Jika tidak melangkah maju dengan keyakinan. Maka lepaskanlah
dengan penuh keikhlasan.
Cinta itu tidak mengenal kata “Menunggu”
Kalimat di atas adalah kalimat sakti yang selalu digaungkan oleh
mentor saya kala ia mendapati saya mulai kacau dengan komitmen diri untuk
menulis. Awal tercetusnya kalimat ini adalah beberapa bulan yang lalu, saat
kami berdua bercanda sepulang dari Pejanten Village pasca acara bedah buku
komunitas ibu-ibu penulis produktif yang di dalamnya terdapat mentor saya juga.
Saat itu saya dan seorang kawan dipaksa datang karena hendak ia kenalkan dengan
rekan-rekan penulisnya.
Selepas acara
tersebut kami berdua banyak mengobrolkan tentang seorang lelaki yang mendekati
mentor. Ia bilang sangat iba melihat lelaki yang sulit menerima statusnya
sebagai istri orang lain. Padahal, sang mentor pun tak ada hati dengan lelaki
tersebut. Obrolan kami berlanjut via pesan pribadi. Entah mengapa, sejak
pertama kali mengenal wanita berdarah Aceh ini, saya langsung merasa memiliki
sahabat sekaligus kakak. Dan benar saja, semakin kemari ia bukan saja sebagai
mentor di kelas peminatan yang saya ambil tetapi juga teman curhat dan kakak
pembimbing.
Hingga satu hari,
saya, seorang kawan, dan mentor memutuskan untuk fokus membedah unsur intrinsik
naskah novel kami. Kami bertiga makan malam di sebuah kedai dan obrolan kami
merembet mencipta banyak sulur. Salah satunya adalah: cinta.
***
“Belda, jika seorang lelaki datang membawa
segenggam cinta untukmu apa yang akan Belda lakukan?” tanyanya saat itu. Saya
hanya mengendikkan bahu. Jujur, saat itu pikiran saya fokus pada obrolan
seputar novel, buku, dan penerbitan bukan yang lain-lain.
“Mungkin aku akan
melihat seberapa lama ia bertahan dengan apa yang ia genggam, Mbak.” Setelah
sedikit memutar otak dan menyeruput teh manis hangat, akhirnya saya beranikan
angkat suara.
“Belda, ada satu hal yang perlu kamu ingat...” Wanita di hadapan
saya ini menjeda bicaranya dengan uluman senyum. Kami berdua (saya dan seorang
kawan lelaki yang sedari tadi hanya turut dengar saja) menunggu kalimat sang
mentor.
“Jika tidak melangkah maju dengan keyakinan. Maka lepaskan dengan
penuh keikhlasan. Cinta itu tidak mengenal kata ‘menunggu’.”
Saya mengangguk mencoba menelaah apa yang ibu satu putri ini
katakan. Anggukan yang tak pernah usai hingga detik ini. Sebab, status pijak
saya saat ini adalah ‘menunggu’. Maka apakah tidak ada balasan untuk hati yang
selalu menunggu dalam taat?
***
Karena dia telah
menggenggam sekeping cerita hatiku, dia pula tahu bagaimana tekanan ini dibuat
amat dalam agar aku tak membuncah ketika berjumpa denganmu. Maka ia memutuskan
untuk memerantarai rindu kita melalui tatapan tajam dan ungkapan yang
seakan-akan menghujammu itu.
Sungguh, ia turut was-was dengan keadaan kita yang tak berkepastian
ini. Ditambah lagi jarak hampa yang sengaja dicipta. Tapi, kuyakinkan dia bahwa
setelah ini usai takkan merubah apapun di antara kita, kecuali meningkatnya
kebaikan pada diri.
Pikiran dari mana kalau-kalau aku hendak berusaha meninggalkanmu? Ckck...
Sayang, tolong enyahkan pikiran itu. Aku enggan bila di sana kau
berpikir macam-macam, sedang aku di sini mati-matian menahan rindu.
Sayang, Ahad kemarin
aku menjadi pendengar yang loyal. Tentang kisahmu dari sahabat yang aku yakin
benar kedekatannya denganmu. Kata-katanya sederhana dan tak berbelit-belit. Ia
selalu tersenyum ketika kami akan mengalami perpindahan topik perbincangan.
Senyum manis di wajah chubby nya.
Ada luka yang ia tuturkan
berhati-hati padaku. Ia ucap, inilah kau mengapa sangat berhati-hati dengan
hatimu. Mungkin, kau takut menggarami luka masa lalu itu kembali. Sayang,
aku tak menuntut apapun perihal itu. Tapi tolong, kau bisikkan sesuatu jika
suatu waktu lukamu itu terasa berdenyut agar kutahu apa yang harus
kulakukan.
Benar-benar tak terbersit sedikit pun lakuku tuk menyakitimu, Sayang,
yang ada saat ini dan makin merebak
adalah bagaimana caraku agar tak (lagi) mengecewakanmu...
Tuhan jaga dia
untukku
Kala ku masih jauh
Bagai menghitung
resah berkepingan berderaian
Tuhan jaga dia
untukku
Selamanya ku ada
Mencipta syurga
bersama
Menyayangi
mendampingi dia
(Jaga Dia Untukku-Siti Nurhalizah)
(Jaga Dia Untukku-Siti Nurhalizah)
: Rabb, mohon jaga dia dari segala luka, kecewa,
dan merana. Pada-Mu kutitipkan penjagaannya.
03 November 2014
Senang sekali bisa
berbincang dengan penulis skenario yang hangat itu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar