Libur tlah
tiba…Libur tlah tiba…
Hore..Hore..Hore…Horeee!
Simpanlah tas
dan bukumu!
Lupakan keluh
kesahmu!
Libur tlah
tiba…Libur tlah tiba…
Hatiku gembira
(Tasya-Libur
Tlah Tiba)
Lagu
anak-anak itu pasti sering kali terdengar ketika libur ganti semester, libur
akhir tahun, libur natal dan tahun baru yang akhirnya datang juga. Yakin
sekali, jika hal yang satu ini sudah datang tidak ada orang yang bersedih hati.
Secara, manusia mana yang benci libur? Okelah, oke mungkin ada segelintir
orang. Tapi, mari kita nikmati liburan kali ini dengan cara yang sedikit
berbeda. Menikmatinya dengan cara yang lebih sederhana.
Sebenarnya,
liburan kali ini saya tidak berniat keluar rumah sama sekali. Karena, memang
tidak ada rekan perjalanan dan tidak ada destinasi menarik di kota tempat
tinggal saya. Namun, setelah beberapa hari saya hanya berdiam diri di rumah
ternyata bosan juga. Alhasil, sebuah ide cemerlang muncul tiba-tiba. Mari kita
melakukan misi mulia! Teriak batin saya mengajak. Melancong ke Kota Tahu Kuning
menjadi pilihan perjalanan sederhana kali ini. Saya katakan ini misi mulia
karena tujuan saya melakukan perjalanan ini bukan hanya untuk dolen tapi juga bersilaturahmi dengan keluarga besar
dan nenek saya.
Hari
itu Jumat, saya menerobos kerumunan manusia di terminal Purabaya dan segera mencari
bus jurusan Pare-Blitar. Untuk mencapai rumah nenek saya memang lebih mudah
menggunakan bus ini daripada menggunakan bus jurusan Tulunganggung-Kediri,
karena bus ini nantinya lebih jauh pemberhentian terakhirnya. Pukul sebelas
tepat saya berhasil mendapat kursi kosong bersebelahan dengan jendela. Sebuah
prestasi tersendiri, mengingat banyak juga pemudik yang akan ke Pare-Blitar
ini.
Tiba-tiba
seorang wanita berjilbab duduk di sebelah saya kemudian tersenyum dan bertanya,
“Turun mana, Mbak?”. “Hmm, Jambu mbak,” jawab saya. Dari obrolan ringan itu,
akhirnya kami ngobrol ngalor-ngidul. Ternyata, mbak di sebelah saya ini
adalah seorang perawat. Berkeperluan ke Surabaya untuk mengurus sertifikat dan
surat-surat apa gitu (saya lupa namanya), menurutnya pertengahan bulan Januari
ini dia akan pindah tugas ke Papua.
“Iya, saya juga ndak nyangka bakalan
dipindahkan kesana,” ujarnya sambil tersenyum.
“Wah, asik itu mbak! Saya aja dari
dulu pengen ke sana. Pengen menyusuri pantai-pantainya yang masih alami. Pengen
tahu Raja Ampat sama pengen megang burung Cendrawasih. Hehehe,”
“Nanti kalau jadi kesana, sampean
kontak saya saja biar nanti saya ajak puter-puter,” Haduh, mbak ini!
Udah murah senyum baik banget lagi!
“Gampanglah, mbak! Sekarang nabung
dulu, kayaknya masih lama kesananya,” Gila! Mengingat biaya yang akan saya
keluarkan pasti sangat besar. Papua gitu lho~ J
Sejenak hening diantara kami, sibuk
mengamati jalanan yang basah karena hujan turun sangat deras di luar sana.
Suasana bus yang saya tumpangi kali ini juga relatif sunyi. Para penumpang
lainnya memilih sibuk dengan benaknya sendiri-sendiri, hanya suara penyanyi
dangdut lawas yang menggema dari DVD player yang diputar oleh sang kernet.
“Karcis, mbak!” Siapa lagi, kalau
bukan pak Kernet yang berbicara saat ini.
“Jambu,” ujar saya sambil
menyodorkan selembar uang. Si kernet sibuk mencorat-coret selembar kertas yang
ia bawa. Kemudian menyobek dan memberikannya kepada saya.
“Tiga puluh”, kemudian si Kernet
berganti meladeni mbak-mbak di sebelah saya. Setelah saya amati, ternyata turun
di tengah jalan atau pun di tempat pemberhentian terakhir ternyata bus patas
memukul tarif yang sama. Untuk desa Jambu (Kediri) dan Blitar, tujuan mbak-mbak
di sebelah saya ini ternyata dikenai biaya yang sama, Rp. 30.000,-
Duh,
engkang…Naha ten teinuh? Duh, engkang soka bina-bina?Kang mulai lupa, waktu
hidup di desa…Makan dari mertua…Waktu kita hidup sengsara…
Suara
penyanyi wanita itu masih mengalun rancak, menggema mengalahkan gelegar petir
dan derasnya rinai hujan di luar. Tiba-tiba saya teringat sesuatu.
“Hmm, mbak setelah lulus ada
PPLnya?”, tanya saya memecah hening.
“Ada, mbak. Satu setengah tahun,
pindah-pindah rumah sakit,” masih dengan tersenyum.
“Pernah nggak, mbak ditaruh di rumah
sakit jiwa?”, saya penasaran sekali.
“Pernah mbak, satu setengah bulan di
sana,” and guess what! Mbaknya, tersenyum lagi. Wah..wah, khawatir ni
mbak-mbak gak ketempelan apa-apa kan dari RSJ itu? Senyam-senyum mulu sih dari
tadi. -.-‘
“RSJ mana, Mbak?”
“Di Lawang itu lho, Mbak! Rumah Sakit
Jiwa Dr. Radjiman Wedyodiningrat”, saya manggut-manggut, sok tahu dimana itu.
Pernah dengar, di daerah Lawang sana memang ada RSJ besar. Tapi, saya belum
pernah seantusias ini ingin tahu ada apa saja di dalam sana.
“Gimana di sana, Mbak?”
“Di sana, bangunannya besar-besar
mbak. Bangunan Belanda masihan. Setiap pasien ditempatkan di paviliun-paviliun
sendiri. Di rumahkan gitu, jadi satu rumah terdiri beberapa orang. Biar mereka
ngerasa tetep punya keluarga”, mbak ini kemudian melanjutkan panjang lebar
setelah melihat tatapan nanar saya ingin tahu yang sangat tak lupa, masih
dengan senyum manisnya.
“Lucu di sana itu, mbak. Kan, setiap
perawat diserahi satu pasien. Jadi ya, saya bertanggung jawab atas satu pasien
itu. Lha, kok biasanya ada yang iri-irian minta dirawat sama perawat lainnya.
Ada juga yang kerjaannya sembayang terus-menerus, gak tau itu arah kiblat atau
bukan yang penting solat katanya! Hehehe…”, Wah, mbak ini bisa ketawa rupanya.
Tambah cantik aja, wih..wih…pasien mana yang gak tahan kalau punya perawat
kayak mbak ini? Ckckck, kayaknya bakalan kerasan lama-lamaan di rumah sakit.
Saya saja yang sesame jenis, rasanya jatuh hati sama perangainya kok. Wah,
gimana pasiennya si embak yang cowok-cowok pasti kagak mau sembuh dari
sakitnya.
“…Ada juga yang nagis terus-terusan, Mbak.
Kasian kalau lihat yang seperti itu. Ada yang tiba-tiba pakai baju pasien
laki-laki. Padahal agak jauh tempat pasien perempuan dan pasien laki-laki. Ada
yang biasa saja, kayak orang sehat begitu. Tapi ternyata, dia penderita depresi
berat…”, tatapan sang embak menerawang jauh, kayaknya sih memutar memori
kembali.
“Emang, di sana ada kegiatannya
mbak?”, mohon maaf mbak, khayalan embak saya rusak ya.
“Eh, ya ada mbak. Beberapa minggu
sekali ada training untuk melatih kerja otak. Setiap minggu, ada jalan-jalan
bersama. Setiap hari ada sholat jamaah, ada kegiatan membuat kerajinan. Setiap
sabtu ada mandi bersama. Hehehe ” si embak tersipu waktu bilang ‘mandi
bersama’. Whuat! Mandi bersama?
“Iya, mandi bersama di halaman paviliun
pakai kran dan selang. Keramasan bersama, sabunan bersama, main air bersama, ketawa-ketawa
bersama, lucu pokoknya mbak,” saya manggut-manggut, paham sekarang.
“Terus kalau membuat kerajinan itu
gimana mbak?” bak seorang wartawan, saya mewawancarai si embak ini.
“Oh kalau itu, ada tingkatannya
mbak. Kalau pasien kerja otaknya masih lemah biasanya kerajinannya ya yang
mudah-mudah seperti menjahit flannel, mebuat bantal-bantalan. Tapi, kalau untuk
pasien yang sudah hampir boleh pulang biasanya membuat kerajinan yang cukup
rumit, seperti merajut dan membuat baju,” tutur mbak ini kalem.
“Ooo, begitu ya mbak,”
“Iya, kapan-kapan mbak coba main deh
kesana,” tawar embak ini.
“Emang boleh, mbak?” kalau ada
cermin, mungkin sekarang keadaan saya bisa digolongkan mupeng tingkat tinggi.
“Boleh, mbak kalau besuk,” senyum
lagi..senyum lagi. Masalahnya siapa yang mau dibesuk mbak? Alhamdulillahnya,
keluarga saya pada sehat wal afiat di rumah.
“Kalau ijin main-main gitu boleh
nggak?” si embak, berpikir sejenak saat saya tanya seperti itu.
“Emm, kurang tahu saya mbak. Setahu saya
dulu, ada teman yang kesana buat penelitian. Kalau yang buat main-main, belum
ada kayaknya. Siapa to mbak yang mau main di tempat kayak gitu?”
saya..saya..saya..saya mbak…! Suara lengkingan batin saya menjawab, tapi saya
hanya mengutarakannya dengan tersenyum meniru senyum manis ala mbak ini.
“Ada penjaganya nggak, mbak?
Maksudnya satpam gitu?” saya masih pantang menyerah.
“Ada, tapi ramah sekali” Good! Jawaban
itu yang saya tunggu.
Ternyata
mesin bus yang menderu membuat roda bus ini membawa kami hampir mendekati desa
Jambu. Saatnya saya pamit pada embak cantik ini.
“Mbak, boleh saya minta nomor
hapenya embak?”
“Oh, boleh mbak silakan!” seraya
sang embak menyebutkan nomornya.
“Ngomong-ngomong kita udah ngobrol
banyak tapi belum kenal. Nama embak siapa?” saya lagi.
“Risa,” jawab mbaknya, eh mbak Risa
maksud saya.
“Saya Belda, mbak! Saya pamit dulu
ya, mbak. Besok-besok kalau saya ngerepotin embak, tanya-tanya lagi nggak papa
ya?”
“Iya, mbak ndak papa. Kalau bisa
mampir sekali-kali ke RSJ di Lawang itu kan embak deket dari Malang kesana.”
“Iya, insyaallah mbak!”
“Oh ya!” Ujar mbak Risa seperti ada
yang terlupa.
“Dari sana nanti, embak bakalan
menemukan dunia kecil tanpa harus berkeliling dunia,” kali ini senyum mbak Risa
menyiratkan kebijaksanaan.
“Dunia kecil tanpa harus berkeliling
dunia. Hmm,” gumam saya.
“Baiklah, mbak. Saya duluan kalau
begitu. Terimakasih banyak lho infonya, semoga sukses di Papua! Assalamualaikum…”
pamit saya kemudian maju mendekati pak Kernet yang sudah berteriak agar para
penumpang yang akan turun segera bersiap.
“Jambu..Kiri..Kiri…!” Teriakan pak
Kernet akhirnya membuat saya menginjakkan kaki kembali ke bumi.
Bus kecil
biru itu segera meninggalkan saya. Namun pikiran saya masih penasaran dengan
kata-kata mbak Risa tadi, “Dunia kecil tanpa harus berkeliling dunia”.
Okelah, nanti kalau ada libur lagi dan ada kesempatan dolen lagi saya pasti ke sana. Melihat dunia kecil
itu. Belajar memahami dari apa yang tersaji di sana. Dan inilah, kisah singkat
kali ini. Rumah Sakit Jiwa Dr. Radjiman Wedyodiningrat-Lawang, masuk dalam list
dolen selanjutnya. Ada yang ingin melihat dunia kecil itu juga? Tawaran
terbuka, Wanna Go Out with Me? Hahahaha. J
Tidak ada komentar:
Posting Komentar