Kedua kalinya shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, tokoh idola seluruh umat muslim sepanjang zaman yang namanya selalu diletakkan di posisi kedua baik dalam pembukaan pidato, ceramah, atau dalam ucapan syukur dalam corat-coret tulisan yang kurang jelas seperti ini.
Ketiga kalinya saya tidak akan berterimakasih kepada pembawa acara, karena saat ini saya tidak sedang berpidato perwakilan angkatan dalam rangka wisuda kelulusan siswa-siswi MAN 3 Malang angkatan ke-21 tahun ajaran 2012/2013, melainkan saya ingin berterimakasih sepenuh hati kepada pihak-pihak yang telah bersumbangsih penuh dengan segenap jiwa-raga-tenaga-hati-pikiran dan doanya untuk mensukseskan perjalanan ‘dolen’ kali ini.
Untuk Oom-oom di seberang sana yang telah berhasil mengiming-iming saya keluar dari zona nyaman, dolen untuk menghirup udara minggu yang berbeda. Untuk mbak Mencla yang udah setia jadi kawan long march serta pemberi domplengan saya dalam banyak perjalanan dolen, gimana mbak masih patah-patah rasanya? Untuk Srikandi yang selalu khawatir dan minta dikabari dimana kaki ini telah berpijak. Untuk Sinta yang selalu paham jika saya terlambat dan selalu memaklumi segala alasan yang akhirnya disampaikan atas nama izin kepada pengasuh asrama. Untuk bapak-ibu yang saya temui di pinggir jalan dan saya tanyai arah tetapi jawabannya mengecewakan. Untuk tukang parkir cakep yang menunjukkan kepada jalan yang benar, makasih ya mas! Hahaha. Untuk bapak guide Sigolo-golo. Untuk Mio merah, untuk nasi sambal ikan Wader, untuk sepotong ubi madu, untuk secangkir susu coklat panas dan STMJ. Untuk Mojokerto-Jombang. Untuk NGI edisi September 2012-Repihan Majapahit. Untuk semua sumber yang saya comot. Untuk perjalanan dan kebijaksanaan ini. Dan akhirnya inilah kisah langkah kaki ini.
***
-Trowulan-
A: Are you sure we’ll reach there by this vehicle?
B: Absolutely yes, I have no doubt!
Jadilah setelah menimbang dan seterusnya, menetapkan dan seterusnya serta mengesahkan dan seterusnya. Percakapan di atas membuahkan sebuah ide gila. Pukul 08.00 di minggu pagi yang lenggang, 7 Oktober 2012. Sebuah motor mathic sakti milik mbak Mencla yang juga sangat sakti mandraguna, yang kami (saya dan mbak Mencla) tumpangi berhasil membelah jalan besar kota Malang untuk bergegas mencapai objek-objek wisata yang konon terpencar-pencar letaknya namun masih berada dalam satu kompleks yakni Trowulan. Wana wisata religius, sejarah dan budaya yang nama dan informasinya baru kami dengar beberapa hari lalu dari seorang senior yang juga hobi melancong. Ia menuturkan bahwa di kawasan Trowulan ini nantinya kami akan menemukan banyak perca-perca sejarah peninggalan purbakala yang patut dikunjungi.
Kami juga tidak paham mengapa kota kerupuk rambak ini yang akhirnya terpilih sebagai destinasi untuk mengurai kesibukan konstan beberapa hari kemarin. Salah satu faktor memang kami tergiur oleh ‘oleh-oleh’ dan beberapa dokumentasi yang dibawa senior kami setelah bertandang kesana beberapa waktu lalu disamping itu Trowulan adalah sebuah kawasan wisata yang terletak sekitar sepuluh meter dari Mojokerto, Jawa Timur yang disanalah banyak ditemukan struktur bangunan dan peninggalan arkeolog pada masa kerajaan Majapahit yang begitu menggiurkan jika hanya didengar saja tanpa dinikmati keberadaannya.
Hamparan aspal padat dari arah Malang-Surabaya relatif lancar. Terlihat di ruas lawan jalan, padat kendaraan keluarga yang sepertinya akan menuju kota wisata Batu-Malang. Bersyukur sekali, ini artinya kami tidak perlu berjubel diantara banyak roda untuk mencari celah jalan kosong hingga matahari meninggi. Akhirnya sekitar pukul 09.10 mata kami berhasil menangkap sebuah tulisan yang mampu membuat kerja organ pernafasan kami sedikit enteng, “Selamat Datang di Kab. Mojokerto”.
***
Menyesapi baleho penyambutan selamat datang, bukan berati kami bisa langsung menambatkan diri pada objek-objek wisata yang kami tuju. Kami masih harus mendengar deru mesin motor sakti ini hingga berkilo-kilo ke depan. Kami pun tak jarang meminggirkan diri untuk bertanya arah jalan dan posisi lokasi yang benar. Beberapa kali pula kami bertanya kepada orang yang salah. Yang bukan orang sinilah, yang terus aja sampai mentok tapi gak jelas instruksinya, yang masih jauh pokoknya mbak, yang digoyang yang~. Hingga kami menepikan diri pada sebuah warung bakso dan bertanya pada tukang parkir yang akhirnya menunjukkan kami kepada jalan yang lurus dan benar dan yang terpenting jelas!
Dari spot kami bertanya pada tukang parkir keren itu kira-kira kami harus melanjutkan perjalanan sejauh 4 km lagi hingga menemukan perempatan dengan pos polantas di sebelah kirinya. Lalu kami menerapkan dengan benar pengarahan yang diberikan oleh mas tukang parkir tadi. Alhasil saat jam tangan biru saya menjeritkan suara pukul sepuluh tepat, kami telah sampai di sebuah situs bersejarah yang bernama Gapura Wringin Lawang.
Awalnya saya kira tempat ini adalah sebuah candi namun ternyata situs ini hanya semacam pintu gerbang kerajaan Majapahit. Panas terik matahari yang menyengat saat itu menambah kesan tersendiri saat kami mulai menapaki jalan menuju gapura dengan kanan-kiri sebuah taman. Seperti biasanya, hari libur seperti ini banyak digunakan para muda-mudi untuk saling melepas rindu. Di sebelah pojok sudut taman sana di bawah rindangnya pohon besar nampak sepasang remaja saling memadu cinta monyet mereka. Baiklah, kami teruskan perjalanan sembari mata mulai menelanjangi setiap objek yang ada di situs Gapura Wringin Lawang ini. Di undak-undakan, tangga gapura saya menemukan sebuah tembikar kecil bekas sesajen dan kemenyan dibakar. Sebuah bukti bahwa tradisi di daerah Mojokerto ini masih sangat kuat dijaga.
***
Setelah puas berkeliling pintu gerbang kerajaan Majapahit kami pun kembali melaju menuju objek selanjutnya. Mengikuti instruksi yang diberikan oleh rambu penunjuk jalan, dari Gapura Wringin Lawang setelah menemui perempatan kami belok kanan. Banyak sekali petunjuk jalan yang menginformasikan letak berbagai situs sampai-sampai kami bingung untuk menetapkan kemana destinasi selanjutnya. Pukul 10.25, kami sempurna sampai di situs Pendopo Agung Trowulan. Nampak depan situs ini semacam taman rekreasi keluarga tanpa wahana. Di pelataran pendopo banyak sekali warung kaki lima yang berdiri. Ada juga kereta kelinci yang saya tidak tahu rute jalannya. Setelah memarkir motor, kami membeli karcis seharga dua ribu rupiah per orang. Mulailah kami menyusuri umpak persegi empat, semacam pelataran lebar yang disulap menjadi tempat piknik keluarga. Di pendopo ini terdapat pula beberapa patung besar, seprti patung mahapatih Gajah Mada yang terpampang di dekat tempat pembelian karcis masuk. Terdapat pula relief-relief berkisah dan urut-urutan raja Majapahit mulai dari yang pertama hingga yang akhir.
Cukup memotret sana-sini, kami pun berpamitan pada Pendopo Agung namun sebelumnya, kami sempatkan mencicipi makanan idola semua kalangan yakni, cilok! Cilok yang ditawarkan oleh kabupaten Mojokerto ini sangat khas. Ukurannya yang sebesar bola bekel membuat kami tergiur. Dan ternyata di dalam cilok tersebut terdapat sebuah kejutan yakni isi daging dan gajih. Jajanan yang cukup nikmat jika disantap dengan saus kacang pedas. Cilok Pendopo Agung, ketika jajanan mengumbar kenangan.
***
Diawal tadi sudah saya katakan bahwa perjalanan kali ini hanya berbekal sebuah iming-iming dan info singkat dari pahlawan serba tahu seluruh umat modern saat ini, google. Jadilah, ketika kami lapor pada sang senior bahwa kami telah berada di Pendopo Agung saya bisa merasakan bahwa ia di seberang sana mengerutkan dahi sambil terheran-heran. “Kok melenceng banget destinasinya?”, hanya sebuah kalimat itu yang masih saya rekam saat membaca balasan pesan singkat dari si pengirim. Sedikit bermusyawarah setelah menyadari ketidak terauran kami dalam mengunjungi situs-situs yang tersedia, akhirnya kami berdua memutuskan untuk banting setir menuju Mahavihara.
Patung Buddha tidur sepanjang 22 meter yang kami kunjungi ini ternyata adalah patung Buddha terbesar di Indonesia. Mahavihara Majapahit terletak di desa Bejijong, Trowulan. Wihara ini diresmikan pada tahun 1989, sedangkan patung tersebut dibangun pada 1993, saya saja belum lahir saat itu.
Menurut sumber yang saya peroleh, pada masa Majapahit, Bejijong merupakan kompleks percandian Hindu-Buddha. Dari prasasti Alasantan, tampaknya desa ini telah menjadi pemukiman yang berlanjut sejak abad ke-10.
Patung Buddha emas yang tergolek apik diatas kolam ikan hari itu banyak menyedot perhatian pengunjung. Pasalnya semua orang ingin melihat dan membuktikan bahwa benar-benar ada patung Buddha terbesar di tengah desa yang tak besar. Beberapa orang sibuk mengambil foto di depan pagar pengaman, anak-anak pun tak ingin kalah sibuk. Mereka sibuk berebutan makanan ikan agar bisa dilemparkan ke kolam. Benar-benar pemandangan yang tak biasa. Setelah pengamatan kami rasa cukup dan menimbang waktu yang tak banyak sedang objek yang tersisa dan harus dikunjungi masih banyak, kami pun kembali meluncur memburu situs peninggalan selanjutnya.
Berebut kasih makan ikan |
***
-Sanggar Bhagaskara-Temanggungan, desa pemilahan sampah; alibi-
Di kompleks Trowulan ini, setiap gapura desa tertulis informasi tentang tempat yang wajib dikunjungi. Sebelum kami meluncur ke Temanggungan, secara tidak sengaja kami sempatkan untuk berkunjung ke Sanggar Bhagaskara. Sanggar Bhagaskara yang tak lain adalah pusat kerajinan perunggu ini masih terletak di Bejijong, tak jauh dari Mahavihara. Sayang sekali, saat kami bertandang ke sana, tempat tersebut sedang tutup. Tak apalah, yang penting sudah pernah berkunjung meski sekadar mengintip dari pagar.
Di kompleks Trowulan ini, setiap gapura desa tertulis informasi tentang tempat yang wajib dikunjungi. Sebelum kami meluncur ke Temanggungan, secara tidak sengaja kami sempatkan untuk berkunjung ke Sanggar Bhagaskara. Sanggar Bhagaskara yang tak lain adalah pusat kerajinan perunggu ini masih terletak di Bejijong, tak jauh dari Mahavihara. Sayang sekali, saat kami bertandang ke sana, tempat tersebut sedang tutup. Tak apalah, yang penting sudah pernah berkunjung meski sekadar mengintip dari pagar.
Si Moti, motor sakti yang kami tunggangi masih terus melaju. Hingga kami menemukan sebuah penunjuk jalan bertuliskan “Temanggungan ± 500 m”. “Gimana nih, kita mampir Temanggungan gak?”, tanya mbak Mencla yang saat itu sedang memegang kemudi. “Ayo ajalah!”, sepakat saya langsung menyetujui. Setelah Moti menggesekkan poros rodanya pada jalanan berdebu menuju sesuatu yang bernama Temanggungan, barulah kami sadar bahwa Temanggungan bukanlah nama sebuah situs peninggalan purbakala melainkan hanya sebuah desa sepi (saat itu) yang hampir di setiap rumah menimbun sampah yang sudah dipilah dan dipilih. Hingga kami merasa putus asa dan berujung pada perkebunan tebu yang benar-benar tidak menawarkan objek wisata sejarah sama sekali. “Kita tertipu!”, pikir kami saat itu. |
Dengan keringat yang terus menguar dan kekecewaan yang sedikit mengganjal karena secara tidak langsung perjalanan Temanggungan ini membuang waktu kami yang memang tersedia sangat sedikit. Mbak Mencla pun sigap memutar balik setir Moti dan kami kembali menuju jalan utama, menyongsong situs sejarah dengan membaca petunjuk informasi yang sesungguhnya. Ya setidaknya, kami bisa menambahkan Temanggungan ke dalam list destinasi kami kali ini untuk mengobati rasa kecewa. Hahaha.
***
Pukul 11.30 di saat matahari sedang riang-riangnya menari diatas jengkalan tangan, kami pun telah menjangkau Candi Gentong. Sempat kaget saat pertama kali melihat keadaan situs arkeologi ini. Candi ini lebih mirip dengan batu bata yang berserakan ketimbang sebuah peninggalan bersejarah yang dilindungi. Dalam sebuah artikel yang saya baca, Maclaine Pont-ahli arkeologi, menyebutkan bahwa di kawasan ini sebenarnya terdapat tiga candi yakni Candi Gedong, Candi Tengah, dan Candi Gentong namun kedua candi lain tersebut sekarang sudah tidak nampak lagi.
Hanya sekitar sembilan menit kami mengitari kompleks Candi Gentong kemudian kami bergegas menuju Candi Brahu yang letaknya tak jauh dari Candi Gentong. Candi Brahu yang dibangun dengan batu bata merah ini terlihat sangat anggun saat kami kunjungi. Candi tersebut menghadap ke arah barat dan berukuran panjang ± 22,5 m dengan lebar 18 m, dan ketinggian 20 m ini membuat kami terkagum-kagum. Entah karena apa candi yang dibangun dengan gaya dan kultur Buddha ini nampak sangat ramah di mata saya. Beberapa orang mengatakan bahwa candi ini didirikan pada abad ke-15 M, ada pula yang mengatakan bahwa candi ini berusia jauh lebih tua daripada candi-candi lain di sekitar Trowulan. Wallahu‘alam.
***
-Ishoma di depan Segaran-
Setelah kami sadar bahwa kami belum menunaikan kewajiban shalat dhuhur, akhirnya kami kembali ke kompleks Pendopo Agung dan segera menepikan diri begitu melihat masjid. Sembari menggeliat, melemaskan otot-otot yang tegang kami mulai memakai kacamata pengamatan kami. Ternyata masjid Al-Mubarok ini terletak tak jauh dari sebuah kolam yang sangat besar.
“Eh mbak! Apaan tuh? Kolam pancing kah? Kok gede banget?”, tanya saya penasaran saat melihat kubangan besar berisi air lengkap dengan beberapa lelaki yang duduk santai menunggui pancingannya di bawah langit mendung. Sebuah kolam raksasa berdinding batu bata tinggalan Majapahit yang masih bisa disaksikan sampai sekarang. Konon kolam itu bernama Segaran, yang dalam istilah jawa bermakna laut buatan.
Luas kolam itu 6,5 hektare atau 3 kali luas sekolah saya! Lagi-lagi saya mengutip kata-kata seorang ahli bahwa segaran ini mungkin adalah kolam artifisial terbesar di dunia! Bayangkan di du-ni-a! Kayaknya kali ini lo harus bener-bener bilang WOW! Konon lagi, kolam ini merupakan bagian dari sistem teknologi pengelolaan air di zaman kerajaan Majapahit dahulu. Majapahit memang dikenal jago dalam manajemen teknologi air, sehingga rakyatnya zaman dahulu tidak sampai merasakan kekeringan panjang.
Setelah kami mengabadikan objek kolam artifisial tersebut dalam diam (karena sudah tidak ada lagi tenaga untuk jepret sana-sini), kami pun buru-buru menyelesaikan hajat ishoma kami melihat lanskap langit perlahan menghitam.
***
-Museum Majapahit-
Enjoy the Spirit of Majapahit 2012. Itulah kalimat favorit saya saat membaca baleho ucapan selamat datang di museum Trowulan ini. Saat itu arloji yang masih setia bertengger di tangan saya mengabarkan bahwa sekarang pukul satu tepat. Satu hal yang sangat saya sayangkan setiap kali saya masuk ke museum, dilarang memotret! Maka dengan berbaik hati dan sadar diri saya simpan rapat-rapat tustel kecil yang saya bawa.
Di museum ini banyak sekali dipamerkan prasasti-prasasti peneninggalan kerajaan Majapahit. Pula dipamerkan dari berbagai etnis religi, prasasti yang bercorak Islam-Hindu-Buddha. Lengkap ada di sini. Hampir setengah jam kami berkeliling dan sesekali menertawakan patung terakota yang berbentuk lucu.
Di tengah gelak tawa kami, kami pun sadar bahwa selepas dari Mahavihara tadi kami menanyakan kepada seorang bapak dimana letak wisata alam yang ada di sekitar kabupaten Mojokerto ini. Karena penjelasan bapak tadi kurang jelas kami tangkap, akhirnya kami memutuskan untuk menanyakan kembali kepada petugas jaga yang ada di museum tersebut. Awalnya kami bertanya kepada seorang wanita mungkin berusia tiga puluhan tentang Goa Sigolo-golo yang kami maksud, namun beliau malah menyarankan kami bertanya kepada seorang bapak yang lebih sepuh.
Tancap semangat, akhirnya kami menanyakan hal ini itu berhubungan dengan Goa Sigolo-golo yang katanya memang sangat patut untuk dikunjungi. Mirip seorang turis non domestik, kami menanyakan lengkap, tentang lokasi, aksesbilitas, fasilitas dan akomodasi yang akan kami dapatkan jika kami jadi singgah ke sana. Dengan gamblang si bapak menerangkan kepada dua anak yang sudah mabuk alam ini. Kami pun saling melirik dan mengisyaratkan bahwa, “Kita harus ke sana!”. Alhasil, tak perlu mengulur waktu lagi, kami pun berlari dan meninggalkan museum Trowulan untuk menyongsong keindahan Goa Sigolo-golo yang menggiurkan hasrat.
***
-Daah…Candi Bajang Ratu-Candi Tikus!-
Menurut keterangan yang kami peroleh dari bapak penjaga museum tadi, jarak Goa Sigolo-golo dengan titik kami berdiri saat ini adalah 15 km. Mau tidak mau satu-satunya akses untuk menuju kesana adalah melewati Candi Bajang Ratu dan Candi Tikus. Namun kami masih menyempatkan untuk menepi dan jeprat-jepret ria. Saat kami tiba di Candi Bajang Ratu, terlihat banyak sekali anak sekolah berseragam pramuka yang sedang melakukan study outdoor. Lengkap sudah foto yang kami ambil, kami menggeser posisi sedikit menilik Candi Tikus.
Awalnya saya heran mengapa situs tersebut dinamakan Candi Tikus. Ternyata eh ternyata dulu pada tahun 1941 tatkala warga desa sedang asyik membumi hanguskan hama tikus, sebuah gundukan tanah yang diduga sarang tikus menjadi tujuan amukan warga yang membabi buta. Ketika warga menggertaknya, tersingkaplah sebuah bangunan batu bata yang hingga kini dikenal sebagai Candi Tikus. Kasian sekali, candi ini dulunya pasti diagungkan sebagai pertirtaan suci Majapahit yang melambangkan Gunung Mahameru di India, namun sekarang dikenal sebagai nama hewan yang menjijikkan.
***
-Sigolo-golo-
“Huuih!”, satu kata itu yang mampu mewakili segenap perasaan terkejut kami saat melihat tulisan “Selamat Datang” di gapura bagian kiri dan “Anda memasuki Kabupaten Jombang” di gapura bagian kanan. Tidak menyangka bahwa Moti akan membawa kami membelah ruas jalan hutan jati melewati perbatasan kabupaten Mojokerto.
Suasana yang memang sangat mendukung hari itu, langit mendung dan teduh, angin semilir berhembus malu-malu membuat kami mendendangkan lagu andalan anak-anak alam. Pemandangan-Naik-naik ke Puncak Gunung-dan Mendaki Gunung. Suara fals diruap begitu saja dengan suara serangga hutan yang turut riang bernyanyi selepas hujan. Jalanan memang masih basah, bekas hujan turun tadi mungkin. Kami hanya menduga karena sangat bersyukur sekali dalam perjalanan kali ini kami tidak basah sedikit pun oleh rintik hujan meski para kawan sempat mengabari kami bahwa di Malang sedang turun hujan lebat.
Sekitar pukul 13.30, kami landing di parkiran Sigolo-golo. Benar-benar tempat yang mengagumkan. Berada di atas bukit atau bahkan gunung apa yang tidak saya ketahui. Wisata alam ini membuat saya terperangah dengan sempurna. Seharian ini saya hanya melihat batu purbakala bersejarah yang berwujud macam-macam. Hingga sampailah di tempat ini, Sigolo-golo, rasanya alam memeluk saya dan menambatkan saya di tengah dadanya. Menyeka peluh saya dan memberi kedamaian Ya, alam selalu bisa menjadi tempat kembali.
***
Di Sigolo-golo ini ternyata objek alam yang ditawarkan bukan hanya goa, namun disini pengunjung juga ditawarkan wisata sungai Boro, root climbing, Bulu view (semacam pemandangan Paralayang begitulah), dan jalan seribu tangga.
Setelah kami membeli karcis seharga dua ribu rupiah per orang, kami bergegas mengempaskan kaki pada kerinduannya terhadap alam. Mulanya kami harus menuruni banyak tangga, mungkin inilah yang dimaksud seribu tangga, batin saya. Hingga sampailah kami di tikungan dengan penunjuk jalan menunjuk kiri yang berbunyi “ke Sungai”, dan kanan “ke Goa”. Kami yang sedari tadi sudah super duper penasaran dengan Goa Sigolo-golo akhirnya memutuskan untuk ambil kanan. Namun baru beberapa langkah tiba-tiba sebuah suara menghentikan kami. “Dik, mau ke goa?”, ternyata pemiliki suara itu adalah seorang bapak berseragam hijau-perhutani, dugaan awal saya bapak ini adalah salah satu staff pengelola tempat wisata ini. “Iya, pak”, jawab kami hampir bersamaan. “Biar saya antar”, ujar bapak itu menawarkan. “Ah, tidak usah repot-repot pak! Terimakasih”, kami buru-buru menangkupkan telapak tangan ke depan dada. “Tidak apa-apa kok, saya biasa mengantar pengunjung yang ingin ke goa”, kata bapak itu lagi. Jadilah dengan keyakinan bahwa si bapak adalah orang baik-baik, kami pun jalan bertiga menuju goa Sigolo-golo.
Jalan yang kami lewati relatif mudah, hanya harus ekstra hati-hati dengan akar pohon besar yang melintang di jalan. Hingga si bapak perhutani menginstruksikan kami untuk berbelok dan mulai memanjat! Whuat? Untuk mencapai goa tersebut ternyata kami harus memanjat dan melewati akar-akar besar yang seketika disulap bak sebuah tangga alami. Dan akhirnya saya tahu inilah yang dimaksud root climbing. Susah payah kami naik terkecuali si bapak, melangkahkan kaki kanan menahan kaki kiri, mengatur irama nafas, mencengkeram akar dismping kanan-kiri dengan kuat. Dan akhirnya setelah kurang lebih lima belas menit kami bergelut dengan akar-akar itu tampaklah sebuah goa yang eksotik. Awalnya saya kira goa itu dalam, namun ternyata goa Sigolo-golo hanya berukuran 4x7 m. Tapi syukurlah, kami bisa bernafas lega karena dan Maha Suci Allah yang menciptakan alam ini untuk dinikmati bukan dieksploitasi! Dari atas sini kami bisa melihat sungai kecil yang membelah dua bukit. Melihat awan yang berarak mulai menghilang dan menciptakan langit yang bersih. Melihat siluet jajaran gunung apa itu yang tidak saya tahu namanya seperti menengadah takdzim mendongak ke atas.
Di dalam goa ini terdapat semacam amben, tempat duduk yang terbuat dari bambu dan tempat inilah yang kami daya gunakan untuk bercengkerama mendengar penuturan kisah dari si bapak perhutani (yang sampai akhir kisah saya lupa menanyakan nama beliau, ckckck). Menurut beliau pada tanggal dan malam-malam tertentu, goa ini digunakan beberapa orang untuk bersemedi memohon hajat atau apalah kepada kepercayaan mereka. Pantas di sudut-sudut goa saya menemukan bekas dupa dibakar, dan bunga-bunga sesajen yang sudah layu. Si bapak tidak pernah melarang kehendak orang ingin melakukan apa di goa tersebut, hanya saja si bapak memperingatkan agar jangan mengambil barang yang bukan haknya. Pernah suatu ketika seorang pesemedi pulang dan membawa emas temuannya dari hasil semedi di goa itu secara diam-diam, dan alhasil banyak kejadian aneh yang ia alami. Mulai dari penyakit fisik hingga kejadian tak masuk akal lainnya. Percaya tidak percaya, yang jelas kemaksiatan itu dekat dengan balasan, terlepas dari sesuatu yang berbau mistis dan ghaib.
Setelah puas menikmati eksotisme goa Sigolo-golo, kami pun turun dengan cara dan jalan yang sama. Kali ini root sniking! Jadilah tercipta sebuah teori baru: kanan-kiri-lepas! Itu kata-kata yang sering bapak perhutani ucapkan untuk membimbing langkah kami. Dan alhasil, kami sampai dan berpijak di tanah bawah dengan selamat.
***
-Sungai Boro-
“Mau ke sungainya mbak?”, lagi-lagi suara itu milik bapak perhutani yang sangat berbaik hati menemani kami dalam perjalanan kali ini. Mungkin inilah maksud perkataan Henry Boye, “The most important trip you may take in life is meeting people halfway”. Dan saya sepakat sekali dengan quote ini. Jadilah kami melanjutkan perjalanan turun untuk mencapai sungai Boro. Butuh waktu sekitar 15-10 menit untuk mencapai sungai yang memisahkan dua kabupaten tersebut. Kabupaten Jombang dan kabupaten Pasuruan. Sambil berwah ria mendengar cerita dari pak perhutani saya mengamati bukit yang menjulang di kanan-kiri sungai.
Sebenarnya di sebelah selatan bukit sana, tak jauh dari sungai ini ada sebuah air terjun kecil yang mengalir dari bukit milik kabupaten Pasuruan. Namun aliran air terjun tersebut berhenti saat saya bertandang karena musimnya sedang tidak enak, ujar si bapak. Saya dan mbak Mencla pun sibuk bermain air yang sangat bening dan dingin. Sesekali kami meneguk air sungai tersebut, sangat segar! Dan si bapak? Hanya tersenyum menunggui kami di pinggiran sambil sesekali kami mintai tolong mengabadikan pose kami yang tidak tahu diri ini. Hahaha.
Setelah kami puas, kami pun bergegas mengajak si bapak untuk kembali naik. Mengingat hari sudah sore dan perjalanan yang akan kami tempuh untuk kembali pada kesibukan yang membosankan sangatlah jauh.
Pukul 15.40 kami sukses berpamitan dan menyampaikan ucapan terimakasih sebesar-besarnya kepada si bapak baru kemudian melenggang pulang.
***
-Kembali konstan-
Setelah mengerjakan sholat Ashar di masjid yang sama di depan Segaran. Kami menyempatkan diri untuk makan nasi sambal ikan wader di warung depan Segaran. Sambil menunggu pesanan kami datang kami mulai mengurai apa saja yang telah kami dapatkan hari ini. Mulai dari kebingungan-kekecewaan-kejutan-rasa syukur-dan kebijaksanaan. Sebuah perjalanan takkan menyisakan apapun bahkan bukan juga jejak, namun kebijaksanaanlah yang akan menjejak di hati sisa dari perjalanan itu. Jangan ditanya lebih banyak, apa yang akan kami lakukan sepulang dari perjalanan ini selain mengenang persinggahan.
Singkatnya, kami melenggang dan mencapai kota Malang kembali pada kesibukan konstan pukul 20.30. Dan perjalanan kali ini kami tutup dengan sepotong ubi madu manis dan secangkir susu coklat panas dan STMJ.
Sources:
National Geographic Indonesia-September 2012, “Repihan Majapahit”
http://kekunaan.blogspot.com/2012/05/candi-gentong.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Candi_Brahu
B.E.J
03-11-2012
16:50
Tidak ada komentar:
Posting Komentar