Berjalan bersama
Lewati terjalnya bibir kawah
Melangkah bersama
Melihat hijaunya lembah
Angin bertiup menggoyang dedaunan
Gemercik air membuat ketenangan
Tekanan di bahu menambah nikmat
Proses perjalanan menuju Papandayan
Hutan mati dengan batang pohon yang
kering
Pondok Salada dengan hamparan
edelweissnya
Mulut terbuka memuji Ilahi
Atas harmoni keindahan yang terjadi
Semoga Ilahi mengizinkan kita
kembali
Untuk menikmati semua keindahan itu
(Papandayan: a song by
Alfarezel Arifin)
-------------------------------------------------
Berjalan bersamamu
Hal terindah dalam hidupku
Mulut terdiam, hati bicara…
Saat memandang kebesaranNya
Mentari bersinar hangatkan hatiku
Menghijau bersama hutan-hutan itu
Bunga bertaburan bersama senyummu
Tebing menjulang tegapkan hatiku
Aku kan menjagamu walau diriku pun
rapuh
Aku melindungimu segenap hatiku
Segenap jiwaku…
Segenap hidupku…
Maukah engkau tetap di sampingku?
(Hal Terindah: a song by Lukman
Paris Hakiem)
***
Masih
stay tune di sana, Srikandi? Maaf, baru malam ini waktu berpihak untuk melanjutkan
catatan pendakian yang tertunda ini. Srikandi, ingatkah kau sepulang kita dari
Duo Kumbolo dulu? Seminggu bahkan dua minggu setelahnya efek rindu dan hangat
tawa para PMS masih menjalar di tiap sendi kegiatan kita.
Efek itu juga yang saya rasakan bekas
perjalanan kali ini, Srikandi! Senior-senior Cihuuuy! meninggalkan kesan
yang mendalam di hari-hari berikutnya. Setidaknya saya tahu ada dua lagu yang
tercipta buah karya mereka, atau mungkin yang tidak saya tahu bahkan lebih
banyak lagi.
Perjalanan
selalu menciptakan persahabatan, keyakinan, harapan, impian, dan cinta. Itulah
yang memberi saya kekuatan untuk menyusun catatan di tiap perjalanan, seperti ini. Entah ada
berapa bait sajak, berapa lagi syair lagu, dan catatan diary yang
terilhami dari pendakian di akhir Maret ini.
Yang
jelas, saya mengabadikan ini tanpa tendensi. Hanya untuk merekam jejak yang
mungkin suatu ketika bisa kau simpan dalam space kecil memori ingatanmu.
***
Selamat
Pagi! Kami laporkan langsung masih di bawah ketinggian 2665 Mdpl. Pagi ini kami
berdua sengaja lari ke ujung semak hutan untuk menyaksikan teatrikal matahari. Bagi
saya, perubahan warna langit selalu menarik untuk dinikmati. Konon, kata guru ngaji
saya di langgar dulu. Setiap warna langit berubah tiap itu pula malaikat selalu
datang dan pergi, bergantian bertugas di bumi.
Terlepas
apakah itu benar atau tidak. Yang jelas, cerita guru itu yang selalu membuat
saya bersemangat melakukan solat jamaah Maghrib di langgar kampung. Dan
dulu ketika saya masih dikepang dua,
masih sering meninggalkan Subuh karena telat bangun dan absen menyaksikan
pertunjukan langit di pagi hari.
Mungkin
ini juga yang membuat saya agak pilih kasih dengan waktu terbit dan
tenggelamnya matahari. Saya berada di puncak bahagia yang tinggi saat bisa
melihat matahari berpulang dan sebaliknya, karena saya jarang bisa melihat sunrise.
Tapi itu tidak berlaku pagi ini, matahari terbit berhasil menyadap separuh
fokus saya.
Dari
pijakan tempat saya berdiri, ngarai terpampang jelas. Aliran sungai meliuk di
bawah seperti ular yang melata. Tebing terpahat cadas di dinding bukit-bukit
seberang kami. Hutan mati menyerupai maket mainan dengan pohon-pohonnya seperti
batang korek kayu yang ditancapkan penuh seni.
Sebelumnya,
saya sudah mengajak para Cihuuuy! untuk turun menjadi saksi naiknya bola
kuning itu. Apa daya, senior-senior pria memilih untuk kembali menutup tenda
setelah salam Subuh. Sedang kak Salby dan kak Liah kembali melancarkan aksi
mereka sebagai tim memasak yang baik. Berusaha menunggu pecahan biji-biji
kacang hijau dalam genangan santan dan gula aren untuk calon sarapan istimewa
kami.
Kabar
baik lainnya adalah kak Hafizha bangun pagi ini dengan simpul senyumnya kembali
di wajah. Katanya, sudah enakan, saat saya tanya bagaimana kesehatan si kakak.
Saya dan leader sengaja turun untuk membidik sunrise dan
mengambil air untuk keperluan memasak pagi ini.
Rupanya
moncong kecil Niken harus bersabar untuk mendapat angel yang baik
menangkap biduan pagi ini. Banyak pendaki lain yang sudah berada di sebidang
tanah lapang untuk menikmati pagi yang berbeda. Sama seperti yang kami berdua
harapkan.
Sunrise pagi ini |
Beberapa
kali mencari pijakan yang aman akhirnya saya berhasil menangkap beberapa gambar
sunrise pagi ini. Rencananya saya akan mengoleh-olehkan ini untuk
Srikandi dan senior saya di pulau Bintan sana. Mereka tidak pernah absen
menemani saya menjadi saksi sunrise dan sunset saat kami masih
berdomisili di kota Malang.
Pagi
ini mereka memang tidak bersama saya tapi bukan berarti pergantian warna langit
kali ini tidak menarik lagi. Seseorang menemani saya menyaksikan gerak
bagaskara yang perlahan melangit. Ia berdiri tenang. Membiarkan saya menikmati
pertukaran udara di alveolus.
Kami
berdua khusyuk melihat di depan mata. Bola pijar itu perlahan menembus kabut,
bergerak ke atas di antara belahan bukit. Asap belerang menjadi efek mistis
tersendiri. Satu lagi kode kebesaran Tuhan kami baca.
"Allah yang meninggikan langit tanpa tiang
(sebagaimana) yang kamu lihat, kemudian Dia bersemayam di atas 'Arsy. Dia
menundukkan matahari dan bulan. Masing-masing beredar menurut waktu yang telah
ditentukan. Dia mengatur urusan (makhlukNya), dan menjelaskan tanda-tanda
(kebesaranNya), agar kamu yakin akan pertemuan dengan Tuhanmu." (TQS. Ar-Ra'd: 2)
Terima kasih Tuhan. Kau biarkan mata
ini menyadapi satu lagi kebesaranMu. A Shadow on Your sunrise.
Menunggu matahari terbit |
Puas
menikmati sunrise movement, kami bedua juga melakukan perpindahan.
Menuju sumber air untuk mengisi botol-botol plastik kosong dalam keresek merah
yang ujungnya dicengkeram oleh leader.
***
PHP:
Pemberian Harapan Palsu atau Pasti?
"Hari ini kita ke puncak kan, Kak?" sebelum kami beranjak
ke sumber air tadi, saya sempatkan bertanya pada leader tentang rencana summit
attack hari ini. Dia tersenyum
kemudian mengangguk samar.
Saat kami berada di sumber air, saya
dikagetkan dengan hadirnya bang Herman yang sudah sumringah. Syukurlah,
sepertinya ia lupa dengan encok yang menyerang punggung semalam. Bang Herman
membawa serta pasukannya untuk bersih diri pagi ini. Ada kak Hafizha, kak Liah,
dan bang Ipul yang ikut serta turun ke air bersamanya.
Saya dan leader beranjak duluan
menuju tanah jajahan kami. Dalam hati saya berharap burjo (bubur kacang ijo)
buatan kak Salby sudah siap santap di atas sana. Rupanya, saya dituntut untuk
bersabar lebih lama. Saat saya lihat gelembung-gelembung gula merah dalam
nesting menggenangi kacang hijau. Baunya wangi. Rasa-rasanya gurih santan sudah
mampir di lidah saya. Ah, saya tidak tahan lagi!
Bukannya membantu kak Salby
membereskan masakannya, dengan sangat durhaka saya malah membuka kantung tidur.
Saya mau tidur barang sebentar sambil menunggu burjo wangi itu siap saji. Apa
saya bilang di catatan sebelumnya? Bukankah saya junior tidak tahu diri dan
banyak tak berguna? Hahaha.
Hampir empat puluh lima menit saya
nyenyak dalam sleeping bag. Selama itu pula tidak ada yang mengusik
tidur saya, memberi kabar baik tentang burjo. Sampai saya terbangun dengan
sendirinya, entah karena apa.
Mungkin
cacing-cacing yang sudah tidak mempan dicekoki Combantrine ini melakukan
aksi demo besar-besar di perut saya. "KAMI MINTA MAKAN!" Jika
divisualkan, bisa jadi adegan ini mirip gerombolan pegawai honorer yang minta
kenaikan gaji. Hehehe.
Di
luar tenda, terdengar suara kak Salby mulai putus asa. "Kayaknya kita tadi
salah strategi. Seharusnya gula merah gak dimasukin dulu." Saya mulai
mencium aroma php.
"Sudah
dua jam lebih masak ini gak matang-matang. Mau dibuang aja atau gimana?"
kak Salby meminta persetujuan dari senior lain di luar. Saya yang sudah
berharap banyak, hanya sanggup mengangguk pasrah dari dalam tenda.
"Kita
sarapan nasi aja. Masih banyak kan persediaan logistiknya, By?" leader
tanggap mengambil alih keadaan.
"Iya,
Kak. Beras masih banyak, lauk juga. Masih cukuplah buat sampai makan siang
nanti," jawab kak Salby.
Masih
dengan wajah tanpa dosa. Saya keluar tenda setelah menjadi sleeping sweety karena
saya memang tidak beauty. "Perempuan Indonesia tulen itu tidak
cantik tapi manis abis!" saya ingat betul itu kata dosen Bahasa Indonesia
di salah satu perkuliahan. Dan saya sepakat 100% dengan quote beliau. Hahaha.
Jadilah,
saya ajak main Niken keluar. Mencari objek yang bisa mengalihkan rasa lapar.
Ditemani oleh bang Herman, Niken jatuh ke tangannya dan saya meminjam Conan (Nama
DSLR (bukan merk) belahan hati mas Arif), lalu kami menyusuri Pondok Salada.
Beberapa
kali saya meengatur shutterspeed dan fokus lensa Conan yang cakep ini,
namun tak kunjung membuahkan jepretan yang memuaskan. Di mata saya, antara
Niken dan Conan terdapat perbedaan tingkat pita warna. Atau mungkin, ini
terjadi karena saya selalu bersama Niken hingga sulit beradaptasi dengan Conan.
Main bersama Conan |
Dengan
harapan palsu yang diciptakan oleh Conan, saya mengajak kembali bang Herman ke
tenda. Berbeda dengan saya, ia tampak puas menangkap beberapa rumpun edelweiss
dengan kilat mata Niken.
Bubur
kacang ijo dan Conan sempat menjadi bad mood booster saya pagi ini. Hal-hal
kecil kadangkala bisa merubah mood seseorang. Yang awalnya baik menjadi
buruk atau sebaliknya.
Sebenarnya,
hal ini terjadi karena faktor orang itu sendiri. Harapan yang ia bumbungkan
seringkali tak sesuai dengan ekspektasi. Ia sering lupa bahwa manusia hanya
boleh berusaha, berharap, dan berdoa. Hasil akhir mutlak Allah yang menentukan.
Sebelum
bad mood ini merembet ke lainnya,
Sebaiknya saya tancapkan kembali nasihat sahabat saya dulu: "Let's do
the best and let Allah do the rest!". Bila semua sadar ini pasti
tidak ada lagi yang namanya PHP alias Pemberian Harapan Palsu. Karena sungguh,
semua harapan yang Ia janjikan terhadap hambaNya itu PASTI.
Akhirnya makan juga |
***
Lingkaran Pemimpi
09:20.
Setelah sarapan, kami memberesi semua barang. Mengepak barang dan menyusun rapi
di carrier agar nyaman di pundak. Merobohkan tenda dan melipatnya
bersama. Tepat saat kami beberes untuk meninggalkan kontrakan tenda, tiga orang
pendaki datang. Terkomposisi dari dua lelaki dan satu wanita, mereka tampak
kelelahan.
"Baru
nyampe, Bang?" bang Ipul yang pertama kali angkat suara.
"Iya,
Bang," lelaki yang ditanya masih terengah-engah.
"Mau
ngecamp dimana, Bang?" tanya bang Ipul lagi. Dia tahu yang ditanya
masih kelelahan. Tapi bukan bang Ipul kalau membiarkan orang diam tanpa
kejahilannya.
"Tadinya
sih mau di sana, Bang. Tapi katanya banjir. Di sini banjir gak, Bang?"
"Ooooh…tenang
aja! Di sini anti banjir dan anti bocor soalnya kita pake aquapr**f."
See! Apa saya bilang? Bang Ipul melancarkan aksi isengnya. Lawan
bicaranya meringis. Ingin tertawa tapi masih belum kuat, terlampau lelah.
"Udah
ngecamp di sini aja, Bang. Aman kok!" tawar bang Ipul.
"Boleh,
Bang?"
"Boleh
banget kok. Lagian kita juga udah bosen di sini. Mau pindah ke apartemen
puncak! Hahaha."
"Oke,
Bang makasih!"
"Yoi,
gue Marwan!" bang Ipul mengulurkan tangan menjabat tangan lawan bicaranya.
Setelah bang Ipul memperkenalkan diri dengan nama siapa itu, saya tidak
mendengar percakapan mereka lagi.
Tidak
salah kan, jika saya memanggil nama bang Ipul dengan sesuka hati? Marwan, Kamal,
Jecky, atau Mince sekalipun. Lihat saja, dia enteng sekali mengakui nama lain untuk
dirinya. Mungkin ada baiknya, setelah pendakian ini usai bang Ipul mengurus
akte kelahiran lagi. Hahaha.
Setengah
jam kemudian, kami selesai membersihkan lerehan-lerehan hajat kami. Tanah yang
kami pijak kembali bersih, hanya ada sisa ranting dan daun bekas api unggun
semalam. Sampah sepenuh trash bag siap dibawa pergi.
Kami
sempatkan berfoto bersama di lahan bekas kami bermalam. Dibantu oleh abang
kenalan bang Ipul tadi, beberapa pose kami terekam dalam caplok lensa
Niken. Semua siap dijinjing, kami pun melingkar sesuai komando leader.
Srikandi!
Ada satu ritual yang mereka budayakan sebelum melakukan perjalanan kembali. Lingkaran
Pemimpi, begitu saya menjuluki. Ritual melingkar sambil mengutarakan kesan,
pesan, dan harapan dari tiap anggota. Dari sini saya tahu, bahwa masih banyak
mimpi yang harus dicapai. Lihatlah! Mereka saja yang sudah mencapai titik ekuilibrium
masih rendah hati menunduk seraya merapalkan harapan untuk masa depan.
Ah,
suatu hari kau harus mengenal mereka, Srikandi. Karena mereka berhasil membuat
saya kembali percaya, bahwa Tuhan menguatkan kita di jalanNya dengan banyak
cara. Salah satunya dengan cara mengenal mereka.
Setelah semua kesan, pesan, dan
harapan terkuar. Kami berdoa bersama agar perjalanan selanjutnya menuju puncak
Papandayan sukses. Dengan namaMu ya Rabb, di manapun langkah ini terhenti di situlah
pijakan terbaik kami. Bismillah, kami bergegas menuju hutan mati ikon
tersohor gunung ini. Lalu berencana lanjut menuju puncak.
Pose dulu sebelum meninggalkan tanah jajahan |
***
Edelweiss…Edelweiss…
Awalnya kami meragu. Jalur mana yang
harus diambil agar sampai ke puncak. Maklum, sepuluh orang dari kami yang
pernah menyambangi gunung ini hanya sang leader. Beberapa kali bertanya
pada pendaki lain dari arah yang berlawanan, ternyata tidak membuat jernih
pikiran kami.
Ada yang bilang lewat jalur sinilah,
ada pula yang urun rembug lewat jalur sanalah. Intinya kami terus saja
berjalan mengikuti keyakinan leader yang awalnya agak goyah. Setelah
masuk semak, saya rasakan tekstur tanah yang saya injak berubah. Tanah ini
gembur, tak lagi padat dan keras.
Taraaaa….! Ini dia hutan mati
lambang keajaiban gunung Papandayan. Hutan mati yang timbul akibat erupsi
terakhir 2002 lalu ini menjadi daya tarik bagi siapapun. Bayangkan, Lee Davis dalam karyanya Natural Disaster
saja terpesona dengan pesona eksotis ikon gunung yang yang hancur
berkeping-keping akibat beberapa kali erupsi ini.
Tanah gembur mengandung sulfur ini
tetap setia menjadi tempat berdiri pohon-pohon kering menghitam akibat letusan
hebat Papandayan ratusan tahun silam. Ada daya tarik untuk kontemplasi saat
berada di hutan ini.
Harus ada sesi foto di tiap
pemberhentian tempat baru. Salah satunya di hutan ini. Kami berfoto sesingkat
mungkin. Melihat kabut mulai turun. Takut-takut, kalau gerimis segera
mengguyur.
"PUNCAK". Sebuah anak
panak mengarah lurus ke atas. Sesaat senior saya menanyakan kejelasan penunjuk
arah tersebut pada pendaki lain yang berpapasan. Mereka bilang, puncak masih
dua jam jauhnya dari tempat kami berhenti karena puncak berada di balik bukit
yang kami pijak sekarang.
Jangan khawatir! Perjalanan kali ini tidak akan sia-sia. Kalau pun tidak berhasil mencapai puncak, Tegal Alun, padang edelweiss yang terkenal asri itu jaraknya sudah tidak jauh dari kami.
Berhenti sejenak dan berembug apakah
kami melanjutkan perjalanan ke puncak atau hanya sampai Tegal Alun. Mengingat
ini sudah lewat tengah hari. Kami harus buru-buru turun jika tak ingin
kemalaman dan tertimpa hujan.
Alhasil, kami memutuskan untuk
mendaki hanya sampai Tegal Alun. Ini dia adegan yang saya tunggu dan paling
saya ingat. Bang Ovick memutuskan untuk tidak ikut naik bersama kami melihat
kelopak bunga-bunga abadi itu.
Ia
dengan wajah datar dan legawa berkata, "udah kalian tinggal aja carrier
dan barang-barang lainnya di sini. Biar gue yang jagain."
Beberapa
kali kami menolak dan merayu bang Ovick agar berjalan besama kami. namun, ia keukeuh
tak mau. Ia beralasan lelah dan dehidrasi. Padahal saya tahu itu tidak
sepenuhnya benar.
Entah
apa yang ada dipikiran bang Ovick saat itu. Yang jelas saya salut dengan kebesaran
hatinya. Hari itu, bang Ovick lagi-lagi menjadi pahlawan. Bukan hanya untuk
saya, namun untuk kelompok Cihuuuy!
Kami mulai menapaki tanjakan tanpa
ampun. Seringkali napas tersengal membuat kami terbagi menjadi dua tim. Satu
tim berjalan duluan di depan. Sedang tim lainnya yang berisi bang Herman, saya,
dan mas Arif memilih berjalan woles sambil berpose sana-sini. Hahaha.
Di sinilah mas Arif mulai banyak
bercuap-cuap. Membagi ilmu untuk pengambilan gambar yang baik di alam terbuka.
Kami banyak berdiskusi tentang perbedaan Niken dan Conan. Kelebihan dan
kekurangan masing-masing. Beberapa kali kami berhenti ketika mendapati objek
menarik. Mempraktekkan teori yang baru saja kami bicarakan.
Hingga akhirnya seorang akhwat
berjilbab biru laut tersenyum pada saya saat mendekati kawasan Tegal Alun.
"Mbak
Iradaaaaah….!" Teriak saya pada wanita yang saya kenal itu.
Kami
pertama kali bertemu menjelang hari raya Idul Adha tahun lalu. Di stasiun
Malang Kota Baru. Saat itu saya yang baru datang dari Jakarta memutuskan untuk
menumpang solat di mushola stasiun. Di situlah, saya, Sinta, dan Srikandi
(kedua kawan saya) melihat sekawanan pendaki yang masih berpakaian bersih dan
rapi.
Usut
punya usut rupanya mereka datang dari Jakarta dan hendak mendaki Semeru.
"Mumpung ambil cuti hari raya," kata mbak Iradah saat itu. Kami
mengobrol panjang lebar tentang segala keperluan dan persyaratan perizinan
Semeru, mengingat saya dan Srikandi pernah beberapa kali ke sana.
Ternyata
jalinan perkenalan kami tak berujung hanya hari itu. Mbak Iradah menjadi senior
yang menyenangkan untuk berbagi info pendakian gunung-gunung di Jawa Barat. Kami
akrab dengan bantuan jejak waktu.
Masih
ingatkah kau padanya, Srikandi? Pada perempuan berjilbab lebar yang padanya pernah
kita bagi kesah tentang belum istiqamahnya kita memakai kain lebar berbentuk
'A' selama mendaki.
Mbak Iradah melakukan launching Event
Organizer, Tour and Guide yang baru saja ia dirikan bersama rekan-rekannya
di gunung Papandayan ini. Sehari sebelumnya saya sudah bertemu dengan mbak
Iradah di dekat sumber air. Kami berekeinginan untuk berfoto bersama sebelum
berpisah. Alhamdulillah, Dia mempertemukan kami di sini. Great to see
you again, Mbak! :)
Bersama mbak Iradah |
Puas
jepret sana-sini. Kami berpamitan. Mbak Iradah dan rombongannya turun sedang
saya dan dua senior lainnya bergegas menyusul tim pertama yang telah sampai.
Apa
mau dikata? Hamparan tanah hijau gelap dengan titik-titik kuning di rumpunnya
membuat enam kaki kami terpaku. Tegal Alun, padang bunga keabadian! Lambang
cinta abadi Tuhan pada penikmat alamNya. Dengan lanskap puncak Papandayan yang
mulai tertutupi kabut. Sempurna membungkus kami dalam bungkam rasa syukur.
Niken
dan Conan beraksi tanpa malu-malu. Mereka langsung menggila bersama edelweiss
di Tegal Alun ini.
"Tempat yang romantis buat foto prewed
ya." Ngik! Saking kagetnya saya sampai lupa siapa yang bersuara seperti
itu. Entah pendaki lain atau anggota Cihuuuy! sendiri. Hahaha.
Kami
meluapkan seluruh lelah di hamparan edelweiss. Berpose dengan banyak gaya.
Tertawa melanjutkan pembuatan video perjalanan yang dihandle oleh bang
Ipin. Mungkin kebahagiaan kami ini bertahan selama satu jam. Hingga kami ingat
telah meninggalkan pahlawan kami terlalu lama. Selepas meminta bantuan pendaki
lain untuk mengabadikan pose kami bersama di Tegal Alun, kami segera turun
menghampiri bang Ovick.
Syukurlah,
saat kami sampai di tempat meletakkan keril. Bang Ovick dalam keadaan utuh
tanpa sedikit pun luka cabikan macan tutul. Bang Ovick berkisah, ia sempat
tidur sejenak selagi menunggu kami turun. Ia juga sempat berbincang dengan dua
siswa SMA yang menunggu kakaknya tidak jauh dari tempat bang Ovick.
Mereka
berdua adalah warga Switzerland from Java julukan untuk kota Garut, yang
sudah sering bertandang kemari. Sudah bosan menikmati mekarnya edelweiss. Jadi,
mereka memilih untuk menunggu di bawah selagi sang kakak bermain di antara
gerombolan halus kelopak edelweiss. Kami bersepuluh berpamitan pada mereka
sembari mengucap terima kasih karena telah membagi air minum pada bang
Ovick.
***
Saya Selalu Benci TURUN!
"Seperti
halnya roda yang berputar, dari cinta menjadi rindu dari temu menjadi semu…"
Analogi
roda memang belum bisa digantikan dengan benda lain untuk menggambarkan
perjalanan hidup manusia. Bukankah begitu, Press?
Ada
kalanya manusia berada di atas namun tidak lama kemudian di bawah. Ada kalanya
bahagia namun sebentar pula berduka. Ada saatnya mencinta juga membenci.
Berlaku pula bertemu kemudian menghampar jarak. Itulah gambaran hidup manusia.
Tidak ada yang pasti selain maut. Tidak ada yang setia selain amal perbuatan.
Sesering
apapun saya mengingat analogi itu saya belum bisa merubah paradigma untuk tidak
membenci turun gunung. Sedih karena harus meninggalkan gunung dan kembali pada
kesibukan semula? Sudah pasti! Tapi alasan yang paling tepat adalah ujung jari
kaki saya enggan menahan beban saat turun. Sakit.
Beberapa
teman pernah mengatakan bahwa, saat turun gunung dibutuhkan tiga kali
keseimbangan lebih besar daripada saat mendakinya. Kebencian saya bertambah
kali ini saat menuruni medan berbatu cadas. Semakin memuncak saat tersandung
dan betis kiri saya berbenturan dengan sebuah batu. Bagussss! Kenang-kenangan
dari Papandayan, pikir saya saat itu. Dan menjadi benar karena memar masih
tertinggal hingga saat ini. Hahaha.
Amarah
saya meledak ketika kak Hafizha jatuh terduduk di atas medan berbatu yang tidak
empuk sama sekali. Perempuan berwajah mungil ini terdiam sejenak sambil
menggigit bibir bawahnya. Menahan sakit yang menimpanya. Pasti ada masalah
dengan tulang ekor si kakak, pikir saya sok tahu.
Kami
lupa memperhitungkan formasi berjalan untuk turunan kali ini. Baiknya, jika
menuruni turunan curam seperti ini seorang wanita diapit oleh dua orang lelaki.
Antisipasi jika ia membutuhkan bantuan orang yang lebih kuat di depan atau di
belakangnya.
Setelah
kejadian itu, saya dengan masih agak kalap mengatur formasi kakak-kakak saya
ini. Mennghindari jatuhnya korban selanjutnya. (Mohon dimaafkan untuk kenakalan
saya yang itu ya, Kak!) Hehehe.
Kami
kembali berjalan. Kali ini dengan sedikit-sedikit teriakan jika ada anggota
yang berjalan terlalu cepat. Sempat tertinggal beberapa jarak dengan enam orang
yang sengaja kami suruh berjalan duluan. Saya dan ketiga senior belakang
ternyata mampu menempuh jarak lebih cepat dari perkiraan saya.
Saat
prosesi turun seperti ini, saya seringkali tidak bisa berhenti terlalu lama
untuk beristirahat. Semua rasa nyeri di ujung kaki akan bergumul di lutut jika
saya berhenti terlalu lama. Lekas sampai, lekas istirahat. Itu semangat saya
saat turun. Setelah meminta izin pada leader,
saya memutuskan untuk mengajak bang Herman jalan berdua terlebih dahulu.
Saya
dan bang Herman memacu fullspeed agar segera sampai di emperan warung
lapangan parkir. Beberapa waktu, kami berhenti tiga detik untuk mengatur napas.
Hingga di langkah selanjutnya kami harus sering-sering berhenti saat melihat vandalisme
di sana-sini. Miris.
Vandalisme
yang seringkali ditemui adalah pengabadian berupa tulisan, gambar, ukiran, dan
corat-coret pada batu, pohon, dan fasilitas di kawasan wisata. Padahal ada
etika tidak tertulis yang harus dipatuhi oleh seorang pengunjung, jika berat
mengatakannya sebagai pecinta alam.
Yakni: " Jangan mengambil sesuatu
kecuali gambar. Jangan meninggalkan sesuatu kecuali jejak. Jangan membunuh
sesuatu kecuali waktu!"
Rupanya
tiga hal di atas hanya dijadikan pameo untuk mereka yang menjuluki diri sebagai
pecinta alam namun menuliskan namanya di atas batu-batu Papandayan. Orang-orang
yang berkoar-koar memamerkan edelweiss yang dipetik dari Tegal Alun pun tidak
bedanya dengan pecinta alam imitasi. Apalagi tak membawa sampah sukar daur
ulang bekas mereka ke bawah atau pun tak membakarnya secara aman. Malah
membuangnya di sela-sela semak. Apakah masih pantas disebut sebagai pecinta
alam?
Saya
memang bukan pecinta alam yang tergabung dalam sebuah komunitas. Tapi jujur,
saya miris melihat kenyataan yang ada. Saya pun marah jika seseorang datang
bertamu ke rumah saya dan mengambil barang berharga saya, meninggalkan sampah
berserakan, dan melakukan perbuatan yang tidak sepatutnya dilakukan oleh tamu.
Bagaimana jika itu terjadi pada Anda? Saya yakin Anda juga tidak akan tinggal
diam. See!
Sudah
saatnya kita menjadi tamu yang sopan. Yang tahu unggah-ungguh saat
berkunjung ke suatu tempat. Kalau bukan kita yang menjaga alam di negara
sendiri, siapa lagi?
Singkatnya,
saya dan bang Herman mendarat mulus di bangku bambu emperan warung seorang
nenek pukul 15:45. Diikuti bang Ipul dan bang Ovick yang tidak jauh di belakang
kami. Kami segera mencomot gorengan yang tersedia di sebuah loyang plastik
besar. Kemudian segera memesan beberapa gelas teh hangat sembari menunggu
kedatangan mas Arif, kak Salby, bang Ipin, kak Liah, kak Hafizha, dan kak
Lukman.
***
Once Upon a Rainy Day
Tak
mampu saya menghitung karunia yang Allah berikan dalam perjalanan kali ini.
Hujan mengguyur deras saat kami bersepuluh telah merapat di emperan warung
kecil milik nenek cucunya. Bersyukur karena seluruh anggota tim Cihuuuy! mendarat
dengan sehat dan selamat serta tak ada satu pun dari kami yang berbasah diri
karena hujan.
"Allah
baik banget ya, Kak? Ada aja caraNya untuk menolong kita." Katamu
mengenang pertemuan kita dengan PMS pasca Duo Kumbolo.
"Iyalah!
Allahnya siapa dulu? Kita! Hahahaha…" Saya selalu ingat secuplik
percakapan kita itu, Srikandi. Saat pertolonganNya datang dari arah dan waktu
yang tak disangka.
Usai bersih diri dan mengganti solat yang
tertinggal saat perjalanan turun, hujan belum juga reda. Kami bersepuluh tetap
merapat di warung nenek dengan intesitas pendaki lain yang turun semakin
banyak.
Seorang
bapak datang buru-buru menggendong putrinya. Ia berlari tergesa agar dapat
berteduh segera. Itu Bilqis dan ayahnya! Masih ingatkah Bilqis, gadis kecil
berumur 5 tahun yang menularkan semangatnya saat pendakian kemarin. Saat ini ia
kedinginan sebab berhujan.
Sang
ayah segera melucuti pakaian basah Bilqis. Disusul ibunya yang segera melumuri
sekujur badan putrinya dengan minyak kayu putih. Bilqis kecil menggigil. Air
hujan membuat rambut Doranya menempel rapat menutupi telinga. Membuatnya
terlihat makin menggemaskan.
Saya
dan kak Salby yang telah selesai bersih diri mengamati adegan di hadapan kami
itu. Sedang kak Liah dan kak Hafizha pergi ke kamar kecil. Selang tak berapa
lama, datang lagi seorang gadis kecil dan ayahnya. Namanya Rani, ia masih teman
sepermainan Bilqis.
Seperti
adegan sebelumnya, Rani buru-buru dipakaikan baju ganti kering dan dilumuri
minyak kayu putih. Setelah itu ia diberi minum teh hangat. Setelah semua dirasa
beres. Bilqis dan Rani kembali bermain. Mereka memainkan tangan dan kaki
mereka, permainan ala anak-anak. Selalu ada permainan dimana pun dan kapan pun untuk anak-anak tanpa beban seperti mereka.
Kami
menikmati mie kuah dan teh hangat buatan nenek sambil menunggu antrian mobil pick
up yang akan membawa kami turun ke Cisurupan. Harus mengantri terlebih
dahulu untuk mendapatkan mobil ini. Jadi saran saya, jika Anda nanti telah
turun dari Papandayan dalam keadaan ramai atau weekend seperti ini.
Baiknya, memesan mobil bak ini terlebih dulu baru kemudian melakukan bersih
diri, solat, makan, dan lain-lain agar tak menunggu terlalu lama.
Kala
gelap maghrib membungkus pelataran Papandayan. Ayah Bilqis menghampiri kami,
tak enggan berbagi secuplik kisah. Dengan senang hati kami melebarkan telinga
mendengarnya. Mengusir jemu menunggu jemputan yang belum kunjung ada.
Beliau
menceritakan banyak petualangannya yang mengikutsertakan putri semata wayangnya
itu. Salak, Gede, Pangrango, dan Cikuray serta bukit-bukit kecil yang tak
terhitung sudah menjadi rekor pencapaian Bilqis. Gadis kecil ayah ini memiliki
imun yang baik, hingga jika di atas gunung saat tak merasa dingin ia pun
menolak dipakaikan jaket dan pakaian hangat sejenisnya.
Bilqis
tak pernah mengeluh sekali pun saat diajak berjalan melewati rimba. Ia anak
yang patut dibanggakan. Sejak kecil telah dikenalkan untuk menjelajah dan
mencintai alam Indonesia. Ayahnya juga bilang, bahwa beliau ingin menanamkan
sikap ikut menjaga alam di negeri ini. Agar jika nanti ayahnya berusia lanjut,
Bilqislah yang menjadi pioneer pecinta alam di kalangan generasinya.
Belum
selesai di situ, sang ayah yang tidak sempat saya tanyai nama beliau berbagi
kisah kunjungannya ke Raja Ampat. Salah satu surga Indonesia yang ingin saya
datangi, namun belum tahu pencanangannya berapa tahun lagi. Hahahaha.
Beliau
memuji kedisplinan pemerintah daerah Raja Ampat dalam menjaga kebersihan dan
kelestarian lingkungan. Sedikit saja pelanggaran terjadi maka jangan kaget jika
uang beberapa juta akan masuk dalam kas pemda. Kebijakan yang cerdik. Mengingat
setiap orang pasti berpikir ulang untuk mengeluarkan uangnya.
Lompat
dari Raja Ampat, ayah Bilqis tersenyum pada istrinya kemudian menceritakan
pesona pantai Ujung Genteng di Sukabumi. Eksotisme pantai ini bukan sekadar
gulungan ombaknya yang tinggi dan pasirnya yang putih. Ujung Genteng juga
merupakan pusat penangkaran penyu dan buaya. Belum lagi pesona sunset di
tiap sorenya. Sungguh memikat hati.
Baiklah,
ssetelah ini harus saya kepoin pantai Ujung Genteng. Mungkin bisa masuk
dalam list travelution tahun ini. Hihihi. Kami mengakhiri perbincangan
ketika sebuah pick up merapat.
Tangan
kecil Bilqis menjabat tangan saya saat berpamitan. Jadi anak kuat ya,
Bilqis! Indonesia butuh kamu. Dalam hati saya berdoa agar banyak anak yang
terlahir seperti Bilqis pastinya, dengan didikan orangtua akan kebijakan
menjaga alam negeri ini.
Kami
akhirnya duduk di bak mobil yang ditutup terpal setelah berganti mobil sebanyak
dua kali. Saya dan kak Hafizha duduk di samping pak sopir. Kami berdua bertukar
cerita di antara gelapnya trek asik. Sesekali kisah kami terpotong dengan
untaian komat-kamit doa saat ban mobil terjebak lumpur, sedang jurang menganga
beberapa meter di sana.
Beberapa
kali senior-senior lelaki saya harus turun karena medan yang tidak
memungkinkan. "Ini nih, bisa diceritain ke anak cucu!" teriak bang
Ipul. Ada saja ulahnya menghalau rasa sebal karena harus sering-sering turun
dari bak belakang.
Sempat
saya korek dari pak sopir, bahwa kawasan konservasi gunung Papandayan berada di
bawah kendali pemerintah. Relokasi dana yang diberikan untuk konservasi dan
fasilitas wisata termasuk perbaikan jalan akses utama ini sulit sekali turun
dari atasan.
Baiklah,
jangan memaki! Apapun yang terjadi cinta itu sepaket dengan suka dan duka. Jika
suka menikmati indahnya alam Indonesia, maka harus mau menyelami duka birokrasi
pemerintah yang ruwet seperti cerita bapak sopir.
19:30.
Kami sampai di Cisurupan langsung disambut angkot yang membawa tubuh lelah kami
ke terminal Guntur. Rupanya petualangan ini hampir tamat, Srikandi!
***
Sayonara Garut Cihuuuy!
Pukul 20:47. Meski tidak sepi melompong, namun
terminal Guntur agak lengang dibanding saat kami datang kemarin pagi. Hanya
beberapa warung makan yang buka dan beberapa angkutan wira-wiri
mengangkut pendaki yang baru turun.
Mengisi
perut, membeli oleh-oleh, dan menunaikan solat kami lakukan sebelum memutuskan
naik bus pariwisata yang disulap menjadi bus jurusan Garut-Kampung Rambutan.
Bus ini menjadi semacam bus sekolah saat kami memasukinya. Isinya fuuuuull pendaki.
Serasa baru pulang darmawisata dengan teman-teman sekolah.
Beruntung
kami mendapat tempat duduk saat dua pengamen cilik datang menghibur. Awalnya
mereka hanya menyanyikan sebuah lagu. Namun karena keisengan kami, warga bus
darmawisata yang meminta mereka untuk menyanyi lagi. Mereka pun dengan senang
hati menghibur kami. Oplosan, Kereta Malam, dan beberapa lagu lainnya berhasil
menghibur syaraf-syaraf kami yang lelah dan minta hak untuk diistirahatkan.
21:37.
Mesin bus sudah menderu, tapi sang sopir masih di luar. Bang Ipin mengeluarkan
Nikonya. Kamera ganteng sahabat Niken. Ia meminta kami untuk mengucap beberapa
kata sebagai closing statement kesan pendakian kali ini. Kira-kira
delapan menit kemudian, 21:45. Roda bus ini menggelinding. Membawa kami singgah
ke terminal Kampung Rambutan sebelum akhirnya pulang ke kediaman masing-masing.
Sayonara
Garut Cihuuuy! Terima kasih telah membagi ruang untuk mengumbar penat kami
selama dua hari.
Terima
kasih untuk segala penerimaan dan kasih yang telah kita bagi bersama. Untuk
sang leader kiriman khusus dari Tuhan, yang multitalent, kak
Lukman. Untuk adik iseng yang memaksa mengangkat kakak, bang Ipin. Untuk kawan
berjalan dan bersajak saya, bang Herman. Untuk Ibelnya Dealova yang
senang senyum dan jago jepret, mas Arif. Untuk pahlawan berkopyah saya, bang
Ovick. Untuk kawan seperjuangan menggila saya, bang Ipul. Untuk koki handal
sekaligus mentor memasak saya, kak Salby. Untuk kesabaran menghadapi ulah nakal
saya, kak Liah. Untuk kisah rahasia yang kita punya di pick up depan,
kak Hafizha.
Untuk
semua repihan yang bisa saya susun menjadi "Hai, Srikandi!" dan
"Senandung Papndayan". Saya junior terkecil selalu banyak merepotkan
dan tak berguna mulai awal hingga perjalanan ini usai. Nggak mau tahu, pokoknya
harus dimaafkan yak! Hahaha. Mohon maaf. Semoga Ilahi mengizinkan kita
kembali. Untuk menikmati semua keindahan itu. Mari kita amini syair lagu
bang Ipin ini. Aamiin.
Lunas
sudah ya catatan perjalanannya? Tidak ada lagi hutang-piutang di antara kita!
Kecuali hutang persahabatan yang harus terus berlanjut. :)
***
Belum sampai puncak 2665 Mdpl, Srikandi! Kau mau kan memaafkan saya ? Mungkin ini artinya saya harus kembali ke sana lagi, bersamamu. Sudah dulu ya, Srikandi. Rupanya semalaman bercumbu dengan dearest membuat mata saya berat.
Saya
mau tidur barang cuma sebentar. Lalu mandi dan berpakaian rapi. Pergi ke TPS
untuk membuktikan cinta saya pada negeri ini. #GolputRaKeren! Iya kan? Apapun
pilihannya dan siapapun orangnya semoga merekalah yang akan membawa kebaikan
untuk bangsa ini. Setidaknya bukan baik untuk dirinya sendiri. Tapi untuk kita
semua. Byee, Srikandi!
*Senandung Papandayan: TAMAT*
Ciputat, 09 April 2014
BEJ
06:26
(Menjelang Coblosan Caleg)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar