" Wadah Perca-perca Mimpi Sebelum Terburai Melangit " (B.E.J.)

Senin, 21 Oktober 2013

BLAUR: B-L-A-U-R


"Ngapunten  Pak! Bisa lebih cepat sedikit, kereta saya jam tiga soalnya", ujar saya gupuh meminta maaf  pada sopir angkot yang saya tumpangi sambil terus menantang laju jarum jam tangan. Salah saya memang, menuruti intuisi rindu hingga lupa waktu. Lupa bahwa jarak stasiun yang berkelit dengan kemacetan mungkin tidak bisa ditolerir dengan rasa lega milik individu. Kereta akan tetap berangkat sesuai jadwal!

Sore ini saya diharuskan untuk kembali ke perantauan bukan untuk mengadu nasib melainkan untuk mengaduk kota mimpi. Jakarta-Tangerang Selatan-Ciputat. Tiga titik rayon yang mungkin akan jadi tolak awal pergolakan semua ambisi yang telah lama bergumul dalam sanubari dan selalu menciptakan intervensi. Saya sudah banyak merepotkan semua orang, tinggallah sekarang membuktikan bahwa kerepot-repotan mereka tidak akan menjadi abu yang sia-sia belaka. Tak membuat saya naik tangga kemandirian maupun kelegawaan. 

Kereta Gajayana kelas eksekutif yang terpaksa membawa saya melaju terus menggaungkan desau gesekannya dengan ular besi di bawahnya. Stasiun kota Malang melambaikan tangan tegas, meneriakan sebuah afirmasi bahwa: suatu saat kau akan kembali untukku! Suaranya yang hanya berupa isyarat instrumen alam memantapkan saya untuk tidak lagi menganggap sebuah perpisahan sebagai elegi.

21 jam! Cukup menguarkan rasa lelah, rindu, dan kalut selama adaptasi dalam masa transisi. Kota ini sungguh terlalu besar untuk nyali ciut yang bahkan seekor kecoak got pun tak memilikinya. Namun, bisa jadi ini hanya sebuah titik amat kecil untuk daya keberanian seorang makhluk Tuhan yang yakin bila suatu saat yang namanya mimpi dan ambisi bukan hanya diingini namun perlu diperjuangkan. 

Kembali pada 21 jam di kota Malang dengan lanskap pegunungan di utara, selatan, barat, dan timurnya. Bahkan semua mata anginnya dicover dengan siluet tanah tinggi ciptaan Tuhan yang amat saya gemari. Gunung.

Semua berasa sangat berharga saat kita tahu waktu akan merampasnya sekejap. Tawa pendekar-pendekar yang selalu bosan dan akan bertambah bosan jika tidak mendengar cerita dari hati ke hati yang sering direpetisi. 21 jam bianglala spektakuler!

Bahkan doa dan ungkapan polos dari para patriot tanpa pamrih pun terdengar bak simfoni yang indah dari sang maestro. Terimakasih, untuk aliran harapan mulia yang selalu kau bumbungkan dalam malam panjangmu. 

Untuk dua pintu besar di rumah yang selalu mau menerima penyakit, caci maki, dan keluh kesah tanpa batas. Anda berdua bukan malaikat, namun kasih tanpa tedeng aling-aling yang selalu anda alirkan membuat seluruh penghuni langit mencibir iri. 

Gadis tambun di sana yang masih saja cengeng, ingatlah! Untuk membuat kuda pacu berlari kadangkala kau harus rela ditendang bahkan dikencinginya. Namun, tunggulah sebentar lagi hingga kau membusungkan dada bangga duduk di atas pelananya. 

Dari atas laju Gajayana ini jelas sekali penampilan matahari menyipitkan awan hingga membentuk pintu langit dengan guratan benang surya oranye kesana kemari. Sebentar lagi ia berpulang.

BLAUR: B-L-A-U-R ruwet, kacau, tak terdefinisi (: jawa) komposisi kata yang berhasil saya comot untuk memburaikan sadap sedu ini karena, lagi-lagi sunset selalu membuat saya kagum namun farewell terus menerus menyisakan bungkam.
Sunset blaur dari balik jendela kaca Gajayana



B.E.J
Ciputat, 21 Oktoblaur 2013
21:51
   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar