" Wadah Perca-perca Mimpi Sebelum Terburai Melangit " (B.E.J.)

Selasa, 30 Oktober 2012

Rasian Rindu



Kata rasian menurut kamus ilmiah popular karya Pius A partanto dan M. Dahlan Al Barry adalah mimpi yang mengandung arti. Sedangkan rindu adalah (be) rasa ingin jumpa;kangen. Terlalu banyak kosakata yang bisa menggambarkan berbagai suasana dan peristiwa namun untuk kali ini cukup dua kata diatas yang bisa mewakili apa yang menyesak di dada. Bergumul jadi satu, meluapkan sebuah emosi, tapi apa daya tak mungkin tersalurkan saat ini. Dan harus tidak mungkin! Pias.

Kisah ini nyata terjadi dalam realita sehari-hari. Suatu malam ketika pasukan jangkrik dan serdadu serangga lainnya mulai mendendangkan lagu nina bobok agar para jiwa bergelar manusia lelap dalam buaian aroma wangi bunga sedap malam, seorang anak terjengkang dari dipan 2x1/2m-nya berkeringat dan ketakutan. Seluruh darahnya terakumulasi ke jantung membuat kerja organ tersebut bertambah berat. Jantungnya berdetak begitu kencang hingga nyaris menembus kulit dadanya. Mimpi tadi begitu nyata. Dan si anak terhuyung.

***
“Langit! Kau masih hidup rupanya!”, seorang gadis rambut panjang berkepang satu menepuk bahu kawannya sambil tertawa.
“Hidup? Memang kau kira apa yang telah aku lakukan?”, sahut Langit meniru logat si gadis.
“Bagaimana pula kau ini?”, si gadis masih terus menimpali.
“Maksud kamu?”, Langit mengernyit tak mengerti.
“Tak ikut kau dengan dua sohib kau menyusuri bukit Pakualo?”, si gadis juga mulai heran dengan tanggapan Langit.
“Hah? Tidak, apa yang terjadi dengan mereka?”, ujar Langit menuntut lebih banyak penjelasan dari si gadis berkepang.
“Dua sohib kau itu telah kembali dari balik bukit Pakualo. Sang pendekar berkisah bahwa mereka hampir saja diterkam naga Sasejo dan ditelan semak sesat di hutan kegelapan”, si gadis menceritakan detail kisahnya dengan semangat.
“Dua kawanku? Pendekar dan Pelukis maksudmu?”, tanya Langit masih tak percaya.
“Siapa lagi?”, sang gadis malah bertanya balik.
Bagaimana bisa hal sepelik ini ia dengar dari mulut orang lain, bukan dari dua kawannya itu. Bahkan hal yang menyangkut nyawa dan keberadaan mereka, batin Langit mengurai.
“Baiklah, terimakasih kau!”, Langit segera berlalu, mencari dua sosok kawannya yang tampak baik-baik saja saat ia temui tadi sebelum berkisah dengan si gadis berkepang.
***
Belakangan hari ini, si anak memang terlalu banyak membaca dongeng, seperti kisah Langit dan Dua Kawannya di atas. Hal itu membuatnya kembali bercermin pada genangan air. “Seorang kawan mana yang tidak akan menyesal seumur hidup dan meneteskan tangis darah saat melihat jasad karibnya terbujur kaku tanpa ada suatu hal sebesar apapun yang bisa ia lakukan untuk mengembalikan ruh karibnya?”, batinnya dalam hati.

Apa susahnya berpamitan? Apa beratnya mengucap ‘aku pergi dulu!’? Apa-apa-apa? Apa memang tidak diakui keberadaan ini? Si anak menggeleng-gelengkan kepala, berusaha mengusir setan jahat yang sedang mengadu domba benaknya.

Satu hari ditunggu tak ada kata terucap, dua hari dinanti tidak juga ada kalimat, tiga hari setelah genap 72 jam barulah ada suara untuk menemukan kata dan merangkai kalimat. Itu pun tak nyata tapi maya. Sudahlah, keegoisan ini tak berujung. Tak ada yang ingin memulai dan mengakihiri. Alhasil tak ada kata mufakat. Introspeksi ini tak berujung.
***
Hal yang paling dirindu dalam sebuah perjalanan adalah emosi. Emosi bisa diartikan sebagai perasaan; kemampuan jiwa untuk merasakan gejala sesuatu yang disebabkan oleh rangsangan dari luar (rasa sedih, susah, marah, kesusilaan, senang, bahagia, haru, dsb). Emosi yang sama-sama dibangun dan membentuk pondasi kebersamaan menjalin persahabatan hingga melahirkan kebijaksanaan.

Rindu…rindu…rindu! Si anak saat ini sedang merindu teramat sangat. Melebihi rindunya pada sang kekasih. Sebab baginya tak ada kekasih hari ini, mungkin baru besok atau lusa dia yakin akan menemukannya. Baginya sahabat telah melengkapi kepingan puzzle dalam dirinya. Ya saat ini yang ia butuhkan hanya sahabatnya.

Di siang yang terik dan hawa yang benar-benar menguras ion tubuh, si anak bersenandung pelan. Berharap bisa mengurangi rasa gerah yang menyekap tubuhnya.
“Du du ri du itulah laguku…Du du rindu yang rindu kepadamu…Semua tak ada artinya bagiku…Dan aku hanya menunggumu...”, suara sumbang itu terhenti sejenak.
“…membawaku ke duniamu…Dan tak ada kata sendu…Hanya satu yang aku mau…Dan kau sudah tahu…”

Pikirannya merangsek, melanglang buana ke belahan timur laut dan barat daya. Di tempat pasak-pasak bumi tertancap kuat mengembangkan tudung alam. Sebuah lambang bangun datar yang tersusun dari tiga garis lurus yang saling menumpu. Segitiga. Simbol yang mampu mengorek seluruh emosi yang telah ia simpan rapat dalam sub folder kenangannya. Baginya lambang itu lebih dari sekadar formalitas. Segitiga berarti: pendakian-perjalanan-penjejakkan-persahabatan-pemahaman-pengorbanan-perasaan-dan beribu kata lainnya yang bisa diimbuhi ‘pe-an’.

“Du du rindu suara hatiku…Yang merindu rancu tak menentu…Memabawa nafasku yang lama membelenggu…Dan hanya bisa menantimu…”, satu hembusan panjang saat si anak menyelesaikan eleginya di siang yang terik ini, mungkin matahari juga sedang merindu. Tak taulah, merindukan siapa hingga membuatnya menaikkan suhu panas bumi seperti ini.

Si anak hanya ingin memeluk-berbagi-tertawa-menangis-dan merenung bersama. Tak lebih. Karena hanya itu yang mungkin bisa ia lakukan. Simbol segitiga itu sebatas mengembang di depan keningnya saat ini, berteriak menyemangati untuk menempuh segala aral yang harus dilewati. Ia tak mungkin menggenggam segitiga itu saat ini. Belum tepat saatnya.
***
Ranu pane, sebuah danau hijau nan indah untuk disadapi mata-mata beringas yang selalu dijejali pemandangan hiruk-pikuknya perkotaan. Adalah sebuah cekungan air seluas 1 hektar perlambang keberadaan para pendaki tahta abadi para dewa akan segera melangkahkan kaki. Sebuah kebahagiaan, harapan, dan kekuatan bercampur aduk saat berhasil lolos dari berbelitnya perizinan pendakian. Hingga kaki kecil namun kuat terlebih tegar itu akan melangkahkan langkah pertamanya seraya membaca asma Allah. Tiba-tiba sebuah suara terdengar jelas, sangat jelas di telinganya: “Jangan nekat! Hancurlah semuanya!”. Belum menemukan siapa pelaku yang berwejangan itu tadi, si anak telah tersentak dari tidurnya yang baru terlelap beberapa jam lalu. “Mungkin inilah yang disebut Rasian Rindu”, renungnya seketika.
  
Sumber:
 Partanto Pius A dan Al Barry M. Dahlan,1994, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya:Arkola
Letto-Du Du Rindu
www.eastjava.com


 B.E.J
Saya kangen masa kembali

1 komentar:

  1. Rindu itu tak berujung, ujungnya cuma bisa nyengir membujur menyembunyikan nyali. langi dan gadis kepang itu lebih bernyali daripada kerinduan itu sendiri :)

    BalasHapus