" Wadah Perca-perca Mimpi Sebelum Terburai Melangit " (B.E.J.)

Kamis, 13 November 2014

Obrolan Tanah

Mengapa seseorang bisa puas dengan pilihan orang lain?

Mengapa seseorang justru tersiksa dengan pilihannya sendiri?


            Hingga menit ke-75 kami masih belum bisa memahami konflik apa yang menjadi premis awal film yang layarnya tergeber di hadapan kami. Sungguh film remaja yang kami tonton malam ini memiliki persoalan klise layakanya kisah percintaan yang banyak disuguhkan di film maupun novel teenlit.

            Selepas hujan turun sore ini, saya memang berniat mengajak hang out Tanah. Sebab ia sedang ingin merasakan hawa yang berbeda di rotasi dua dasawarsanya yang jatuh kemarin. Namanya memang bukan Tanah, tapi sejak awal pertama kali kami berkenalan saya sudah menganggapnya seperti stabilizer. Bahkan saat itu kami berdua sama-sama belum mengenal teman lain.

             Tanah adalah jelmaan sungai yang sama-sama memberi kedamaian tersendiri jika berada di dekatnya. Tanah selalu bisa menumbuhkan tunas saat angin membawa terbang benih. Tanah senantiasa setia menyerap air saat ia kalut dan menangis. Tanah tak pernah gagal memadamkan bara jika ia mulai terbakar. Mungkin inilah juga yang terlihat di mata orang-orang itu, hingga ia dipercaya untuk menebar potensi manfaatnya bagi elemen lain.

 Ringkasnya, gadis itu kebalikan dari sifat saya yang seringkali membuncah dan tetiba bisa gundah dalam satu waktu. Tanah tidak, ia selalu tenang dan menunggu saat yang tepat untuk membenarkan argumen atau membuktikan kesalahan saya.

Kembali pada obrolan Tanah. Hari ini menjadi hari yang berkualitas untk kami. Lantaran sejak kami tidak lagi tinggal di satu atap, waktu bertemu dan bertukar kisah kami hanya dalam durasi jam kampus. Amat singkat. Karena selepas jam kelas berakhir, kami pasti langsung melalang ke tujuan masing-masing.

Lipatan kantung matanya yang bertambah dua lampir jelas menandakan bahwa Tanah kurang tidur akhir-akhir ini. Ia pun berkata bahwa banyak yang harus ia kerjakan dalam waktu dekat. Saya mengangguk, membenarkan perkataannya sebab kami berada di posisi yang sama meski beda kesibukan.

Namun, berbeda dengan saya. Tanah agaknya kurang menikmati apa yang ia perjuangkan belakangan itu. Ia sendiri masih ragu. Apakah yang ia jalani saat ini benar-benar akan membuatnya bahagia dan merdeka? Apakah setelah ini ada jaminan bahwa pilihannya tak akan membuat kecewa?

Ah, Tanah... tak ada jaminan pasti dalam kehidupan yang serba fana ini. Biarkan saja kita mencicipi semuanya. Biar kita tahu apa rasa asam, manis, pedas, getir, dan tawarnya kehidupan. Semua rasa itu adalah kamuflase dari pelajaran hidup.

Kami masih berbincang tentang konflik apa yang dipermasalahkan oleh tokoh di hadapan kami sampai akhirnya kami paham. Bahwa menentukan sebuah pilihan dan menuruti garis takdir itu bertentangan. Itu menurut film yang kami tonton.


Masih dengan pra-teori yang belum utuh, kami mulai meraba-raba. Apakah jika seseorang memutuskan untuk memilih berarti ia tak menuruti takdir Tuhan? Atau jika seseorang menuruti garis takdir itu artinya ia pragmatis dan tidak memilih apapun dalam hidupnya? Entahlah. Sepertinya Tanah enggan diajak berpikir agak keras malam ini. Tak seperti biasanya, ia betah meladeni obrolan ngawur saya ngalor-ngidul.

“Jika realisme naif adalah menerima dunia sebagimana tampaknya, apakah kalau aku manut dengan pilihan banyak suara itu artinya aku termasuk golongan common sense?” rupanya, Tanah masih bergelut dengan apa yang ia ragukan dan jalani belakangan ini. Hingga ia merangkak pada teori world view dan ethos yang kami hafal di luar ubun-ubun, sebab masih hangat dari ujian.

“Bukankah kamu mengkaji terlebih dulu apa yang akan kamu kerjakan sebelum akhirnya menjalani?” ujar saya memastikan keraguannya.

“Iya, itu benar.”

“Maka, kamu bukan termasuk golongan orang-orang itu. Kamu adalah salah satu dari sekian banyak golongan berilmu pengetahuan yang selalu menganalisis realisme kiritis.”

“Tapi, aku kadang hanya mengiyakan apa kata mereka, Belda... seolah tak bisa berkutik.”

“Hei! Aku tahu. Yang jelas keragu-raguanmu terhadap hal baru yang kamu jalani ini bukan karena pandangan common sense atau pun estetik. Sebab kau selalu membawa-bawa Tuhan dalam mengambil keputusan. Bukankah itu berarti ada reality real yang kamu yakini?”

“Iya, Belda. Tapi ya ampuuun....” gadis di samping saya ini mengorek-ngorek udara, mencari padanan kata yang pas untuk mengungkapkan kebimbangannya.

“Sudahlah, aku ada untukmu. Meskipun tidak banyak membantu. Setidaknya, telingaku ada untuk menampung ceritamu. Datanglah kapanpun kau mau...”

Tanah bungkam. Saya serahkan sebuah buku yang sengaja kami beli di toko buku mewah sekeluar dari ruang teater tadi. Saya tahu, setelah ini kesibukan barunya melayani hak banyak orang pasti akan memakan waktu kami. Maka ia perlu buku itu untuk mewakilkan telinga ini. Obrolan kami selesai tanpa penyelesaian. 


***

Tak perlu kau pahami obrolan di atas, cukup tahu saja bahwa kau tidak pernah berlari sendiri. Rentang tanganku selalu terbuka untuk memelukmu. Jadilah selalu engkau tanah humus yang akan mensuplai ragam manfaat bagi banyak makhluk.

 Selamat berjuang, Tanah! Sekejam apapun kaki mereka menginjak, kau tetaplah Tanah yang kubanggakan. Selembut apapun tangan mereka membuai, kau masihlah Tanah yang kukenal dulu. Tempat peleraian segala elemen. 

Semoga kau makin kuat meski tanpa ucapan selamat.

(B.E.J) 13/11/14


   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar