" Wadah Perca-perca Mimpi Sebelum Terburai Melangit " (B.E.J.)

Sabtu, 18 Agustus 2012

Mudik Merdeka 2


Part 2
Allahuakbar…Allahuakbar…Allahuakbar…
 Laailaha illallahu allahuakbar…
 Allahuakbar wa lilla ilhamd

            Diawal tadi sempat saya singgung bahwa peringatan hari kemerdekaan kali ini memang cukup unik dan memberi arti tersendiri untuk saya pribadi. Pertama, saya tidak ikut upacara di sekolah namun malah ikut di istana Negara. (lewat televisi maksudnya). Kedua, tanggal tujuh belas Agustus tahun ini jatuh di bulan Ramadhan tepat di hari jum’at sama persis seperti hari diikrarkannya proklamasi tahun 1945, menurut buku pelajaran sejarah yang dulu pernah saya pelajari saat SMP, saat itu bung Karno dan beberapa tokoh lainnya merumuskan naskah proklamasi setelah shalat terawih hingga menjelang waktu sahur (kalau tidak salah), dan pembacaan proklamasi dilakukan pagi hari karena bung Karno tidak ingin mengganggu aktifitas shalat jum’at umat muslim di Indonesia, mengingat beliau juga seorang muslim yang taat.


            Dari pelajaran sejarah kita beralih ke hingar-bingar, euphoria menyambut lebaran. Mudik ke kampung halaman memang telah menjadi suatu kebiasaan yang mendarah daging khususnya untuk warga Indonesia yang banyak melakukan migrasi, entah urbanisasi, transmigrasi, imigrasi, bahkan emigrasi. Jadilah, karena orangtua saya adalah salah dua dari sepersekian banyak para imigran, saya pun jadi korban untuk andil mudik ke rumah eyang saya. Rumah kedua eyang saya berlawanan arah, eyang dari ayah berdomisili di Bondowoso, kota yang terkenal dengan tape singkong yang tersohor manisnya, “Tape Manis Bondowoso”. Sedangkan rumah eyang dari mama berada di Kediri, kota yang termasyhur dengan produk “Tahu Kuning Kediri”nya. Meski berbeda, pada hakikatnya produk andalan kedua daerah ini sama-sama berwarna kuning dan dikemas dalam anyaman bambu, besek.

Destinasi pertama mudik lebaran kali ini adalah kota Tape. Saya dan keluarga meninggalkan rumah mungil kami sekitar pukul 15:10, selepas sholat ashar. Komposisi perjalanan mudik kali ini adalah ayah saya, mama saya, saya, dan adik saya satu-satunya. Arus perjalanan menuju ke barat (Pasuruan, Probolinggo, Situbondo, Bondowoso, dll) relatif sangat lancar sore itu. Berbeda dengan yang diprediksi para reporter berita televisi bahwa arus mudik akan mencapai puncaknya pada 17 Agustus, bertepatan dengan tanggal merahperingatan hari kemerdekaan. Suasana bertambah riang kala musik di radio yang terdengar adalah lagu-lagu kemerdekaan yang telah direcycle artis-artis baru. Hal ini sangat membantu memacu semangat dan percepatan kendaraan yang saya tumpangi agar bisa melejit dengan kecepatan tinggi. Karena target kami kali ini adalah menepatkan waktu buka, di Probolinggo. Di sebuah warung bakso yang cukup terkenal dan saya rekomendasikan untuk anda. ‘Bakso Eddy’ warung yang berada di depan pabrik Eratex Probolinggo itu bisa memanjakan lidah anda dengan cukup merogoh kantong 7000 rupiah saja. Harga yang seimbang mengingat isi sebungkus bakso sangat heterogen. Ada bakso isi hati, bakso telor puyuh, bakso kasar, bakso halus, bakso kotak, dua pentol kecil, tahu goreng, gorengan, dan mie putih.

Namun ternyata perkiraan yang kami buat salah, arus perjalanan yang sangat lancar membuat kami tiba di warung Bakso Eddy lebih cepat, pukul 16:40. Mau menunggu hingga adzan maghrib berkumandang masih terlalu lama, mau meninggalkan begitu saja juga terlalu sayang. Akhirnya kami mengambil keputusan untuk membungkus beberapa porsi agar bisa disantap saat buka nantinya.

Perjalanan kami lanjutkan, hingga matahari terus berarak dan perlahan menghilang dibalik bukit-bukit yang terbeber. Pukul 17:20 kami  melewati pantai Bentar. Sebuah bibir pantai yang bisa dinikmati hanya dengan melongokkan kepala keluar dari jendela mobil. Tak terasa yang ditunggu pun tiba, saatnya adzan maghrib berkumandang. Kami pun menepi di sebuah SPBU di daerah Tongas masih di Probolinggo untuk sekedar membasahi tenggorokan dan mengisi perut dengan bakso yang berhasil kami bungkus tadi. Melihat kondisi SPBU yang kurang terawat, kami memutuskan untuk sholat maghrib di masjid saja. Setelah kami rasa cukup terganjal perut dan terpuaskan rasa dahaga kami kembali menstarter mesin mobil. Sekitar 8 km dari SPBU, kami menepi kembali guna menunaikan kewajiban sholat maghrib.

Waktu terus bergulir, perjalanan terus berlanjut, dan jalanan masih terus tergerus oleh roda kendaraan. Pukul 18:42 saya menyaksikan keindahan lampu-lampu dengan enam menara yang super tinggi. Gugusan lampu-lampu indah tersebut adalah kawasan Pembangkit Listrik Tenaga Uap-Paiton atau nama bekennya Java Power. Tenaga uapa yang dihasilkan dari pembakaran batubara yang didapat dari lepas laut ini ternyata dapat yang memproduksi berjuta-juta watt untuk mencukupi kebutuhan listrik Jawa dan Bali. Pantas saja, megah sekali konstruksi bangunannya dengan penerangan lampu disana-sini. Lha, yang disuplai Jawa-Bali. Cckckck. Namun sayang sekali sepanjang jalan Paiton, tidak ada lampu penerangan sama sekali. Baiklah, diambil hikmahnya saja mungkin tujuan dari tidak adanya lampu penerangan jalan tersebut agar para pengguna jalan dapat lebih menikmati keindahan lampu-lampu PLTU yang tersaji karena tidak ada cahaya yang menduakan.


  Berpaling dari Paiton, mata kami menangkap tulisan ‘Selamat Datang di Kabupaten Situbondo’. Saya ingat kejadian beberapa tahun yang lalu yang terjadi di dekat plangkat tulisan selamat dating tersebut, sebuah kecelakaan beruntun mobil pick up, truk yang mengangkut berton-ton mangga, dan bus pariwisata yang mengangkut puluhan anak SMP di Jogjakarta (atau SMA gitu, saya agak lupa) pulang berdarmawisata dari pulau dewata, Bali. Saat itu tidak ada yang selamat kecuali satu anak. Kerangka mobil, truk, dan bus yang beberapa bulan belum disingkirkan sempat menimbulkan kisah-kisah mistis, mengingat suasana jalan yang tanpa lampu penerangan sangat mendukung sekali. Ada yang bilang seorang pengguna jalan pernah mendengar suara tangisan saat melintasi lokasi tersebut hingga ada yang kerasukan. Entahlah, apakah itu benar-benar terjadi atau sekedar mitos (sebut saja: omong kosong).

Komponen yang tersaji di jalanan saat ini adalah kanan kiri pohon bakau yang membelah jalanan gelap dan sepi. Setelah beberapa saat dalam keheningan, menikmati sabda alam yang tercecer di depan mata, ayah saya memutuskan untuk kembali menepi di sebuah pom bensin, dengan alasan setelah ini tidak ada lagi SPBU karena kami akan menegak nikmatnya melintasi jalanan hutan di malam hari. Plangkat besar yang menunjukkan identitas pom bensin ini bertuliskan: SPBU Utama Raya-Banyuglugur. Dengan fasilitas yang super waw yakni: hotel&villa, restaurant, meeting room, supermarket, café jamu, pusat oleh-oleh, atm, 80 toilet bersih. Pantas saja, SPBU satu ini terlihat sangat ramai, banyak bus yang menepi mungkin sang sopir membutuhkan beberapa teguk kehangatan secangkir kopi. Terlihat pula tenda-tenda posko mudik yang siap melayani segala keluhan para pemudik. Sebuah rekomendasi jika anda ingin mengisi bensin serta mengendurkan otot sejenak setelah bergulat dengan waktu dalam perjalanan panjang.

Beranjak dari SPBU Utama Raya-Banyuglugur, pemandangan yang kami lihat adalah plangkat-plangkat yang bertuliskan pembenihan udang dan menur, memang di daerah ini pembudidayaan udang dan menur seperti sudah menjadi mata pencaharian perkampungan (sekampung melakukan pembudidayaan semua). Hingga kami masuk di Besuki, sebuah kota kecil yang nampak hidup daripada Banyuglugur karena efek adanya deretan pertokoan dan terminal kecil.

Deru mesin mobil masih terdengar dan disaat yang sama rasa hati ingin segera sampai di rumah eyang sudah tak terbendung. Kami memasuki kawasan pemandangan alam Wringin Arak-Arak, sebuah jalan berkelok-kelok dengan berbagai tantangan. Anda bisa bayangkan lintasan roler coaster, hanya saja bedanya roler coaster dikendalikan oleh mesin yang telah diset agar bisa melewati lintasan dengan baik tanpa membahayakan pengendaranya. Arak-arak (begitu kawasan ini sering disebut) merupakan lintasan berkelok tanpa satupun lampu penerangan jalan dan tanpa  pembatas jalan dengan panjang 8 km yang dihiasi kanan-kiri jurang menganga dan bisa dipastikan siap menerkam siapa saja yang belum menguasai medan ini. Saya sarankan jangan melewati kawasan ini jika matahari telah tenggelam dan anda belum hafal benar jalan ini karena bisa jadi bahaya sedang menunggu di mulut jurang arak-arak ini. Selain itu, arak-arak juga memiliki tikungan yang tajam, jalan dua ruas tanpa garis pembatas ini juga sering memakan korban kecelakaan. Namun jangan terlalu parno dahulu, karena meskipun lumayan sulit untuk dilewati arak-arak juga menyajikan keindahan alam yang sangat mempesona. Di malam hari anda dapat melihat keelokan gugusan lampu-lampu kota yang berkedip di bawah sana. Apalagi jika anda melintasi jalan ini siang hari anda dapat menikmati cokelatnya daun jati yang meranggas dan berguguran di tanah, birunya laut di bawah sana yang kadang terlihat mengkilap karena terpaan sinar Bagaskara, dan tentu saja anda bisa melihat betapa eksotisnya kota-kota kecil dibawah sana jika dilihat langsung menggunakan teropong asli buatan sang Maha Kuasa, yakni kedua mata kita. Jika anda beruntung, anda juga akan menemui monyet-monyet yang turun ke jalan untuk mencari makan atau sekedar mejeng. Banyak juga pengendara yang berhenti dan memberi makanan kecil seperti kacang, dll untuk para primata yang sangat unyu ini.

Saya juga menemukan beberapa rumah penduduk yang di depannya terbeber sebuah papan lebar yang terbuat dari anyaman bambu dan diatasnya terdapat rajangan tembakau. Saya duga tembakau-tembakau itu sedang dijemur oleh pemiliknya. Menurut keterangan yang saya dapat dari ayah, mata pencaharian penduduk setempat memang kebanyakan sebagai petani tembakau, disamping sebagai peternak. Puas menikmati ragam bentuk rumah gubuk dan beberapa rumah modern milik penduduk, saya merasakan ada yang berubah dengan strukstur susunan jalan yang sekarang saya lewati. Jalanan yang menanjak kemudian turun kemudian menanjak lagi begitu seterusnya membawa sensasi tersendiri untuk melewati malam sunyi penuh hikmat ini. Ternyata saya sudah sampai di daerah yang bernama Wringin-Poler, daerah ini memang terkenal akan sensasi jalannya yang sedikit menggelitik perut.

Pukul 19:53, saya dapat sedikit bernafas lega setelah membaca dengan jelas plangkat besar bertuliskan “Selamat Datang di Kabupaten Bondowoso”. Akhirnya kota tape ini berhasil saya dekap. Namun belum tamat sampai disini, saya masih harus melaju kearah timur lagi dari Kota Kulon (kecamatan pertama setelah masuk Bondowoso dari arah Surabaya), karena rumah eyang berada masih agak jauh dari sini. Langsung saja lanjut, kecepatan mesin yang masih terus berpacu dengan waktu membawa kami mengintip retorika kecil kota ini, Alun-Alun Bondowoso yang berhasil saya intip ternyata tidak seberapa ramai mengingat dulu ketika saya kesana keadaannya penuh sesak. Dan benar saja, ternyata lautan manusia tumpah di daerah Pecinan, deretan pertokoan yang menyediakan segala macam kebutuhan manusia ini benar-benar dipadati oleh makhluk bernama manusia. Cukup lama kami terjebak macet disini, yang akhirnya beberapa polisi mengarahkan kami untuk putar balik melalui kampung Arab. Ya sudahlah, pokonya nyampe batin saya menggumam. Tak butuh waktu lama, 15 menit kemudian saya dan keluarga berhasil menginjakkan kaki di daerah Koncer yang tak lain adalah tempat tinggal keluarga besar ayah. Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, kami sampai dengan selamat sampai tujuan. Segera senyum simpul dan nafas lega dari kami dan keluarga besar yang menunggung tersungging. Kami segera melepas rindu dengan letupan berbagai macam perasaan bahagia.

Dan demikianlah perjalanan mudik saya kali ini. Semoga ada kesempatan bagi saya untuk berbagi kisah lagi dalam berbagai perjalanan dan keadaan. Oiya, saat takbir berkumandang, saat operator pada sibuk dan saat saya beralih profesi menjadi pembantu pembuat kue lebaran. Hehehe.  Ijinkanlah huruf-huruf ini mewakili dan mengungkapkan berbagai penyesalannya atas segala macam kekhilafan dan kesalahan yang pernah saya perbuat baik secara lahir maupun batin. “Taqabbalallahu minna wa minkum. Minal ‘aidzin wal faidzin. Selamat Hari Raya Idul Fitri 1433H. Mohon maaf lahir dan batin.” J

Nb: Mohon maaf, foto-foto yang dicantumkan diambil dari berbagai sumber. 

B.E.J
Ditulis:
17 Agustus 2012
 21:42
                                                                            Diselesaikan:                    
 18 Agustus 2012  
 16:30


1 komentar:

  1. sekarang nulis perjalanan ke situbondo, besok nulis perjalanan ke Irlandia, segera berangkat!!!!!

    BalasHapus