" Wadah Perca-perca Mimpi Sebelum Terburai Melangit " (B.E.J.)

Rabu, 02 April 2014

Hai, Srikandi! (Catatan Pendakian Papandayan I)


           
Sebut saya kawan paling kejam dan tak tahu diri!
 Ketika kau jauh-jauh datang dari kota Apel untuk sebuah kompetisi program otomasi industri, saya hanya sempat menemuimu dua jam waktu itu. Ah, Srikandi! Rupanya kau semakin dekat dengan jengkalan mimpi yang sering kita obrolkan di banyak perjalanan kemarin. Meski hanya bermalam di sebuah ruang kos yang baru dipasang lampu ulir, senyummu senja itu benar-benar menguatkan saya kembali. 
"Aku pergi ke Papandayan, ya?" sempat ragu saya lontarkan pertanyaan ini padamu di bawah langit sore lapangan Politeknik Negeri Jakarta. Saya tahu pertanyaan ini akan sangat menyakitimu karena dulu tanah setinggi 2665 Mdpl inilah yang sering kau bicarakan dan segera ingin kau daki. 
"Iya, kakak pergi aja! Pokoknya pas nanti pulang bawa oleh-oleh cerita yang banyak!" 
"Beneran? Tapi kan…" saya semakin ragu mengingat ini nantinya adalah kali pertama saya melakukan perjalanan bersama orang-orang baru. 
 
"Bener! Jangan ragu, Kak! Gak selamanya kita bisa jalan bersama. Toh, kalau aku jalan tanpa kakak aku bakalan bawa kakak di tiap langkahku. Begitu pula kakak. Ya kan?" Wah, rupanya adik kecilku atlet pemanah ini sudah beranjak jadi perempuan dewasa.
Sore itu, saya mantap bergabung dengan kelompok baru. Kelompok yang akan membawa saya ke Papandayan. Salah satu gundukan tanah tinggi impianmu, Srikandi. Gundukan tanah yang kita baca pesonanya di catatan perjalanan tumblr milik Arief Syakur Sutedjo, pria gondrong menawan itu. Hahaha. 
Dan inilah, langkah saya ke gunung sejuta rasa itu, Srikandi! Sejuta rasa merindu alam yang begitu dominan karena belum bisa berjalan bersamamu. Inilah rasa lega mengurai kalut pada kabut. Rasa membenihi legawa pada orang-orang baru yang akhirnya bisa saya sebut, keluarga. Sama seperti kita menemukan keluarga saat perjalanan 'Duo Kumbolo' dulu. Saat bertemu PMS.
***
Awal Pertemuan
Dari dulu saya selalu antusias dengan suratan Tuhan. Hingga adanya warna merah pada angka di kalender pun juga membuat saya berpikir keras. Kira-kira mau saya apakan tanggal merah itu? Alhasil, saya hubungi senior sepermainan untuk merencanakan sesuatu. 
Sudahkah saya bocorkan, bahwa saya memiliki banyak senior dalam urusan melancong, makan, dan menulis? Selepas kepergian satu senior saya ke pulau Bintan untuk urusan dinas. Tuhan mengirimkan seorang senior lagi untuk menemani saya mentadabburi alam-Nya. Ia tak mau saya terlalu lama terpaku dengan penat hiruk-pikuk kota.
Awalnya saya mengusulkan untuk menjarah gunung Gede di Cianjur. Tapi, senior saya bilang bahwa gunung Gede ditutup hingga April nanti. Jadilah, opsi kedua adalah gunung Papandayan yang tersohor dengan ikon hutan mati, padang edelweiss, dan semburan asap belerang.
Malam itu, 28 Maret 2014 kami berenam bertemu di pertigaan Kampung Utan. Dengan komposisi tiga perempuan dan tiga laki-laki. Kami bergegas meretas jarak mengunakan angkutan umum pukul 21:21 menuju perempatan Pasar Jumat. Dari sini saya mulai mengakrabi kawan seperjalanan lainnya, selain senior yang sudah dulu saya kenal.
 Kak Liah. Adalah senior saya dalam urusan tulis menulis. Memegang amanah sebagai ketua harian sebuah komunitas menulis tempat saya belajar, rupanya tak membuat ia mengesampingkan tantangan baru. Mungkin, ini pendakian pertama yang agak sial baginya karena harus berjalan bersama junior nakal seperti saya. Hehehe. 
Kak Salby. Bulu matanya lentik dan sorotnya berbinar. Dari situ saya bisa tahu ia akan menjadi senior yang menyenangkan dan bisa diandalkan dalam banyak urusan. Mengingat saya tidak banyak berpengalaman dalam masalah camping, tali-temali, dan semua pendidikan yang biasa dilakukan oleh anggota pramuka sejati seperti senior perempuan saya ini.
   
Bang Herman. Garis mukanya tegas namun setiap kata yang keluar dari mulutnya bersajak. Rupanya saya tahu di akhir perjalanan, bahwa ia sangat berbakat dalam menulis fiksi dan berpuisi. Layak, senior laki-laki yang baru saya kenal ini mampu membawa untaian kata sejak awal bertemu.
Mas Arif. Masih satu ras dengan saya, Jawa! Hahaha. Lelaki berambut cepak ini banyak tersenyum. Mengingatkan saya pada tokoh Ibel dalam film lawas Dealova.  Senior saya yang ini nantinya banyak mengajarkan tentang teknik mengambil foto yang baik di alam.  
Kak Lukman. Ini dia senior kiriman Tuhan. Saya selalu banyak merepotkannya mulai sebelum hingga akhir perjalanan ini. Leader, guide, porter sekaligus cheef dalam pendakian ini. Benar-benar multitalent! Hahaha.
Hanya dalam jangka lima belas menit kami berenam sudah sempurna menjejak perempatan Pasar Jumat untuk menunggu empat kawan lainnya. Pukul 21:38. Gelap telah merajai malam dan bulan hanya menyumbang seulas garis cahaya. 
Seorang perempuan anggun perlahan mendekati gerombolan kami. Ia menyertakan senyum sipu saat mengucap salam, menyapa kami. Kak Hafizhah. Senior berjilbab lebar ini ternyata menyempurnakan formasi empat wanita pendaki gunung  yang ada di Garut itu.
Setengah jam kemudian bus Primajasa yang akan kami tumpangi hingga Garut pun melenggang tanpa dosa di depan kami. Kami belum bisa berkutik.
"Masih ada tiga kawan lagi yang belum bergabung dalam kelompok ini," begitu kata sang leader saat saya tanya apa yang kami tunggu di perempatan jalan remang ini.
"Woi! Nungguin siapa lu?" ini dia abang yang kami tunggu batang hidungnya hampir satu jam.
Bang Arifin tapi nama bekennya Bang Ipin. Mungkin, ia penggemar serial kartun Malaysia itu. Hingga terobsesi menggunakan nama beken saudara kembar Upin. Saya tak tahu, mungkin besok-besok akan saya tanya kejelasannya. Hahaha. Bang Ipin tidak datang sendirian. Ia membawa dua orang lelaki lainnya. 
Bang Marwan Saipul Kamal itu nama pemberian saya tanpa harus membagikan bubur merah ke tetangga sebelah. Nama asli bang Ipul ini sengaja saya tambahkan depan dan belakangnya karena di perjalanan nanti ia sering sekali memperkenalkan diri pada orang dengan banyak nama. Benar-benar makhluk langka! Hahaha. 
Dan ini dia abang terakhir yang nantinya akan menjadi pahlawan saya. Bang Ovick! Tubuhnya jangkung dan banyak diam. Tapi, soal ingatan ia sangat bisa diandalkan. Sudah saya bilang, senior yang baru saya kenal ini nantinya akan menjadi pahlawan saya. Tunggu saja, hingga kisahnya tiba. 
Jarum panjang arloji di tangan bergerak pelan. Hampir pukul setengah sebelas malam. Saya tengok itu setelah mendarat mulus di bangku bus Primajasa terakhir tujuan Lebak Bulus-Garut via tol Cipularang. 
Bus AC bertarif 42 ribu ini telah sesak penumpang. Bagian bangku belakangnya sudah dipenuhi pendaki lain yang hendak menuju Garut pula. Rupanya mereka juga akan menikmati libur akhir pekan ditambah bonus tanggal merah Hari Raya Nyepi ini di atas sana.
Lampu panjang yang membelah atas bangku bus mulai meredup. Saatnya meredupkan mata pula. Bergegas mencharge tenaga untuk pendakian esok pagi setelah enam jam ke depan tiba di kota Chocodot, Garut.
***

Subuh di Terminal Guntur
Enam jam meretas malam bersama di jalanan kota Garut rupanya bisa menghadirkan hangat yang tak biasa di antara hawa dingin terminal Guntur.  Bertolak satu menit dari pukul empat pagi, kami bersepuluh sampai di pemberhentian bus terakhir. Pagi masih belia, tapi kesibukan aktivitas di terminal ini sudah meraja lela. 
Pagi itu semua sudut terminal Guntur dipadati pendaki dari berbagai penjuru. Tujuan kami sama, Papandayan. Kami bersepuluh menepi, mencari sudut sepi untuk menunggu panggilan ritual fajar. Masih sekitar tiga puluh menit lagi adzan Subuh dikumandangkan. 
Kami menghangatkan tubuh dengan segelas kopi dan teh hangat sembari packing ulang. Masih terlihat sembab di wajah-wajah senior saya berkat terlalu lama berdiam di bawah AC bus. Satu-persatu dari kami bergantian menjaga barang dan pergi membasuh muka. Adzan Subuh menggema. Kami bergegas menemui Tuhan pagi ini. 

