencoba oncom untuk anda yang tidak berdomisili di Jawa Barat XD). Di warung tempat kami makan siang, nasi, lauk, dan sayur bebas mengambil sepuasnya. Dan bayar belakangan. Menu yang disajikan tidak banyak, ayam, ikan, oncom, tahu, tempe, terong, lalapan, sayur lodeh, dan sambel, tinggal kita pilih menu rumahan yang pastinya terasa berbeda jika dimakan di tempat yang butuh perjuangan untuk menjangkaunya ini. 
Rumah Jaro

Setelah kami selesai makan siang, kami bertemu dengan Sapri dan Doni. Sapri memilih makan terlebih dahulu dan kami ditemani Doni memilih ke rumah kang Arkam untuk menitipkan barang dan membongkar muatan carrier dan daypack. Kang Arkam adalah warga Baduy Luar yang dikenalkan pada saya oleh teman yang pernah berkunjung ke Baduy. Kang Arkam jugalah orang pertama yang saya hubungi agar mencarikan guide ke Baduy Dalam yang akhirnya mempertemukan kami, Sapri dan Doni.
  Setelah selesai mengemas ulang barang bawaan dan Sapri telah kembali dengan perut kenyangnya, kami bergegas menuju ke rumah jaro (ketua adat) untuk mengisi buku tamu dan meninggalkan dana asih sukarela. Kami berempat siap memulai trekking.

Sapri (baju hitam) dan Doni (baju putih)

"Jembatan akar jauhkah?" tanya saya sebelum meninggalkan rumah jaro, sebelumnya pertanyaan ini telah saya lontarkan pada Doni dan ia menjawab "Jauuuuuh". Kali ini saya tanyakan pada Sapri, dan ia menjawab "Jauh. Mau lewat sana, Bel?" tanyanya. "Berapa kilo kira-kira?" saya masih belum menyerah untuk melihat ikon Baduy yang terkenal itu. "Ya, sekitar 16 kilo kalau sampai Cibeo". "Gimana, Mas?" tanya saya meminta persetujuan pada senior. "Ya, ayo monggo aja". Mendengar jawaban senior saya yang mantap, saya tidak ragu untuk mengangguk mengiyakan pertanyaan Sapri. "Mumpung langit lagi baik!" jawab saya semangat. Dan kami pun berjalan menuju jembatan akar yang disebut-sebut sebagai nyalahan oleh Sapri dan Doni yang ternyata memiliki sejarah tersendiri.

Langit lagi baik

Bagaimana perjalanan kami menemui nyalahan? Sejarah apa yang membuat jembatan akar yang terkenal eksotis itu disebut nyalahan? Hingga apa yang kami temui sebelum tiba di rumah Sapri di kampung Cibeo-Baduy Dalam? Ikuti kisah perjalanan kami menyusuri kontur medan tanjakan dan turunan, menilik peradaban suku Baduy selengkapnya dalam,
 
BADUY: "Pesan Ambu,Ridho Nak!". Bersambung...

Dok.: Baihakki Ahmadz 
 
 

Sidoarjo, 4 Januari 2014
B.E.J, 1:06


   







2 komentar:

  1. kereeeeeen, kualitas penulis beneran nih :D
    dokumentasinya juga kereen :3
    abis ngliat elf menuju ciboleger, jadi inget kendaraan serupa di daerah Berastagi tapi lebih jadul dan lebih mirip sama besi tua sih, sangar bin antik -_-

    BalasHapus
  2. Makasih sudah meninggalkan jejak, mbak Pals. :)
    Iyaaa kah? Wah elf itu selalu sangar. Haha. Wajib cobain Baduy pokoknya, mbak! :D

    BalasHapus