Part
2
“Allahuakbar…Allahuakbar…Allahuakbar…
Laailaha illallahu allahuakbar…
Allahuakbar wa lilla ilhamd…”
Diawal
tadi sempat saya singgung bahwa peringatan hari kemerdekaan kali ini memang
cukup unik dan memberi arti tersendiri untuk saya pribadi. Pertama, saya tidak
ikut upacara di sekolah namun malah ikut di istana Negara. (lewat televisi
maksudnya). Kedua, tanggal tujuh belas Agustus tahun ini jatuh di bulan
Ramadhan tepat di hari jum’at sama persis seperti hari diikrarkannya proklamasi
tahun 1945, menurut buku pelajaran sejarah yang dulu pernah saya pelajari saat
SMP, saat itu bung Karno dan beberapa tokoh lainnya merumuskan naskah
proklamasi setelah shalat terawih hingga menjelang waktu sahur (kalau tidak
salah), dan pembacaan proklamasi dilakukan pagi hari karena bung Karno tidak ingin
mengganggu aktifitas shalat jum’at umat muslim di Indonesia, mengingat beliau
juga seorang muslim yang taat.
Dari
pelajaran sejarah kita beralih ke hingar-bingar, euphoria menyambut lebaran.
Mudik ke kampung halaman memang telah menjadi suatu kebiasaan yang mendarah
daging khususnya untuk warga Indonesia yang banyak melakukan migrasi, entah
urbanisasi, transmigrasi, imigrasi, bahkan emigrasi. Jadilah, karena orangtua
saya adalah salah dua dari sepersekian banyak para imigran, saya pun jadi
korban untuk andil mudik ke rumah eyang saya. Rumah kedua eyang saya berlawanan
arah, eyang dari ayah berdomisili di Bondowoso, kota yang terkenal dengan tape
singkong yang tersohor manisnya, “Tape Manis Bondowoso”. Sedangkan rumah eyang
dari mama berada di Kediri, kota yang termasyhur dengan produk “Tahu Kuning
Kediri”nya. Meski berbeda, pada hakikatnya produk andalan kedua daerah ini
sama-sama berwarna kuning dan dikemas dalam anyaman bambu, besek.
Destinasi
pertama mudik lebaran kali ini adalah kota Tape. Saya dan keluarga meninggalkan
rumah mungil kami sekitar pukul 15:10, selepas sholat ashar. Komposisi
perjalanan mudik kali ini adalah ayah saya, mama saya, saya, dan adik saya
satu-satunya. Arus perjalanan menuju ke barat (Pasuruan, Probolinggo,
Situbondo, Bondowoso, dll) relatif sangat lancar sore itu. Berbeda dengan yang
diprediksi para reporter berita televisi bahwa arus mudik akan mencapai
puncaknya pada 17 Agustus, bertepatan dengan tanggal merahperingatan hari
kemerdekaan. Suasana bertambah riang kala musik di radio yang terdengar adalah
lagu-lagu kemerdekaan yang telah direcycle
artis-artis baru. Hal ini sangat membantu memacu semangat dan percepatan
kendaraan yang saya tumpangi agar bisa melejit dengan kecepatan tinggi. Karena
target kami kali ini adalah menepatkan waktu buka, di Probolinggo. Di sebuah
warung bakso yang cukup terkenal dan saya rekomendasikan untuk anda. ‘Bakso
Eddy’ warung yang berada di depan pabrik Eratex Probolinggo itu bisa memanjakan
lidah anda dengan cukup merogoh kantong 7000 rupiah saja. Harga yang seimbang
mengingat isi sebungkus bakso sangat heterogen. Ada bakso isi hati, bakso telor
puyuh, bakso kasar, bakso halus, bakso kotak, dua pentol kecil, tahu goreng,
gorengan, dan mie putih.
Namun
ternyata perkiraan yang kami buat salah, arus perjalanan yang sangat lancar
membuat kami tiba di warung Bakso Eddy lebih cepat, pukul 16:40. Mau menunggu
hingga adzan maghrib berkumandang masih terlalu lama, mau meninggalkan begitu
saja juga terlalu sayang. Akhirnya kami mengambil keputusan untuk membungkus
beberapa porsi agar bisa disantap saat buka nantinya.
Perjalanan
kami lanjutkan, hingga matahari terus berarak dan perlahan menghilang dibalik
bukit-bukit yang terbeber. Pukul 17:20 kami
melewati pantai Bentar. Sebuah bibir pantai yang bisa dinikmati hanya
dengan melongokkan kepala keluar dari jendela mobil. Tak terasa yang ditunggu
pun tiba, saatnya adzan maghrib berkumandang. Kami pun menepi di sebuah SPBU di
daerah Tongas masih di Probolinggo untuk sekedar membasahi tenggorokan dan
mengisi perut dengan bakso yang berhasil kami bungkus tadi. Melihat kondisi
SPBU yang kurang terawat, kami memutuskan untuk sholat maghrib di masjid saja.
Setelah kami rasa cukup terganjal perut dan terpuaskan rasa dahaga kami kembali
menstarter mesin mobil. Sekitar 8 km dari SPBU, kami menepi kembali guna
menunaikan kewajiban sholat maghrib.
Waktu
terus bergulir, perjalanan terus berlanjut, dan jalanan masih terus tergerus
oleh roda kendaraan. Pukul 18:42 saya menyaksikan keindahan lampu-lampu dengan
enam menara yang super tinggi. Gugusan lampu-lampu indah tersebut adalah
kawasan Pembangkit Listrik Tenaga Uap-Paiton atau nama bekennya Java Power. Tenaga uapa yang dihasilkan
dari pembakaran batubara yang didapat dari lepas laut ini ternyata dapat yang
memproduksi berjuta-juta watt untuk mencukupi kebutuhan listrik Jawa dan Bali.
Pantas saja, megah sekali konstruksi bangunannya dengan penerangan lampu
disana-sini. Lha, yang disuplai
Jawa-Bali. Cckckck. Namun sayang sekali sepanjang jalan Paiton, tidak ada lampu
penerangan sama sekali. Baiklah, diambil hikmahnya saja mungkin tujuan dari
tidak adanya lampu penerangan jalan tersebut agar para pengguna jalan dapat
lebih menikmati keindahan lampu-lampu PLTU yang tersaji karena tidak ada cahaya
yang menduakan.
Berpaling dari Paiton, mata kami menangkap
tulisan ‘Selamat Datang di Kabupaten Situbondo’. Saya ingat kejadian beberapa
tahun yang lalu yang terjadi di dekat plangkat tulisan selamat dating tersebut,
sebuah kecelakaan beruntun mobil pick up, truk yang mengangkut berton-ton
mangga, dan bus pariwisata yang mengangkut puluhan anak SMP di Jogjakarta (atau
SMA gitu, saya agak lupa) pulang berdarmawisata dari pulau dewata, Bali. Saat
itu tidak ada yang selamat kecuali satu anak. Kerangka mobil, truk, dan bus
yang beberapa bulan belum disingkirkan sempat menimbulkan kisah-kisah mistis,
mengingat suasana jalan yang tanpa lampu penerangan sangat mendukung sekali.
Ada yang bilang seorang pengguna jalan pernah mendengar suara tangisan saat
melintasi lokasi tersebut hingga ada yang kerasukan. Entahlah, apakah itu
benar-benar terjadi atau sekedar mitos (sebut saja: omong kosong).
Komponen
yang tersaji di jalanan saat ini adalah kanan kiri pohon bakau yang membelah
jalanan gelap dan sepi. Setelah beberapa saat dalam keheningan, menikmati sabda
alam yang tercecer di depan mata, ayah saya memutuskan untuk kembali menepi di
sebuah pom bensin, dengan alasan setelah ini tidak ada lagi SPBU karena kami
akan menegak nikmatnya melintasi jalanan hutan di malam hari. Plangkat besar
yang menunjukkan identitas pom bensin ini bertuliskan: SPBU Utama
Raya-Banyuglugur. Dengan fasilitas yang super waw yakni: hotel&villa,
restaurant, meeting room, supermarket, café jamu, pusat oleh-oleh, atm, 80
toilet bersih. Pantas saja, SPBU satu ini terlihat sangat ramai, banyak bus
yang menepi mungkin sang sopir membutuhkan beberapa teguk kehangatan secangkir
kopi. Terlihat pula tenda-tenda posko mudik yang siap melayani segala keluhan
para pemudik. Sebuah rekomendasi jika anda ingin mengisi bensin serta mengendurkan
otot sejenak setelah bergulat dengan waktu dalam perjalanan panjang.
Beranjak
dari SPBU Utama Raya-Banyuglugur, pemandangan yang kami lihat adalah
plangkat-plangkat yang bertuliskan pembenihan udang dan menur, memang di daerah
ini pembudidayaan udang dan menur seperti sudah menjadi mata pencaharian
perkampungan (sekampung melakukan pembudidayaan semua). Hingga kami masuk di
Besuki, sebuah kota kecil yang nampak hidup daripada Banyuglugur karena efek
adanya deretan pertokoan dan terminal kecil.
Deru
mesin mobil masih terdengar dan disaat yang sama rasa hati ingin segera sampai
di rumah eyang sudah tak terbendung. Kami memasuki kawasan pemandangan alam
Wringin Arak-Arak, sebuah jalan berkelok-kelok dengan berbagai tantangan. Anda
bisa bayangkan lintasan roler coaster, hanya
saja bedanya roler coaster
dikendalikan oleh mesin yang telah diset agar
bisa melewati lintasan dengan baik tanpa membahayakan pengendaranya. Arak-arak
(begitu kawasan ini sering disebut) merupakan lintasan berkelok tanpa satupun
lampu penerangan jalan dan tanpa
pembatas jalan dengan panjang 8 km yang dihiasi kanan-kiri jurang
menganga dan bisa dipastikan siap menerkam siapa saja yang belum menguasai
medan ini. Saya sarankan jangan melewati kawasan ini jika matahari telah
tenggelam dan anda belum hafal benar jalan ini karena bisa jadi bahaya sedang
menunggu di mulut jurang arak-arak ini. Selain itu, arak-arak juga memiliki
tikungan yang tajam, jalan dua ruas tanpa garis pembatas ini juga sering
memakan korban kecelakaan. Namun jangan terlalu parno dahulu, karena meskipun
lumayan sulit untuk dilewati arak-arak juga menyajikan keindahan alam yang
sangat mempesona. Di malam hari anda dapat melihat keelokan gugusan lampu-lampu
kota yang berkedip di bawah sana. Apalagi jika anda melintasi jalan ini siang
hari anda dapat menikmati cokelatnya daun jati yang meranggas dan berguguran di
tanah, birunya laut di bawah sana yang kadang terlihat mengkilap karena terpaan
sinar Bagaskara, dan tentu saja anda bisa melihat betapa eksotisnya kota-kota
kecil dibawah sana jika dilihat langsung menggunakan teropong asli buatan sang
Maha Kuasa, yakni kedua mata kita. Jika anda beruntung, anda juga akan menemui
monyet-monyet yang turun ke jalan untuk mencari makan atau sekedar mejeng.
Banyak juga pengendara yang berhenti dan memberi makanan kecil seperti kacang,
dll untuk para primata yang sangat unyu ini.
Saya
juga menemukan beberapa rumah penduduk yang di depannya terbeber sebuah papan
lebar yang terbuat dari anyaman bambu dan diatasnya terdapat rajangan tembakau.
Saya duga tembakau-tembakau itu sedang dijemur oleh pemiliknya. Menurut
keterangan yang saya dapat dari ayah, mata pencaharian penduduk setempat memang
kebanyakan sebagai petani tembakau, disamping sebagai peternak. Puas menikmati
ragam bentuk rumah gubuk dan beberapa rumah modern milik penduduk, saya
merasakan ada yang berubah dengan strukstur susunan jalan yang sekarang saya
lewati. Jalanan yang menanjak kemudian turun kemudian menanjak lagi begitu
seterusnya membawa sensasi tersendiri untuk melewati malam sunyi penuh hikmat
ini. Ternyata saya sudah sampai di daerah yang bernama Wringin-Poler, daerah
ini memang terkenal akan sensasi jalannya yang sedikit menggelitik perut.
Pukul
19:53, saya dapat sedikit bernafas lega setelah membaca dengan jelas plangkat besar
bertuliskan “Selamat Datang di Kabupaten Bondowoso”. Akhirnya kota tape ini
berhasil saya dekap. Namun belum tamat sampai disini, saya masih harus melaju kearah
timur lagi dari Kota Kulon (kecamatan pertama setelah masuk Bondowoso dari arah
Surabaya), karena rumah eyang berada masih agak jauh dari sini. Langsung saja
lanjut, kecepatan mesin yang masih terus berpacu dengan waktu membawa kami
mengintip retorika kecil kota ini, Alun-Alun Bondowoso yang berhasil saya intip
ternyata tidak seberapa ramai mengingat dulu ketika saya kesana keadaannya
penuh sesak. Dan benar saja, ternyata lautan manusia tumpah di daerah Pecinan,
deretan pertokoan yang menyediakan segala macam kebutuhan manusia ini
benar-benar dipadati oleh makhluk bernama manusia. Cukup lama kami terjebak
macet disini, yang akhirnya beberapa polisi mengarahkan kami untuk putar balik
melalui kampung Arab. Ya sudahlah, pokonya nyampe batin saya menggumam. Tak
butuh waktu lama, 15 menit kemudian saya dan keluarga berhasil menginjakkan
kaki di daerah Koncer yang tak lain adalah tempat tinggal keluarga besar ayah.
Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, kami sampai dengan selamat sampai tujuan. Segera
senyum simpul dan nafas lega dari kami dan keluarga besar yang menunggung
tersungging. Kami segera melepas rindu dengan letupan berbagai macam perasaan
bahagia.
Dan
demikianlah perjalanan mudik saya kali ini. Semoga ada kesempatan bagi saya
untuk berbagi kisah lagi dalam berbagai perjalanan dan keadaan. Oiya, saat takbir berkumandang, saat operator pada sibuk dan saat saya beralih
profesi menjadi pembantu pembuat kue lebaran. Hehehe. Ijinkanlah huruf-huruf ini mewakili dan
mengungkapkan berbagai penyesalannya atas segala macam kekhilafan dan kesalahan
yang pernah saya perbuat baik secara lahir maupun batin. “Taqabbalallahu minna wa minkum. Minal ‘aidzin wal faidzin. Selamat Hari Raya Idul Fitri 1433H. Mohon maaf lahir dan batin.” J
Nb: Mohon maaf, foto-foto yang dicantumkan diambil dari berbagai sumber.
B.E.J
Ditulis:
17 Agustus 2012
21:42
Diselesaikan:
18 Agustus 2012
16:30
sekarang nulis perjalanan ke situbondo, besok nulis perjalanan ke Irlandia, segera berangkat!!!!!
BalasHapus