" Wadah Perca-perca Mimpi Sebelum Terburai Melangit " (B.E.J.)

Jumat, 23 Mei 2014

Tayana Taya



Isu pengorekan kasus lawas tentang penculikan aktivis politik, pemenuhan hak korban Lapindo yang entah kapan akan dilunasi, sampai duet koalisi capres-cawapres benar-benar membuat dua lembar telingaku panas! Apa pentingnya mengurus carut-marut yang sudah dari dulunya semrawut? 
Ini semua gegara Leta! Dia titik simpul dari seluruh kesialan yang menimpaku hari ini. Cuti melahirkan yang ia ambil lebih awal, membuat jam terbangku bertambah dua sesi. Satu sesi teen-on air yang memang kupegang, satu lagi jam siaran berita milik Leta.
Sebelumnya, sudah kuusulkan pada broadcast manajer untuk mencari pengganti Leta tapi lelaki tua tambun itu menolak dengan berkata, “untuk apa kita bayar orang lain yang belum tentu kompeten di bidang ini?”
Pak Broto, pria keturunan Jawa-Bugis itu selalu semena-mena. Tak peduli pada perasaan bawahannya apa lagi perasaanku, penyiar yang baru saja enam bulan lalu memiliki jam mengudara tetap.
Slurrp. Kuseruput kembali lemontea yang kupesan di caffe lantai dasar gedung tempatku bekerja. Ah, sepertinya segelas lemontea bisa mengintervensi kondisi pikiranku yang tadinya ruwet kembali segar.
Let’s Rest! sudah menjadi rujukan untuk para manusia berdasi di gedung berlantai dua puluh ini agar sejenak mengendurkan kancing rapat di lehernya. Memesan minuman, makanan ringan, hingga kudapan berat adalah fungsi utama hadirnya caffe ini. Juga sebagai pelarian untuk rehat barang sebentar, mengurai segala kekalutan kerjaan atau bentakan atasan. 
Aku masih duduk sendiri menikmati silau terik bola pijar di luar sana. Dari kaca trasparan tempatku duduk di kursi aksen unik pilinan rotan Kalimantan, bisa kulihat padatnya dua ruas jalan yang digilas roda kendaraan. Semua berebut saling mendahului tapi, apa daya? Semut Angkrang pun memilih untuk mengalah jika celah hanya sekecil biji dzarrah seperti itu.
Tapi tunggu sebentar! Apa aku tidak salah lihat? Ada florist&bouquet yang baru buka di seberang sana. Ternyata celah biji dzarrah yang tercipta antar jarak kendaraan roda empat mampu membuat pandang okulusku membesat. Ya, hanya wanita yang tak bisa meraba fitrahnya sendiri yang tidak tertarik dengan bunga. Sepertinya aku harus mampir ke toko bunga baru itu sepulang siaran sore nanti.    
***


Krinciiing...
Lonceng kecil di atas pintu nyaring melengking kala kudorong pelan.‘Kembang Wangi’ begitu yang kubaca sebelum memasuki toko bunga ini. Tidak ada ucapan selamat datang atau greeting semacamnya untuk menyambut pelanggan yang datang kemari. Hanya tatapan seorang wanita yang beralih sejenak dari tempatnya menyemprot bunga dengan botol spray di tangan. Selebihnya, aku memilih untuk menjelajahi tiap sudut toko ini. Melihat segala jenis bunga yang tersedia.
Dalam ruang Kembang Wangi yang berukuran memanjang ke belakang ini kutemukan banyak sekali macam bunga. Mulai berbagai jenis bunga potong, bunga meja, hand bouquet, hingga bunga pot. Ada pula papan bunga, bunga salib, dan krans duka di depan pintu sebagai ajang promosi.
Mawar, Melati, Anggrek, Anyelir, Kenanga, Matahari, dan bunga lokal nusantara lainnya ada di toko ini. Daisy, Rosemary, Hydrangea, Hyacinth, Peony, Poppy, Lily, hingga Tulip tersedia juga meski stoknya tak terlalu banyak.
Lamban... kuhirup sejenak aroma bunga-bungaan di ruang kedap udara ini. Hmmph... Memang benar, bunga selalu bisa membelai wanita tanpa harus menyentuhnya.     
Mataku terhipnotis pada rak bunga Krisan. Chrysanthenum adalah bunga emas yang juga dikenal Seruni oleh masyarakat kita. Bunga ini pernah dibudidayakan di Jepang sebagai simbol kekaisaraan pada abad ke-4. Meskipun tidak wangi, kelopak-kelopak kecil bunga ini berkhasiat sebagai obat influenza sesaat setelah dikeringkan dan diseduh menjadi teh. Malahan, dari majalah bulanan yang pernah kubaca bunga ini juga mengandung zat antioksidan yang mampu menyerap racun dalam tubuh.
Entah bagaimana alur ceritanya, sebuah pot kecil berisi krisan Pearl Cindy berhasil kubawa ke meja kasir. Gerombolan bunga mini berwarna putih kemerah-merahan dalam pot plastik merah bata ini menyadap daya tarikku. Nampaknya, mereka bisa menjadi pengucap selamat pagi di sudut jendela ruang tamu.
Aku merogoh selembar uang kertas dari dompet kemudian menyodorkan pada perempuan bermata cekung di balik meja kasir. Ia membungkus pot krisanku dengan paperbag masih tanpa seucap kata. Kuamati garis wajahnya yang tegas, hidungnya yang bangir, dan bibirnya yang tipis. Perempuan ini memiliki wajah khas Indonesia dengan kulit coklat sehat akibat iklim tropis. Ditambah gelungan rambut rapi sempurna menjadikan perempuan ini jauh dari kesan menyenangkan.
“Terima kasih, Mbak! Saya Mahia. Kerja gedung seberang itu,” kataku memperkenalkan diri saat ia menyodorkan paperbag. Ia hanya mengulas senyum tipis dari bibirnya.
Masih tanpa sepatah kata dari pemilik atau mungkin pegawai toko bunga ini, aku beranjak. Ingin segera pulang dan meletakkan krisanku di tempat sepantasnya yang sudah terbayang. Aku sengaja mengitari sekali lagi penjuru sudut toko ini. Kembali menikmati hawa sore yang berbeda.
Belum berhasil kugapai gagang pintu, gadis bermata cekung yang entah kapan ia sudah berada di hadapanku menyodorkan sebatang mawar kuning. “Tayana,” ucapnya tanpa senyum lalu meninggalkanku.
Belum pulih dari fragmen yang tiba-tiba terjadi, kuselipkan mawar kuning itu dalam paperbag lalu kugenggam erat. Sembari membenahi letak tali tas kulit selempang di bahu,  kulanjutkan meraih gagang pintu.
Krinciiing...
Kakiku melangkah dengan sebuah nama menempel di otakku. Tayana.  
***
109,2 Khatulistiwa FM. Radio kebanggaan Indonesia. Masih stay tune di Teenlover bareng gue, Mahia. Yang jelas gue bakalan nemenin kawula muda selama tiga jam ke depan dengan hits-hits Indonesia dan mancanegara terbaru....
Bla...bla...bla...
Seperti penjual jamu. Tiap hari kuucapkan kata yang sama di jam yang sama pula. Hanya saja bedanya, penjual jamu berkoar-koar langsung dan mendapat pelanggan. Sedang aku, berkoar-koar di udara dan menipu pendengar dengan banyak pesan, mention, dan telepon dari rekan sendiri jika sesi kali ini sepi pendengar.
Sebenarnya, jenuhku mengisi segmen remaja ini telah mencapai titik kulminasi. Bergaul dan  bercengkrama dengan remaja SMP atau SMA yang setiap hari mengisahkan itu-itu saja. Cinta monyet masa berseragam putih biru atau putib abu-abu yang berulang-ulang. “Aku suka dialah tapi gak berani ngungkapin”. “Aku suka dia, tapi dia deket sama senior lain”. “Aku suka dia tapi...” tapi... tapi... dan tapi... itu yang selalu membuatku terpaksa mengurut dada.
Tak bisakah kata suka yang berujung cinta itu disederhanakan saja menjadi iya atau tidak? Memang masa-masa labil seumuran mereka membutuhkan banyak bimbingan agar membuat mereka lebih mengerti, bahwa hidup bukan semata-mata bergelut dengan ‘cinta monyet tapi yang tak bertepi’.
“Ma, gue mau ngomong sama lu!” Ovan membuka suara setelah dari tadi menunggu broadcast interlude.
“Apaan?” aku bersungut heran. Tumben sekali ia datang sesiang ini, bukankah jam on air nya masih jam 8 malam nanti?
“Lu gantiin segmen gue gih. Gue gak bisa sekarang kalau harus siaran malem. Ada banyak yang harus dipersiapkan. Termasuk intensitas prime time gue bareng dia...” kata-kata Ovan menggantung di langit-langit ruang kedap suara ini.
Aku tahu ia sedang menjalani masa penting, yakni masa menuju jenjang pernikahan. Yang artinya harus menyiapkan segala hal. Mulai dari persiapan mental, fisik, harta, hati, dan waktu. Ovan pernah bercerita dulu saat kami masih sama-sama ditraining sebagai penyiar magang, bahwa kekasih yang ia kencani saat ini adalah wanita (hampir) sempurna yang pernah ia temui.
Aku takkan pernah  lupa saat ia menekankan kata hampir. Karena menurutnya makhluk paling sempurna masih dan akan terlilit predikatnya pada kekasih Allah.
Ovan bilang, ia akan menikahinya setelah mendapat jam siaran tetap. Entah atas dasar pertimbangan apa. Ovan yang gokil, periang, dan gaul abis diletakkan di segmen Diary On Air yang ditujukan untuk kalangan mahasiswa ke atas. Sedang aku yang baru belajar teori komunikasi dan teknik broadcast radio karena dulunya aku enggan bersosialisasi dengan khalayak, diserahi wewenang dalam segmen remaja cabe-cabean. Hadeh. Bukan perilaku bijak jika menyalahkan takdir Tuhan atas ketetapan pekerjaanku ini.
“Emang bisa?” tanyaku kemudian karena Ovan belum juga menyelesaikan kalimatnya.
“Hmm... gue juga kurang yakin sih. Tapi coba gue bilang ke pak Broto dulu yak!”
“Silakan. Yang jelas jangan bawa-bawa nama gue kalau dia marah besar sampai ngeluarin molotovnya.”
“Woles aja keles sistaaa! Gue gak bakalan nyemplungin lu ke neraka bareng Firaun macem pak Broto. Hahahaha...”  Dasar Ovan! Meskipun dia lebih tua di atasku dua tahun, tapi perilakunya seperti adik kelasku saja.
“Tapi janji ya, lu mau tukeran sama gue?” lelaki bertubuh jangkung dengan kemeja flannel cokelat yang terlihat pas di tubuhnya ini berdiri sambil mengacungkan jentik kelingkingnya.
“Hmmm... liat ntar deh!”
Still on 109,2 Khatulistiwa FM. Radio kebanggaan Indonesia. Masih stay tune di Teenlover bareng gue, Mahia....
 “Ssst!” kuhadirkan telunjuk menyilang di bibir saat lagu yang diputar untuk broadcast interlude berakhir.
“Sialan lu!” Ovan meninju ringan bahu kananku kemudian keluar dari ruangan ber-AC tempatku bercuap-cuap.
***
Summer wet, mungkin bisa dimasukkan dalam penggolongan iklim baru untuk negeri ini. Bukan lagi satu semester kemarau dan satu semester lainnya penghujan. Hampir setiap hari Indonesia mengalami dua hal itu sekaligus. Siang terik, sore sedikit sudah kuyup.
Baru jam lima sore saat kutengok jam Alba lawas di pergelangan kananku. Sesaat setelah turun dari Trans Jakarta hujan turun beramai-ramai. Masih harus berjalan agak jauh jika nekat mau sampai ke studio. Tidak rela berbasah-basah, kuputuskan untuk berteduh di Kembang Wangi yang jaraknya lima langkah lari kecil dari halte Busway.
Krinciiing...
Kugesek-gesek bekas becek hujan sepatu sneakerku di karpet serabut coklat kasar, saat mencapai ruang dalam Kembang Wangi. Mataku mencari sesosok gadis bernama Tayana itu. Gadis yang langsung mengajakku bersahabat kala pertama bersua. Mawar kuning.
Dia berjalan membawa bouquet mawar merah ke meja kasir sambil menengok siapa yang datang. Ternyata kamu. Begitu sorot matanya menjawab. Ia tersenyum dua detik padaku lalu mencari sesuatu di rak setinggi bahunya. Oh... rupanya dia mencari kartu ucapan untuk diselipkan di bouquet yang dugaanku hasil karyanya.
Aku berjalan berkeliling mengamati bunga-bunga segar yang baru disemprot. Tiap kelopak bunga di toko ini terlihat sangat terawat. Tak ada satu pun yang layu. Ah, Tayana memang gadis misterius. Sepertinya hanya bunga-bunga ini yang mengerti perasaannya. Hingga ia rela meluangkan waktu mengurus semua ini dengan baik.
Baru kutahu bahwa di sudut ruangan ini ada dua kursi kecil dan satu meja bundar di tengahnya. Sepertinya ia baru membelinya. Tayana sibuk meracik sesuatu di balik meja kasir panjangnya. Kunikmati saja sisa waktuku dengan duduk di kursi salem sambil menghirup wewangi bunga-bunga ini.
Masih setengah jam lagi Ovan selesai dan dua setengah jam lagi jamku terbang. Di sela-sela kami masih ada satu segmen lain yang dibawakan penyiar senior. Sedang jam siaan berita siang milik Leta? Akhirnya diisi dengan penyiar baru yang terpaksa direktrut pak Broto. Biarlah.  
Ovan rupanya berhasil merayu pak Broto untuk bertukar segmen siaran denganku. Jadilah dia mengudara pukul dua siang sampai setengah enam sore (pak Broto memberinya sangsi tambahan waktu setengah jam), dan aku pukul delapan sampai sepuluh malam. Pas dengan jadwal Trans Jakarta terakhir.  
Teh Krisan.
Tayana meletakkan secangkir air panas mengepul dengan kelopak-kelopak Krisan mengambang di dalamya. Ia hanya meletakkannya kemudian kembali ke mejanya. Gadis ini, tak sudikah sedikit bercengkrama denganku?
Kutiup sebentar sebelum menyesap teh ini perlahan. Hangat. Saat air rasa teh sedikit sepet menggelontor di tenggorokkanku. Ada khasiat tersendiri dari teh bunga ini yakni memberikan sensasi relaksasi. Sepertinya aku harus belajar meracik teh Krisan dengan tepat pada Tayana. Komposisi perpaduan manis, sepet, dan sedikit gurih yang aku tak tahu dia ciptakan dari mana.
Ah iya! Ada satu perubahan besar dari Tayana. Sore ini rambutnya terurai. Membingkai wajahnya dengan indah meski matanya masih cekung seperti kekurangan tidur. Ada apa gerangan hingga ia mau melepas gelung rambut gelombangnya? Adakah ini hanya caranya merubah gaya rambut karena jemu? Atau seseorang berhasil membuatnya tersipu? Aku tak tahu.   
Krinciiing...
Seorang lelaki memasuki toko ini. Ia mengibaskan butir rinai yang tertinggal di jaket kulitnya. Tayana mendongak melihat sosok itu. Mata cekungnya berbinar.
***
“Terima kasih, Krisan!” Klik. Suara di seberang sana lenyap. Selalu berakhir seperti ini. Pendengarku yang satu ini sedikit ajaib. Tiap malam ia menelpon saat line telepon sesi curhat kubuka. Selalu sama. Diawali tanpa nama, diakhiri dengan ucapan terima kasih.
Awalnya aku jengkel dan ingin memakinya. Dalam segmen acaraku ini seluruh penelpon harus menyebutkan identitasnya dan mengucap password berupa “Dear Diary On Air....”. Tapi itu tidak berlaku untuk pendengarku ini. Setelah mengucap kata halo ia kemudian mengisahkan kisah cintanya.
Kisahnya yang seru dan terkesan syahdu ini membuat rating segmen siaranku meningkat tajam. Tiap malam pasti ada telinga yang bertambah untuk mendengar perkembangan kisah cinta wanita ini. Jadilah, kumaafkan saja ketidakpatuhannya dalam menyebut identitas dan password.
Ia mengisahkan bahwa seorang pria telah berhasil membawa lari hatinya. Bukan hanya separuh bahkan seutuhnya. Ia bilang terserahlah ini disebut kagum atau sekadar obsesi yang jelas melihat punggungnya saja ia sudah hampir mati sesak nafas. Ini memang bukan cinta penggemar rahasia karena lelaki yang ia cintai itu mengenalnya. Tapi ia juga menegaskan bahwa ini bukan cinta bertepuk sebelah tangan karena ia yakin lelaki itu juga mencintainya sebanyak molekul semesta. Ia sebut ini cinta dalam diam.
Kisahnya memang sudah pantas dimasukkan adalam kumpulan dongeng pangeran tampan dan putri jelita. Tiap kali kudengar suaranya, yang tergambar di imaji adalah sosok Cinderella yang diam-diam mencuri dengar akan ada perhelatan pesta dansa di istana tempat pangeran tinggal.
Pendengar yang misterius. Tunggu dulu! Apa kubilang tadi? Misterius! Mungkikah dia adalah orang yang sama dengan sosok misterius yang beberapa waktu menggelayuti pikiranku?
***
“Lu wajib dateng, Ma!” todong Ovan padaku saat menyodorkan selembar undangan putih dengan hiasan rumpun warna-warni mawar di sudut kanan atas.
Kubuka rekatan plastik undangan ini. Kubaca sekilas. Acaranya Sabtu ini, berarti seminggu lagi.
“Gila lu, Van! Ini namanya nodong bukan ngundang! Seminggu lagi. Seriusan?” ujarku menimpuk lengan Ovan. Ia meringis.
“Biar surprise, Ma. Lagian kalau orang diundang jauh-jauh hari pasti dia udah siap segudang alasan buat nggak hadir pas hari H. Iya gak?”
Iya juga sih. Aku mengiyakan pernyataan Ovan dengan mengangguk-angguk.
“Ya udahlah, gue cabut dulu. Mau nyamperin seseorang di seberang.”
Ovan berjalan santai sambil bersiul ringan. Enteng sekali langkahnya.
***
Kembang Wangi selalu buka saat matahari mengambang tepat di atas kepala dan tutup saat matahari tergelincir ke peraduannya. Entah apa yang menjadi pertimbangan Tayana menentukan waktu unik membuka toko bunganya. Jika kutanyakan, pasti jawabnya hanya satu: senyuman.
Krinciiing...
Ini sudah pukul enam lewat, mentari sudah pulang beberapa menit lalu. Tapi Kembang Wangi belum tutup dan tak berpenghuni. Lampu ruangan ini memang telah dimatikan beberapa. Tadinya aku kemari berniat memesan bouquet bunga untuk hadiah pernikahan Ovan. Kujelajahi seluruh penjuru sela rak toko ini. Tak ada Tayana.
“Tayana? Tayanaaa...?” kuserukan namanya selagi melangkah. Leher belakangku meremang saat menyadari ada sebuah mawar hitam di atas meja bundarnya. Selama beberapa kali mengunjungi toko ini tak pernah kulihat bunga itu tampak dipamerkan.
Ah itu dia! Perempuan itu menunduk dengan rambut awut-awutan. Ia terisak dalam dan suaranya terdengar sangat menyayat.
“Tayana ada apa?” aku memberanikan diri merengkuhknya. Ia masih menunduk malah semakin dalam.
“Ssh...ssh...Semuanya akan baik-baik saja Tayana,” kuusap punggungnya untuk menenangkan isak perempuan yang kutaksir usianya tak jauh dariku.
“Semuanya akan baik-baik saja Tayana....” suaraku melambung bergabung dengan udara di ruangan ini. Sebab nyatanya: semua (tidak) akan baik-baik saja.
***
“Cinta ada seperti udara, menghidupi di tiap tarik dan hembusnya. Cinta hadir seperti aliran air, menyegarkan setiap dahaga. Cinta lahir seperti tawa, melegakan tiap jiwa gembira di sesaknya...”
“Bukan cinta jika ia menyakiti karena ia bukan belati. Jangan sebut itu cinta jika mematikan detikmu karena ia bukan bom waktu. Omong kosong jika cinta tercipta bukan untuk saling memiliki karena ia janji Tuhan yang hakiki...”
“Sebelum kau mati karena cinta, matikan cinta hingga ia temui penghabisan!” katanya di seberang sana berapi-api. Membuatku sedikit ragu apakah ini orang yang sama yang selalu bertutur lembut tiap kali berkisah cinta yang syahdu?
“Maafkan aku, Krisan!” Klik. Saluran terputus. Ada apa dengannya? Apakah pangeran dongeng pendengarku ini dirampas penyihir jahat?
Tapi jika benar pendengar misteriusku ini adalah gadis misterius yang kemarin menangis di pelukanku, berarti saat ini ia benar-benar terpuruk.
Ah, Tayana ada apa denganmu?
***
Pagi ini langit turut menangis. Ia menumpahkan air mata dukanya untuk salah seorang makhluk terbaik yang kembali berpulang. Semua kepala menunduk dalam diiringi suara tangis di bawah bentangan payung-payung hitam.
Ini Sabtu, mau tak mau aku memenuhi janji untuk datang. Tapi bukan acara pemakaman seperti ini Van! Kau lihat pengantin perempuanmu! Berapa kali ia pingsan pagi ini dalam balutan gaun putih yang warnanya sudah tercoreng becek? 

Yaa ayyuhaal insaanu innaka kaadihun ila rabbika kad’haan famulaqih… Wahai manusia! Sesungguhnya kau telah bekerja keras menuju Tuhanmu. Maka kau akan menemui-Nya. Saudara-saudara, hari ini Allah telah memenuhi janji-Nya...” suara pak Modin menguar bersama bau petrichor hujan yang menenangkan hati. 

Khutbah kematian ini kudengar samar-samar ketika sesosok bayangan kutangkap dari balik pohon Beringin jauh dari kerumunan para pelayat. Ia mengerutkan tubuhnya lebih jauh di balik tubuh besar pohon. Tayana.
Aku mengambil langkah mundur, bergegas mencapai posisi Tayana. Dengan mengendap-endap. Pun tetap saja ketahuan. Ia berlari menjauh di bawah guyuran hujan saat aku berhasil mencapai pohon Beringin dengan sempurna.
Sebuah lipatan kertas yang sudah basah dan sebatang mawar hitam dengan kelopak berceceran.
Untuk membuktikan bahwa janji Tuhan hakiki...
Diperlukan belati agar tercipta ledakan bom waktu

Maaf telah membuat cinta menemui penghabisan.
                                                -Tayana Taya- 



            Tiga kerutan timbul di keningku ketika membaca tiga kalimat dari kertas basah yang hampir robek. Tayana yang malang.
Rupanya ia menderita erotomania akut. Hingga berkhayal dan meyakini bahwa Ovan mencintainya meski kenyataannya tidak sama sekali. Lebih malang lagi karena ia tak bisa melihat Ovan bahagia bersama orang lain. Bukan bersamanya.

Ya, namanya Tayana Taya: dari tiada menuju ketiadaan!

B.E.J
Ciputat, 19 Mei 2014
00:31

1 komentar: