" Wadah Perca-perca Mimpi Sebelum Terburai Melangit " (B.E.J.)

Senin, 03 November 2014

Jagakan Dia Untukku

Jika tidak melangkah maju dengan keyakinan. Maka lepaskanlah dengan penuh keikhlasan.
Cinta itu tidak mengenal kata “Menunggu”


Kalimat di atas adalah kalimat sakti yang selalu digaungkan oleh mentor saya kala ia mendapati saya mulai kacau dengan komitmen diri untuk menulis. Awal tercetusnya kalimat ini adalah beberapa bulan yang lalu, saat kami berdua bercanda sepulang dari Pejanten Village pasca acara bedah buku komunitas ibu-ibu penulis produktif yang di dalamnya terdapat mentor saya juga. Saat itu saya dan seorang kawan dipaksa datang karena hendak ia kenalkan dengan rekan-rekan penulisnya.

            Selepas acara tersebut kami berdua banyak mengobrolkan tentang seorang lelaki yang mendekati mentor. Ia bilang sangat iba melihat lelaki yang sulit menerima statusnya sebagai istri orang lain. Padahal, sang mentor pun tak ada hati dengan lelaki tersebut. Obrolan kami berlanjut via pesan pribadi. Entah mengapa, sejak pertama kali mengenal wanita berdarah Aceh ini, saya langsung merasa memiliki sahabat sekaligus kakak. Dan benar saja, semakin kemari ia bukan saja sebagai mentor di kelas peminatan yang saya ambil tetapi juga teman curhat dan kakak pembimbing.

            Hingga satu hari, saya, seorang kawan, dan mentor memutuskan untuk fokus membedah unsur intrinsik naskah novel kami. Kami bertiga makan malam di sebuah kedai dan obrolan kami merembet mencipta banyak sulur. Salah satunya adalah: cinta.

***

             “Belda, jika seorang lelaki datang membawa segenggam cinta untukmu apa yang akan Belda lakukan?” tanyanya saat itu. Saya hanya mengendikkan bahu. Jujur, saat itu pikiran saya fokus pada obrolan seputar novel, buku, dan penerbitan bukan yang lain-lain.

            “Mungkin aku akan melihat seberapa lama ia bertahan dengan apa yang ia genggam, Mbak.” Setelah sedikit memutar otak dan menyeruput teh manis hangat, akhirnya saya beranikan angkat suara.

“Belda, ada satu hal yang perlu kamu ingat...” Wanita di hadapan saya ini menjeda bicaranya dengan uluman senyum. Kami berdua (saya dan seorang kawan lelaki yang sedari tadi hanya turut dengar saja) menunggu kalimat sang mentor.

“Jika tidak melangkah maju dengan keyakinan. Maka lepaskan dengan penuh keikhlasan. Cinta itu tidak mengenal kata ‘menunggu’.”

Saya mengangguk mencoba menelaah apa yang ibu satu putri ini katakan. Anggukan yang tak pernah usai hingga detik ini. Sebab, status pijak saya saat ini adalah ‘menunggu’. Maka apakah tidak ada balasan untuk hati yang selalu menunggu dalam taat?

***
            Karena dia telah menggenggam sekeping cerita hatiku, dia pula tahu bagaimana tekanan ini dibuat amat dalam agar aku tak membuncah ketika berjumpa denganmu. Maka ia memutuskan untuk memerantarai rindu kita melalui tatapan tajam dan ungkapan yang seakan-akan menghujammu itu.

Sungguh, ia turut was-was dengan keadaan kita yang tak berkepastian ini. Ditambah lagi jarak hampa yang sengaja dicipta. Tapi, kuyakinkan dia bahwa setelah ini usai takkan merubah apapun di antara kita, kecuali meningkatnya kebaikan pada diri. 

Pikiran dari mana kalau-kalau aku hendak berusaha meninggalkanmu? Ckck... Sayang, tolong enyahkan pikiran itu. Aku enggan bila di sana kau berpikir macam-macam, sedang aku di sini mati-matian menahan rindu.

Sayang, Ahad kemarin aku menjadi pendengar yang loyal. Tentang kisahmu dari sahabat yang aku yakin benar kedekatannya denganmu. Kata-katanya sederhana dan tak berbelit-belit. Ia selalu tersenyum ketika kami akan mengalami perpindahan topik perbincangan. Senyum manis di wajah chubby nya.

 Ada luka yang ia tuturkan berhati-hati padaku. Ia ucap, inilah kau mengapa sangat berhati-hati dengan hatimu. Mungkin, kau takut menggarami luka masa lalu itu kembali. Sayang, aku tak menuntut apapun perihal itu. Tapi tolong, kau bisikkan sesuatu jika suatu waktu lukamu itu terasa berdenyut agar kutahu apa yang harus kulakukan. 

Benar-benar tak terbersit sedikit pun lakuku tuk menyakitimu, Sayang,  yang ada saat ini dan makin merebak adalah bagaimana caraku agar tak (lagi) mengecewakanmu...


Tuhan jaga dia untukku
Kala ku masih jauh
Bagai menghitung resah berkepingan berderaian
Tuhan jaga dia untukku
Selamanya ku ada
Mencipta syurga bersama
Menyayangi mendampingi dia

             (Jaga Dia Untukku-Siti Nurhalizah)



: Rabb, mohon jaga dia dari segala luka, kecewa, dan merana. Pada-Mu kutitipkan penjagaannya.




03 November 2014
Senang sekali bisa berbincang dengan penulis skenario yang hangat itu




Tidak ada komentar:

Posting Komentar