" Wadah Perca-perca Mimpi Sebelum Terburai Melangit " (B.E.J.)

Senin, 31 Desember 2012

Wanna Go Out with Me?


Libur tlah tiba…Libur tlah tiba…

Hore..Hore..Hore…Horeee!
Simpanlah tas dan bukumu!
Lupakan keluh kesahmu!
Libur tlah tiba…Libur tlah tiba…
Hatiku gembira
(Tasya-Libur Tlah Tiba)

            Lagu anak-anak itu pasti sering kali terdengar ketika libur ganti semester, libur akhir tahun, libur natal dan tahun baru yang akhirnya datang juga. Yakin sekali, jika hal yang satu ini sudah datang tidak ada orang yang bersedih hati. Secara, manusia mana yang benci libur? Okelah, oke mungkin ada segelintir orang. Tapi, mari kita nikmati liburan kali ini dengan cara yang sedikit berbeda. Menikmatinya dengan cara yang lebih sederhana.

            Sebenarnya, liburan kali ini saya tidak berniat keluar rumah sama sekali. Karena, memang tidak ada rekan perjalanan dan tidak ada destinasi menarik di kota tempat tinggal saya. Namun, setelah beberapa hari saya hanya berdiam diri di rumah ternyata bosan juga. Alhasil, sebuah ide cemerlang muncul tiba-tiba. Mari kita melakukan misi mulia! Teriak batin saya mengajak. Melancong ke Kota Tahu Kuning menjadi pilihan perjalanan sederhana kali ini. Saya katakan ini misi mulia karena tujuan saya melakukan perjalanan ini bukan hanya untuk dolen  tapi juga bersilaturahmi dengan keluarga besar dan nenek saya.

            Hari itu Jumat, saya menerobos kerumunan manusia di terminal Purabaya dan segera mencari bus jurusan Pare-Blitar. Untuk mencapai rumah nenek saya memang lebih mudah menggunakan bus ini daripada menggunakan bus jurusan Tulunganggung-Kediri, karena bus ini nantinya lebih jauh pemberhentian terakhirnya. Pukul sebelas tepat saya berhasil mendapat kursi kosong bersebelahan dengan jendela. Sebuah prestasi tersendiri, mengingat banyak juga pemudik yang akan ke Pare-Blitar ini.

            Tiba-tiba seorang wanita berjilbab duduk di sebelah saya kemudian tersenyum dan bertanya, “Turun mana, Mbak?”. “Hmm, Jambu mbak,” jawab saya. Dari obrolan ringan itu, akhirnya kami ngobrol ngalor-ngidul. Ternyata, mbak di sebelah saya ini adalah seorang perawat. Berkeperluan ke Surabaya untuk mengurus sertifikat dan surat-surat apa gitu (saya lupa namanya), menurutnya pertengahan bulan Januari ini dia akan pindah tugas ke Papua.

“Iya, saya juga ndak nyangka bakalan dipindahkan kesana,” ujarnya sambil tersenyum.
“Wah, asik itu mbak! Saya aja dari dulu pengen ke sana. Pengen menyusuri pantai-pantainya yang masih alami. Pengen tahu Raja Ampat sama pengen megang burung Cendrawasih. Hehehe,”
“Nanti kalau jadi kesana, sampean kontak saya saja biar nanti saya ajak puter-puter,” Haduh, mbak ini! Udah murah senyum baik banget lagi!
“Gampanglah, mbak! Sekarang nabung dulu, kayaknya masih lama kesananya,” Gila! Mengingat biaya yang akan saya keluarkan pasti sangat besar. Papua gitu lho~ J

            Sejenak hening diantara kami, sibuk mengamati jalanan yang basah karena hujan turun sangat deras di luar sana. Suasana bus yang saya tumpangi kali ini juga relatif sunyi. Para penumpang lainnya memilih sibuk dengan benaknya sendiri-sendiri, hanya suara penyanyi dangdut lawas yang menggema dari DVD player yang diputar oleh sang kernet.

“Karcis, mbak!” Siapa lagi, kalau bukan pak Kernet yang berbicara saat ini.
“Jambu,” ujar saya sambil menyodorkan selembar uang. Si kernet sibuk mencorat-coret selembar kertas yang ia bawa. Kemudian menyobek dan memberikannya kepada saya.
“Tiga puluh”, kemudian si Kernet berganti meladeni mbak-mbak di sebelah saya. Setelah saya amati, ternyata turun di tengah jalan atau pun di tempat pemberhentian terakhir ternyata bus patas memukul tarif yang sama. Untuk desa Jambu (Kediri) dan Blitar, tujuan mbak-mbak di sebelah saya ini ternyata dikenai biaya yang sama, Rp. 30.000,-

Duh, engkang…Naha ten teinuh? Duh, engkang soka bina-bina?Kang mulai lupa, waktu hidup di desa…Makan dari mertua…Waktu kita hidup sengsara…

            Suara penyanyi wanita itu masih mengalun rancak, menggema mengalahkan gelegar petir dan derasnya rinai hujan di luar. Tiba-tiba saya teringat sesuatu.

“Hmm, mbak setelah lulus ada PPLnya?”, tanya saya memecah hening.
“Ada, mbak. Satu setengah tahun, pindah-pindah rumah sakit,” masih dengan tersenyum.
“Pernah nggak, mbak ditaruh di rumah sakit jiwa?”, saya penasaran sekali.
“Pernah mbak, satu setengah bulan di sana,” and guess what! Mbaknya, tersenyum lagi. Wah..wah, khawatir ni mbak-mbak gak ketempelan apa-apa kan dari RSJ itu? Senyam-senyum mulu sih dari tadi. -.-‘
“RSJ mana, Mbak?”
“Di Lawang itu lho, Mbak! Rumah Sakit Jiwa Dr. Radjiman Wedyodiningrat”, saya manggut-manggut, sok tahu dimana itu. Pernah dengar, di daerah Lawang sana memang ada RSJ besar. Tapi, saya belum pernah seantusias ini ingin tahu ada apa saja di dalam sana.
“Gimana di sana, Mbak?”

“Di sana, bangunannya besar-besar mbak. Bangunan Belanda masihan. Setiap pasien ditempatkan di paviliun-paviliun sendiri. Di rumahkan gitu, jadi satu rumah terdiri beberapa orang. Biar mereka ngerasa tetep punya keluarga”, mbak ini kemudian melanjutkan panjang lebar setelah melihat tatapan nanar saya ingin tahu yang sangat tak lupa, masih dengan senyum manisnya.
“Lucu di sana itu, mbak. Kan, setiap perawat diserahi satu pasien. Jadi ya, saya bertanggung jawab atas satu pasien itu. Lha, kok biasanya ada yang iri-irian minta dirawat sama perawat lainnya. Ada juga yang kerjaannya sembayang terus-menerus, gak tau itu arah kiblat atau bukan yang penting solat katanya! Hehehe…”, Wah, mbak ini bisa ketawa rupanya. Tambah cantik aja, wih..wih…pasien mana yang gak tahan kalau punya perawat kayak mbak ini? Ckckck, kayaknya bakalan kerasan lama-lamaan di rumah sakit. Saya saja yang sesame jenis, rasanya jatuh hati sama perangainya kok. Wah, gimana pasiennya si embak yang cowok-cowok pasti kagak mau sembuh dari sakitnya.

 “…Ada juga yang nagis terus-terusan, Mbak. Kasian kalau lihat yang seperti itu. Ada yang tiba-tiba pakai baju pasien laki-laki. Padahal agak jauh tempat pasien perempuan dan pasien laki-laki. Ada yang biasa saja, kayak orang sehat begitu. Tapi ternyata, dia penderita depresi berat…”, tatapan sang embak menerawang jauh, kayaknya sih memutar memori kembali.
“Emang, di sana ada kegiatannya mbak?”, mohon maaf mbak, khayalan embak saya rusak ya.
“Eh, ya ada mbak. Beberapa minggu sekali ada training untuk melatih kerja otak. Setiap minggu, ada jalan-jalan bersama. Setiap hari ada sholat jamaah, ada kegiatan membuat kerajinan. Setiap sabtu ada mandi bersama. Hehehe ” si embak tersipu waktu bilang ‘mandi bersama’. Whuat! Mandi bersama?
“Iya, mandi bersama di halaman paviliun pakai kran dan selang. Keramasan bersama, sabunan bersama, main air bersama, ketawa-ketawa bersama, lucu pokoknya mbak,” saya manggut-manggut, paham sekarang.
“Terus kalau membuat kerajinan itu gimana mbak?” bak seorang wartawan, saya mewawancarai si embak ini.

“Oh kalau itu, ada tingkatannya mbak. Kalau pasien kerja otaknya masih lemah biasanya kerajinannya ya yang mudah-mudah seperti menjahit flannel, mebuat bantal-bantalan. Tapi, kalau untuk pasien yang sudah hampir boleh pulang biasanya membuat kerajinan yang cukup rumit, seperti merajut dan membuat baju,” tutur mbak ini kalem.
“Ooo, begitu ya mbak,”
“Iya, kapan-kapan mbak coba main deh kesana,” tawar embak ini.
“Emang boleh, mbak?” kalau ada cermin, mungkin sekarang keadaan saya bisa digolongkan mupeng tingkat tinggi.
“Boleh, mbak kalau besuk,” senyum lagi..senyum lagi. Masalahnya siapa yang mau dibesuk mbak? Alhamdulillahnya, keluarga saya pada sehat wal afiat di rumah.
“Kalau ijin main-main gitu boleh nggak?” si embak, berpikir sejenak saat saya tanya seperti itu.
“Emm, kurang tahu saya mbak. Setahu saya dulu, ada teman yang kesana buat penelitian. Kalau yang buat main-main, belum ada kayaknya. Siapa to mbak yang mau main di tempat kayak gitu?” saya..saya..saya..saya mbak…! Suara lengkingan batin saya menjawab, tapi saya hanya mengutarakannya dengan tersenyum meniru senyum manis ala mbak ini.
“Ada penjaganya nggak, mbak? Maksudnya satpam gitu?” saya masih pantang menyerah.
“Ada, tapi ramah sekali” Good! Jawaban itu yang saya tunggu.

            Ternyata mesin bus yang menderu membuat roda bus ini membawa kami hampir mendekati desa Jambu. Saatnya saya pamit pada embak cantik ini.
“Mbak, boleh saya minta nomor hapenya embak?”
“Oh, boleh mbak silakan!” seraya sang embak menyebutkan nomornya.
“Ngomong-ngomong kita udah ngobrol banyak tapi belum kenal. Nama embak siapa?” saya lagi.
“Risa,” jawab mbaknya, eh mbak Risa maksud saya.
“Saya Belda, mbak! Saya pamit dulu ya, mbak. Besok-besok kalau saya ngerepotin embak, tanya-tanya lagi nggak papa ya?”
“Iya, mbak ndak papa. Kalau bisa mampir sekali-kali ke RSJ di Lawang itu kan embak deket dari Malang kesana.”
“Iya, insyaallah mbak!”
“Oh ya!” Ujar mbak Risa seperti ada yang terlupa.
“Dari sana nanti, embak bakalan menemukan dunia kecil tanpa harus berkeliling dunia,” kali ini senyum mbak Risa menyiratkan kebijaksanaan.

“Dunia kecil tanpa harus berkeliling dunia. Hmm,” gumam saya.
“Baiklah, mbak. Saya duluan kalau begitu. Terimakasih banyak lho infonya, semoga sukses di Papua! Assalamualaikum…” pamit saya kemudian maju mendekati pak Kernet yang sudah berteriak agar para penumpang yang akan turun segera bersiap.
“Jambu..Kiri..Kiri…!” Teriakan pak Kernet akhirnya membuat saya menginjakkan kaki kembali ke bumi.

Bus kecil biru itu segera meninggalkan saya. Namun pikiran saya masih penasaran dengan kata-kata mbak Risa tadi, “Dunia kecil tanpa harus berkeliling dunia”. Okelah, nanti kalau ada libur lagi dan ada kesempatan dolen  lagi saya pasti ke sana. Melihat dunia kecil itu. Belajar memahami dari apa yang tersaji di sana. Dan inilah, kisah singkat kali ini. Rumah Sakit Jiwa Dr. Radjiman Wedyodiningrat-Lawang, masuk dalam list dolen selanjutnya. Ada yang ingin melihat dunia kecil itu juga? Tawaran terbuka, Wanna Go Out with Me? Hahahaha. J








Tidak ada komentar:

Posting Komentar