Kata rasian menurut kamus ilmiah popular
karya Pius A partanto dan M. Dahlan Al Barry adalah mimpi yang mengandung arti.
Sedangkan rindu adalah (be) rasa
ingin jumpa;kangen. Terlalu banyak kosakata yang bisa menggambarkan berbagai
suasana dan peristiwa namun untuk kali ini cukup dua kata diatas yang bisa
mewakili apa yang menyesak di dada. Bergumul jadi satu, meluapkan sebuah emosi,
tapi apa daya tak mungkin tersalurkan saat ini. Dan harus tidak mungkin! Pias.
Kisah ini nyata terjadi
dalam realita sehari-hari. Suatu malam ketika pasukan jangkrik dan serdadu
serangga lainnya mulai mendendangkan lagu nina bobok agar para jiwa bergelar
manusia lelap dalam buaian aroma wangi bunga sedap malam, seorang anak
terjengkang dari dipan 2x1/2m-nya berkeringat dan ketakutan. Seluruh darahnya
terakumulasi ke jantung membuat kerja organ tersebut bertambah berat. Jantungnya
berdetak begitu kencang hingga nyaris menembus kulit dadanya. Mimpi tadi begitu
nyata. Dan si anak terhuyung.
***
“Langit!
Kau masih hidup rupanya!”, seorang gadis rambut panjang berkepang satu menepuk
bahu kawannya sambil tertawa.
“Hidup?
Memang kau kira apa yang telah aku lakukan?”, sahut Langit meniru logat si
gadis.
“Bagaimana
pula kau ini?”, si gadis masih terus menimpali.
“Maksud
kamu?”, Langit mengernyit tak mengerti.
“Tak
ikut kau dengan dua sohib kau menyusuri bukit Pakualo?”, si gadis juga mulai
heran dengan tanggapan Langit.
“Hah?
Tidak, apa yang terjadi dengan mereka?”, ujar Langit menuntut lebih banyak
penjelasan dari si gadis berkepang.
“Dua
sohib kau itu telah kembali dari balik bukit Pakualo. Sang pendekar berkisah
bahwa mereka hampir saja diterkam naga Sasejo dan ditelan semak sesat di hutan
kegelapan”, si gadis menceritakan detail kisahnya dengan semangat.
“Dua
kawanku? Pendekar dan Pelukis maksudmu?”, tanya Langit masih tak percaya.
“Siapa
lagi?”, sang gadis malah bertanya balik.
Bagaimana
bisa hal sepelik ini ia dengar dari mulut orang lain, bukan dari dua kawannya
itu. Bahkan hal yang menyangkut nyawa dan keberadaan mereka, batin Langit
mengurai.
“Baiklah,
terimakasih kau!”, Langit segera berlalu, mencari dua sosok kawannya yang
tampak baik-baik saja saat ia temui tadi sebelum berkisah dengan si gadis
berkepang.
***
Belakangan hari ini, si
anak memang terlalu banyak membaca dongeng, seperti kisah Langit dan Dua Kawannya di atas. Hal itu membuatnya kembali
bercermin pada genangan air. “Seorang kawan mana yang tidak akan menyesal
seumur hidup dan meneteskan tangis darah saat melihat jasad karibnya terbujur
kaku tanpa ada suatu hal sebesar apapun yang bisa ia lakukan untuk
mengembalikan ruh karibnya?”, batinnya dalam hati.
Apa susahnya
berpamitan? Apa beratnya mengucap ‘aku pergi dulu!’? Apa-apa-apa? Apa memang
tidak diakui keberadaan ini? Si anak menggeleng-gelengkan kepala, berusaha
mengusir setan jahat yang sedang mengadu domba benaknya.
Satu hari ditunggu tak
ada kata terucap, dua hari dinanti tidak juga ada kalimat, tiga hari setelah
genap 72 jam barulah ada suara untuk menemukan kata dan merangkai kalimat. Itu
pun tak nyata tapi maya. Sudahlah, keegoisan ini
tak berujung. Tak ada yang ingin memulai dan mengakihiri. Alhasil tak ada kata
mufakat. Introspeksi ini tak berujung.
***
Hal yang paling dirindu
dalam sebuah perjalanan adalah emosi. Emosi
bisa diartikan sebagai perasaan; kemampuan jiwa untuk merasakan gejala sesuatu
yang disebabkan oleh rangsangan dari luar (rasa sedih, susah, marah,
kesusilaan, senang, bahagia, haru, dsb). Emosi yang sama-sama dibangun dan
membentuk pondasi kebersamaan menjalin persahabatan hingga melahirkan
kebijaksanaan.
Rindu…rindu…rindu! Si
anak saat ini sedang merindu teramat sangat. Melebihi rindunya pada sang
kekasih. Sebab baginya tak ada kekasih hari ini, mungkin baru besok atau lusa
dia yakin akan menemukannya. Baginya sahabat telah melengkapi kepingan puzzle dalam dirinya. Ya saat ini yang
ia butuhkan hanya sahabatnya.
Di siang yang terik dan
hawa yang benar-benar menguras ion tubuh, si anak bersenandung pelan. Berharap
bisa mengurangi rasa gerah yang menyekap tubuhnya.
“Du
du ri du itulah laguku…Du du rindu yang rindu kepadamu…Semua tak ada artinya
bagiku…Dan aku hanya menunggumu...”, suara sumbang itu
terhenti sejenak.
“…membawaku
ke duniamu…Dan tak ada kata sendu…Hanya satu yang aku mau…Dan kau sudah tahu…”
Pikirannya merangsek,
melanglang buana ke belahan timur laut dan barat daya. Di tempat pasak-pasak
bumi tertancap kuat mengembangkan tudung alam. Sebuah lambang bangun datar yang
tersusun dari tiga garis lurus yang saling menumpu. Segitiga. Simbol yang mampu
mengorek seluruh emosi yang telah ia simpan rapat dalam sub folder kenangannya.
Baginya lambang itu lebih dari sekadar formalitas. Segitiga berarti:
pendakian-perjalanan-penjejakkan-persahabatan-pemahaman-pengorbanan-perasaan-dan
beribu kata lainnya yang bisa diimbuhi ‘pe-an’.
“Du du rindu suara
hatiku…Yang merindu rancu tak menentu…Memabawa nafasku yang lama membelenggu…Dan
hanya bisa menantimu…”, satu hembusan panjang saat si anak menyelesaikan
eleginya di siang yang terik ini, mungkin matahari juga sedang merindu. Tak taulah,
merindukan siapa hingga membuatnya menaikkan suhu panas bumi seperti ini.
Si anak hanya ingin
memeluk-berbagi-tertawa-menangis-dan merenung bersama. Tak lebih. Karena hanya
itu yang mungkin bisa ia lakukan. Simbol segitiga itu sebatas mengembang di
depan keningnya saat ini, berteriak menyemangati untuk menempuh segala aral
yang harus dilewati. Ia tak mungkin menggenggam segitiga itu saat ini. Belum tepat
saatnya.
***
Ranu pane, sebuah danau
hijau nan indah untuk disadapi mata-mata beringas yang selalu dijejali pemandangan
hiruk-pikuknya perkotaan. Adalah sebuah cekungan air seluas 1 hektar perlambang
keberadaan para pendaki tahta abadi para dewa akan segera melangkahkan kaki. Sebuah
kebahagiaan, harapan, dan kekuatan bercampur aduk saat berhasil lolos dari
berbelitnya perizinan pendakian. Hingga kaki kecil namun kuat terlebih tegar
itu akan melangkahkan langkah pertamanya seraya membaca asma Allah. Tiba-tiba
sebuah suara terdengar jelas, sangat jelas di telinganya: “Jangan nekat!
Hancurlah semuanya!”. Belum menemukan siapa pelaku yang berwejangan itu tadi,
si anak telah tersentak dari tidurnya yang baru terlelap beberapa jam lalu. “Mungkin
inilah yang disebut Rasian Rindu”,
renungnya seketika.
Sumber:
Partanto Pius A dan Al Barry M. Dahlan,1994,
Kamus Ilmiah Populer, Surabaya:Arkola
Letto-Du Du Rindu
www.eastjava.com
B.E.J
Saya kangen masa kembali
Rindu itu tak berujung, ujungnya cuma bisa nyengir membujur menyembunyikan nyali. langi dan gadis kepang itu lebih bernyali daripada kerinduan itu sendiri :)
BalasHapus