Sebut
saya kawan paling kejam dan tak tahu diri!
Ketika kau jauh-jauh datang dari kota Apel
untuk sebuah kompetisi program otomasi industri, saya hanya sempat menemuimu
dua jam waktu itu. Ah, Srikandi! Rupanya kau semakin dekat dengan
jengkalan mimpi yang sering kita obrolkan di banyak perjalanan kemarin. Meski
hanya bermalam di sebuah ruang kos yang baru dipasang lampu ulir, senyummu
senja itu benar-benar menguatkan saya kembali.
"Aku
pergi ke Papandayan, ya?" sempat ragu saya lontarkan pertanyaan ini padamu
di bawah langit sore lapangan Politeknik Negeri Jakarta. Saya tahu pertanyaan
ini akan sangat menyakitimu karena dulu tanah setinggi 2665 Mdpl inilah yang
sering kau bicarakan dan segera ingin kau daki.
"Iya,
kakak pergi aja! Pokoknya pas nanti pulang bawa oleh-oleh cerita yang
banyak!"
"Beneran?
Tapi kan…" saya semakin ragu mengingat ini nantinya adalah kali pertama
saya melakukan perjalanan bersama orang-orang baru.
"Bener!
Jangan ragu, Kak! Gak selamanya kita bisa jalan bersama. Toh, kalau aku
jalan tanpa kakak aku bakalan bawa kakak di tiap langkahku. Begitu pula kakak.
Ya kan?" Wah, rupanya adik kecilku atlet pemanah ini sudah beranjak jadi
perempuan dewasa.
Sore
itu, saya mantap bergabung dengan kelompok baru. Kelompok yang akan membawa
saya ke Papandayan. Salah satu gundukan tanah tinggi impianmu, Srikandi.
Gundukan tanah yang kita baca pesonanya di catatan perjalanan tumblr
milik Arief Syakur Sutedjo, pria gondrong menawan itu. Hahaha.
Dan
inilah, langkah saya ke gunung sejuta rasa itu, Srikandi! Sejuta rasa merindu
alam yang begitu dominan karena belum bisa berjalan bersamamu. Inilah rasa lega
mengurai kalut pada kabut. Rasa membenihi legawa pada orang-orang baru yang
akhirnya bisa saya sebut, keluarga. Sama seperti kita menemukan keluarga saat
perjalanan 'Duo Kumbolo' dulu. Saat bertemu PMS.
***
Awal Pertemuan
Dari
dulu saya selalu antusias dengan suratan Tuhan. Hingga adanya warna merah pada
angka di kalender pun juga membuat saya berpikir keras. Kira-kira mau saya
apakan tanggal merah itu? Alhasil, saya hubungi senior sepermainan untuk
merencanakan sesuatu.
Sudahkah
saya bocorkan, bahwa saya memiliki banyak senior dalam urusan melancong, makan,
dan menulis? Selepas kepergian satu senior saya ke pulau Bintan untuk urusan
dinas. Tuhan mengirimkan seorang senior lagi untuk menemani saya mentadabburi
alam-Nya. Ia tak mau saya terlalu lama terpaku dengan penat hiruk-pikuk kota.
Awalnya
saya mengusulkan untuk menjarah gunung Gede di Cianjur. Tapi, senior saya
bilang bahwa gunung Gede ditutup hingga April nanti. Jadilah, opsi kedua adalah
gunung Papandayan yang tersohor dengan ikon hutan mati, padang edelweiss, dan
semburan asap belerang.
Malam
itu, 28 Maret 2014 kami berenam bertemu di pertigaan Kampung Utan. Dengan
komposisi tiga perempuan dan tiga laki-laki. Kami bergegas meretas jarak
mengunakan angkutan umum pukul 21:21 menuju perempatan Pasar Jumat. Dari sini
saya mulai mengakrabi kawan seperjalanan lainnya, selain senior yang sudah dulu
saya kenal.
Kak Liah. Adalah senior saya dalam urusan
tulis menulis. Memegang amanah sebagai ketua harian sebuah komunitas
menulis tempat saya belajar, rupanya tak membuat ia mengesampingkan tantangan
baru. Mungkin, ini pendakian pertama yang agak sial baginya karena harus
berjalan bersama junior nakal seperti saya. Hehehe.
Kak
Salby. Bulu matanya lentik dan sorotnya berbinar. Dari situ saya bisa tahu ia
akan menjadi senior yang menyenangkan dan bisa diandalkan dalam banyak urusan.
Mengingat saya tidak banyak berpengalaman dalam masalah camping,
tali-temali, dan semua pendidikan yang biasa dilakukan oleh anggota pramuka
sejati seperti senior perempuan saya ini.
Bang
Herman. Garis mukanya tegas namun setiap kata yang keluar dari mulutnya
bersajak. Rupanya saya tahu di akhir perjalanan, bahwa ia sangat berbakat dalam
menulis fiksi dan berpuisi. Layak, senior laki-laki yang baru saya kenal ini
mampu membawa untaian kata sejak awal bertemu.
Mas
Arif. Masih satu ras dengan saya, Jawa! Hahaha. Lelaki berambut cepak ini
banyak tersenyum. Mengingatkan saya pada tokoh Ibel dalam film lawas Dealova.
Senior saya yang ini nantinya banyak
mengajarkan tentang teknik mengambil foto yang baik di alam.
Kak
Lukman. Ini dia senior kiriman Tuhan. Saya selalu banyak merepotkannya mulai
sebelum hingga akhir perjalanan ini. Leader, guide, porter sekaligus cheef
dalam pendakian ini. Benar-benar multitalent! Hahaha.
Hanya
dalam jangka lima belas menit kami berenam sudah sempurna menjejak perempatan
Pasar Jumat untuk menunggu empat kawan lainnya. Pukul 21:38. Gelap telah
merajai malam dan bulan hanya menyumbang seulas garis cahaya.
Seorang
perempuan anggun perlahan mendekati gerombolan kami. Ia menyertakan senyum sipu
saat mengucap salam, menyapa kami. Kak Hafizhah. Senior berjilbab lebar ini
ternyata menyempurnakan formasi empat wanita pendaki gunung yang ada di Garut itu.
Setengah
jam kemudian bus Primajasa yang akan kami tumpangi hingga Garut pun melenggang
tanpa dosa di depan kami. Kami belum bisa berkutik.
"Masih
ada tiga kawan lagi yang belum bergabung dalam kelompok ini," begitu kata
sang leader saat saya tanya apa yang kami tunggu di perempatan jalan
remang ini.
"Woi!
Nungguin siapa lu?" ini dia abang yang kami tunggu batang hidungnya hampir
satu jam.
Bang
Arifin tapi nama bekennya Bang Ipin. Mungkin, ia penggemar serial kartun
Malaysia itu. Hingga terobsesi menggunakan nama beken saudara kembar Upin. Saya
tak tahu, mungkin besok-besok akan saya tanya kejelasannya. Hahaha. Bang Ipin
tidak datang sendirian. Ia membawa dua orang lelaki lainnya.
Bang
Marwan Saipul Kamal itu nama pemberian saya tanpa harus membagikan bubur merah
ke tetangga sebelah. Nama asli bang Ipul ini sengaja saya tambahkan depan dan
belakangnya karena di perjalanan nanti ia sering sekali memperkenalkan diri
pada orang dengan banyak nama. Benar-benar makhluk langka! Hahaha.
Dan
ini dia abang terakhir yang nantinya akan menjadi pahlawan saya. Bang Ovick!
Tubuhnya jangkung dan banyak diam. Tapi, soal ingatan ia sangat bisa diandalkan.
Sudah saya bilang, senior yang baru saya kenal ini nantinya akan menjadi
pahlawan saya. Tunggu saja, hingga kisahnya tiba.
Jarum
panjang arloji di tangan bergerak pelan. Hampir pukul setengah sebelas malam.
Saya tengok itu setelah mendarat mulus di bangku bus Primajasa terakhir tujuan
Lebak Bulus-Garut via tol Cipularang.
Bus
AC bertarif 42 ribu ini telah sesak penumpang. Bagian bangku belakangnya sudah
dipenuhi pendaki lain yang hendak menuju Garut pula. Rupanya mereka juga akan
menikmati libur akhir pekan ditambah bonus tanggal merah Hari Raya Nyepi ini di
atas sana.
Lampu
panjang yang membelah atas bangku bus mulai meredup. Saatnya meredupkan mata
pula. Bergegas mencharge tenaga untuk pendakian esok pagi setelah enam
jam ke depan tiba di kota Chocodot, Garut.
***
Subuh di Terminal Guntur
Enam
jam meretas malam bersama di jalanan kota Garut rupanya bisa menghadirkan hangat
yang tak biasa di antara hawa dingin terminal Guntur. Bertolak satu menit dari pukul empat pagi,
kami bersepuluh sampai di pemberhentian bus terakhir. Pagi masih belia, tapi
kesibukan aktivitas di terminal ini sudah meraja lela.
Pagi
itu semua sudut terminal Guntur dipadati pendaki dari berbagai penjuru. Tujuan
kami sama, Papandayan. Kami bersepuluh menepi, mencari sudut sepi untuk
menunggu panggilan ritual fajar. Masih sekitar tiga puluh menit lagi adzan
Subuh dikumandangkan.
Kami
menghangatkan tubuh dengan segelas kopi dan teh hangat sembari packing ulang.
Masih terlihat sembab di wajah-wajah senior saya berkat terlalu lama berdiam di
bawah AC bus. Satu-persatu dari kami bergantian menjaga barang dan pergi
membasuh muka. Adzan Subuh menggema. Kami bergegas menemui Tuhan pagi ini.
Suasana Subuh di Terminal Guntur |
Usai
merapikan semua barang dan menata hati kami bersepuluh segera mencari angkot.
