Isu pengorekan kasus lawas tentang
penculikan aktivis politik, pemenuhan hak korban Lapindo yang entah kapan akan
dilunasi, sampai duet koalisi capres-cawapres benar-benar membuat dua lembar
telingaku panas! Apa pentingnya mengurus carut-marut yang sudah dari dulunya
semrawut?
Ini semua gegara Leta! Dia titik
simpul dari seluruh kesialan yang menimpaku hari ini. Cuti melahirkan yang ia
ambil lebih awal, membuat jam terbangku bertambah dua sesi. Satu sesi teen-on air yang memang kupegang, satu
lagi jam siaran berita milik Leta.
Sebelumnya, sudah kuusulkan pada broadcast manajer untuk mencari
pengganti Leta tapi lelaki tua tambun itu menolak dengan berkata, “untuk apa
kita bayar orang lain yang belum tentu kompeten di bidang ini?”
Pak Broto, pria keturunan Jawa-Bugis
itu selalu semena-mena. Tak peduli pada perasaan bawahannya apa lagi
perasaanku, penyiar yang baru saja enam bulan lalu memiliki jam mengudara
tetap.
Slurrp. Kuseruput
kembali lemontea yang kupesan di caffe
lantai dasar gedung tempatku bekerja. Ah,
sepertinya segelas lemontea bisa mengintervensi
kondisi pikiranku yang tadinya ruwet kembali segar.
Let’s Rest! sudah menjadi rujukan untuk para manusia berdasi di gedung
berlantai dua puluh ini agar sejenak mengendurkan kancing rapat di lehernya. Memesan
minuman, makanan ringan, hingga kudapan berat adalah fungsi utama hadirnya
caffe ini. Juga sebagai pelarian untuk rehat barang sebentar, mengurai segala
kekalutan kerjaan atau bentakan atasan.
Aku masih duduk sendiri menikmati
silau terik bola pijar di luar sana. Dari kaca trasparan tempatku duduk di
kursi aksen unik pilinan rotan Kalimantan, bisa kulihat padatnya dua ruas jalan
yang digilas roda kendaraan. Semua berebut saling mendahului tapi, apa daya?
Semut Angkrang pun memilih untuk mengalah jika celah hanya sekecil biji dzarrah seperti itu.
Tapi tunggu sebentar! Apa aku tidak
salah lihat? Ada florist&bouquet yang
baru buka di seberang sana. Ternyata celah biji dzarrah yang tercipta antar jarak kendaraan roda empat mampu
membuat pandang okulusku membesat. Ya, hanya wanita yang tak bisa meraba
fitrahnya sendiri yang tidak tertarik dengan bunga. Sepertinya aku harus mampir
ke toko bunga baru itu sepulang siaran sore nanti.
***
Krinciiing...
Lonceng kecil di atas pintu nyaring
melengking kala kudorong pelan.‘Kembang Wangi’ begitu yang kubaca sebelum
memasuki toko bunga ini. Tidak ada ucapan selamat datang atau greeting semacamnya untuk menyambut
pelanggan yang datang kemari. Hanya tatapan seorang wanita yang beralih sejenak
dari tempatnya menyemprot bunga dengan botol spray di tangan. Selebihnya, aku memilih untuk menjelajahi tiap
sudut toko ini. Melihat segala jenis bunga yang tersedia.
Dalam ruang Kembang Wangi yang
berukuran memanjang ke belakang ini kutemukan banyak sekali macam bunga. Mulai
berbagai jenis bunga potong, bunga meja, hand
bouquet, hingga bunga pot. Ada pula papan bunga, bunga salib, dan krans duka
di depan pintu sebagai ajang promosi.
Mawar, Melati, Anggrek, Anyelir, Kenanga,
Matahari, dan bunga lokal nusantara lainnya ada di toko ini. Daisy, Rosemary, Hydrangea,
Hyacinth, Peony, Poppy, Lily, hingga Tulip tersedia juga meski stoknya tak
terlalu banyak.
Lamban... kuhirup sejenak aroma
bunga-bungaan di ruang kedap udara ini. Hmmph...
Memang benar, bunga selalu bisa membelai wanita tanpa harus menyentuhnya.
Mataku terhipnotis pada rak bunga
Krisan. Chrysanthenum adalah bunga
emas yang juga dikenal Seruni oleh masyarakat kita. Bunga ini pernah
dibudidayakan di Jepang sebagai simbol kekaisaraan pada abad ke-4. Meskipun
tidak wangi, kelopak-kelopak kecil bunga ini berkhasiat sebagai obat influenza
sesaat setelah dikeringkan dan diseduh menjadi teh. Malahan, dari majalah
bulanan yang pernah kubaca bunga ini juga mengandung zat antioksidan yang mampu
menyerap racun dalam tubuh.
Entah bagaimana alur ceritanya,
sebuah pot kecil berisi krisan Pearl
Cindy berhasil kubawa ke meja kasir. Gerombolan bunga mini berwarna putih
kemerah-merahan dalam pot plastik merah bata ini menyadap daya tarikku. Nampaknya,
mereka bisa menjadi pengucap selamat pagi di sudut jendela ruang tamu.
Aku merogoh selembar uang kertas dari
dompet kemudian menyodorkan pada perempuan bermata cekung di balik meja kasir.
Ia membungkus pot krisanku dengan paperbag
masih tanpa seucap kata. Kuamati garis wajahnya yang tegas, hidungnya yang
bangir, dan bibirnya yang tipis. Perempuan ini memiliki wajah khas Indonesia
dengan kulit coklat sehat akibat iklim tropis. Ditambah gelungan rambut rapi
sempurna menjadikan perempuan ini jauh dari kesan menyenangkan.
“Terima kasih, Mbak! Saya Mahia.
Kerja gedung seberang itu,” kataku memperkenalkan diri saat ia menyodorkan paperbag. Ia hanya mengulas senyum tipis
dari bibirnya.
Masih tanpa sepatah kata dari
pemilik atau mungkin pegawai toko bunga ini, aku beranjak. Ingin segera pulang
dan meletakkan krisanku di tempat sepantasnya yang sudah terbayang. Aku sengaja
mengitari sekali lagi penjuru sudut toko ini. Kembali menikmati hawa sore yang
berbeda.
Belum berhasil kugapai gagang pintu,
gadis bermata cekung yang entah kapan ia sudah berada di hadapanku menyodorkan
sebatang mawar kuning. “Tayana,” ucapnya tanpa senyum lalu meninggalkanku.
Belum pulih dari fragmen yang
tiba-tiba terjadi, kuselipkan mawar kuning itu dalam paperbag lalu kugenggam
erat. Sembari membenahi letak tali tas kulit selempang di bahu, kulanjutkan meraih gagang pintu.
Krinciiing...
Kakiku melangkah dengan sebuah nama menempel
di otakku. Tayana.
***
“109,2
Khatulistiwa FM. Radio kebanggaan Indonesia. Masih stay tune di Teenlover bareng
gue, Mahia. Yang jelas gue bakalan nemenin kawula muda selama tiga jam ke depan
dengan hits-hits Indonesia dan mancanegara terbaru.... ”
Bla...bla...bla...
Seperti penjual jamu. Tiap hari
kuucapkan kata yang sama di jam yang sama pula. Hanya saja bedanya, penjual
jamu berkoar-koar langsung dan mendapat pelanggan. Sedang aku, berkoar-koar di
udara dan menipu pendengar dengan banyak pesan, mention, dan telepon dari rekan sendiri jika sesi kali ini sepi
pendengar.
Sebenarnya, jenuhku mengisi segmen
remaja ini telah mencapai titik kulminasi. Bergaul dan bercengkrama dengan remaja SMP atau SMA yang
setiap hari mengisahkan itu-itu saja. Cinta monyet masa berseragam putih biru
atau putib abu-abu yang berulang-ulang. “Aku suka dialah tapi gak berani
ngungkapin”. “Aku suka dia, tapi dia deket sama senior lain”. “Aku suka dia
tapi...” tapi... tapi... dan tapi... itu yang selalu membuatku terpaksa
mengurut dada.
Tak bisakah kata suka yang berujung
cinta itu disederhanakan saja menjadi iya
atau tidak? Memang masa-masa labil
seumuran mereka membutuhkan banyak bimbingan agar membuat mereka lebih
mengerti, bahwa hidup bukan semata-mata bergelut dengan ‘cinta monyet tapi yang
tak bertepi’.
“Ma, gue mau ngomong sama lu!” Ovan membuka
suara setelah dari tadi menunggu broadcast
interlude.
“Apaan?” aku bersungut heran. Tumben
sekali ia datang sesiang ini, bukankah jam on
air nya masih jam 8 malam nanti?
“Lu gantiin segmen gue gih. Gue gak
bisa sekarang kalau harus siaran malem. Ada banyak yang harus dipersiapkan.
Termasuk intensitas prime time gue
bareng dia...” kata-kata Ovan menggantung di langit-langit ruang kedap suara
ini.
Aku tahu ia sedang menjalani masa
penting, yakni masa menuju jenjang pernikahan. Yang artinya harus menyiapkan
segala hal. Mulai dari persiapan mental, fisik, harta, hati, dan waktu. Ovan pernah
bercerita dulu saat kami masih sama-sama ditraining
sebagai penyiar magang, bahwa kekasih yang ia kencani saat ini adalah
wanita (hampir) sempurna yang pernah ia temui.
Aku takkan pernah lupa saat ia menekankan kata hampir. Karena menurutnya makhluk paling
sempurna masih dan akan terlilit predikatnya pada kekasih Allah.
Ovan bilang, ia akan menikahinya
setelah mendapat jam siaran tetap. Entah atas dasar pertimbangan apa. Ovan yang
gokil, periang, dan gaul abis diletakkan di segmen Diary On Air yang ditujukan untuk kalangan mahasiswa ke atas.
Sedang aku yang baru belajar teori komunikasi dan teknik broadcast radio karena
dulunya aku enggan bersosialisasi dengan khalayak, diserahi wewenang dalam
segmen remaja cabe-cabean. Hadeh.
Bukan perilaku bijak jika menyalahkan takdir Tuhan atas ketetapan pekerjaanku
ini.
“Emang bisa?” tanyaku kemudian
karena Ovan belum juga menyelesaikan kalimatnya.
“Hmm... gue juga kurang yakin sih.
Tapi coba gue bilang ke pak Broto dulu yak!”
“Silakan. Yang jelas jangan
bawa-bawa nama gue kalau dia marah besar sampai ngeluarin molotovnya.”
“Woles aja keles sistaaa! Gue gak
bakalan nyemplungin lu ke neraka bareng Firaun macem pak Broto. Hahahaha...” Dasar Ovan! Meskipun dia lebih tua di atasku
dua tahun, tapi perilakunya seperti adik kelasku saja.
“Tapi janji ya, lu mau tukeran sama
gue?” lelaki bertubuh jangkung dengan kemeja flannel cokelat yang terlihat pas
di tubuhnya ini berdiri sambil mengacungkan jentik kelingkingnya.
“Hmmm... liat ntar deh!”
“Still
on 109,2 Khatulistiwa FM. Radio kebanggaan Indonesia. Masih stay tune di
Teenlover bareng gue, Mahia....”
“Ssst!” kuhadirkan telunjuk menyilang di bibir
saat lagu yang diputar untuk broadcast
interlude berakhir.
“Sialan lu!” Ovan meninju ringan
bahu kananku kemudian keluar dari ruangan ber-AC tempatku bercuap-cuap.
***
Summer wet, mungkin bisa dimasukkan dalam penggolongan iklim baru
untuk negeri ini. Bukan lagi satu semester kemarau dan satu semester lainnya
penghujan. Hampir setiap hari Indonesia mengalami dua hal itu sekaligus. Siang
terik, sore sedikit sudah kuyup.
Baru jam lima sore saat kutengok jam
Alba lawas di pergelangan kananku. Sesaat setelah turun dari Trans Jakarta
hujan turun beramai-ramai. Masih harus berjalan agak jauh jika nekat mau sampai
ke studio. Tidak rela berbasah-basah, kuputuskan untuk berteduh di Kembang
Wangi yang jaraknya lima langkah lari kecil dari halte Busway.
Krinciiing...
Kugesek-gesek bekas becek hujan
sepatu sneakerku di karpet serabut
coklat kasar, saat mencapai ruang dalam Kembang Wangi. Mataku mencari sesosok
gadis bernama Tayana itu. Gadis yang langsung mengajakku bersahabat kala
pertama bersua. Mawar kuning.
Dia berjalan membawa bouquet mawar merah ke meja kasir sambil
menengok siapa yang datang. Ternyata kamu.
Begitu sorot matanya menjawab. Ia tersenyum dua detik padaku lalu mencari
sesuatu di rak setinggi bahunya. Oh... rupanya dia mencari kartu ucapan untuk
diselipkan di bouquet yang dugaanku
hasil karyanya.
Aku berjalan berkeliling mengamati
bunga-bunga segar yang baru disemprot. Tiap kelopak bunga di toko ini terlihat
sangat terawat. Tak ada satu pun yang layu. Ah, Tayana memang gadis misterius.
Sepertinya hanya bunga-bunga ini yang mengerti perasaannya. Hingga ia rela
meluangkan waktu mengurus semua ini dengan baik.
Baru kutahu bahwa di sudut ruangan
ini ada dua kursi kecil dan satu meja bundar di tengahnya. Sepertinya ia baru
membelinya. Tayana sibuk meracik sesuatu di balik meja kasir panjangnya.
Kunikmati saja sisa waktuku dengan duduk di kursi salem sambil menghirup
wewangi bunga-bunga ini.
Masih setengah jam lagi Ovan selesai
dan dua setengah jam lagi jamku terbang. Di sela-sela kami masih ada satu
segmen lain yang dibawakan penyiar senior. Sedang jam siaan berita siang milik
Leta? Akhirnya diisi dengan penyiar baru yang terpaksa direktrut pak Broto. Biarlah.
Ovan rupanya berhasil merayu pak
Broto untuk bertukar segmen siaran denganku. Jadilah dia mengudara pukul dua
siang sampai setengah enam sore (pak Broto memberinya sangsi tambahan waktu
setengah jam), dan aku pukul delapan sampai sepuluh malam. Pas dengan jadwal
Trans Jakarta terakhir.
Teh Krisan.
Tayana meletakkan secangkir air
panas mengepul dengan kelopak-kelopak Krisan mengambang di dalamya. Ia hanya
meletakkannya kemudian kembali ke mejanya. Gadis ini, tak sudikah sedikit
bercengkrama denganku?
Kutiup sebentar sebelum menyesap teh
ini perlahan. Hangat. Saat air rasa teh sedikit sepet menggelontor di tenggorokkanku. Ada khasiat tersendiri dari
teh bunga ini yakni memberikan sensasi relaksasi. Sepertinya aku harus belajar
meracik teh Krisan dengan tepat pada Tayana. Komposisi perpaduan manis, sepet, dan sedikit gurih yang aku tak
tahu dia ciptakan dari mana.
Ah iya! Ada satu perubahan besar
dari Tayana. Sore ini rambutnya terurai. Membingkai wajahnya dengan indah meski
matanya masih cekung seperti kekurangan tidur. Ada apa gerangan hingga ia mau
melepas gelung rambut gelombangnya? Adakah ini hanya caranya merubah gaya
rambut karena jemu? Atau seseorang berhasil membuatnya tersipu? Aku tak
tahu.
Krinciiing...
Seorang lelaki memasuki toko ini. Ia
mengibaskan butir rinai yang tertinggal di jaket kulitnya. Tayana mendongak
melihat sosok itu. Mata cekungnya berbinar.
***
“Terima kasih, Krisan!” Klik. Suara di seberang sana lenyap.
Selalu berakhir seperti ini. Pendengarku yang satu ini sedikit ajaib. Tiap
malam ia menelpon saat line telepon
sesi curhat kubuka. Selalu sama. Diawali tanpa nama, diakhiri dengan ucapan
terima kasih.
Awalnya aku jengkel dan ingin
memakinya. Dalam segmen acaraku ini seluruh penelpon harus menyebutkan
identitasnya dan mengucap password berupa
“Dear Diary On Air....”. Tapi itu tidak berlaku untuk pendengarku ini. Setelah
mengucap kata halo ia kemudian mengisahkan kisah cintanya.
Kisahnya yang seru dan terkesan
syahdu ini membuat rating segmen
siaranku meningkat tajam. Tiap malam pasti ada telinga yang bertambah untuk
mendengar perkembangan kisah cinta wanita ini. Jadilah, kumaafkan saja ketidakpatuhannya
dalam menyebut identitas dan password.
Ia mengisahkan bahwa seorang pria
telah berhasil membawa lari hatinya. Bukan hanya separuh bahkan seutuhnya. Ia
bilang terserahlah ini disebut kagum atau sekadar obsesi yang jelas melihat
punggungnya saja ia sudah hampir mati sesak nafas. Ini memang bukan cinta
penggemar rahasia karena lelaki yang ia cintai itu mengenalnya. Tapi ia juga
menegaskan bahwa ini bukan cinta bertepuk sebelah tangan karena ia yakin lelaki
itu juga mencintainya sebanyak molekul semesta. Ia sebut ini cinta dalam diam.
Kisahnya memang sudah pantas
dimasukkan adalam kumpulan dongeng pangeran tampan dan putri jelita. Tiap kali
kudengar suaranya, yang tergambar di imaji adalah sosok Cinderella yang
diam-diam mencuri dengar akan ada perhelatan pesta dansa di istana tempat
pangeran tinggal.
Pendengar yang misterius. Tunggu
dulu! Apa kubilang tadi? Misterius! Mungkikah dia adalah orang yang sama dengan
sosok misterius yang beberapa waktu menggelayuti pikiranku?
***
“Lu wajib dateng, Ma!” todong Ovan
padaku saat menyodorkan selembar undangan putih dengan hiasan rumpun
warna-warni mawar di sudut kanan atas.
Kubuka rekatan plastik undangan ini.
Kubaca sekilas. Acaranya Sabtu ini, berarti seminggu lagi.
“Gila lu, Van! Ini namanya nodong
bukan ngundang! Seminggu lagi. Seriusan?” ujarku menimpuk lengan Ovan. Ia
meringis.
“Biar surprise, Ma. Lagian kalau orang diundang jauh-jauh hari pasti dia
udah siap segudang alasan buat nggak hadir pas hari H. Iya gak?”
Iya juga sih. Aku mengiyakan pernyataan Ovan dengan mengangguk-angguk.
“Ya udahlah, gue cabut dulu. Mau
nyamperin seseorang di seberang.”
Ovan berjalan santai sambil bersiul
ringan. Enteng sekali langkahnya.
***
Kembang Wangi selalu buka saat
matahari mengambang tepat di atas kepala dan tutup saat matahari tergelincir ke
peraduannya. Entah apa yang menjadi pertimbangan Tayana menentukan waktu unik
membuka toko bunganya. Jika kutanyakan, pasti jawabnya hanya satu: senyuman.
Krinciiing...
Ini sudah pukul enam lewat, mentari
sudah pulang beberapa menit lalu. Tapi Kembang Wangi belum tutup dan tak
berpenghuni. Lampu ruangan ini memang telah dimatikan beberapa. Tadinya aku kemari
berniat memesan bouquet bunga untuk
hadiah pernikahan Ovan. Kujelajahi seluruh penjuru sela rak toko ini. Tak ada
Tayana.
“Tayana? Tayanaaa...?” kuserukan
namanya selagi melangkah. Leher belakangku meremang saat menyadari ada sebuah
mawar hitam di atas meja bundarnya. Selama beberapa kali mengunjungi toko ini
tak pernah kulihat bunga itu tampak dipamerkan.
Ah itu dia! Perempuan itu menunduk
dengan rambut awut-awutan. Ia terisak dalam dan suaranya terdengar sangat
menyayat.
“Tayana ada apa?” aku memberanikan
diri merengkuhknya. Ia masih menunduk malah semakin dalam.
“Ssh...ssh...Semuanya akan baik-baik
saja Tayana,” kuusap punggungnya untuk menenangkan isak perempuan yang kutaksir
usianya tak jauh dariku.
“Semuanya akan baik-baik saja
Tayana....” suaraku melambung bergabung dengan udara di ruangan ini. Sebab
nyatanya: semua (tidak) akan baik-baik
saja.
***
“Cinta ada seperti udara, menghidupi
di tiap tarik dan hembusnya. Cinta hadir seperti aliran air, menyegarkan setiap
dahaga. Cinta lahir seperti tawa, melegakan tiap jiwa gembira di sesaknya...”
“Bukan cinta jika ia menyakiti
karena ia bukan belati. Jangan sebut itu cinta jika mematikan detikmu karena ia
bukan bom waktu. Omong kosong jika cinta tercipta bukan untuk saling memiliki
karena ia janji Tuhan yang hakiki...”
“Sebelum kau mati karena cinta,
matikan cinta hingga ia temui penghabisan!” katanya di seberang sana
berapi-api. Membuatku sedikit ragu apakah ini orang yang sama yang selalu
bertutur lembut tiap kali berkisah cinta yang syahdu?
“Maafkan aku, Krisan!” Klik. Saluran terputus. Ada apa
dengannya? Apakah pangeran dongeng pendengarku ini dirampas penyihir jahat?
Tapi jika benar pendengar
misteriusku ini adalah gadis misterius yang kemarin menangis di pelukanku,
berarti saat ini ia benar-benar terpuruk.
Ah, Tayana ada apa denganmu?
***
Pagi ini langit turut menangis. Ia
menumpahkan air mata dukanya untuk salah seorang makhluk terbaik yang kembali
berpulang. Semua kepala menunduk dalam diiringi suara tangis di bawah bentangan
payung-payung hitam.
Ini Sabtu, mau tak mau aku memenuhi
janji untuk datang. Tapi bukan acara pemakaman seperti ini Van! Kau lihat
pengantin perempuanmu! Berapa kali ia pingsan pagi ini dalam balutan gaun putih
yang warnanya sudah tercoreng becek?
“Yaa ayyuhaal insaanu innaka kaadihun ila rabbika kad’haan
famulaqih… Wahai manusia! Sesungguhnya kau telah bekerja keras menuju Tuhanmu.
Maka kau akan menemui-Nya.
Saudara-saudara, hari ini Allah telah memenuhi janji-Nya...” suara pak Modin
menguar bersama bau petrichor hujan yang
menenangkan hati.
Khutbah kematian ini kudengar
samar-samar ketika sesosok bayangan kutangkap dari balik pohon Beringin jauh
dari kerumunan para pelayat. Ia mengerutkan tubuhnya lebih jauh di balik tubuh
besar pohon. Tayana.
Aku mengambil langkah mundur,
bergegas mencapai posisi Tayana. Dengan mengendap-endap. Pun tetap saja ketahuan.
Ia berlari menjauh di bawah guyuran hujan saat aku berhasil mencapai pohon
Beringin dengan sempurna.
Sebuah lipatan kertas yang sudah
basah dan sebatang mawar hitam dengan kelopak berceceran.
Untuk membuktikan bahwa janji Tuhan hakiki...
Diperlukan belati agar tercipta ledakan bom waktu
Maaf telah membuat cinta menemui penghabisan.
-Tayana
Taya-
Tiga
kerutan timbul di keningku ketika membaca tiga kalimat dari kertas basah yang
hampir robek. Tayana yang malang.
Rupanya ia menderita erotomania akut. Hingga berkhayal dan
meyakini bahwa Ovan mencintainya meski kenyataannya tidak sama sekali. Lebih
malang lagi karena ia tak bisa melihat Ovan bahagia bersama orang lain. Bukan
bersamanya.
Ya,
namanya Tayana Taya: dari tiada menuju ketiadaan!
B.E.J
Ciputat,
19 Mei 2014
00:31
awesome Bel!
BalasHapus