" Wadah Perca-perca Mimpi Sebelum Terburai Melangit " (B.E.J.)

Selasa, 28 Mei 2013

Duo Kumbolo (1)

Uyee..Uyeee…!
So scared of breaking it that you won’t let it bend! And I wrote two hundred letters, I will never send…Sometimes these cuts are so much…Deeper then they seem…You’d rather cover up…I’d rather let them bleed…So let me be…I’ll set you free!


Oke! Mari pagi ini kita berdendang bersama ditemani Maroon 5 yang sudah dari tadi menyanyikan lagu lawasnya Misery. Jam unyu saya masih menunjukkan pukul 05.00 pagi hari, masih terlalu pagi jika ingin bernyanyi, berteriak, dan berjingkrak-jingkrak. Jadi, saya putuskan untuk diam dan menikmatinya dalam headphone sambil sedikit menggelengkan kepala ke kanan-kiri saya masih terus memantau perkembangan lalu lintas JL.Bandung menuju Tumpang pagi ini, belum ramai memang hanya ada beberapa angkot biru yang sudah beroperasi.
Mau kemana kami?Yap, seperti yang sudah saya bocorkan sedikit pada judul di atas.Anda semua pasti sudah bisa menebak. Baiklah, saya perjelas: kami berdua (saya dan satu teman perempuan tangguh) akan pergi menghabiskan weekend(18-19 Mei 2013)di Ranu Kumbolo. Sebuah danau indah yang mungkin sudah tak asing di telinga para pendaki.Danau yang luasnya 14-15 Ha ini berada di ketinggian 2400 Mdpl tepatnya di kaki gunung Semeru.Perlu sedikit trekking memang, tapi keindahannya mampu membuat kami berdua ngeyelharus segera berangkat dan mencumbui muara rindu kami. Dengan sedikit nekat,ups maksud saya dengan sangat nekat kami berangkat berdua via truk sayur dari Tumpang.

I am in misery…There ain’t nobody who can’t comfort me…Oh yeah! Why won’t you answer me?...Your silence is slowly killing me…Oh yeah! 

Pause! Mari hentikan dulu lagu yang mendenyutkan gendang telinga saya ini. Setelah memakan waktu sekitar satu jam untuk bisa mencapai rumah sang pemilik alat transportasi. Pukul 06.10 kami sempurna sampai di rumah Pak Laman, bapak ini sudah menekuni profesi bidang supir-menyupir Bromo dan sekelilingnya serta Ranu Pane.Dengan tarif sewa Rp.900.000 untuk bisa mencapai gunung Bromo, gunung Wetangan, gunung Kursi, gunung Widodaren, SegaraWedi, bukit Teletubbies, dan sekitarnya. Dan tarif sewa Rp.450.000 untuk bisa mencapai desa Ranu Pane.Atau sekitar Rp.30.000 untuk setiap orangnya jika Jeep atau Hardtop yang berkapasitas 8-13 orang itu terisi penuh.
Info di atas hanya untuk sekadar wacana bagi siapa saja yang ingin berwisata ke sana. Then, mari kita lanjutkan catatan perjalanan saya kali ini. Kami berdua harus menunggu sekitar 3 jam untuk bisa naik ke bak truk sayur milik pak Laman. Tahu gara-gara apa? Karena rombongan yang lain masih ngetem di puskemas Tumpang untuk mengurus surat keterangan sehat yang merupakan salah satu persyaratan agar bisa lolos dari pos perizinan di Ranu Pane. Sedikit dongkol juga, karena jika tahu begini jadinya maka kami tidak perlu terburu-buru berangkat ba’daSubuh tadi.
Pukul 10.00 tepat, truk sayur itu padat oleh sekumpulan para penikmat alam.Dengan komposisi 14 laki-laki dan 2 perempuan, kami sendiri. Satu sopir di depan dan seorang ibu serta bayinya, kami sepakat berangkat menuju desa kecil yang sangat damai, Ranu Pane.
Siang ini langit mendung, memang pagi tadi gerimis sedikit mengguyur Malang dan sekitarnya. Tapi tak apalah, ini malah akan menambah hikmat sabda alam kami. Kabut tipis turun perlahan menutupi kawasan pegunungan Tengger membuat imajinasi saya mengembara.Rasanya seperti melihat kue bolu hijau besar yang baru keluar dari oven.Punggung belakang rangkaian pegunungan yang berada di sekitar Bromo ini membuat saya benar-benar takjub. Maha Bisa Arsitek yang membuat desain keindahan alam ini!
Saya ingat benar, sekitar sebulan yang lalu saya melewati pertigaan jalan ini, pertigaan Jemplang yang mengarah ke Ngadas, Bromo, dan Ranu Pane.Hehe iya, sebulan yang lalu untuk sekadar melepas penat setelah ujian nasional saya bersama tiga kawan saya menyempatkan diri untuk sambang ke Penanjakkan menunggu sang mentari menyembul, mampir melihat kawah Bromo yang fenomenal, berpose di tengah eksotiknya Segara Wedi, dan melihat bukit-bukit kecil tanpa pohon yang sering disebut sebagai bukit Teletubbies, bukitnya Tinky Winky, Dipsy, Lala, dan Poo. Hahaha.
Perjalanan terus berlanjut, sesekali kami harus menundukkan kepala agar tidak tersangkut juntaian ranting, pohon, dan dedaunan. Sensasi tersendiri saat para pendaki berteriak keras, “Awas kepala!” kemudian pendaki lain yang di belakangnya merunduk secara teratur.
Saya lirik sedikit arloji di tangan saat mata saya menangkap plangkat bertuliskan “Selamat datang di desa Ranu Pane”, pukul 12.30 ternyata. Setelah truk besar ini berhasil merapatkan diri di parkiran tanah lapang depan Ranu Pane, dan para pendaki lainnya bersiap untuk turun, kami pun bersiap juga. Setelah membayar sejumlah biaya angkut untuk dua orang, kami menggendong carrier yang hampir segede tv atau mungkin kulkas kecil. Hahaha.
Mengingat waktu yang kami punya tidak banyak, kami langsung menuju pos perizinan untuk mengurus administrasi dan lain-lain.Nah, di sinilah masalah awal yang kami temui. Di tengah hujan yang ternyata segera menyerbu desa kecil ini, kami kelupaan membawa materai 6000 yang ternyata juga merupakan salah satu persyaratan izin selain fotokopi identitas dan surat keterangan sehat.
Saya sendiri masih menyelesaikan administrasi di kantor perizinan, dan teman saya ke sana kemari untuk mendapatkan materai suci tersebut di warung-warung sekitar. Ya, dia melakukan petualangan mencari materai suci bukan kitab suci seperti Sung Go Kong.Hahaha.
Baik..baik..ampuni sedikit kekhilafan saya. Syukurlah sepuluh menit kemudian, teman saya kembali dan mendapatkan materai tersebut untuk melengkapi perizinan kami. Sembari menunggu hujan reda, kami menunaikan kewajiban siang kami sekaligus menjamak kewajiban sore kami, mengingat trekking yang akan kami lakukan bisa jadi memakan waktu 4-6 jam yang artinya kami pasti baru bisa melakukan solat saat senja tiba.
Hujan sedikit mereda, tinggal sedikit gerimis yang menyisakan kedamaian di atas danau Pane yang tenang.Pukul 13.02 kami mulai bergegas menjejakkan kaki.“Selamat Datang Para Pendaki di Gunung Semeru” tepat di bawah plangkat tersebut kami berdua berdoa sebelum mulai memasuki rimba alam.
Kami mulai menaiki tanjakan setelah membaca anak panah yang bertuliskan “Jalur Semeru”. Bau seledri yang membaur dengan gerimis dan beradu dengan bawang prey dan irisan ayam membuat saya merindukan sop buatan orang rumah. Bukan ding, maksud saya bau seledri ini yang selalu membuat saya kangen dengan sawah-sawah di ketinggian 2200 meter di atas laut  ini, bau selalu lekat di indera penciuman saya.
Nah, tibalah kami ke tanjakan awal yang sangat membunuh (khusus bagi saya). Tanjakan awal ini saya beri nama tanjakan “selamat datang kempor” karena bagi saya setelah berhasil melewati tanjakan ini rasa pegal alias kempor pasti bakal terasa (peringatan: hal ini berlaku khusus bagi saya. Bagi yang belum pernah merasakannya jangan sekali-kali terpengaruh dengan tulisan sesat ini! :P). Belum sampai setengah jalan kami menghabisi tanjakan ini, saya sudah ngos-ngosan tidak karuan.Stamina yang mulai terkuras membuat teman saya berbaik hati untuk menukar carriernya yang lebih ringan dari milik saya yang berisi logistik.Setelah menyesuaikan kenyamanan carrier dengan bentuk punggung kami lanjutkan perjalanan duo Maia-Mulan ini, mengingat waktu makin merambat sore.
Ternyata jarak tanjakkan ke pos satu masih sangatlah jauh. Seingat saya dulu setelah belokan tanjakan kempor ini pos satu berada di sana. Seingat saya...! Maka maklumilah, jika ternyata setelah tanjakan ini kami harus trekking sejauh 4 km dulu baru bisa menemukan pos itu. Karena memang ingatan saya cukup buruk.Hahaha.
Langit tetap mendung dan masih menumpahkan bercak-bercak airnya, meski tidak deras.Kabut mulai turun perlahan-lahan dan kami mulai memasuki hutan jalur pendakian Semeru.Sedikit mistis memang jika diingat-ingat, apalagi kami hanya berjalan berdua. Jika sesuatu terjadi, pilihannya hanya dua: depan duluan yang kena atau belakang duluan yang kena.
Dengan sedikit khawatir dan banyak membaca doa dalam hati kami lanjutkan berjalan menembus dingin. Kurang lebih 500 m jarak kami dengan pos satu, kami berdua berhasil melewati dua pendaki lelaki. Mas-mas itu dengan legawa memberi kami jalan, namun hanya sampai di situ kami berdua sudah ngos-ngosan untuk lanjut mendahului menggunakan lajur kiri mas-mas yang masih banyak berjejer di depan kami. Inilah salah satu kenikmatan mendaki gunung, latihan bersabar dan manajemen emosi sangat teruji di sini.Salah satunya saat seperti ini, mengantre melewati jalan setapak di tengah gemuruh dada ingin segera sampai tujuan dan merebahkan tubuh yang sudah lelah.
Sembari jalan pelan-pelan kami berdua mengobrol dengan dua mas-mas yang masih sabar menanggapi kami padahal dengan tidak tahu diri kami baru saja mendahului mereka.Ternyata, dua mas-mas tersebut merupakan anggota dari sebelas rombongan yang sedang jalan di depan kami. Mereka berasal dari mana-mana. It means, bukan pendaki asal Malang. Ada yang berasal dari Bontang, Balikpapan, Pontianak, Jakarta, dan ada pula yang sedang bermukim di Malang.
Alhasil, di pos satu saat kami rehat sementara terjadilah obrolan ke sana kemari yang bisa diambil kesimpulan bahwa kami mendompleng mas-mas ini (mereka menjuluki kelompok mereka dengan PMS “Pendaki Makan So Nice”) dalam perjalanan kali ini. Mas-mas yang mayoritas sudah memiliki profesi masing-masing ini mengaku baru pertama kali mendaki gunung, dan pendakian pertamanya adalah Mahameru ini tanah tertinggi pulau Jawa. Ada beberapa orang yang memang sudah hobi dan sudah pernah melakukan pendakian ke Semeru ini, namun mereka yang minoritas ini mengaku hanya menjadi guide dan juru kunci saja, semacam mbah Marijan.Hahaha, ampun.
Jadilah, perjalanan kami selanjutnya menjadi perjalanan duet beramai-ramai.Semacam konser kolaborasi antara duo Maia-Mulan featuring SM*SH. Sepanjang perjalanan mas-mas yang tak kalah keren dengan boyband pertama Indonesia itu bernyanyi untuk mengusir rasa lelah, sesekali mereka tidak sungkan mengajak kami ngobrol.What the nice person they are! (Yang baca ini, dilarang kegeeran! XD)
Beberapa kali kami berhenti untuk mengatur napas sejenak.Beberapa kali kami juga menyempatkan diri berpose di spot-spot tertentu.Di pos tiga yang masih saja ambruk seperti tahun lalu, kami istirahat cukup lama sambil menikmati cokelat-cokelat sangu kami dari indomaret.Di sini kami berusaha mengisi tenaga dan mengumpulkan oksigen yang cukup dalam dada agar setelah ini kuat menaiki tanjakan dengan sudut kemiringan ± 70º sepanjang 10 meter.
Butuh sedikit kekuatan super hingga kami bisa melewati tantangan 10 meter itu.Kami lanjutkan perjalanan setelah itu dengan banyak rasa penasaran. Karena sebelumnya saya dan teman tangguh saya sudah memperingatkan kepada mas-mas yang baru perdana ini, bahwa akan akan sesuatu yang waw maka siapkanlah ekspresi terkaget anda! Hahaha, dua mas-mas sang juru kunci pendakian kali ini hanya tertawa melihat tingkah kami yang berusaha membodohi kawan-kawannya.
Beberapa kali saya memperingatkan mas-mas ini untuk segera mempersiapkan ekspresinya yang paling gokil jika nanti melihat kubangan air besar itu karena jika tidak, mereka sepakat untuk kembali trekking dari pos tiga.Hahaha.Sedikit intermezzo untuk benak yang selalu betanya-tanya, akankah rinduinisampai pada muaranya?
Pukul 16.30 akhirnya kami bisa melepaskan ekspresi sok terkaget-kaget kami. Ekspresi tulus akan sebuah kelegaan melihat keindahan yang membutuhkan perjuangan. Speed kami bertambah naik setelah mata-mata ini berhasil menelanjangi Ranu Kumbolo yang begitu menawan. Tepat setengah jam kemudian, saat Bagaskara hendak beranjak ke peraduannya. Kami berhasil merebahkan punggung ke tanah kaki Semeru ini. Maha Suci Dia atas segala nikmat ini! Butuh waktu beberapa menit, hingga kami bisa bangkit kembali untuk mendirikan tenda, bersih diri, dan memasak logistik.
Mungkin di bawah sana sayup-sayup adzan Maghrib sedang berkumandang. Kami pun melakukan hormat waktu sejenak sebelum kemudian melanjutkan melakukan aktifitas.Kebetulan kami mendirikan tenda tidak jauh dari lokasi tenda para PMS.Sedikit-banyak oom-oom boyband itu membantu kami dalam mepersiapkan segalanya hingga tenda kami bisa berdiri tegak.Saya dan teman saya kemudian bergantian menjaga tenda dan berbersih diri.Inilah pengalaman yang paling saya ingat dari perjalanan kali ini.Saat saya mencuci kaki dan bersih diri di pinggiran Ranu ini saya merasa sedang dalam pengamatan seseorang atau bahkan sesuatu.Bulu kuduk saya sempat meremang saat itu, mengingat sempurna sudah senjamembungkushari ini.Beberapa kali saya menengok kanan kiri, memastikan benarkah firasat saya ini. Mencoba menembus bayang-bayang gelap tanpa headlamp di antara tenda-tenda, hingga saya bisa memfokuskan penglihatan saya pada beberapa sosok yang mengejutkan! *To be continued*
 B.E.J
26052013, 14:10

Tidak ada komentar:

Posting Komentar