Angkot biru yang akan mengantar kami ke Cisurupan, gerbang pendakian gunung
Papandayan, ini memukul tarif 15 ribu perorang. Semua carrier diikat
kuat di atas punggung angkot ini. Kami pun melaju, bersiap menikmati atmosfer pagi
yang berbeda di Cisurupan.
***
"Kawasan
Agropolitan, Kec.Cisurupan, Kab. Garut". Mata saya menangkap tulisan itu
ketika sopir angkot menenangkan deru mesinnya. Dari titik saya berdiri,
terlihat lanskap puncak Papandayan yang anggun.
Kami
bersepuluh mencari tempat ngetem untuk mengisi perut. Masih harus
menjengkal jalan lagi agar bisa sampai di pos perizinan pendakian Papandayan.
Kami putuskan untuk menjajah warung kupat tahu dan bubur ayam milik seorang
ibu.
"Hati-hati
ya, A'! Di sini tiap hari hujan gede kalau siang," ibu berbaju merah
berpostur besar ini memberi kami wejangan saat meracik tahu kupat.
Sepiring
kupat tahu untungnya mampu membuat cacing dalam perut saya kembali tenang.
Potongan tahu dan irisan lontong yang dipadu dengan kuah santan gurih masuk
dalam list sarapan istimewa dalam hidup saya. Karena memang dimakan di
tempat yang istimewa bersama orang-orang istimewa dan di momen istimewa pula.
Meracik Kupat Tahu |
Setelah
menunaikan hak perut kami bersepuluh mencari pick up yang bersedia
mengantar ke Camp David, pos pertama pendakian Papandayan. Hanya mobil bak ini
yang biasa digunakan pendaki ngeteng seperti kami.
Cukup
merogoh kantong 20 ribu perorang, kami berhasil duduk cakep di dalam bak pick
up putih ini. Trek dari Cisurupan menuju Camp David mirip jalur dari
Tumpang ke Ranu Pane beberapa tahun lalu saat jalan aspalnya masih rusak parah.
Banyak bolong sana-sini dan lumpur lengket yang selalu menjebak poros roda kendaraan.
Sayangnya,
vegetasi tanaman di sini berbeda dengan di perkampungan masyarakat Tengger.
Jika di sepanjang jalan menuju Semeru kita bisa mencium aroma seledri, di sini
yang tercium adalah ungaran segar tanaman kol atau kubis.
Adrenalin
beradu dengan garangnya suara mesin
mobil ini saat terjebak dalam kubangan jalan rusak. Pemandangan di sekeliling
kami memang sangat indah. Lanskap gunung Cikuray terlihat di seberang dan
permadani sawah yang membentang luas. Tapi jika, harus duduk manis di bak mobil
yang kanan-kirinya hanya berjarak beberapa meter dengan jurang sepertinya kami
memang dituntut harus banyak bersolawat dalam hati.
07:50,
kami bersepuluh bersyukur masih diberi kesempatan Tuhan untuk melanjutkan misi
pendakian ini. Kami menghela nafas panjang saat berhasil keluar dari trek asik
yang sangat mengusik batin. Hahaha.
Langit
sedikit abu pagi ini. Matahari masih malu-malu menyembul di atas sana tapi para
pendaki sudah memenuhi pos perizinan gunung Papandayan ini. Ketua kelompok kami
yang tak lain adalah kak Lukman bergegas mengantri untuk memperoleh form perizinan.
Dari kiri ke kanan: Kak Salby, Kak Liah, Saya, Bang Herman, Kak Hafizha, Bang Ipul, Bang Ovick, Kak Lukman, Bang Ipin, dan Mas Arif (bawah) |
Sambil
menunggu sang leader menyelesaikan administrasi dan segala tetek
bengek prosedur perizinan, kami
bersembilan dengan tidak tahu diri sibuk berpose sana-sini. Bergaya ala pendaki
segar yang masih belum terhias debu dan minyak di wajah. Memang seringkali
menunggu membuat ide-ide kreatif bermunculan agar tidak menjemukan
korbannya.
Butuh
waktu sekitar dua puluh menit hingga akhirnya senior saya itu kembali bergabung
bersama kami. Selepas merapikan kembali barang bawaan dan mampir ke kamar mandi
umum sejenak, kami bersepuluh melingkar untuk berdoa bersama. Bismillahirrahmanirrahiim,
kami sertakan Engkau di tiap pijakan langkah kami di alam-Mu ini, ya Rabb.
Bismillah, kami sertakan Engkau di tiap pijakan! |
Srikandi,
kau tahu tiap kali langkah pertama ini saya mulai rautmu selalu minta digandeng
berjalan bersama merepih alam yang baru saya pijak.
***
He calls us: Cihuuuuy!
Selamat
datang di jalan berbatu dan kerikil! Trek pembuka inilah yang meyambut tapak
kaki kami di Papandayan. Dengan vegetasi pohon pucuk merah di kanan kiri dan
tebing kapur menjulang dijamin siapapun takkan mempermasalahkan trek pembuka
ini.
Sebenarnya
dari pos perizinan di Camp David tadi saya sudah melihat bumbungan asap. Tapi
saya belum berani memastikan apakah itu asap atau kabut yang turun perlahan.
Meskipun dari arah munculnya mereka sudah berbeda. Asap munul dari bawah kemudaian
membumbung sedang kabut turun perlahan menyelimuti dari atas lalu membumi.
Sepuluh
menit berjalan, saya baru bisa memastikan bahwa kepulan asap itu berasal dari
kawah Papandayan yang masih aktif. Melipiri pinggiran kawah di jalur yang
semakin berbatu sambil menjadi saksi langsung aktifnya gunung ini membuat saya
tak berhenti melafalkan tasbih. Benar-benar keganasan alam yang dapat dinikmati
dengan ramah.
Asap belerang: Papandayan masih aktif! |
Melihat
pemandangan yang luar biasa, Niken (belahan hati di tiap perjalanan saya)
merengek minta dikeluarkan dari tempat persembunyian. Ia langsung membabi buta
mengambil tiap gambar yang bisa ia tangkap. Niken memang selalu seperti itu.
Menjadi hiperaktif jika melihat sesuatu yang tak biasa seperti, kepulan asap
belerang yang terus menerus keluar dari perut bumi ini.
Lama-kelamaan
belerang yang keluar ini makin menyengat penciuman. Kami merapatkan masker agar
gas sulfur dioksida (SO2) ini tidak langsung menembus ke hidung. Menurut
sebuah sumber yang saya dapat, pelepasan gas belerang biasanya disertai dengan
pelepasan partikel-partikel seperti jelaga. Menghisap gas belerang secara
berlebihan dapat mengakibatkan penyakit pernapasan seperti, bronkitis, napas
pendek, asthma, sakit jantung, bahkan akibat fatalnya adalah kematian!
Sepertinya
perayaan Nyepi ini benar-benar diramaikan oleh para penikmat alam Papandayan.
Buktinya, sepanjang jalan tak saya temui space kosong. Setiap mata
memandang yang saya lihat adalah punggung manusia-manusia berkeril. Bahkan yang
mebuat saya kaget adalah banyak pula bocah kecil mungkin berumur lima tahun ke
atas ikut mendaki bersama orangtuanya.
Melihat
kaki-kaki kecil itu tegar melangkah bisa menularkan semangat juang berjalan
pada saya. Terutama saat tanjakan meraja lela dan tidak memberi bonus tanah
datar. Bilqis, seorang gadis kecil berusia lima tahun yang saya kenal membuat
saya malu. Ia benar-benar gigih dan tidak mengeluh lelah sedikit pun. Ternyata
di akhir perjalanan nanti saya tahu ia sudah menjejak banyak gunung di Jawa
Barat.
Saat
ngarai menjadi kawan setia pendakian kali ini, bosan pun sudah siap melanda.
Kami yang tadinya mengobrolkan segala hal satu sama lain kini menjadi diam.
Hanya siulan angin yang terdengar. Sepertinya takaran semangat kami mulai
berkurang. Satu-persatu
langkah mulai melambat. Ada sebuah benda yang bergerak keras. Mengalir deras.
Air!
"Ternyata
sumber air sudah dekat. Aku jadi bisa bantu ibu buang adik di sumur!"
begitu teriak bang Herman saat kami semakin mendekat dengan anak sungai.
Seperti
menemukan surga yang lama dicari. Kami mempercepat langkah mengisi botol kosong
yang isinya beralih ke punuk kami. Sebelumnya, senior ulung saya yang pernah
menjejak Papandayan sudah bertitah. Agar saya jangan membawa air terlalu banyak
karena di gunung ini sumber air amat melimpah.
Yeyeye lalala main air dulu! |
Nyatanya
memang begitu, sumber air di gunung ini banyak dan jernih. Sangat mencukupi
untuk keperluan minum, memasak, dan sejenisnya kecuali jika anda berniat untuk
membuka depot air isi ulang di sini. Mungkin beberapa tahun ke depan sungai ini
akan kering. Hahaha.
Kurang
lebih berjalan hampir dua jam kami akhirnya menemukan titik terang. Titik
warna-warni tenda milik para pendaki lain yang telah berdiri. Ini dia, Pondok
Salada! Tanah lapang kediaman edelweiss Papandayan yang mau membagi tanahnya
dengan kami agar dapat camping malam ini.
Edelweiss ini, Srikandi. Untukmu! |
Kuning,
oranye, merah, dan pink berbaur dengan hijaunya rumpun edelweiss Pondok Salada. Sepertinya
benar catatan petugas perizinan pendakian di pos tadi. Diperkirakan akan ada
3.000 pendaki yang menyerbu alam Papandayan di hari libur ini.
Kami
memilih mendirikan tanah agak di atas sana. Menghindari hiruk-pikuk pendaki
lain. Simsalabim! Dalam sekejap tenda kami sudah berdiri. Ada satu
masalah fatal yang bisa disikapi dengan bijak oleh para senior hebat saya ini.
Satu dari tiga tenda yang kami bawa tidak memiliki frame, tiang untuk
membuat tenda berdiri.
Untungnya,
mayoritas senior saya yang mempunyai kesibukan lain sebagai motivator ini
memiliki ide cemerlang. Dibantu dengan tangan peri kak Salby, ibu pramuka kami
tenda yang mulanya hampir tidak bisa berdiri tetap bisa dipakai. Dengan
mengikat ujung-ujung kait frame dengan raffia dan menancapkan batang
pohon dekat pasak berdirilah tenda ajaib itu. Tenda yang cukup nyaman meski
dengan segala kekurangan.
"Cihuuuuy…!
Tenda kita keren Men!" teriak bang Ipin di balik kaca mata hitamnya
saat jerih payah mereka terbayar. Sejak saat suara itu terdengar, kelompok kami
selalu memiliki yel-yel dan sebutan khas yakni, Cihuuuy!
***
Unforgettable Satnite
Setiap
kali jalan dengan senior saya yang sekarang di pulau Bintan itu, saya selalu
agak tenang. Ia semacam peramal cuaca sekaligus pawang hujan. Dari arah awan
berarak dan kondisi tanah sekitar ia bisa langsung tahu bagaimana cuaca hari
ini. Sayangnya, sebelum pergi dinas ke seberang sana ia tidak mewariskan bakat
itu pada saya.
Pukul
14:00. Matahari benar-benar malas bermain dengan kami hari ini. Ia memilih
pulang agar bisa berganti shift dengan kabut dan awan mendung. Rintik-rintik
hujan jatuh ke padang luas Pondok Salada. Petrichor, senyawa aromatik
yang menguarkan bau menenangkan saat hujan turun mulai tercium.
Kekhawatiran
besar yang kami tunggu pun akhirnya datang. Tenda tanpa frame yang
dihuni para senior lelaki mengalami kebocoran parah. Gawatnya, ternyata tanah
tempat tenda kami didirikan adalah jalan air. Maka, tidak heran kalau tidak
lama saat hujan mengguyur kami mengalami kebanjiran. Masih terbesit syukur di
hati, karena satu tenda yang dihuni oleh para wanita aman dari bocor dan
banjir.
Bergegas
kami mengungsikan barang-barang ke tenda aman itu. Entah, kadang kaca mata
pengamatan saya agak error. Melihat orang kebingungan karena bajir
seperti ini saya ingin terbahak. Menyaksikan mereka kedinginan dan kebingungan
antara memindahkan tas keril dan kedinginan akibat basah air hujan. Seperti
anak kucing dimandikan. Hahaha. *Ampuun!
Belum
lagi, harusnya saat itu kami makan bersama hasil masakan yang lama dinanti.
Akhirnya kami memutuskan untuk membagi menu makan siang kami yang berisi sayur
asam, dendeng, tempe goreng, dan nasi menjadi tiga bagian.
Satu
porsi besar untuk kami berempat, saya, kak Salby, bang Herman, dan kak Lukman.
Satu porsi besar untuk para pejuang pengungsi banjir, dan porsi sedang terakhir
untuk kak Hafizha dan kak Liah yang menjadi tuan rumah tenda seberang yang
sibuk menerima ungsian dari abang-abang cihuuy! Hahaha.
Saya,
kak Salby, bang Herman, dan kak Lukman memutuskan untuk makan terlebih dahulu
baru setelah itu membantu korban kebanjiran. Mengingat hujan di luar semakin
deras dan perut kami belum ada yang terisi. Ditakutkan akan terserang flu dan
masuk angin jamaah jika semua turun ikut berhujan.
Setengah
jam kemudian hujan mulai berbaik hati, hanya meninggalkan sedikit gerimis. Sang
leader memutuskan untuk memindahkan lokasi camp sedikit lebih ke
atas. Menghindari turunnya hujan susulan.
Layaknya
orang pindah rumah, kami bergotong royong memindahkan barang-barang. Sesekali
teriakan Cihuuuy! menyemarakkan prosesi pindah tenda kami kali ini.
Diiringi tatapan selidik penghuni tenda lain, kami malah makin semangat.
"Pindah,
Mbak?" tanya seorang tetangga saat melihat saya menenteng matras.
"Iya,
Bang. Butuh view yang beda." Jawab saya sekenanya. Padahal alasan
sebenarnya adalah gegara kebanjiran! Huahahaha. Setidaknya jawaban saya sedikit
diplomatis dari korban pengungsian banjir di ibu kota yang sering kita saksikan
di tv.
Kali
ini dataran yang kami huni sangat landai dan tinggi. Memungkinkan untuk tidak
disinggahi genangan air. Rotasi bumi tetap berputar seiring kami merapikan
temat tinggal baru kami. Senja bergantung di langit barat Papandayan namun, tidak
menampakkan segurat senyum tipis mentari terbenam. Rupanya hujan sempurna
membuat langit muram hingga tiba-tiba Maghrib datang tanpa permisi.
Kami,
para wanita melaksanakan ritual senja di tenda. Sedang, senior laki-laki
melaksanakan jamaah solat Maghrib di luar dengan alas matras seadanya. Dalam
takbir kami merenung sejenak, menikmati hangat kasih Tuhan yang berada dekat
beberapa jengkal dengan diri.
Betapa
mudahnya Tuhan berbicara lewat alam. Lewat peluh putus asa saat melewati
cadasnya medan berbatu. Lewat bumbungan asap belerang yang berusaha mengusik
indera penciuman. Lewat kesabaran air hujan yang mengharuskan kami memindahkan
rumah keong ini. Lewat gelak tawa kebersamaan setelah kata Cihuuuy!
diteriakkan. Syukur kami atas segala nikmat yang belum terakumulasi dalam
hitungan ini, Rabb!
Puas
bertadabbur, taffakur, dan tasyakur hingga selepas Isya,
kak Salby melancarkan aksinya kembali. Menjadi koki untuk kami dengan assisten
executivenya, kak Liah. Malam ini menu pengisi perut kami adalah mie kuah
dan teh manis hangat. Kami memang sangat lelah malam ini, yang penting hangat
dan mengenyangkan itu sudah lebih dari cukup. Jadilah, dalam beberapa kali sruput
hasil karya kak Salby dan kak Liah tandas begitu saja.
Sudah
kenyang dan dingin mulai menyergap adalah komposisi yang pas untuk tidur
nyenyak dalam balutan sleeping bag di dalam tenda. Satu-persatu anggota
tim Cihuuuy! mulai tumbang tak sadarkan diri.
Malam
ini memang bintang tidak tumpah ruah di langit, Srikandi! Tapi bukan berarti, saya
bisa cepat lelap dalam kepompong kantung tidur polar. Saya masih ingin
membawamu dalam euphoria malam di tanah 2665 Mdpl yang kau impikan dulu.
Music Player milik bang Ipul
mulai terdengar sayup-sayup. Sepertinya benda kotak pemutar musik itu mulai low
batt sama seperti pemiliknya yang sudah tak terdengar gaduh. Sebelum korban
mulai berjatuhan saya menyiapkan logistik untuk sarapan esok pagi sebelum summit
attack.
Bubur kacang hijau. Pilihan yang
telah ditentukan oleh kak Salby dan kak Lukman untuk membuka pagi esok. Kak
Salby, kak Liah, dan kak Hafizha sudah berada di dalam tenda. Mereka juga
tampak lelah setelah bertarung dengan alam hari ini. Jadilah saya menyiapkan
segala sesuatu untuk bubur tersebut seorang diri.
Kelimpungan saat saya mencari dimana
santan instan, gula merah, garam, dan kacang hijau diletakkan. Karena tak mau
mengganggu kak Salby yang mungkin sedang mencoba tidur, saya gaduh mencari
sendiri. Hanya diterangi cahaya headlamp rabun yang saya derita ternyata
membatasi pandangan.
"Belda lagi cari apa?"
sebuah suara membuat saya berhenti mencari sejenak.
"Kacang ijo, Bang. Abang lihat
gak dimana?" yang saya tanya hanya diam saja, tidak mengiyakan juga tidak
menjawab. Saya abaikan saja pertanyaan abang jangkung itu dan mulai melanjutkan
pencarian.
"Ini bukan?" bang Ovick
mengacungkan seplastik penuh kacang hijau.
"Aha! Iya, Bang! Ada dimana
ini?"
"Noh…" si abang hanya
menyodorkan bungkusan yang saya cari. Hal ini terus berlanjut hingga semua
perlengkapan untuk memasak bubur kacang hijau terkumpul sempurna. Ah,
bang Ovick ini diam-diam ternyata bakat menjadi pahlawan. Belum berhenti di
kisah ini, bang Ovick akan menjelma sebagai pahlawan berkopyah saat monster
datang menyerang saya nantinya. Hahaha.
Setelah persiapan untuk sarapan besok beres,
ada satu hal penting lainnya yang belum hadir yakni, air. Dengan baik hati kak
Lukman bersedia mengantarkan saya ke sumber air dekat pintu masuk Pondok
Salada. Kami berdua membelah dingin di malam minggu untuk mengambil air bersih
dan mencuci bekas alat makan malam kami.
Sekitar dua kilometer jarak dari
tempat kami berkemah ke sumber air. Melewati tenda-tenda pendaki lain yang
sudah tertutup rapat. Terdengar sayup-sayup suara mereka dari dalam kurungan
plastik itu. Bergabung dengan suara senandung serangga hutan.
Ada
juga para lelaki yang masih asik menyeruput kopi di depan api unggun mereka.
Saya juga sempat melihat beberapa pemuda bermain kartu domino di atas gelaran
matras depan tenda mereka. Selalu ada cara hangat untuk menikmati malam yang
dingin di semesta alam milik Tuhan ini.
Kami
berdua kembali dengan sekeresek besar alat makan yang sudah bersih dan beberapa
botol air bersih. Rupanya bang Ipin belum terkapar. Ia masih setia dengan rokok
yang menyulut di bibirnya. Duduk menghangatkan diri di depan api unggun. Kami
berdua segera bergabung dengan bang Ipin sembari mengobrolkan perca-perca
obrolan.
Malam
ini bang Ipin sedang merenungi perjalanan hidupnya. Tepat di tengah belantara
hutan hari ini bang Ipin bertambah usia. Entah genap berapa tahun titik rotasinya
di bumi. Yang jelas ada banyak harapan dan kejujuran yang kami obrolkan dengan
enteng malam itu.
"Alam
selalu bisa membuat kita jujur tanpa ia harus memaksa. Ya kan, Kak?"
Ah, Srikandi! Suaramu kembali terdengar di antara lolongan
binatang malam. Mungkin itu auman macan tutul yang saya tahu kabarnya dari
abang gondrong, peneliti satwa di gunung ini selama lima tahun terakhir. Kata
abang itu populasi macan tutul masih banyak di sini, Srikandi. Tapi jangan
takut, mereka tidak akan menyerang jika kita tidak mengganggu.
Malam
semakin pekat tetapi mata saya tak mau lekat. Setelah berdiskusi ringan yang
mungkin takkan berakhir puas. Karena selalu saja ada hal yang bisa didiskusikan
dengan keluarga baru seperti senior-senior saya ini. Leader kami pamit
masuk tenda. Meskipun saya tahu ia belum mengantuk, tapi lelah terlihat jelas
di bawah lekuk matanya.
Saya
yang belum mengantuk memutuskan untuk kembali ke sumber air kali ini minta
diantar bang ipin. Terlalu banyak minum rupanya membuat reaksi alam saya
terpanggil. Kami berdua hanya membawa sebuah headlamp yang saya lingkarkan
di kepala. Bang Ipin menyuruh saya berjalan di depan sedang, ia dan sandal
jepit milik nenek yang ia kenakan ada di belakang saya.
Jangan! Jangan membayangkan adegan
romantis atau sejenisnya. Karena kami berdua sama-sama tidak paham jalan menuju
arah sumber mata air. Meski hari ini saya sudah dua kali turun ke sungai itu
tapi, banyak tenda yang berdiri membuat saya rancu memutuskan jalan mana yang
harus diambil.
Berbekal ingatan sesaat dan tekanan
panggilan alam saya berjalan cepat mendahului bang Ipin. Hingga akhirnya
"BRUUUK!".
Saya
menoleh ke belakang. Rupanya sandal jepit aus warisan nenek berhasil membuat
bang Ipin terduduk di turunan tanah. Satu…dua…tiga…empat…lima… bang Ipin
berkedip tiga kali baru kemudian sanggup bersuara.
"Elu sih, jalannya kejauhan!"
saya menahan nafas dalam ketika bang Ipin berucap seperti itu. Antara ingin
ngakak sejadi-jadinya dan ingin menolong karena kasihan.
"Abang gak papa, Bang?
Huahahahaahahahahaha….." tanya saya yang belum sempat dijawab oleh bang
Ipin saya sudah mewujudkan cita-cita untuk ngakak sekeras-kerasnya.
Dedongkot
tim Cihuuuy! jatuh. Dengan wajah sepolos bayi dalam iklan sabun ia
mengedipkan mata merasakan sakit di pantat. Puas tertawa berlebihan saya
memberikan headlamp pada bang Ipin sebagai tanda penyesalan karena telah
meninggalkannya berjalan terlalu jauh. Salah siapa orang kebelet disuruh jalan
di depan? Hahahaha.
Perjalanan malam minggu saya dengan bang Ipin
dilanjutkan dengan nyasar. Kami berdua bingung harus kembali ke tenda
melalui jalan mana. Saya yang rabun senja semakin putus asa mengingat bang Ipin
terjatuh dan tak bisa bangkit lagi. Makin tersesat dan tak tahu arah jalan
pulang. Kami benar-benar seperti butiran debu.
Tanah
becek, keadaan gelap, dan rute membingungkan lengkap menjadikan satnite
saya kali ini pasrah akan bermalam dimana. Entah jika esok pagi saya bangun
sudah ada di perut macan tutul atau dalam gua para kanibal. Hiiiiiiii…. Saya
bergidik ngeri.
"Bang,
tadi kita berangkat lewat mana ya?"
"Gue
sendiri juga lupa. Banyak tenda yang sama sih. Kita balik aja ke arah sumber
mata air gimana?" usul bang Ipin agar kami menyusuri titik awal tujuan
kami.
Kami
berdua berjalan kembali ke sumber air. Mengingat-ingat dari mana kami datang
tadi sebelum bang Ipin terpeleset. Mulai mengenali tenda mana saja yang tadi
kami lewati hingga lima belas menit kemudian kami berhasil menemukan shirotol
mustaqim.
Saat
kami berhasil mencapai tenda, satu syukur lagi terselip karena malam ini saya
masih bisa tidur nyenyak di tenda bukan di perut macan tutul. Senyap. Istilah
itu yang saya dapat ketika kembali mencapai tenda.
Sebenarnya
ingin sekali berteriak girang dan bercuap-cuap dengan kakak-kakak gadis tenda
saya. Namun, mereka sudah damai dalam buaian mimpi. Setelah mengucap terima
kasih dan maaf pada bang Ipin saya memaksakan diri masuk ke tenda. Bukan karena
mengantuk tapi karena takut dihampiri macan.
Saya
keluarkan sleeping bag dan mulai mengatur posisi tidur seperti ikan
pindang. Saya amati, wanita-wanita tangguh di samping saya. Kak Salby sudah
pulas. Kak Liah pun begitu. Tapi saya tahu, kak Hafizha belum berhasil lelap.
Ia berusaha berbaring tenang tapi gerak ringannya terlihat gelisah.
"Belda
tidur! Sudah malem," suara leader mengingatkan saya dari dalam
tendanya. Rupanya masih banyak matanya yang terjaga malam ini.
"Iya
bentar lagi, Kak!" ucap saya sambil memutar tombol kompor. Niat saya
merebus air untuk membuat teh hangat.
"Kak,
ini diminum dulu," saya mengguncang tubuh kak Hafizhah pelan. Meyodorkan
segelas teh hangat. Saya tahu kak Hafizhah mengalami kram perut akibat dingin.
Mengingat ini kali pertama pengalaman si kakak bermalam di gunung. Saya tadi
juga sempat mengamati porsi makan Kak Hafizha tidak banyak. Semakin menguatkan
dugaan saya.
Membiarkan
kak Hafizha menikmati hangatnya teh yang menggelontor ke perutnya, saya
melanjutkan kembali membuka kantung tidur. Tak lama kemudian, bang Herman
berteriak dari tenda seberang.
"Belda
bawa koyo?"
"Enggak,
Bang."
"Kalau
balsam?"
"Gak
ada di aku, Bang! Ntar aku tanyain kak Salby dulu…" saya mengguncang pelan
bahu kak Salby menanyakan letak balsam. Kak Salby bilang ia meletakkan semua
obat-obatan di kotak P3K. Saya sampaikan hal yang sama pada bang Herman, lalu
saya tak mendengar lagi apa kabar encok punggungnya di seberang.
Mata
saya mulai sepet tapi tumben dingin tidak terlalu menyergap malam ini. Mungkin
karena kau bersama saya malam ini, Srikandi. Jadi meski jauh saya tetap merasa
hangat. Sebagaimana ritual kita sebelum-sebelumnya jika hendak memejamkan mata
dalam tenda. Memuhasabah diri tentang apa saya yang terlewati hari ini.
Maka, biarkan saja jaket saya melayang pada
kak Hafizha agar kita sama-sama nyenyak tidur malam ini. Saya dengan bayangmu,
dan kak Hafizha dengan jaket saya dan perutnya yang lebih enakan.
There
were moments of dreams I was offered to save
I
live less like a workhorse more like a slave
I
thought that one quick moment that was noble or brave
Would
be worth the most of my life…
Selamat
malam, Srikandi! When My Time Comes milik Dawes masih setia menemani tidur di
malam alam ini.
***
"Hari ini kita ke puncak kan,
Kak?" satu pertanyaan itu yang saya tanyakan pada leader, senior
kiriman Tuhan yang membawa saya hingga mencapai titik ini. Titik dimana kami
berdua menyaksikan teatrikal matahari.
Dia
belum menjawab, Srikandi! Hanya tersenyum. Entah arti jawabannya iya atau
tidak. Entah apa saya akan berhasil membawamu ke puncak 2665 Mdpl ini atau
hanya sampai Tegal Alun, padang edelweiss yang tersohor itu.
Apa
bubur kacang ijo buatan kak Salby bisa memanjakan perut pagi ini? Eh,
tapi bagaimana kabar kak Hafizha? Apakah kram perutnya sudah mereda? Atau malah
bang Herman yang pagi ini tidak bisa bangun akibat encok punggung yang semakin
menjadi?
Entah,
Srikandi. Terlalu banyak pertanyaan yang harus dijawab! Maka tunggu saja
uraiannya dalam lanjutan catatan pendakian Papadayan II: Senandung
Papandayan.
To
be continued…
-Hai, Srikandi!-
B.E.J
Ciputat,
03-04-14
01:39
Tidak ada komentar:
Posting Komentar