" Wadah Perca-perca Mimpi Sebelum Terburai Melangit " (B.E.J.)

Sabtu, 18 Agustus 2012

Mudik Merdeka I



Part I
Tujuh belas Agustus tahun empat lima
  Itulah hari kemerdekaan kita
  Hari merdeka nusa dan bangsa
  Hari lahirnya bangsa Indonesia….”

Yap tepat sekali! Saya masih berada di bumi khatulistiwa, pelukan hangat ibu pertiwi –Indonesia yang hari ini telah tepat bergelar mahkota angka 67. Usia 67 tahun bukanlah waktu yang sebentar untuk berkiprah menjadi sebuah Negara yang bebas, merdeka dan berdaulat di mata banyak Negara di seluruh dunia. Bagi saya peringatan proklamasi Indonesia kali ini memberikan arti yang sedikit berbeda dengan peringatan proklamasi pada tahun-tahun sebelumnya. Bagaimana tidak? Tahun ini saya tidak bisa mengikuti upacara bendera di sekolah karena kebijakan sekolah saya yang meliburkan seluruh siswanya mulai tanggal 12 Agustus kemarin. Jadilah saya hanya bisa menghibur hati melihat sang Saka berkibar dengan gagahnya di istana merdeka-Jakarta dari layar 21 inch buah karya siaran langsung sebuah stasiun televisi.
Perayaan yang sangat memukau terlihat dari persiapan detik-detik pengibaran, pengamanan para tamu undangan yang ketat, hingga sajian hiburan orchestra yang sangat keren sekali menurut saya. Mungkin ini karena efek saya lama sekali tidak melihat siaran live pengibaran merah putih di tv. Atau memang semua komponen yang tersedia disitu adalah komponen-komponen pilihan telah disaring melalui penyaringan yang cukup ketat.
Sekitar pukul sepuluh siang, upacara di istana yang dianggap termegah di tanah air ini dimulai. Sempat saya ikut merasakan sensasi yang ada disana, diam-diam saya jadi deredekan. Hampir semua anggota instansi dan lembaga terlihat hadir dalam acara peringatan setahun sekali ini. Seragam yang mereka kenakan pun berbeda-beda, ada yang seragam merah putih dengan berbagai pangkat yang menempel, ada pula biru putih dengan senjata siap di lengan bahkan  kebanyakan bapak-bapak mengenakan setelan jas hitam dan kemeja putih dengan pemanis dasi merah dan ibu-ibu juga tak mau kalah dengan kebaya berwarna merah-putih modern hasil modifikasi desainer ternama, tampak pula utusan kedutaan dari beberapa Negara mengenakan pakaian khas mereka, oh ya  saya ingat! Ada pula tim choir  orchestra yang mengenakan pakaian adat dari Sabang hingga Merauke,yang jelas melihat beragam kostum pagi ini semboyan ‘Bhineka Tunggal Ika’ memang sangat manjur untuk diterapkan.
Pembukaan upacara berlangsung lancar, mulai dari pembacaan teks proklamasi hingga doa. Namun tiba saatnya syaraf adrenalin saya berpacu kembali yakni saat pasukan paskibraka keluar dari tempat persembunyian mereka. Berjalan dengan tegap, anggun dan gagah, bersahaja, dan tetap hangat karena senyum yang mereka pancarkan ke seluruh para undangan yang hadir dan berhasil tertangkap oleh kamera milik stasiun-stasiun televise. Menurut reporter yang melaporkan berita ini, persaingan untuk mendapatkan seragam putih-putih agar dapat menjadi pengibar duplikat bendera pusaka ini sangatlah berat. Mereka harus bersaing antar sekolah SMA kemudian kecamatan dilanjutkan kota atau kabupaten dan akhirnya provinsi, dari satu provinsi inilah terpilihlah sepasang pasukan yang akan ditempa agar bisa mengemban tugas mereka yang cukup berat itu. Tentu saja syarat lainnya juga berlaku seperti mereka memiliki prestasi akademik yang baik, memiliki akhlak yang mulia, fisik yang kuat dan beberapa syarat berentet lainnya. Yang jelas, hadirnya mereka di layar kaca hari ini mampu membuat banyak orang tersenyum bangga, mulai dari orangtua, guru, dan kerabat dekat.
Jarum jam menggeser posisinya menjadi 10:40 saat seorang gadis cantik dengan senyum tersimpul di wajahnya membawa sebuah baki dengan alas kain kuning emas dan terjahit seekor garuda gagah diujung kain tersebut, menaiki satu persatu tangga merah untuk menerima duplikat kain merah putih yang penuh arti bagi negeri ini. Adalah Mega Ayundya yang sekarang telah berhasil mengemban amanah untuk membawa duplikat sang saka menuju tiang bendera istana Negara ini. Gelagat was-was tergurat jelas di wajahnya saat menuruni anak tangga merah itu sat persatu dengan posisi tubuh tetap tegap menghadap bapak presiden dan seluruh jajaran staf kepemimpinan.saya pun ikut was-was, takut kalau tiba-tiba ia terpeleset atau terjungkal.

Bersyukur sekali ternyata Mega sehat wal afiat hingga ia bisa menyerahkan bendera tersebut kepada  Tresna Gumilar yang kemudian akan dibentangkan oleh sang pembentang yang kebetulan hari ini juga berulangtahun tepat ke tujuh belas tahun yakni Revan Fredo. Seorang pelajar dari Papua ini terlihat begitu gagah dengan balutan busana putih dan peci hitam yang menutupi kepalanya. Waktu terus memberontak dan matahari terus menyingsing membakar seluruh peserta upacara yang hadir, setelah teriakan lantang yang berasal dari tenggorokan Revan “Bendera Siap!” diikuti dengan sikap hormat seluruh peserta upacara dan mungkin sebagian pemirsa yang terbawa suasana saat itu, seperti saya. Dan kali ini giliran Fajrika, sang pengerek bendera untuk berusaha mengibarkan lambang kemerdekaan bangsa ini agar mengudara diangkasa dan disaksikan oleh seluruh jiwa yang haus akan rasa nasionalisme hari ini.


 Alunan musik pengiring berupa terompet, drum, dan beberapa alat musik lainnya yang sering digunakan untuk marcing band membahana, berpacu melawan suara klakson kendaraan di ibukota metropolitan tersebut, mengisyaratkan satu lagu bersejarah ciptaan Wage Rudlof  Supratman, Indonesia Raya. Alhasil, puji syukur tercurah atas karunia Tuhan semesta alam, Allah SWT yang masih membiarkan dua warna penuh arti itu dapat menghiasi langit yang teduh akan birunya. Tetaplah berkibar merah putih kami! Tugas pasukan merah pun bisa dianggap selesai, tinggal sore harinya pasukan putih bertugas menurunkan dan mengamankan kembali duplikat sang saka agar dapat disimpan aman di Museum Rekor Indonesia.

Tibalah saatnya TNI AU bertugas untuk unjuk kebolehan mereka, dengan atraksi mengudara membentuk formasi double V menggunakan pesawat F-16 dan pesawat Sukhoi TNI-AU. Entahlah, apakah pesawat ini adalah pesawat dengan jenis yang sama yang sempat menyorot perhatian masyarakat karena jatuh di gunung Salak, atau mungkin hanya namanya saja yang kebetulan sama? Entahlah. Yang jelas atraksi pesawat tempur dibarengi suara sirine dan lonceng-lonceng gereja serta bedug-bedug masjid yang dipukul sebanyak tujuh belas kali  itu cukup menyedot perhatian semua mata pagi ini.

Sebuah prestasi tersendiri ketika seorang anak lelaki SD bernama Brian Putra Simamatra menyanyikan lagu ciptaan presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang berjudul Bersatu dan Maju lagu yang baru pertama kali dirilis saat sea games di Palembang kemarin. Brian yang pagi ini mengenakan pakaian adat Bali nampak lucu dengan wajah khas kekanakannya. Bernyanyi dengan suara tinggi membuat semua undangan yang hadir takjub akan bakat yang ia miliki. Sesekali saat kamera mengarah pada posisi bapak SBY, terlihat sekali senyuman bangga beliau melihat anak sekecil itu mampu membawakan performance yang luar biasa untuk sebuah lagu yang juga memiliki makna yang luar biasa pula.

Belum selesai sampai disitu, nampaknya kebahagiaan rakyat Indonesia kali ini juga cukup terwakili dengan senyuman yang merekah dari para choir orchestra Gita Bahana Nusantara yang menyanyikan lagu medley nusantara. Lagu daerah yang dinyanyikan diharapkan akan menumbuhkan rasa cinta akan budaya daerah yang akan membentuk satu kesatuan rasa, yakni nasionalisme begitu kata reporter di televisi tadi pagi. Lagu pertama yang dinyanyikan adalah lagu daerah Sumatra Utara, Sing Sing So. Kemudian lagu ceria dari provinsi Jawa Barat yakni Manuk Dadali. Dan siapa pula yang tidak kenal dengan lagu yang termasyhur ini dari Jawa Tengah, Ilir-Ilir. Pada saat tim choir menyanyikan Sapu Tangan Bapuncu Ampat  lagu daerah asal Kalimantan ini mereka memperagakan dengan sangat baik, wajah sumringah dengan tangan kanan mengibas-ibaskan sapu tangan berwana-warni. Adapula lagu O Inani Keke asal Minahasa, Rasa Sayange asal Maluku dan  lagu daerah terakhir yakni Waninggap asal provinsi paling ujung Indonesia yakni Papua. Belum cukup dengan segudang kekayaan budaya Indonesia di bidang seni musik dan suara tersebut sepertinya semua ini memang patut disyukuri mendalam sehingga tercetuslah di benak konduktor untuk mengakhiri penampilan kali ini dengan lagu Syukur buah karya H Muntahar. Semua lagu-lagu yang telah saya sebutkan barusan diarasement dengan sangat menarik dan apik. Perpaduan alat musik modern seperti biola, piano, dll dengan alat musik tradisional daerah seperti rebana, gendang tambun, dll.

Matahari makin meninggi dan tibalah saatnya penutupan upacara pengibaran sang saka Merah-Putih pada pagi setengah siang kali ini karena arloji saya telah menunjukkan pukul sebelas lewat sepersekian menit. Semua reporter televisi swasta mulai undur diri dari layar kaca para pemirsa agar kemudian acara tv bisa digantikan dengan film dokumenter kemerdekaan, berita seputar arus mudik, atau bahkan infotaiment. Dengan berakhirnya upacara pengibaran kali ini maka berakhir pula tugas saya yang sok-sokan menjadi reporter amatir ini selesai. Saya harus beralih profesi menyongsong rumah eyang saya. Hehehehe… Demikian laporan langsung seputar upacara pengibaran bendera Merah Putih,saya Belda Eldrit Janitra dan seluruh kru cameramen yang bertugas melaporkan langsung dari depan layar kaca di rumah. Kembali ke studio masing-masing pembaca. Nantikan laporan kami selanjutnya dalam beberapa saat kedepan. Hahahaha J

2 komentar:

  1. mbak mbak reporter, embak cantik deh :D *nyepik* haha

    BalasHapus
  2. hahaha...gebrekan benderanya pas itu kurang sip

    BalasHapus