anak kambing tuan ada di pohon waru
mana dimana jantung hati saya
jantung hati tuan ada di kampung baru
caca marica he hei
caca marica he hei
caca marica ada di kampung baru
caca marica he hei
caca marica he hei
caca marica ada di kampung baru "
Sebenarnya tidak ada yang istimewa dari dendang ini. Hanya sebuah lirik sederhana yang mampu menyusun nada ceria. Mungkin. Lumayan, lagu ini sedikit menguarkan slentingan-slentingan kecil peninggalan ujian akhir semester kemarin. Bukan lagi masalah remidi atau ketidaktuntasan. Ia anggap itu sudah biasa terjadi dan pastinya harus terjadi pada siapa pun yang mengenyam pendidikan di negara ini dengan sistem yang agak ruwet. Tak ada ambiguitas dalam lagu daeran Nusa Tenggara ini. Lagu singkat yang dinyanyikan oleh segerombolan anak madrasah ibtidaiyah (setara SD) yang mungkin baru saja mendapat pelajaran kesenian bab bernyanyi lagu daerah tadi pagi. "Aku pernah bernyanyi seriang itu. Dulu," ia sempatkan melirik beberapa jenak gerombolan anak berseragam merah-putih yang sedang berjalan riang.
Akhir November, dan jika esok aku menoleh maka akan kutemukan dia telah melambaikan tangan.
Entah sudah berapa lama ia duduk termenung di halte tua ini, mengamati kesibukan saripati tanah berjiwa yang dari tadi sliwar-sliwer mengerjakan berbagai macam kesibukan semesta. Terkadang hal tersebut membuat mereka merasa congkak bahkan sekadar untuk meratakan dahi dengan tanah tempat mereka berasal. Hari ini mendung masih menggantung, sama seperti kemarin dan kemarin lusa. Bulan-bulan ini memang musim penghujan. Ada burung gereja di dahan sana, sepertinya ia agak was-was mengikuti perkembangan berita cuaca sore ini. Biru-putih-abu-abu-hitam-kelam, dan mungkin sebentar lagi petir menyapa pelan. Artinya, tak lama lagi langit akan berbagi kelogawaan dengan makhlum bumi. Hujan atau pun gerimis.
"Ah, baju ini. Perumpamaan langit! Putih-Abu-abu," sekilas ia melihat seragam yang ia kenakan kemudian pikirannya mulai menggerayang jauh, mengingat kejadian apa saja yang berhasil ia contrreng dalam daftar listnya hari ini.
Deru mobil biru yang disusul suara cempreng klakson berhasil merebut fokus imajinasinya. "Saatnya pulang!" Amora, penebar bibit khayalan memperingatkannya bahwa ibu sudah menunggu di rumah. Di depan meja makan.
Jadilah, sketsa yang tersaji saat ini bukan lagi boulevard besar yang membagi dua ruas jalan. Pohon-pohon perdu teduh itu segera berganti dengan pemandangan peremapatan yang sesak kendaraan bermesin dan pengamen-pengamen muda (mungkin ada yang sepantaraan ia) yang sibuk memelas, mengharap recehan jatuh di kantong plastik permen lecek miliknya.
Sebentar ia menambatkan retinanya pada renik kecil garis hidup orang pinggiran di negeri yang menjunjung tinggi undang-undang perlindungan dan pemberdayaan orang miskin dan anak terlantar. "Ah, omong kosong!" Hanya sebuah desahan yang berhasil menyuarakan pikirannya.
Untuk apa pula sibuk memikirkan nasib mereka yang tidak ada jluntrungannya, sedang nilai di sekolah pun meski meningkat masih saja diburu dengan tuntutan agar selalu ditingkatkan oleh para guru. Sedikit egois memang.
Mobil biru yang ia tumpangi mulai melenggang dari keramaian. Saat ini hanya beberapa petak hamparan sawah yang berair dan tak berpenghuni oleh runduk-runduk padi. Baru saja dipanen, pikirnya. Ia jadi ingat, tumpukan petak sawah lengkap dengan anai-anai yang sangat rapi dan mendamaikan siapa saja yang memandangnya. Seakan-akan Dewi Srikandi, lakon wayang yang dipercaya sebagai pembawa berkah kesuburan bagi seluruh petani menjelma nyata, meregangkan busuh panahnya elok di atas hamparan hijau pulau Dewata itu.
Bukan imajinasi namanya, jika ia dari Bali ia tak bisa landing ke Kutai. Membayangkan melintasi canopy bridge pertama di negeri ini. Berjalan sedikit gontai namun dengan hati mantap, tak seperti keadaannya sekarang. Lanjut ia berjalan di atas jembatan tajuk yang menghubungkan lima pohon di atas ketinggian 10 meter di kawasan Bukit Bangkirai-Pulau Borneo. Adanya hutan hujan tropis yang masih alami di tempat ini memang kejaiban alam atas karunia Tuhan tersendiri.
Drrt..drrt..rrt
Ia lupa menyeting ulang modus senyap handphonenya. "Mengganggu saja!" Okulusnya sigap memandang ponsel kecilnya kemudian membuka sebuah pesan singkat yang baru masuk.
"Ca, jangan lupa tugas presentasi ini. Makalah itu. Esai anu. Praktek ini. Oh ya, lusa ada try out ini-itu juga!" Dari teman seabngkunya. Caca sekarang mulai terbiasa dengan sms peringatan yang memang setiap hari teman sebangkunya kirim itu, sebagai pengingat maksud baik temannya itu. Maklum, Caca memang agak senewen untuk masalah tugas sekolah. Namun berbeda dengan sore ini, ia agak sebal terlebih sedikit alergi dengan segala hal yang berbau kata sekolah terutama satu vokal yang berbunyi 'nilai'.
Lagi-lagi gadis nakal ini mengabaikan gangguan kecil itu untuk menembus batas khayalannya lagi. Kali ini pilihan jatuh pada sebuah taman nasional yang sangat eksotik di Papua. Namanya, Lorentz. Salah satu dari tiga kawasan di dunia yang memiliki gletser di daerah tropis tersebut adalah taman nasional terbesar di Asia Tenggara dengan luas 25 ribu kilometer persegi. Membayangkan berdiri di atas sana menikmati segala ekosistem dan keanekaragaman hayati yang ada, pastilah sangat indah.
Terminal kecil, tempat ngetem angkot-angkot kuning tujuan pelosok desa yang ia lihat kini tiba-tiba berubah menjadi Ngarai Sianok. Pula bukan lagi bau keringat sore yang mulai mengering di baju para sopir yang tercium, tapi aroma ilalang basah yang terbawa angin. Sempurna. Untuk masalah khayal-mengkhayal, Caca inilah satu-satunya anak ibu yang paling jago dibanding dengan dua kakaknya yang mahir sekali menghitung kalkulus, determinan, matriks, dan invers suatu bilangan. Terbukti saat ini, pemandangan lembah bernama Ngarai Sianok di perbatasan kota Bukittinggi yang kabarnya terindah kedua setelah Grand Canyon, itu sudah terpampang jelas di dalam benaknya.
Mesin beroda ini masih menderukan suara tak jelas karena berpacu dengan angin. Angkot kota pinggiran ini masih berusaha mengantarkan penumpangnya termasuk Caca, gadis berjilbab putih ini agar sampai pada pelukan ibunya di rumah. "Bulan Desember 2012, batas pembayaran pajak bumi dan bangunan. Sudahkah anda membayar pajak anda?" Sekilas saat melihat baleho besar yang mengumbar kata-kata tersirat perintah itu ia menelan ludah. Lalu seperti tersedak, rasanya ia baru sadar bahwa masih banyak tugas dan deadline yang belum ia selesaikan atas nama pencapaian. 30 November 2012. Itu yang dikatakan kalender ponselnya.
Lagi-lagi ia menoleh. Lalu berlari kembali, memelukku erat kemudian menatapku dalam. "Biarkan aku pergi, sekarang! Sambutlah ia dengan tangan kecilmu yang hangat. Sungguh Desember pun lebih baik daripada aku!"
Caca mengingat sajak November itu (lagi). Ya, ia harus bergegas. Desember lebih baik dari sahabat lamanya, November. Namun, ia juga bisa lebih kejam melebihi Izrail. Menutup tahun ini dengan sia-sia dan menghadirkan Januari dengan arogan.
"Kalideres...Kalideres...!" Teriak sang sopir mengingatkan para penumpangnya pada destinasi akhir. Caca pulang dengan seribu wajah untuk menyambut Desember, dengan semangat yang siap meledak sewaktu-waktu.
B.E.J
13:59
Di ujung Novemberku
Tidak ada komentar:
Posting Komentar