Suasana Subuh di Terminal Guntur
Usai merapikan semua barang dan menata hati kami bersepuluh segera mencari angkot. Angkot biru yang akan mengantar kami ke Cisurupan, gerbang pendakian gunung Papandayan, ini memukul tarif 15 ribu perorang. Semua carrier diikat kuat di atas punggung angkot ini. Kami pun melaju, bersiap menikmati atmosfer pagi yang berbeda di Cisurupan. 
***
Kupat Tahu dan Trek Asik

Gerbang Cisurupan
"Kawasan Agropolitan, Kec.Cisurupan, Kab. Garut". Mata saya menangkap tulisan itu ketika sopir angkot menenangkan deru mesinnya. Dari titik saya berdiri, terlihat lanskap puncak Papandayan yang anggun.  
Kami bersepuluh mencari tempat ngetem untuk mengisi perut. Masih harus menjengkal jalan lagi agar bisa sampai di pos perizinan pendakian Papandayan. Kami putuskan untuk menjajah warung kupat tahu dan bubur ayam milik seorang ibu. 
"Hati-hati ya, A'! Di sini tiap hari hujan gede kalau siang," ibu berbaju merah berpostur besar ini memberi kami wejangan saat meracik tahu kupat.
Sepiring kupat tahu untungnya mampu membuat cacing dalam perut saya kembali tenang. Potongan tahu dan irisan lontong yang dipadu dengan kuah santan gurih masuk dalam list sarapan istimewa dalam hidup saya. Karena memang dimakan di tempat yang istimewa bersama orang-orang istimewa dan di momen istimewa pula. 

Meracik Kupat Tahu
Setelah menunaikan hak perut kami bersepuluh mencari pick up yang bersedia mengantar ke Camp David, pos pertama pendakian Papandayan. Hanya mobil bak ini yang biasa digunakan pendaki ngeteng seperti kami. 
Cukup merogoh kantong 20 ribu perorang, kami berhasil duduk cakep di dalam bak pick up putih ini. Trek dari Cisurupan menuju Camp David mirip jalur dari Tumpang ke Ranu Pane beberapa tahun lalu saat jalan aspalnya masih rusak parah. Banyak bolong sana-sini dan lumpur lengket yang selalu menjebak poros roda kendaraan.
Sayangnya, vegetasi tanaman di sini berbeda dengan di perkampungan masyarakat Tengger. Jika di sepanjang jalan menuju Semeru kita bisa mencium aroma seledri, di sini yang tercium adalah ungaran segar tanaman kol atau kubis.  
Adrenalin beradu dengan  garangnya suara mesin mobil ini saat terjebak dalam kubangan jalan rusak. Pemandangan di sekeliling kami memang sangat indah. Lanskap gunung Cikuray terlihat di seberang dan permadani sawah yang membentang luas. Tapi jika, harus duduk manis di bak mobil yang kanan-kirinya hanya berjarak beberapa meter dengan jurang sepertinya kami memang dituntut harus banyak bersolawat dalam hati.
07:50, kami bersepuluh bersyukur masih diberi kesempatan Tuhan untuk melanjutkan misi pendakian ini. Kami menghela nafas panjang saat berhasil keluar dari trek asik yang sangat mengusik batin. Hahaha. 
Langit sedikit abu pagi ini. Matahari masih malu-malu menyembul di atas sana tapi para pendaki sudah memenuhi pos perizinan gunung Papandayan ini. Ketua kelompok kami yang tak lain adalah kak Lukman bergegas mengantri untuk memperoleh form perizinan. 

Dari kiri ke kanan:
Kak Salby, Kak Liah, Saya, Bang Herman, Kak Hafizha,
Bang Ipul, Bang Ovick, Kak Lukman, Bang Ipin, dan Mas Arif (bawah)
Sambil menunggu sang leader menyelesaikan administrasi dan segala tetek bengek  prosedur perizinan, kami bersembilan dengan tidak tahu diri sibuk berpose sana-sini. Bergaya ala pendaki segar yang masih belum terhias debu dan minyak di wajah. Memang seringkali menunggu membuat ide-ide kreatif bermunculan agar tidak menjemukan korbannya.  
Butuh waktu sekitar dua puluh menit hingga akhirnya senior saya itu kembali bergabung bersama kami. Selepas merapikan kembali barang bawaan dan mampir ke kamar mandi umum sejenak, kami bersepuluh melingkar untuk berdoa bersama. Bismillahirrahmanirrahiim, kami sertakan Engkau di tiap pijakan langkah kami di alam-Mu ini, ya Rabb.

Bismillah, kami sertakan Engkau di tiap pijakan!
Srikandi, kau tahu tiap kali langkah pertama ini saya mulai rautmu selalu minta digandeng berjalan bersama merepih alam yang baru saya pijak.
***
He calls us: Cihuuuuy!
Selamat datang di jalan berbatu dan kerikil! Trek pembuka inilah yang meyambut tapak kaki kami di Papandayan. Dengan vegetasi pohon pucuk merah di kanan kiri dan tebing kapur menjulang dijamin siapapun takkan mempermasalahkan trek pembuka ini. 
Sebenarnya dari pos perizinan di Camp David tadi saya sudah melihat bumbungan asap. Tapi saya belum berani memastikan apakah itu asap atau kabut yang turun perlahan. Meskipun dari arah munculnya mereka sudah berbeda. Asap munul dari bawah kemudaian membumbung sedang kabut turun perlahan menyelimuti dari atas lalu membumi. 
Sepuluh menit berjalan, saya baru bisa memastikan bahwa kepulan asap itu berasal dari kawah Papandayan yang masih aktif. Melipiri pinggiran kawah di jalur yang semakin berbatu sambil menjadi saksi langsung aktifnya gunung ini membuat saya tak berhenti melafalkan tasbih. Benar-benar keganasan alam yang dapat dinikmati dengan ramah. 

Asap belerang: Papandayan masih aktif!
Melihat pemandangan yang luar biasa, Niken (belahan hati di tiap perjalanan saya) merengek minta dikeluarkan dari tempat persembunyian. Ia langsung membabi buta mengambil tiap gambar yang bisa ia tangkap. Niken memang selalu seperti itu. Menjadi hiperaktif jika melihat sesuatu yang tak biasa seperti, kepulan asap belerang yang terus menerus keluar dari perut bumi ini. 
Lama-kelamaan belerang yang keluar ini makin menyengat penciuman. Kami merapatkan masker agar gas sulfur dioksida (SO2) ini tidak langsung menembus ke hidung. Menurut sebuah sumber yang saya dapat, pelepasan gas belerang biasanya disertai dengan pelepasan partikel-partikel seperti jelaga. Menghisap gas belerang secara berlebihan dapat mengakibatkan penyakit pernapasan seperti, bronkitis, napas pendek, asthma, sakit jantung, bahkan akibat fatalnya adalah kematian!
Sepertinya perayaan Nyepi ini benar-benar diramaikan oleh para penikmat alam Papandayan. Buktinya, sepanjang jalan tak saya temui space kosong. Setiap mata memandang yang saya lihat adalah punggung manusia-manusia berkeril. Bahkan yang mebuat saya kaget adalah banyak pula bocah kecil mungkin berumur lima tahun ke atas ikut mendaki bersama orangtuanya. 
Melihat kaki-kaki kecil itu tegar melangkah bisa menularkan semangat juang berjalan pada saya. Terutama saat tanjakan meraja lela dan tidak memberi bonus tanah datar. Bilqis, seorang gadis kecil berusia lima tahun yang saya kenal membuat saya malu. Ia benar-benar gigih dan tidak mengeluh lelah sedikit pun. Ternyata di akhir perjalanan nanti saya tahu ia sudah menjejak banyak gunung di Jawa Barat. 
Saat ngarai menjadi kawan setia pendakian kali ini, bosan pun sudah siap melanda. Kami yang tadinya mengobrolkan segala hal satu sama lain kini menjadi diam. Hanya siulan angin yang terdengar. Sepertinya takaran semangat kami mulai berkurang. Satu-persatu langkah mulai melambat. Ada sebuah benda yang bergerak keras. Mengalir deras. Air! 
"Ternyata sumber air sudah dekat. Aku jadi bisa bantu ibu buang adik di sumur!" begitu teriak bang Herman saat kami semakin mendekat dengan anak sungai. 
Seperti menemukan surga yang lama dicari. Kami mempercepat langkah mengisi botol kosong yang isinya beralih ke punuk kami. Sebelumnya, senior ulung saya yang pernah menjejak Papandayan sudah bertitah. Agar saya jangan membawa air terlalu banyak karena di gunung ini sumber air amat melimpah. 

Yeyeye lalala main air dulu!
Nyatanya memang begitu, sumber air di gunung ini banyak dan jernih. Sangat mencukupi untuk keperluan minum, memasak, dan sejenisnya kecuali jika anda berniat untuk membuka depot air isi ulang di sini. Mungkin beberapa tahun ke depan sungai ini akan kering. Hahaha.  
Kurang lebih berjalan hampir dua jam kami akhirnya menemukan titik terang. Titik warna-warni tenda milik para pendaki lain yang telah berdiri. Ini dia, Pondok Salada! Tanah lapang kediaman edelweiss Papandayan yang mau membagi tanahnya dengan kami agar dapat camping malam ini. 

Edelweiss ini, Srikandi. Untukmu!
Kuning, oranye, merah, dan pink berbaur dengan hijaunya rumpun edelweiss Pondok Salada. Sepertinya benar catatan petugas perizinan pendakian di pos tadi. Diperkirakan akan ada 3.000 pendaki yang menyerbu alam Papandayan di hari libur ini. 
Kami memilih mendirikan tanah agak di atas sana. Menghindari hiruk-pikuk pendaki lain. Simsalabim! Dalam sekejap tenda kami sudah berdiri. Ada satu masalah fatal yang bisa disikapi dengan bijak oleh para senior hebat saya ini. Satu dari tiga tenda yang kami bawa tidak memiliki frame, tiang untuk membuat tenda berdiri. 
Untungnya, mayoritas senior saya yang mempunyai kesibukan lain sebagai motivator ini memiliki ide cemerlang. Dibantu dengan tangan peri kak Salby, ibu pramuka kami tenda yang mulanya hampir tidak bisa berdiri tetap bisa dipakai. Dengan mengikat ujung-ujung kait frame dengan raffia dan menancapkan batang pohon dekat pasak berdirilah tenda ajaib itu. Tenda yang cukup nyaman meski dengan segala kekurangan. 
"Cihuuuuy…! Tenda kita keren Men!" teriak bang Ipin di balik kaca mata hitamnya saat jerih payah mereka terbayar. Sejak saat suara itu terdengar, kelompok kami selalu memiliki yel-yel dan sebutan khas yakni, Cihuuuy!
***

Unforgettable Satnite
Setiap kali jalan dengan senior saya yang sekarang di pulau Bintan itu, saya selalu agak tenang. Ia semacam peramal cuaca sekaligus pawang hujan. Dari arah awan berarak dan kondisi tanah sekitar ia bisa langsung tahu bagaimana cuaca hari ini. Sayangnya, sebelum pergi dinas ke seberang sana ia tidak mewariskan bakat itu pada saya. 
Pukul 14:00. Matahari benar-benar malas bermain dengan kami hari ini. Ia memilih pulang agar bisa berganti shift dengan kabut dan awan mendung. Rintik-rintik hujan jatuh ke padang luas Pondok Salada. Petrichor, senyawa aromatik yang menguarkan bau menenangkan saat hujan turun mulai tercium. 
Kekhawatiran besar yang kami tunggu pun akhirnya datang. Tenda tanpa frame yang dihuni para senior lelaki mengalami kebocoran parah. Gawatnya, ternyata tanah tempat tenda kami didirikan adalah jalan air. Maka, tidak heran kalau tidak lama saat hujan mengguyur kami mengalami kebanjiran. Masih terbesit syukur di hati, karena satu tenda yang dihuni oleh para wanita aman dari bocor dan banjir. 
Bergegas kami mengungsikan barang-barang ke tenda aman itu. Entah, kadang kaca mata pengamatan saya agak error. Melihat orang kebingungan karena bajir seperti ini saya ingin terbahak. Menyaksikan mereka kedinginan dan kebingungan antara memindahkan tas keril dan kedinginan akibat basah air hujan. Seperti anak kucing dimandikan. Hahaha. *Ampuun!
Belum lagi, harusnya saat itu kami makan bersama hasil masakan yang lama dinanti. Akhirnya kami memutuskan untuk membagi menu makan siang kami yang berisi sayur asam, dendeng, tempe goreng, dan nasi menjadi tiga bagian. 
Satu porsi besar untuk kami berempat, saya, kak Salby, bang Herman, dan kak Lukman. Satu porsi besar untuk para pejuang pengungsi banjir, dan porsi sedang terakhir untuk kak Hafizha dan kak Liah yang menjadi tuan rumah tenda seberang yang sibuk menerima ungsian dari abang-abang cihuuy! Hahaha.    
Saya, kak Salby, bang Herman, dan kak Lukman memutuskan untuk makan terlebih dahulu baru setelah itu membantu korban kebanjiran. Mengingat hujan di luar semakin deras dan perut kami belum ada yang terisi. Ditakutkan akan terserang flu dan masuk angin jamaah jika semua turun ikut berhujan.
Setengah jam kemudian hujan mulai berbaik hati, hanya meninggalkan sedikit gerimis. Sang leader memutuskan untuk memindahkan lokasi camp sedikit lebih ke atas. Menghindari turunnya hujan susulan. 
Layaknya orang pindah rumah, kami bergotong royong memindahkan barang-barang. Sesekali teriakan Cihuuuy! menyemarakkan prosesi pindah tenda kami kali ini. Diiringi tatapan selidik penghuni tenda lain, kami malah makin semangat.
"Pindah, Mbak?" tanya seorang tetangga saat melihat saya menenteng matras.
"Iya, Bang. Butuh view yang beda." Jawab saya sekenanya. Padahal alasan sebenarnya adalah gegara kebanjiran! Huahahaha. Setidaknya jawaban saya sedikit diplomatis dari korban pengungsian banjir di ibu kota yang sering kita saksikan di tv. 
 
Kali ini dataran yang kami huni sangat landai dan tinggi. Memungkinkan untuk tidak disinggahi genangan air. Rotasi bumi tetap berputar seiring kami merapikan temat tinggal baru kami. Senja bergantung di langit barat Papandayan namun, tidak menampakkan segurat senyum tipis mentari terbenam. Rupanya hujan sempurna membuat langit muram hingga tiba-tiba Maghrib datang tanpa permisi.    
Kami, para wanita melaksanakan ritual senja di tenda. Sedang, senior laki-laki melaksanakan jamaah solat Maghrib di luar dengan alas matras seadanya. Dalam takbir kami merenung sejenak, menikmati hangat kasih Tuhan yang berada dekat beberapa jengkal dengan diri. 
Betapa mudahnya Tuhan berbicara lewat alam. Lewat peluh putus asa saat melewati cadasnya medan berbatu. Lewat bumbungan asap belerang yang berusaha mengusik indera penciuman. Lewat kesabaran air hujan yang mengharuskan kami memindahkan rumah keong ini. Lewat gelak tawa kebersamaan setelah kata Cihuuuy! diteriakkan. Syukur kami atas segala nikmat yang belum terakumulasi dalam hitungan ini, Rabb!
Puas bertadabbur, taffakur, dan tasyakur hingga selepas Isya, kak Salby melancarkan aksinya kembali. Menjadi koki untuk kami dengan assisten executivenya, kak Liah. Malam ini menu pengisi perut kami adalah mie kuah dan teh manis hangat. Kami memang sangat lelah malam ini, yang penting hangat dan mengenyangkan itu sudah lebih dari cukup. Jadilah, dalam beberapa kali sruput hasil karya kak Salby dan kak Liah tandas begitu saja. 
Sudah kenyang dan dingin mulai menyergap adalah komposisi yang pas untuk tidur nyenyak dalam balutan sleeping bag di dalam tenda. Satu-persatu anggota tim Cihuuuy! mulai tumbang tak sadarkan diri. 
Malam ini memang bintang tidak tumpah ruah di langit, Srikandi! Tapi bukan berarti, saya bisa cepat lelap dalam kepompong kantung tidur polar. Saya masih ingin membawamu dalam euphoria malam di tanah 2665 Mdpl yang kau impikan dulu. 
            Music Player milik bang Ipul mulai terdengar sayup-sayup. Sepertinya benda kotak pemutar musik itu mulai low batt sama seperti pemiliknya yang sudah tak terdengar gaduh. Sebelum korban mulai berjatuhan saya menyiapkan logistik untuk sarapan esok pagi sebelum summit attack.
            Bubur kacang hijau. Pilihan yang telah ditentukan oleh kak Salby dan kak Lukman untuk membuka pagi esok. Kak Salby, kak Liah, dan kak Hafizha sudah berada di dalam tenda. Mereka juga tampak lelah setelah bertarung dengan alam hari ini. Jadilah saya menyiapkan segala sesuatu untuk bubur tersebut seorang diri. 
            Kelimpungan saat saya mencari dimana santan instan, gula merah, garam, dan kacang hijau diletakkan. Karena tak mau mengganggu kak Salby yang mungkin sedang mencoba tidur, saya gaduh mencari sendiri. Hanya diterangi cahaya headlamp rabun yang saya derita ternyata membatasi pandangan. 
            "Belda lagi cari apa?" sebuah suara membuat saya berhenti mencari sejenak.
            "Kacang ijo, Bang. Abang lihat gak dimana?" yang saya tanya hanya diam saja, tidak mengiyakan juga tidak menjawab. Saya abaikan saja pertanyaan abang jangkung itu dan mulai melanjutkan pencarian.
            "Ini bukan?" bang Ovick mengacungkan seplastik penuh kacang hijau.
            "Aha! Iya, Bang! Ada dimana ini?"
            "Noh…" si abang hanya menyodorkan bungkusan yang saya cari. Hal ini terus berlanjut hingga semua perlengkapan untuk memasak bubur kacang hijau terkumpul sempurna. Ah, bang Ovick ini diam-diam ternyata bakat menjadi pahlawan. Belum berhenti di kisah ini, bang Ovick akan menjelma sebagai pahlawan berkopyah saat monster datang menyerang saya nantinya. Hahaha. 
             Setelah persiapan untuk sarapan besok beres, ada satu hal penting lainnya yang belum hadir yakni, air. Dengan baik hati kak Lukman bersedia mengantarkan saya ke sumber air dekat pintu masuk Pondok Salada. Kami berdua membelah dingin di malam minggu untuk mengambil air bersih dan mencuci bekas alat makan malam kami. 
            Sekitar dua kilometer jarak dari tempat kami berkemah ke sumber air. Melewati tenda-tenda pendaki lain yang sudah tertutup rapat. Terdengar sayup-sayup suara mereka dari dalam kurungan plastik itu. Bergabung dengan suara senandung serangga hutan. 
Ada juga para lelaki yang masih asik menyeruput kopi di depan api unggun mereka. Saya juga sempat melihat beberapa pemuda bermain kartu domino di atas gelaran matras depan tenda mereka. Selalu ada cara hangat untuk menikmati malam yang dingin di semesta alam milik Tuhan ini. 
Kami berdua kembali dengan sekeresek besar alat makan yang sudah bersih dan beberapa botol air bersih. Rupanya bang Ipin belum terkapar. Ia masih setia dengan rokok yang menyulut di bibirnya. Duduk menghangatkan diri di depan api unggun. Kami berdua segera bergabung dengan bang Ipin sembari mengobrolkan perca-perca obrolan. 
Malam ini bang Ipin sedang merenungi perjalanan hidupnya. Tepat di tengah belantara hutan hari ini bang Ipin bertambah usia. Entah genap berapa tahun titik rotasinya di bumi. Yang jelas ada banyak harapan dan kejujuran yang kami obrolkan dengan enteng malam itu. 
"Alam selalu bisa membuat kita jujur tanpa ia harus memaksa. Ya kan, Kak?"
Ah, Srikandi! Suaramu kembali terdengar di antara lolongan binatang malam. Mungkin itu auman macan tutul yang saya tahu kabarnya dari abang gondrong, peneliti satwa di gunung ini selama lima tahun terakhir. Kata abang itu populasi macan tutul masih banyak di sini, Srikandi. Tapi jangan takut, mereka tidak akan menyerang jika kita tidak mengganggu. 
Malam semakin pekat tetapi mata saya tak mau lekat. Setelah berdiskusi ringan yang mungkin takkan berakhir puas. Karena selalu saja ada hal yang bisa didiskusikan dengan keluarga baru seperti senior-senior saya ini. Leader kami pamit masuk tenda. Meskipun saya tahu ia belum mengantuk, tapi lelah terlihat jelas di bawah lekuk matanya.
Saya yang belum mengantuk memutuskan untuk kembali ke sumber air kali ini minta diantar bang ipin. Terlalu banyak minum rupanya membuat reaksi alam saya terpanggil. Kami berdua hanya membawa sebuah headlamp yang saya lingkarkan di kepala. Bang Ipin menyuruh saya berjalan di depan sedang, ia dan sandal jepit milik nenek yang ia kenakan ada di belakang saya. 
        Jangan! Jangan membayangkan adegan romantis atau sejenisnya. Karena kami berdua sama-sama tidak paham jalan menuju arah sumber mata air. Meski hari ini saya sudah dua kali turun ke sungai itu tapi, banyak tenda yang berdiri membuat saya rancu memutuskan jalan mana yang harus diambil.
            Berbekal ingatan sesaat dan tekanan panggilan alam saya berjalan cepat mendahului bang Ipin. Hingga akhirnya "BRUUUK!". 
Saya menoleh ke belakang. Rupanya sandal jepit aus warisan nenek berhasil membuat bang Ipin terduduk di turunan tanah. Satu…dua…tiga…empat…lima… bang Ipin berkedip tiga kali baru kemudian sanggup bersuara. 
            "Elu sih, jalannya kejauhan!" saya menahan nafas dalam ketika bang Ipin berucap seperti itu. Antara ingin ngakak sejadi-jadinya dan ingin menolong karena kasihan. 
            "Abang gak papa, Bang? Huahahahaahahahahaha….." tanya saya yang belum sempat dijawab oleh bang Ipin saya sudah mewujudkan cita-cita untuk ngakak sekeras-kerasnya. 
Dedongkot tim Cihuuuy! jatuh. Dengan wajah sepolos bayi dalam iklan sabun ia mengedipkan mata merasakan sakit di pantat. Puas tertawa berlebihan saya memberikan headlamp pada bang Ipin sebagai tanda penyesalan karena telah meninggalkannya berjalan terlalu jauh. Salah siapa orang kebelet disuruh jalan di depan? Hahahaha. 
  Perjalanan malam minggu saya dengan bang Ipin dilanjutkan dengan nyasar. Kami berdua bingung harus kembali ke tenda melalui jalan mana. Saya yang rabun senja semakin putus asa mengingat bang Ipin terjatuh dan tak bisa bangkit lagi. Makin tersesat dan tak tahu arah jalan pulang. Kami benar-benar seperti butiran debu. 
Tanah becek, keadaan gelap, dan rute membingungkan lengkap menjadikan satnite saya kali ini pasrah akan bermalam dimana. Entah jika esok pagi saya bangun sudah ada di perut macan tutul atau dalam gua para kanibal. Hiiiiiiii…. Saya bergidik ngeri. 
"Bang, tadi kita berangkat lewat mana ya?" 
"Gue sendiri juga lupa. Banyak tenda yang sama sih. Kita balik aja ke arah sumber mata air gimana?" usul bang Ipin agar kami menyusuri titik awal tujuan kami. 
Kami berdua berjalan kembali ke sumber air. Mengingat-ingat dari mana kami datang tadi sebelum bang Ipin terpeleset. Mulai mengenali tenda mana saja yang tadi kami lewati hingga lima belas menit kemudian kami berhasil menemukan shirotol mustaqim
Saat kami berhasil mencapai tenda, satu syukur lagi terselip karena malam ini saya masih bisa tidur nyenyak di tenda bukan di perut macan tutul. Senyap. Istilah itu yang saya dapat ketika kembali mencapai tenda. 
Sebenarnya ingin sekali berteriak girang dan bercuap-cuap dengan kakak-kakak gadis tenda saya. Namun, mereka sudah damai dalam buaian mimpi. Setelah mengucap terima kasih dan maaf pada bang Ipin saya memaksakan diri masuk ke tenda. Bukan karena mengantuk tapi karena takut dihampiri macan. 
Saya keluarkan sleeping bag dan mulai mengatur posisi tidur seperti ikan pindang. Saya amati, wanita-wanita tangguh di samping saya. Kak Salby sudah pulas. Kak Liah pun begitu. Tapi saya tahu, kak Hafizha belum berhasil lelap. Ia berusaha berbaring tenang tapi gerak ringannya terlihat gelisah. 
"Belda tidur! Sudah malem," suara leader mengingatkan saya dari dalam tendanya. Rupanya masih banyak matanya yang terjaga malam ini. 
"Iya bentar lagi, Kak!" ucap saya sambil memutar tombol kompor. Niat saya merebus air untuk membuat teh hangat. 
"Kak, ini diminum dulu," saya mengguncang tubuh kak Hafizhah pelan. Meyodorkan segelas teh hangat. Saya tahu kak Hafizhah mengalami kram perut akibat dingin. Mengingat ini kali pertama pengalaman si kakak bermalam di gunung. Saya tadi juga sempat mengamati porsi makan Kak Hafizha tidak banyak. Semakin menguatkan dugaan saya. 
Membiarkan kak Hafizha menikmati hangatnya teh yang menggelontor ke perutnya, saya melanjutkan kembali membuka kantung tidur. Tak lama kemudian, bang Herman berteriak dari tenda seberang. 
"Belda bawa koyo?"
"Enggak, Bang."
"Kalau balsam?"
"Gak ada di aku, Bang! Ntar aku tanyain kak Salby dulu…" saya mengguncang pelan bahu kak Salby menanyakan letak balsam. Kak Salby bilang ia meletakkan semua obat-obatan di kotak P3K. Saya sampaikan hal yang sama pada bang Herman, lalu saya tak mendengar lagi apa kabar encok punggungnya di seberang. 
Mata saya mulai sepet tapi tumben dingin tidak terlalu menyergap malam ini. Mungkin karena kau bersama saya malam ini, Srikandi. Jadi meski jauh saya tetap merasa hangat. Sebagaimana ritual kita sebelum-sebelumnya jika hendak memejamkan mata dalam tenda. Memuhasabah diri tentang apa saya yang terlewati hari ini.
 Maka, biarkan saja jaket saya melayang pada kak Hafizha agar kita sama-sama nyenyak tidur malam ini. Saya dengan bayangmu, dan kak Hafizha dengan jaket saya dan perutnya yang lebih enakan.
There were moments of dreams I was offered to save
I live less like a workhorse more like a slave
I thought that one quick moment that was noble or brave
Would be worth the most of my life…
Selamat malam, Srikandi! When My Time Comes milik Dawes masih setia menemani tidur di malam alam ini.
***
            "Hari ini kita ke puncak kan, Kak?" satu pertanyaan itu yang saya tanyakan pada leader, senior kiriman Tuhan yang membawa saya hingga mencapai titik ini. Titik dimana kami berdua menyaksikan teatrikal matahari.  
Dia belum menjawab, Srikandi! Hanya tersenyum. Entah arti jawabannya iya atau tidak. Entah apa saya akan berhasil membawamu ke puncak 2665 Mdpl ini atau hanya sampai Tegal Alun, padang edelweiss yang tersohor itu.
Apa bubur kacang ijo buatan kak Salby bisa memanjakan perut pagi ini? Eh, tapi bagaimana kabar kak Hafizha? Apakah kram perutnya sudah mereda? Atau malah bang Herman yang pagi ini tidak bisa bangun akibat encok punggung yang semakin menjadi?
Entah, Srikandi. Terlalu banyak pertanyaan yang harus dijawab! Maka tunggu saja uraiannya dalam lanjutan catatan pendakian Papadayan II: Senandung Papandayan.
To be continued…







 
-Hai, Srikandi!-
B.E.J
Ciputat, 03-04-14
01:39

    

             
              
  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar