Baduy, sebuah mimpi
lama
Keinginan
untuk menyambangi saudara-saudara luar biasa yang terkumpul dalam satu
komunitas "suku Baduy" telah mengetem lama di benak saya sejak
Desember 2012 lalu. Kampung Baduy yang berada di Banten tepatnya daerah Ciboleger
berhasil menyadap pikiran saya tentang peradaban manusia suci yang tidak
terjamah oleh modernisasi dan alat-alat elektronik beserta sosial media yang
saat ini menjadi kebutuhan pokok orang-orang banyak termasuk saya sendiri.
Jadilah,
setelah saya mendapat kesempatan berkuliah di sebuah universitas di Jawa Barat
(karena saya bingung kampus saya ini statusnya milik Jakarta atau Tangerang
Selatan -_-), saya manfaatkan objek-objek dolen yang ada di sekitar. Dan
tujuan utama saya adalah mimpi lama ke peradaban manusia suci yang namanya
banyak digaung-gaungkan di forum backpacker Indonesia: BADUY!
***
Bertemu manusia impian!
Sebelum
saya berangkat, Sabtu dulu sekali saya melihat empat orang berpakaian putih dan
ada yang berpakaian hitam mengenakan ikat kepala putih berjalan tanpa alas kaki
dengan menjinjing tas kain yang menggembung di punggung mereka. "Sumpah!
Mereka ada, aku nggak mimpi!" kata saya pada seorang teman ketika saat itu
kebetulan sedang jalan keluar membeli makan di sebuah warung. "Apa sih,
Bel?" tanya kawan saya. "Ituuuu! Merekaaaaa!" Saya menunjuk-nunujuk
empat orang yang punggungnya segera menjauh dari pandangan. Saya tak kuasa
membahasakan kekaguman yang saya lihat. "Ooh, orang Baduy. Mereka memang
sering lewat sini mbak. Kayaknya belanja keperluan. Pernah saya ajak makan di
sini, mereka nggak mau pakai sendok sama garpu. Maunya pakai tangan", ujar
pemilik warung tempat saya beli makan, ternyata virus kepo juga sudah
mulai menyebar kepada dia. Hahaha. Wah, sejak saat itu saya terus melanjutkan
kekepoan saya terhadap suku Baduy yang nyata adanya. Saya harus bisa
makan bersama mereka! Satu kalimat itu yang saya tancapkan kuat-kuat setelah
pulang dari warung itu.
Perjalanan mengunjungi
peradaban orang-orang yang terkenal kekeuh dalam mempertahankan nilai dan norma adatnya
ini saya lakukan dua kali dalam kurun waktu satu setangah bulan! Serasa pulang
ke rumah nenek. Hahaha.
Perjalanan pertama saya lakukan pada
16-17 November 2013, bertepatan dengan tugas observasi mata kuliah sosiologi
agama yang mengharuskan saya meneliti spiritualitas sebuah komunitas. Saya pilihlah
suku Baduy untuk diteliti, sekalian main batin saya. Alhasil, izin yang saya
ajukan pada orangtua adalah "Buat tugas penelitian, Ma-Yah!". Bisa dipastikan
proposal dolen sulit di ACC bos besar jika alasannya tidak urgent
seperti itu, mengingat November adalah bulan kecintaan dewa hujan.
Benar saja, perjalanan yang ditemani
oleh senior-senior saya ini (2 perempuan tambah saya jadi 3, dan 1 laki-laki)
ditemani hujan sepanjang masa. Agak berlebihan memang, tapi kenyataannya ketika
kami datang disambut oleh hujan, saat berjalan digandeng hujan, dan ketika
pulang diantar hujan. Sebenarnya sambutan baik hujan ini tidak menyurutkan rasa
senang saya karena berhasil mengunjungi peradaban suku Baduy sekaligus mencoret
salah satu destinasi travelution 2013 saya.
Di samping itu, waktu dua hari semalam yang
kami habiskan lebih banyak dimakan untuk perjalanan daripada mengorek kisah
tentan kehidupan mereka. Apalagi saya membawa misi suci untuk mengerjakan
laporan yang alibi itu. Hadeh. Jadilah,
perjalanan kali ini masih banyak meninggalkan teka-teki bagi saya. Tentang bagaimana
nikmatnya kopi tumbuk Baduy (meskipun saya bukan coffeeholic),
planetarium alam Baduy, dan jembatan akar yang tersohor yang menjadikan
seseorang itu afdol mengunjungi Baduy. Saya
harus kembali lagi jika kemarau datang! Batin saya kurang puas dengan dolen
kali ini.
***
Dari Tn.Abang ke Tr. Awe
Ikrar
saya kala itu adalah kembali lagi mengunjungi Baduy ketika kemarau datang. Maklum,
medan yang asik jika tidak ingin mengatakannya berat membuat saya berpikir dua
kali untuk kembali menjajakinya diantara becek dan hujan.
Hari
itu seminggu sebelumnya, tiba-tiba saja saya terbesit rindu pada alam pegunungan
Kendeng yang mengelilingi kampung Baduy. Dan ternyata rindu saya terhantarkan
dengan adanya satu misi khusus kali ini, tapi bukan laporan alibi lagi seperti
dulu. Melainkan tugas yang lebih asik. Hahaha.
Akhirnya,
saya nekat mengontak seorang senior saya yang kemarin juga terlibat dalam
perjalanan Baduy, padahal saya tahu kabar langit Jakarta, Ciputat, dan
sekitarnya masih galau, kadang hujan-kadang cerah-kadang nano-nano.
Deal! Senior saya mau menemani perjalanan kali ini. Kami pun bertemu di
stasiun Tanah Abang pada 28 Desember 2013. Rute yang akan kami tempuh adalah
stasiun Tanah Abang-Stasiun Rangkasbitung. Untuk menuju Rangkasbitung bisa
menggunakan kereta ekspress Rangkasjaya dengan tarif 15 ribu rupiah dan
waktu tempuh 1 jam 40 menit. Kereta ini beroperasi dua kali sehari dari Tanah Abang
yakni pukul 08.00 pagi dan 18.00 sore. Siapkan KTP atau identitas diri sebelum
membeli tiket, karena jika tidak anda akan mendapati kekecewaan berupa balik
mengantre lagi di antrean yang panjang karena ditolak oleh petugas.
Di perjalanan
sebelumnya, saat saya yang bertugas membeli tiket Rangkasjaya ini karena senior
saya masih berada dalam perjalanan dari Bekasi menuju Tanah Abang dan dua
senior yang lain menjagakan barang bawaan kami, saya tidak dimintai KTP oleh
petugas loket. Namun, entah saat kali ini wewenang membeli tiket Rangkasjaya
jatuh pada senior saya semata wayang yang datang terlebih dahulu di stasiun dan
saya masih dalam kereta menuju Tanah Abang, ia dimintai identitas oleh petugas.
Alhasil, satu tiket resmi dengan nomor identitas asli ia kantongi, dan satu
tiket untuk saya beridentitas nama asli saya dengan umur 16 tahun! Alamak, rupanya
saya masih pantas dibilang anak SMA jika tidak mau menyebut saya awet muda. Hahaha.
Terimakasih senior, berkat anda saya kembali muda. :p
Berangkat pukul 08.00 kami banyak melihat para
backpacker yang juga ingin menikmati alam Baduy. Sepanjang perjalanan
kami membunuh waktu dengan mengobrol apapun bahan yang bisa diobrolkan,
daripada bengong dan akhirnya mengantuk. Iya kan? Singkatnya, kami tiba di stasiun
Rangkasbitung yang selalu padat setiap kali saya datangi itu pukul 09:40. Kebanyakan
rombongan backpacker sudah menyewa kendaraan dari Rangkasbitung agar
bisa langsung sampai di Ciboleger, pintu gerbang menuju kampung Baduy.
Kami
berdua pun mengambil transport jalur biasa yakni menumpang angkot 07 berwarna
merah dengan tarif 4000 rupiah hingga terminal Awe. Jangan kaget, jika
angkot di sini sedikit lebih ekstrem dari angkot-angkot biasanya. Saya katakan begitu
karena jika penumpang telah penuh, sang sopir akan tetap memaksakan penumpang
hingga sulit bernafas, bahkan ada penumpang yang rela berdiri nggandol
di pintu angkot. Miris. Perjalanan dari stasiun Rangkasbitung menuju
terminal Awe hanya memakan waktu 30 menit. Seanjutnya kami harus menumpang Elf
agar bisa sampai di Ciboleger.
Elf menuju Ciboleger |
Bulan lalu
saat kami berempat harus menunggu selama satu jam setengah hingga sopir elf mau
menstater mesin kendaraannya. Bayangkan saja kami yang tiba di terminal pukul
10.30 harus rela menunggu hingga pukul 12.00. Kata sang sopir, "Tunggu
bentar ya The, biasanya kita emang jalan jam 12". What theeee!
Padahal saat itu langit sudah sangat mendung dan sang sopir tetap tidak mau berkompromi
dengan kami.
Tapi,
berbeda dengan perjalanan kedua kali ini. Kami berdua yang belum sempat sarapan
sengaja menunggu elf ini jalan dengan menyantap bubur ayam bekal dari abang
depan asrama saya. Hahaha. Kira-kira sepuluh menit setelah kami selesai makan,
pukul 10:50 messin elf pun mendengung. Asik! Berarti kami tidak perlu menunggu
lama seperti kemarin. Kami sempatkan melihat keadaan langit sebelum elf melaju
jauh. Ah, langit cerah rupanya! Semoga
cerahnya awet hingga nanti kami tiba di Ciboleger.
Butuh
waktu 2 jam dan tarif 20 ribu untuk meretas jarak dari terminal Awe ke
Ciboleger. Berbagai pemandangan tersaji dapat kami lihat melalui jendela kaca
elf, mulai dari perkampungan warga hingga jajaran pegunungan Kendeng yang
menyerupai jajaran pegunungan Tengger. Kan, ini dia yang membuat saya
kangen dengan Bromo. Baiklah, mungkin liburan kali ini saya harus menemui dia
dan melepas rindu.
Kami
kembali menyadapi apa yang disajikan di hadapan kami. Namun, lama-lama saya
bosan dan mulai mengantuk. Maklum, beberapa hari sebelumnya hidup saya tidak
tenang dihantui dengan artikel ilmiah yang hingga detik saya pergi dolen ini
belum terselesaikan. "Cari insprasi buat tugas", pamit saya pada
teman sekamar saya. Padahal, tugas tentang apa? Demokrasi. Cari inspirasinya
dimana? Baduy! Lagi-lagi ini hanya alibi untuk rehabilitasi pikiran yang kacau.
Atau lebih tepatnya pelarian dari tugas ruwet yang buka saya banget. Hahaha. Saya
sempatkan tidur lumayan lama setelah capek membaca buku dengan kedaan
dikoyak-koyak seperti naik rollercoaster.
![]() |
Tugu Ciboleger |
Kami
tiba di Ciboleger mendekati waktu zuhur, saya lupa jam pastinya. Ternyata,
sahabat Baduy Dalam kami, Doni telah menunggu sedari tadi. Ah, iya. Sebelumnya,
saya perkenalkan dua sahabat Baduy Dalam yang berhasil saya temui namanya Sapri
dan Doni. Mereka berdua adalah guide kami ketika November lalu kami
berkunjung. Di rumah Sapri jugalah kami dijamu dengan baik dan menginap dengan
tenteram.
"Sapri
mana?" tanya saya ketika mendapati Doni hanya sendirian duduk di depan
sebuah warung, menunggu kami. "Masih mengantarkan tamu ke Baduy Luar",
jawab Doni singkat. Jangan salah sangka dulu! Banyak artikel dan catatan
perjalanan yang menyatakan bahwa orang-orang Baduy pendiam dan pemalu. Tapi,
itu tidak berlaku untuk semua orang-orang Baduy terutama untuk dua orang
sahabat kami ini. Mereka sangat asik dan berisik. Hahaha. Maklum, usia mereka
sepantaran dengan saya. Eits, bukan yang 16 tahun lho! Tapi usia asli. Hahaha.
Kami
berdua melakukan ritual tengah hari sebelum melakukan trekking Baduy. Setelah
kami rasa cukup, kami sempatkan makan oncom goreng yang wow (sangat direkomendasikan
mencoba oncom untuk anda yang tidak berdomisili di Jawa Barat XD). Di warung
tempat kami makan siang, nasi, lauk, dan sayur bebas mengambil sepuasnya. Dan bayar
belakangan. Menu yang disajikan tidak banyak, ayam, ikan, oncom, tahu, tempe,
terong, lalapan, sayur lodeh, dan sambel, tinggal kita pilih menu rumahan yang
pastinya terasa berbeda jika dimakan di tempat yang butuh perjuangan untuk
menjangkaunya ini.
Rumah Jaro |
Setelah
kami selesai makan siang, kami bertemu dengan Sapri dan Doni. Sapri memilih
makan terlebih dahulu dan kami ditemani Doni memilih ke rumah kang Arkam untuk
menitipkan barang dan membongkar muatan carrier dan daypack. Kang
Arkam adalah warga Baduy Luar yang dikenalkan pada saya oleh teman yang pernah
berkunjung ke Baduy. Kang Arkam jugalah orang pertama yang saya hubungi agar
mencarikan guide ke Baduy Dalam yang akhirnya mempertemukan kami, Sapri
dan Doni.
Setelah
selesai mengemas ulang barang bawaan dan Sapri telah kembali dengan perut
kenyangnya, kami bergegas menuju ke rumah jaro (ketua adat) untuk
mengisi buku tamu dan meninggalkan dana asih sukarela. Kami berempat siap
memulai trekking.
![]() |
Sapri (baju hitam) dan Doni (baju putih) |
"Jembatan
akar jauhkah?" tanya saya sebelum meninggalkan rumah jaro,
sebelumnya pertanyaan ini telah saya lontarkan pada Doni dan ia menjawab "Jauuuuuh".
Kali ini saya tanyakan pada Sapri, dan ia menjawab "Jauh. Mau lewat sana,
Bel?" tanyanya. "Berapa kilo kira-kira?" saya masih belum
menyerah untuk melihat ikon Baduy yang terkenal itu. "Ya, sekitar 16 kilo
kalau sampai Cibeo". "Gimana, Mas?" tanya saya meminta
persetujuan pada senior. "Ya, ayo monggo aja". Mendengar jawaban
senior saya yang mantap, saya tidak ragu untuk mengangguk mengiyakan pertanyaan
Sapri. "Mumpung langit lagi baik!" jawab saya semangat. Dan kami pun
berjalan menuju jembatan akar yang disebut-sebut sebagai nyalahan oleh
Sapri dan Doni yang ternyata memiliki sejarah tersendiri.
![]() |
Langit lagi baik |
Bagaimana
perjalanan kami menemui nyalahan? Sejarah apa yang membuat jembatan akar
yang terkenal eksotis itu disebut nyalahan? Hingga apa yang kami temui
sebelum tiba di rumah Sapri di kampung Cibeo-Baduy Dalam? Ikuti kisah perjalanan
kami menyusuri kontur medan tanjakan dan turunan, menilik peradaban suku Baduy selengkapnya
dalam,
BADUY: "Pesan Ambu,Ridho Nak!". Bersambung...
BADUY: "Pesan Ambu,Ridho Nak!". Bersambung...
Dok.: Baihakki Ahmadz
Sidoarjo,
4 Januari 2014
B.E.J, 1:06
kereeeeeen, kualitas penulis beneran nih :D
BalasHapusdokumentasinya juga kereen :3
abis ngliat elf menuju ciboleger, jadi inget kendaraan serupa di daerah Berastagi tapi lebih jadul dan lebih mirip sama besi tua sih, sangar bin antik -_-
Makasih sudah meninggalkan jejak, mbak Pals. :)
BalasHapusIyaaa kah? Wah elf itu selalu sangar. Haha. Wajib cobain Baduy pokoknya, mbak! :D