Mengapa seseorang bisa puas dengan pilihan orang lain?
Mengapa seseorang justru tersiksa dengan pilihannya
sendiri?
Hingga menit ke-75
kami masih belum bisa memahami konflik apa yang menjadi premis awal film yang
layarnya tergeber di hadapan kami. Sungguh film remaja yang kami tonton malam
ini memiliki persoalan klise layakanya kisah percintaan yang banyak disuguhkan
di film maupun novel teenlit.
Selepas hujan
turun sore ini, saya memang berniat mengajak hang out Tanah. Sebab ia
sedang ingin merasakan hawa yang berbeda di rotasi dua dasawarsanya yang jatuh
kemarin. Namanya memang bukan Tanah, tapi sejak awal pertama kali kami
berkenalan saya sudah menganggapnya seperti stabilizer. Bahkan saat itu
kami berdua sama-sama belum mengenal teman lain.
Tanah adalah jelmaan sungai yang sama-sama
memberi kedamaian tersendiri jika berada di dekatnya. Tanah selalu bisa
menumbuhkan tunas saat angin membawa terbang benih. Tanah senantiasa setia
menyerap air saat ia kalut dan menangis. Tanah tak pernah gagal memadamkan bara
jika ia mulai terbakar. Mungkin inilah juga yang terlihat di mata orang-orang itu, hingga ia dipercaya untuk menebar potensi manfaatnya bagi elemen lain.
Ringkasnya, gadis itu
kebalikan dari sifat saya yang seringkali membuncah dan tetiba bisa gundah
dalam satu waktu. Tanah tidak, ia selalu tenang dan menunggu saat yang tepat
untuk membenarkan argumen atau membuktikan kesalahan saya.
Kembali pada obrolan Tanah. Hari ini menjadi hari yang berkualitas
untk kami. Lantaran sejak kami tidak lagi tinggal di satu atap, waktu bertemu
dan bertukar kisah kami hanya dalam durasi jam kampus. Amat singkat. Karena selepas
jam kelas berakhir, kami pasti langsung melalang ke tujuan masing-masing.
Lipatan kantung matanya yang bertambah dua lampir jelas menandakan
bahwa Tanah kurang tidur akhir-akhir ini. Ia pun berkata bahwa banyak yang
harus ia kerjakan dalam waktu dekat. Saya mengangguk, membenarkan perkataannya
sebab kami berada di posisi yang sama meski beda kesibukan.
Namun, berbeda dengan saya. Tanah agaknya kurang menikmati apa yang
ia perjuangkan belakangan itu. Ia sendiri masih ragu. Apakah yang ia jalani
saat ini benar-benar akan membuatnya bahagia dan merdeka? Apakah setelah ini
ada jaminan bahwa pilihannya tak akan membuat kecewa?
Ah, Tanah... tak
ada jaminan pasti dalam kehidupan yang serba fana ini. Biarkan saja kita
mencicipi semuanya. Biar kita tahu apa rasa asam, manis, pedas, getir, dan
tawarnya kehidupan. Semua rasa itu adalah kamuflase dari pelajaran hidup.
Kami masih berbincang tentang konflik apa yang dipermasalahkan oleh
tokoh di hadapan kami sampai akhirnya kami paham. Bahwa menentukan sebuah
pilihan dan menuruti garis takdir itu bertentangan. Itu menurut film yang
kami tonton.
Masih dengan pra-teori yang belum utuh, kami mulai meraba-raba. Apakah
jika seseorang memutuskan untuk memilih berarti ia tak menuruti takdir Tuhan? Atau
jika seseorang menuruti garis takdir itu artinya ia pragmatis dan tidak memilih apapun dalam
hidupnya? Entahlah. Sepertinya Tanah enggan diajak berpikir agak keras malam
ini. Tak seperti biasanya, ia betah meladeni obrolan ngawur saya ngalor-ngidul.
“Jika realisme naif adalah menerima dunia sebagimana tampaknya,
apakah kalau aku manut dengan pilihan banyak suara itu artinya aku
termasuk golongan common sense?” rupanya, Tanah masih bergelut dengan
apa yang ia ragukan dan jalani belakangan ini. Hingga ia merangkak pada teori world
view dan ethos yang kami hafal di luar ubun-ubun, sebab masih hangat
dari ujian.
“Bukankah kamu mengkaji terlebih dulu apa yang akan kamu kerjakan
sebelum akhirnya menjalani?” ujar saya memastikan keraguannya.
“Iya, itu benar.”
“Maka, kamu bukan termasuk golongan orang-orang itu. Kamu adalah
salah satu dari sekian banyak golongan berilmu pengetahuan yang selalu
menganalisis realisme kiritis.”
“Tapi, aku kadang hanya mengiyakan apa kata mereka, Belda... seolah
tak bisa berkutik.”
“Hei! Aku tahu. Yang jelas keragu-raguanmu terhadap hal baru yang
kamu jalani ini bukan karena pandangan common sense atau pun estetik. Sebab kau selalu membawa-bawa
Tuhan dalam mengambil keputusan. Bukankah itu berarti ada reality real yang
kamu yakini?”
“Iya, Belda. Tapi ya ampuuun....” gadis di samping saya ini
mengorek-ngorek udara, mencari padanan kata yang pas untuk mengungkapkan
kebimbangannya.
“Sudahlah, aku ada untukmu. Meskipun tidak banyak membantu. Setidaknya,
telingaku ada untuk menampung ceritamu. Datanglah kapanpun kau mau...”
Tanah bungkam. Saya serahkan sebuah buku yang sengaja kami beli di toko buku mewah
sekeluar dari ruang teater tadi. Saya tahu, setelah ini kesibukan barunya
melayani hak banyak orang pasti akan memakan waktu kami. Maka ia perlu buku itu
untuk mewakilkan telinga ini. Obrolan kami selesai tanpa penyelesaian.
***
Tak perlu kau pahami obrolan di atas, cukup tahu saja bahwa kau tidak pernah berlari sendiri. Rentang tanganku selalu terbuka untuk memelukmu. Jadilah selalu engkau tanah humus yang akan mensuplai ragam manfaat bagi banyak makhluk.
Semoga kau makin kuat meski tanpa
ucapan selamat.
(B.E.J)
13/11/14
Tidak ada komentar:
Posting Komentar