" Wadah Perca-perca Mimpi Sebelum Terburai Melangit " (B.E.J.)

Rabu, 09 April 2014

Senandung Papandayan (Catatan Pendakian Papandayan II-TAMAT)


Berjalan bersama
Lewati terjalnya bibir kawah
Melangkah bersama
Melihat hijaunya lembah

Angin bertiup menggoyang dedaunan
Gemercik air membuat ketenangan
Tekanan di bahu menambah nikmat
Proses perjalanan menuju Papandayan

Hutan mati dengan batang pohon yang kering
Pondok Salada dengan hamparan edelweissnya
Mulut terbuka memuji Ilahi
Atas harmoni keindahan yang terjadi

Semoga Ilahi mengizinkan kita kembali
Untuk menikmati semua keindahan itu
(Papandayan: a song by Alfarezel Arifin)

-------------------------------------------------

Berjalan bersamamu
Hal terindah dalam hidupku
Mulut terdiam, hati bicara…
Saat memandang kebesaranNya

Mentari bersinar hangatkan hatiku
Menghijau bersama hutan-hutan itu
Bunga bertaburan bersama senyummu
Tebing menjulang tegapkan hatiku

Aku kan menjagamu walau diriku pun rapuh
Aku melindungimu segenap hatiku
Segenap jiwaku…
Segenap hidupku…

Maukah engkau tetap di sampingku?
(Hal Terindah: a song by Lukman Paris Hakiem)
***
Masih stay tune di sana, Srikandi? Maaf, baru malam ini waktu berpihak untuk melanjutkan catatan pendakian yang tertunda ini. Srikandi, ingatkah kau sepulang kita dari Duo Kumbolo dulu? Seminggu bahkan dua minggu setelahnya efek rindu dan hangat tawa para PMS masih menjalar di tiap sendi kegiatan kita.

            Efek itu juga yang saya rasakan bekas perjalanan kali ini, Srikandi! Senior-senior Cihuuuy! meninggalkan kesan yang mendalam di hari-hari berikutnya. Setidaknya saya tahu ada dua lagu yang tercipta buah karya mereka, atau mungkin yang tidak saya tahu bahkan lebih banyak lagi.

Perjalanan selalu menciptakan persahabatan, keyakinan, harapan, impian, dan cinta. Itulah yang memberi saya kekuatan untuk menyusun catatan  di tiap perjalanan, seperti ini. Entah ada berapa bait sajak, berapa lagi syair lagu, dan catatan diary yang terilhami dari pendakian di akhir Maret ini.

Yang jelas, saya mengabadikan ini tanpa tendensi. Hanya untuk merekam jejak yang mungkin suatu ketika bisa kau simpan dalam space kecil memori ingatanmu.
***


A Shadow on Your Sunrise 

Selamat Pagi! Kami laporkan langsung masih di bawah ketinggian 2665 Mdpl. Pagi ini kami berdua sengaja lari ke ujung semak hutan untuk menyaksikan teatrikal matahari. Bagi saya, perubahan warna langit selalu menarik untuk dinikmati. Konon, kata guru ngaji saya di langgar dulu. Setiap warna langit berubah tiap itu pula malaikat selalu datang dan pergi, bergantian bertugas di bumi. 

Terlepas apakah itu benar atau tidak. Yang jelas, cerita guru itu yang selalu membuat saya bersemangat melakukan solat jamaah Maghrib di langgar kampung. Dan dulu  ketika saya masih dikepang dua, masih sering meninggalkan Subuh karena telat bangun dan absen menyaksikan pertunjukan langit di pagi hari. 

Mungkin ini juga yang membuat saya agak pilih kasih dengan waktu terbit dan tenggelamnya matahari. Saya berada di puncak bahagia yang tinggi saat bisa melihat matahari berpulang dan sebaliknya, karena saya jarang bisa melihat sunrise. Tapi itu tidak berlaku pagi ini, matahari terbit berhasil menyadap separuh fokus saya. 

Dari pijakan tempat saya berdiri, ngarai terpampang jelas. Aliran sungai meliuk di bawah seperti ular yang melata. Tebing terpahat cadas di dinding bukit-bukit seberang kami. Hutan mati menyerupai maket mainan dengan pohon-pohonnya seperti batang korek kayu yang ditancapkan penuh seni.

Sebelumnya, saya sudah mengajak para Cihuuuy! untuk turun menjadi saksi naiknya bola kuning itu. Apa daya, senior-senior pria memilih untuk kembali menutup tenda setelah salam Subuh. Sedang kak Salby dan kak Liah kembali melancarkan aksi mereka sebagai tim memasak yang baik. Berusaha menunggu pecahan biji-biji kacang hijau dalam genangan santan dan gula aren untuk calon sarapan istimewa kami.  

  Kabar baik lainnya adalah kak Hafizha bangun pagi ini dengan simpul senyumnya kembali di wajah. Katanya, sudah enakan, saat saya tanya bagaimana kesehatan si kakak. Saya dan leader sengaja turun untuk membidik sunrise dan mengambil air untuk keperluan memasak pagi ini. 

Rupanya moncong kecil Niken harus bersabar untuk mendapat angel yang baik menangkap biduan pagi ini. Banyak pendaki lain yang sudah berada di sebidang tanah lapang untuk menikmati pagi yang berbeda. Sama seperti yang kami berdua harapkan. 

Sunrise pagi ini
Beberapa kali mencari pijakan yang aman akhirnya saya berhasil menangkap beberapa gambar sunrise pagi ini. Rencananya saya akan mengoleh-olehkan ini untuk Srikandi dan senior saya di pulau Bintan sana. Mereka tidak pernah absen menemani saya menjadi saksi sunrise dan sunset saat kami masih berdomisili di kota Malang. 

Pagi ini mereka memang tidak bersama saya tapi bukan berarti pergantian warna langit kali ini tidak menarik lagi. Seseorang menemani saya menyaksikan gerak bagaskara yang perlahan melangit. Ia berdiri tenang. Membiarkan saya menikmati pertukaran udara di alveolus. 

Kami berdua khusyuk melihat di depan mata. Bola pijar itu perlahan menembus kabut, bergerak ke atas di antara belahan bukit. Asap belerang menjadi efek mistis tersendiri. Satu lagi kode kebesaran Tuhan kami baca. 

"Allah yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu lihat, kemudian Dia bersemayam di atas 'Arsy. Dia menundukkan matahari dan bulan. Masing-masing beredar menurut waktu yang telah ditentukan. Dia mengatur urusan (makhlukNya), dan menjelaskan tanda-tanda (kebesaranNya), agar kamu yakin akan pertemuan dengan Tuhanmu." (TQS. Ar-Ra'd: 2)

            Terima kasih Tuhan. Kau biarkan mata ini menyadapi satu lagi kebesaranMu. A Shadow on Your sunrise.

Menunggu matahari terbit
Puas menikmati sunrise movement, kami bedua juga melakukan perpindahan. Menuju sumber air untuk mengisi botol-botol plastik kosong dalam keresek merah yang ujungnya dicengkeram oleh leader. 
***
            PHP: Pemberian Harapan Palsu atau Pasti?

            "Hari ini kita ke puncak kan, Kak?" sebelum kami beranjak ke sumber air tadi, saya sempatkan bertanya pada leader tentang rencana summit attack hari ini.  Dia tersenyum kemudian mengangguk samar. 

            Saat kami berada di sumber air, saya dikagetkan dengan hadirnya bang Herman yang sudah sumringah. Syukurlah, sepertinya ia lupa dengan encok yang menyerang punggung semalam. Bang Herman membawa serta pasukannya untuk bersih diri pagi ini. Ada kak Hafizha, kak Liah, dan bang Ipul yang ikut serta turun ke air bersamanya.

            Saya dan leader beranjak duluan menuju tanah jajahan kami. Dalam hati saya berharap burjo (bubur kacang ijo) buatan kak Salby sudah siap santap di atas sana. Rupanya, saya dituntut untuk bersabar lebih lama. Saat saya lihat gelembung-gelembung gula merah dalam nesting menggenangi kacang hijau. Baunya wangi. Rasa-rasanya gurih santan sudah mampir di lidah saya. Ah, saya tidak tahan lagi!

            Bukannya membantu kak Salby membereskan masakannya, dengan sangat durhaka saya malah membuka kantung tidur. Saya mau tidur barang sebentar sambil menunggu burjo wangi itu siap saji. Apa saya bilang di catatan sebelumnya? Bukankah saya junior tidak tahu diri dan banyak tak berguna? Hahaha. 

            Hampir empat puluh lima menit saya nyenyak dalam sleeping bag. Selama itu pula tidak ada yang mengusik tidur saya, memberi kabar baik tentang burjo. Sampai saya terbangun dengan sendirinya, entah karena apa. 

Mungkin cacing-cacing yang sudah tidak mempan dicekoki Combantrine ini melakukan aksi demo besar-besar di perut saya. "KAMI MINTA MAKAN!" Jika divisualkan, bisa jadi adegan ini mirip gerombolan pegawai honorer yang minta kenaikan gaji. Hehehe. 

Di luar tenda, terdengar suara kak Salby mulai putus asa. "Kayaknya kita tadi salah strategi. Seharusnya gula merah gak dimasukin dulu." Saya mulai mencium aroma php.

"Sudah dua jam lebih masak ini gak matang-matang. Mau dibuang aja atau gimana?" kak Salby meminta persetujuan dari senior lain di luar. Saya yang sudah berharap banyak, hanya sanggup mengangguk pasrah dari dalam tenda. 

"Kita sarapan nasi aja. Masih banyak kan persediaan logistiknya, By?" leader tanggap mengambil alih keadaan. 

"Iya, Kak. Beras masih banyak, lauk juga. Masih cukuplah buat sampai makan siang nanti," jawab kak Salby.

Masih dengan wajah tanpa dosa. Saya keluar tenda setelah menjadi sleeping sweety karena saya memang tidak beauty. "Perempuan Indonesia tulen itu tidak cantik tapi manis abis!" saya ingat betul itu kata dosen Bahasa Indonesia di salah satu perkuliahan. Dan saya sepakat 100% dengan quote beliau. Hahaha. 

Jadilah, saya ajak main Niken keluar. Mencari objek yang bisa mengalihkan rasa lapar. Ditemani oleh bang Herman, Niken jatuh ke tangannya dan saya meminjam Conan (Nama DSLR (bukan merk) belahan hati mas Arif), lalu kami menyusuri Pondok Salada.

Beberapa kali saya meengatur shutterspeed dan fokus lensa Conan yang cakep ini, namun tak kunjung membuahkan jepretan yang memuaskan. Di mata saya, antara Niken dan Conan terdapat perbedaan tingkat pita warna. Atau mungkin, ini terjadi karena saya selalu bersama Niken hingga sulit beradaptasi dengan Conan. 

Main bersama Conan
Dengan harapan palsu yang diciptakan oleh Conan, saya mengajak kembali bang Herman ke tenda. Berbeda dengan saya, ia tampak puas menangkap beberapa rumpun edelweiss dengan kilat mata Niken.  

Bubur kacang ijo dan Conan sempat menjadi bad mood booster saya pagi ini. Hal-hal kecil kadangkala bisa merubah mood seseorang. Yang awalnya baik menjadi buruk atau sebaliknya. 

Sebenarnya, hal ini terjadi karena faktor orang itu sendiri. Harapan yang ia bumbungkan seringkali tak sesuai dengan ekspektasi. Ia sering lupa bahwa manusia hanya boleh berusaha, berharap, dan berdoa. Hasil akhir mutlak Allah yang menentukan.   

Sebelum bad mood  ini merembet ke lainnya, Sebaiknya saya tancapkan kembali nasihat sahabat saya dulu: "Let's do the best and let Allah do the rest!". Bila semua sadar ini pasti tidak ada lagi yang namanya PHP alias Pemberian Harapan Palsu. Karena sungguh, semua harapan yang Ia janjikan terhadap hambaNya itu PASTI. 

Akhirnya makan juga
***
Lingkaran Pemimpi

09:20. Setelah sarapan, kami memberesi semua barang. Mengepak barang dan menyusun rapi di carrier agar nyaman di pundak. Merobohkan tenda dan melipatnya bersama. Tepat saat kami beberes untuk meninggalkan kontrakan tenda, tiga orang pendaki datang. Terkomposisi dari dua lelaki dan satu wanita, mereka tampak kelelahan. 

"Baru nyampe, Bang?" bang Ipul yang pertama kali angkat suara.

"Iya, Bang," lelaki yang ditanya masih terengah-engah.

"Mau ngecamp dimana, Bang?" tanya bang Ipul lagi. Dia tahu yang ditanya masih kelelahan. Tapi bukan bang Ipul kalau membiarkan orang diam tanpa kejahilannya. 

"Tadinya sih mau di sana, Bang. Tapi katanya banjir. Di sini banjir gak, Bang?"

"Ooooh…tenang aja! Di sini anti banjir dan anti bocor soalnya kita pake aquapr**f." See! Apa saya bilang? Bang Ipul melancarkan aksi isengnya. Lawan bicaranya meringis. Ingin tertawa tapi masih belum kuat, terlampau lelah. 

"Udah ngecamp di sini aja, Bang. Aman kok!" tawar bang Ipul. 

"Boleh, Bang?"

"Boleh banget kok. Lagian kita juga udah bosen di sini. Mau pindah ke apartemen puncak! Hahaha."

"Oke, Bang makasih!"

"Yoi, gue Marwan!" bang Ipul mengulurkan tangan menjabat tangan lawan bicaranya. Setelah bang Ipul memperkenalkan diri dengan nama siapa itu, saya tidak mendengar percakapan mereka lagi.

Tidak salah kan, jika saya memanggil nama bang Ipul dengan sesuka hati? Marwan, Kamal, Jecky, atau Mince sekalipun. Lihat saja, dia enteng sekali mengakui nama lain untuk dirinya. Mungkin ada baiknya, setelah pendakian ini usai bang Ipul mengurus akte kelahiran lagi. Hahaha.  

Setengah jam kemudian, kami selesai membersihkan lerehan-lerehan hajat kami. Tanah yang kami pijak kembali bersih, hanya ada sisa ranting dan daun bekas api unggun semalam. Sampah sepenuh trash bag siap dibawa pergi. 

Kami sempatkan berfoto bersama di lahan bekas kami bermalam. Dibantu oleh abang kenalan bang Ipul tadi, beberapa pose kami terekam dalam caplok lensa Niken. Semua siap dijinjing, kami pun melingkar sesuai komando leader

Srikandi! Ada satu ritual yang mereka budayakan sebelum melakukan perjalanan kembali. Lingkaran Pemimpi, begitu saya menjuluki. Ritual melingkar sambil mengutarakan kesan, pesan, dan harapan dari tiap anggota. Dari sini saya tahu, bahwa masih banyak mimpi yang harus dicapai. Lihatlah! Mereka saja yang sudah mencapai titik ekuilibrium masih rendah hati menunduk seraya merapalkan harapan untuk masa depan. 

Ah, suatu hari kau harus mengenal mereka, Srikandi. Karena mereka berhasil membuat saya kembali percaya, bahwa Tuhan menguatkan kita di jalanNya dengan banyak cara. Salah satunya dengan cara mengenal mereka. 

            Setelah semua kesan, pesan, dan harapan terkuar. Kami berdoa bersama agar perjalanan selanjutnya menuju puncak Papandayan sukses. Dengan namaMu ya Rabb, di manapun langkah ini terhenti di situlah pijakan terbaik kami. Bismillah, kami bergegas menuju hutan mati ikon tersohor gunung ini. Lalu berencana lanjut menuju puncak. 
 
Pose dulu sebelum meninggalkan tanah jajahan
***
Edelweiss…Edelweiss…

            Awalnya kami meragu. Jalur mana yang harus diambil agar sampai ke puncak. Maklum, sepuluh orang dari kami yang pernah menyambangi gunung ini hanya sang leader. Beberapa kali bertanya pada pendaki lain dari arah yang berlawanan, ternyata tidak membuat jernih pikiran kami. 

            Ada yang bilang lewat jalur sinilah, ada pula yang urun rembug lewat jalur sanalah. Intinya kami terus saja berjalan mengikuti keyakinan leader yang awalnya agak goyah. Setelah masuk semak, saya rasakan tekstur tanah yang saya injak berubah. Tanah ini gembur, tak lagi padat dan keras. 


            Taraaaa….! Ini dia hutan mati lambang keajaiban gunung Papandayan. Hutan mati yang timbul akibat erupsi terakhir 2002 lalu ini menjadi daya tarik bagi siapapun. Bayangkan,  Lee Davis dalam karyanya Natural Disaster saja terpesona dengan pesona eksotis ikon gunung yang yang hancur berkeping-keping akibat beberapa kali erupsi ini. 

Hutan mati
            Tanah gembur mengandung sulfur ini tetap setia menjadi tempat berdiri pohon-pohon kering menghitam akibat letusan hebat Papandayan ratusan tahun silam. Ada daya tarik untuk kontemplasi saat berada di hutan ini. 

Lapisan tanah sulfur

            Harus ada sesi foto di tiap pemberhentian tempat baru. Salah satunya di hutan ini. Kami berfoto sesingkat mungkin. Melihat kabut mulai turun. Takut-takut, kalau gerimis segera mengguyur.

            "PUNCAK". Sebuah anak panak mengarah lurus ke atas. Sesaat senior saya menanyakan kejelasan penunjuk arah tersebut pada pendaki lain yang berpapasan. Mereka bilang, puncak masih dua jam jauhnya dari tempat kami berhenti karena puncak berada di balik bukit yang kami pijak sekarang. 

             
           
            Jangan khawatir! Perjalanan kali ini tidak akan sia-sia. Kalau pun tidak berhasil mencapai puncak, Tegal Alun, padang edelweiss yang terkenal asri itu jaraknya sudah tidak jauh dari kami. 

            Berhenti sejenak dan berembug apakah kami melanjutkan perjalanan ke puncak atau hanya sampai Tegal Alun. Mengingat ini sudah lewat tengah hari. Kami harus buru-buru turun jika tak ingin kemalaman dan tertimpa hujan. 

            Alhasil, kami memutuskan untuk mendaki hanya sampai Tegal Alun. Ini dia adegan yang saya tunggu dan paling saya ingat. Bang Ovick memutuskan untuk tidak ikut naik bersama kami melihat kelopak bunga-bunga abadi itu. 

Ia dengan wajah datar dan legawa berkata, "udah kalian tinggal aja carrier dan barang-barang lainnya di sini. Biar gue yang jagain." 

Beberapa kali kami menolak dan merayu bang Ovick agar berjalan besama kami. namun, ia keukeuh tak mau. Ia beralasan lelah dan dehidrasi. Padahal saya tahu itu tidak sepenuhnya benar. 

Entah apa yang ada dipikiran bang Ovick saat itu. Yang jelas saya salut dengan kebesaran hatinya. Hari itu, bang Ovick lagi-lagi menjadi pahlawan. Bukan hanya untuk saya, namun untuk kelompok Cihuuuy!
 
            Kami mulai menapaki tanjakan tanpa ampun. Seringkali napas tersengal membuat kami terbagi menjadi dua tim. Satu tim berjalan duluan di depan. Sedang tim lainnya yang berisi bang Herman, saya, dan mas Arif memilih berjalan woles sambil berpose sana-sini. Hahaha. 
            Di sinilah mas Arif mulai banyak bercuap-cuap. Membagi ilmu untuk pengambilan gambar yang baik di alam terbuka. Kami banyak berdiskusi tentang perbedaan Niken dan Conan. Kelebihan dan kekurangan masing-masing. Beberapa kali kami berhenti ketika mendapati objek menarik. Mempraktekkan teori yang baru saja kami bicarakan. 
            Hingga akhirnya seorang akhwat berjilbab biru laut tersenyum pada saya saat mendekati kawasan Tegal Alun. 
"Mbak Iradaaaaah….!" Teriak saya pada wanita yang saya kenal itu. 
Kami pertama kali bertemu menjelang hari raya Idul Adha tahun lalu. Di stasiun Malang Kota Baru. Saat itu saya yang baru datang dari Jakarta memutuskan untuk menumpang solat di mushola stasiun. Di situlah, saya, Sinta, dan Srikandi (kedua kawan saya) melihat sekawanan pendaki yang masih berpakaian bersih dan rapi. 
Usut punya usut rupanya mereka datang dari Jakarta dan hendak mendaki Semeru. "Mumpung ambil cuti hari raya," kata mbak Iradah saat itu. Kami mengobrol panjang lebar tentang segala keperluan dan persyaratan perizinan Semeru, mengingat saya dan Srikandi pernah beberapa kali ke sana. 
Ternyata jalinan perkenalan kami tak berujung hanya hari itu. Mbak Iradah menjadi senior yang menyenangkan untuk berbagi info pendakian gunung-gunung di Jawa Barat. Kami akrab dengan bantuan jejak waktu. 
Masih ingatkah kau padanya, Srikandi? Pada perempuan berjilbab lebar yang padanya pernah kita bagi kesah tentang belum istiqamahnya kita memakai kain lebar berbentuk 'A' selama mendaki.       
   Mbak Iradah melakukan launching Event Organizer, Tour and Guide yang baru saja ia dirikan bersama rekan-rekannya di gunung Papandayan ini. Sehari sebelumnya saya sudah bertemu dengan mbak Iradah di dekat sumber air. Kami berekeinginan untuk berfoto bersama sebelum berpisah. Alhamdulillah, Dia mempertemukan kami di sini. Great to see you again, Mbak! :)

Bersama mbak Iradah
Puas jepret sana-sini. Kami berpamitan. Mbak Iradah dan rombongannya turun sedang saya dan dua senior lainnya bergegas menyusul tim pertama yang telah sampai. 
Apa mau dikata? Hamparan tanah hijau gelap dengan titik-titik kuning di rumpunnya membuat enam kaki kami terpaku. Tegal Alun, padang bunga keabadian! Lambang cinta abadi Tuhan pada penikmat alamNya. Dengan lanskap puncak Papandayan yang mulai tertutupi kabut. Sempurna membungkus kami dalam bungkam rasa syukur. 
 
Niken dan Conan beraksi tanpa malu-malu. Mereka langsung menggila bersama edelweiss di Tegal Alun ini.


 "Tempat yang romantis buat foto prewed ya." Ngik! Saking kagetnya saya sampai lupa siapa yang bersuara seperti itu. Entah pendaki lain atau anggota Cihuuuy! sendiri. Hahaha. 
Kami meluapkan seluruh lelah di hamparan edelweiss. Berpose dengan banyak gaya. Tertawa melanjutkan pembuatan video perjalanan yang dihandle oleh bang Ipin. Mungkin kebahagiaan kami ini bertahan selama satu jam. Hingga kami ingat telah meninggalkan pahlawan kami terlalu lama. Selepas meminta bantuan pendaki lain untuk mengabadikan pose kami bersama di Tegal Alun, kami segera turun menghampiri bang Ovick. 

Syukurlah, saat kami sampai di tempat meletakkan keril. Bang Ovick dalam keadaan utuh tanpa sedikit pun luka cabikan macan tutul. Bang Ovick berkisah, ia sempat tidur sejenak selagi menunggu kami turun. Ia juga sempat berbincang dengan dua siswa SMA yang menunggu kakaknya tidak jauh dari tempat bang Ovick. 
Mereka berdua adalah warga Switzerland from Java julukan untuk kota Garut, yang sudah sering bertandang kemari. Sudah bosan menikmati mekarnya edelweiss. Jadi, mereka memilih untuk menunggu di bawah selagi sang kakak bermain di antara gerombolan halus kelopak edelweiss. Kami bersepuluh berpamitan pada mereka sembari mengucap terima kasih karena telah membagi air minum pada bang Ovick. 
***
Saya Selalu Benci TURUN!
"Seperti halnya roda yang berputar, dari cinta menjadi rindu dari temu menjadi semu…
Analogi roda memang belum bisa digantikan dengan benda lain untuk menggambarkan perjalanan hidup manusia. Bukankah begitu, Press?
Ada kalanya manusia berada di atas namun tidak lama kemudian di bawah. Ada kalanya bahagia namun sebentar pula berduka. Ada saatnya mencinta juga membenci. Berlaku pula bertemu kemudian menghampar jarak. Itulah gambaran hidup manusia. Tidak ada yang pasti selain maut. Tidak ada yang setia selain amal perbuatan.
Sesering apapun saya mengingat analogi itu saya belum bisa merubah paradigma untuk tidak membenci turun gunung. Sedih karena harus meninggalkan gunung dan kembali pada kesibukan semula? Sudah pasti! Tapi alasan yang paling tepat adalah ujung jari kaki saya enggan menahan beban saat turun. Sakit. 
Beberapa teman pernah mengatakan bahwa, saat turun gunung dibutuhkan tiga kali keseimbangan lebih besar daripada saat mendakinya. Kebencian saya bertambah kali ini saat menuruni medan berbatu cadas. Semakin memuncak saat tersandung dan betis kiri saya berbenturan dengan sebuah batu. Bagussss! Kenang-kenangan dari Papandayan, pikir saya saat itu. Dan menjadi benar karena memar masih tertinggal hingga saat ini. Hahaha. 
Amarah saya meledak ketika kak Hafizha jatuh terduduk di atas medan berbatu yang tidak empuk sama sekali. Perempuan berwajah mungil ini terdiam sejenak sambil menggigit bibir bawahnya. Menahan sakit yang menimpanya. Pasti ada masalah dengan tulang ekor si kakak, pikir saya sok tahu.
Kami lupa memperhitungkan formasi berjalan untuk turunan kali ini. Baiknya, jika menuruni turunan curam seperti ini seorang wanita diapit oleh dua orang lelaki. Antisipasi jika ia membutuhkan bantuan orang yang lebih kuat di depan atau di belakangnya. 
Setelah kejadian itu, saya dengan masih agak kalap mengatur formasi kakak-kakak saya ini. Mennghindari jatuhnya korban selanjutnya. (Mohon dimaafkan untuk kenakalan saya yang itu ya, Kak!) Hehehe. 
Kami kembali berjalan. Kali ini dengan sedikit-sedikit teriakan jika ada anggota yang berjalan terlalu cepat. Sempat tertinggal beberapa jarak dengan enam orang yang sengaja kami suruh berjalan duluan. Saya dan ketiga senior belakang ternyata mampu menempuh jarak lebih cepat dari perkiraan saya. 
Saat prosesi turun seperti ini, saya seringkali tidak bisa berhenti terlalu lama untuk beristirahat. Semua rasa nyeri di ujung kaki akan bergumul di lutut jika saya berhenti terlalu lama. Lekas sampai, lekas istirahat. Itu semangat saya saat turun.  Setelah meminta izin pada leader, saya memutuskan untuk mengajak bang Herman jalan berdua terlebih dahulu. 
Saya dan bang Herman memacu fullspeed agar segera sampai di emperan warung lapangan parkir. Beberapa waktu, kami berhenti tiga detik untuk mengatur napas. Hingga di langkah selanjutnya kami harus sering-sering berhenti saat melihat vandalisme di sana-sini. Miris.  
Vandalisme yang seringkali ditemui adalah pengabadian berupa tulisan, gambar, ukiran, dan corat-coret pada batu, pohon, dan fasilitas di kawasan wisata. Padahal ada etika tidak tertulis yang harus dipatuhi oleh seorang pengunjung, jika berat mengatakannya sebagai pecinta alam.
 Yakni: " Jangan mengambil sesuatu kecuali gambar. Jangan meninggalkan sesuatu kecuali jejak. Jangan membunuh sesuatu kecuali waktu!" 
Rupanya tiga hal di atas hanya dijadikan pameo untuk mereka yang menjuluki diri sebagai pecinta alam namun menuliskan namanya di atas batu-batu Papandayan. Orang-orang yang berkoar-koar memamerkan edelweiss yang dipetik dari Tegal Alun pun tidak bedanya dengan pecinta alam imitasi. Apalagi tak membawa sampah sukar daur ulang bekas mereka ke bawah atau pun tak membakarnya secara aman. Malah membuangnya di sela-sela semak. Apakah masih pantas disebut sebagai pecinta alam?
Saya memang bukan pecinta alam yang tergabung dalam sebuah komunitas. Tapi jujur, saya miris melihat kenyataan yang ada. Saya pun marah jika seseorang datang bertamu ke rumah saya dan mengambil barang berharga saya, meninggalkan sampah berserakan, dan melakukan perbuatan yang tidak sepatutnya dilakukan oleh tamu. Bagaimana jika itu terjadi pada Anda? Saya yakin Anda juga tidak akan tinggal diam. See!
Sudah saatnya kita menjadi tamu yang sopan. Yang tahu unggah-ungguh saat berkunjung ke suatu tempat. Kalau bukan kita yang menjaga alam di negara sendiri, siapa lagi?
Singkatnya, saya dan bang Herman mendarat mulus di bangku bambu emperan warung seorang nenek pukul 15:45. Diikuti bang Ipul dan bang Ovick yang tidak jauh di belakang kami. Kami segera mencomot gorengan yang tersedia di sebuah loyang plastik besar. Kemudian segera memesan beberapa gelas teh hangat sembari menunggu kedatangan mas Arif, kak Salby, bang Ipin, kak Liah, kak Hafizha, dan kak Lukman.
***
Once Upon a Rainy Day
Tak mampu saya menghitung karunia yang Allah berikan dalam perjalanan kali ini. Hujan mengguyur deras saat kami bersepuluh telah merapat di emperan warung kecil milik nenek cucunya. Bersyukur karena seluruh anggota tim Cihuuuy! mendarat dengan sehat dan selamat serta tak ada satu pun dari kami yang berbasah diri karena hujan. 
"Allah baik banget ya, Kak? Ada aja caraNya untuk menolong kita." Katamu mengenang pertemuan kita dengan PMS pasca Duo Kumbolo. 
"Iyalah! Allahnya siapa dulu? Kita! Hahahaha…" Saya selalu ingat secuplik percakapan kita itu, Srikandi. Saat pertolonganNya datang dari arah dan waktu yang tak disangka. 
  Usai bersih diri dan mengganti solat yang tertinggal saat perjalanan turun, hujan belum juga reda. Kami bersepuluh tetap merapat di warung nenek dengan intesitas pendaki lain yang turun semakin banyak. 
Seorang bapak datang buru-buru menggendong putrinya. Ia berlari tergesa agar dapat berteduh segera. Itu Bilqis dan ayahnya! Masih ingatkah Bilqis, gadis kecil berumur 5 tahun yang menularkan semangatnya saat pendakian kemarin. Saat ini ia kedinginan sebab berhujan. 
Sang ayah segera melucuti pakaian basah Bilqis. Disusul ibunya yang segera melumuri sekujur badan putrinya dengan minyak kayu putih. Bilqis kecil menggigil. Air hujan membuat rambut Doranya menempel rapat menutupi telinga. Membuatnya terlihat makin menggemaskan. 
Saya dan kak Salby yang telah selesai bersih diri mengamati adegan di hadapan kami itu. Sedang kak Liah dan kak Hafizha pergi ke kamar kecil. Selang tak berapa lama, datang lagi seorang gadis kecil dan ayahnya. Namanya Rani, ia masih teman sepermainan Bilqis. 
Seperti adegan sebelumnya, Rani buru-buru dipakaikan baju ganti kering dan dilumuri minyak kayu putih. Setelah itu ia diberi minum teh hangat. Setelah semua dirasa beres. Bilqis dan Rani kembali bermain. Mereka memainkan tangan dan kaki mereka, permainan ala anak-anak. Selalu ada permainan dimana pun dan kapan pun  untuk anak-anak tanpa beban seperti mereka. 
Kami menikmati mie kuah dan teh hangat buatan nenek sambil menunggu antrian mobil pick up yang akan membawa kami turun ke Cisurupan. Harus mengantri terlebih dahulu untuk mendapatkan mobil ini. Jadi saran saya, jika Anda nanti telah turun dari Papandayan dalam keadaan ramai atau weekend seperti ini. Baiknya, memesan mobil bak ini terlebih dulu baru kemudian melakukan bersih diri, solat, makan, dan lain-lain agar tak menunggu terlalu lama. 
Kala gelap maghrib membungkus pelataran Papandayan. Ayah Bilqis menghampiri kami, tak enggan berbagi secuplik kisah. Dengan senang hati kami melebarkan telinga mendengarnya. Mengusir jemu menunggu jemputan yang belum kunjung ada.
Beliau menceritakan banyak petualangannya yang mengikutsertakan putri semata wayangnya itu. Salak, Gede, Pangrango, dan Cikuray serta bukit-bukit kecil yang tak terhitung sudah menjadi rekor pencapaian Bilqis. Gadis kecil ayah ini memiliki imun yang baik, hingga jika di atas gunung saat tak merasa dingin ia pun menolak dipakaikan jaket dan pakaian hangat sejenisnya. 
Bilqis tak pernah mengeluh sekali pun saat diajak berjalan melewati rimba. Ia anak yang patut dibanggakan. Sejak kecil telah dikenalkan untuk menjelajah dan mencintai alam Indonesia. Ayahnya juga bilang, bahwa beliau ingin menanamkan sikap ikut menjaga alam di negeri ini. Agar jika nanti ayahnya berusia lanjut, Bilqislah yang menjadi pioneer pecinta alam di kalangan generasinya. 
Belum selesai di situ, sang ayah yang tidak sempat saya tanyai nama beliau berbagi kisah kunjungannya ke Raja Ampat. Salah satu surga Indonesia yang ingin saya datangi, namun belum tahu pencanangannya berapa tahun lagi. Hahahaha. 
Beliau memuji kedisplinan pemerintah daerah Raja Ampat dalam menjaga kebersihan dan kelestarian lingkungan. Sedikit saja pelanggaran terjadi maka jangan kaget jika uang beberapa juta akan masuk dalam kas pemda. Kebijakan yang cerdik. Mengingat setiap orang pasti berpikir ulang untuk mengeluarkan uangnya. 
Lompat dari Raja Ampat, ayah Bilqis tersenyum pada istrinya kemudian menceritakan pesona pantai Ujung Genteng di Sukabumi. Eksotisme pantai ini bukan sekadar gulungan ombaknya yang tinggi dan pasirnya yang putih. Ujung Genteng juga merupakan pusat penangkaran penyu dan buaya. Belum lagi pesona sunset di tiap sorenya. Sungguh memikat hati. 
Baiklah, ssetelah ini harus saya kepoin pantai Ujung Genteng. Mungkin bisa masuk dalam list travelution tahun ini. Hihihi. Kami mengakhiri perbincangan ketika sebuah pick up merapat. 
Tangan kecil Bilqis menjabat tangan saya saat berpamitan. Jadi anak kuat ya, Bilqis! Indonesia butuh kamu. Dalam hati saya berdoa agar banyak anak yang terlahir seperti Bilqis pastinya, dengan didikan orangtua akan kebijakan menjaga alam negeri ini. 
Kami akhirnya duduk di bak mobil yang ditutup terpal setelah berganti mobil sebanyak dua kali. Saya dan kak Hafizha duduk di samping pak sopir. Kami berdua bertukar cerita di antara gelapnya trek asik. Sesekali kisah kami terpotong dengan untaian komat-kamit doa saat ban mobil terjebak lumpur, sedang jurang menganga beberapa meter di sana. 
Beberapa kali senior-senior lelaki saya harus turun karena medan yang tidak memungkinkan. "Ini nih, bisa diceritain ke anak cucu!" teriak bang Ipul. Ada saja ulahnya menghalau rasa sebal karena harus sering-sering turun dari bak belakang.
Sempat saya korek dari pak sopir, bahwa kawasan konservasi gunung Papandayan berada di bawah kendali pemerintah. Relokasi dana yang diberikan untuk konservasi dan fasilitas wisata termasuk perbaikan jalan akses utama ini sulit sekali turun dari atasan. 
Baiklah, jangan memaki! Apapun yang terjadi cinta itu sepaket dengan suka dan duka. Jika suka menikmati indahnya alam Indonesia, maka harus mau menyelami duka birokrasi pemerintah yang ruwet seperti cerita bapak sopir. 
19:30. Kami sampai di Cisurupan langsung disambut angkot yang membawa tubuh lelah kami ke terminal Guntur. Rupanya petualangan ini hampir tamat, Srikandi!
***
Sayonara Garut Cihuuuy!
 Pukul 20:47. Meski tidak sepi melompong, namun terminal Guntur agak lengang dibanding saat kami datang kemarin pagi. Hanya beberapa warung makan yang buka dan beberapa angkutan wira-wiri mengangkut pendaki yang baru turun.
Mengisi perut, membeli oleh-oleh, dan menunaikan solat kami lakukan sebelum memutuskan naik bus pariwisata yang disulap menjadi bus jurusan Garut-Kampung Rambutan. Bus ini menjadi semacam bus sekolah saat kami memasukinya. Isinya fuuuuull pendaki. Serasa baru pulang darmawisata dengan teman-teman sekolah. 
Beruntung kami mendapat tempat duduk saat dua pengamen cilik datang menghibur. Awalnya mereka hanya menyanyikan sebuah lagu. Namun karena keisengan kami, warga bus darmawisata yang meminta mereka untuk menyanyi lagi. Mereka pun dengan senang hati menghibur kami. Oplosan, Kereta Malam, dan beberapa lagu lainnya berhasil menghibur syaraf-syaraf kami yang lelah dan minta hak untuk diistirahatkan. 
21:37. Mesin bus sudah menderu, tapi sang sopir masih di luar. Bang Ipin mengeluarkan Nikonya. Kamera ganteng sahabat Niken. Ia meminta kami untuk mengucap beberapa kata sebagai closing statement kesan pendakian kali ini. Kira-kira delapan menit kemudian, 21:45. Roda bus ini menggelinding. Membawa kami singgah ke terminal Kampung Rambutan sebelum akhirnya pulang ke kediaman masing-masing.
Sayonara Garut Cihuuuy! Terima kasih telah membagi ruang untuk mengumbar penat kami selama dua hari. 
Terima kasih untuk segala penerimaan dan kasih yang telah kita bagi bersama. Untuk sang leader kiriman khusus dari Tuhan, yang multitalent, kak Lukman. Untuk adik iseng yang memaksa mengangkat kakak, bang Ipin. Untuk kawan berjalan dan bersajak saya, bang Herman. Untuk Ibelnya Dealova yang senang senyum dan jago jepret, mas Arif. Untuk pahlawan berkopyah saya, bang Ovick. Untuk kawan seperjuangan menggila saya, bang Ipul. Untuk koki handal sekaligus mentor memasak saya, kak Salby. Untuk kesabaran menghadapi ulah nakal saya, kak Liah. Untuk kisah rahasia yang kita punya di pick up depan, kak Hafizha. 
Untuk semua repihan yang bisa saya susun menjadi "Hai, Srikandi!" dan "Senandung Papndayan". Saya junior terkecil selalu banyak merepotkan dan tak berguna mulai awal hingga perjalanan ini usai. Nggak mau tahu, pokoknya harus dimaafkan yak! Hahaha. Mohon maaf. Semoga Ilahi mengizinkan kita kembali. Untuk menikmati semua keindahan itu. Mari kita amini syair lagu bang Ipin ini. Aamiin.
Lunas sudah ya catatan perjalanannya? Tidak ada lagi hutang-piutang di antara kita! Kecuali hutang persahabatan yang harus terus berlanjut. :)
***

Belum sampai puncak 2665 Mdpl, Srikandi! Kau mau kan memaafkan saya ? Mungkin ini artinya saya harus kembali ke sana lagi, bersamamu. Sudah dulu ya, Srikandi. Rupanya semalaman bercumbu dengan dearest membuat mata saya berat. 
Saya mau tidur barang cuma sebentar. Lalu mandi dan berpakaian rapi. Pergi ke TPS untuk membuktikan cinta saya pada negeri ini. #GolputRaKeren! Iya kan? Apapun pilihannya dan siapapun orangnya semoga merekalah yang akan membawa kebaikan untuk bangsa ini. Setidaknya bukan baik untuk dirinya sendiri. Tapi untuk kita semua. Byee, Srikandi! 


*Senandung Papandayan: TAMAT*

Ciputat, 09 April 2014
BEJ
06:26
(Menjelang Coblosan Caleg)


  
   





           
           






Tidak ada komentar:

Posting Komentar