Adakah tempat yang lebih
romantis dari taman bunga?
Ada,
yakni: toko buku
Setelah
kurang lebih tiga bulan tidak berkunjung ke 'tempat main', akhirnya dua hari
lalu saya berkesempatan mengunjungi kawan diskusi di sana. Jajaran toko buku di
Blok M Square selalu bisa membuat hati saya merdeka dan pikiran saya mengembara
jauh.
Berdiskusi
dengan abang penjual buku langganan adalah salah satu kegiatan yang selalu
menyenangkan dan membekaskan jejak sepeninggal obrolan kami usai. Kami membicarakan
banyak hal tentang buku dan penulis. Tentang industri penerbitan dan pelelangan
buku. Selalu ada hal baru yang ia ceritakan jika saya mengunjunginya, sekadar
menanyakan rekomendasi buku baru atau singgah sejenak untuk membaca bukunya.
Bang
BS begitu saya memanggilnya, lusa kemarin ia bercerita banyak tentang cetakan deluxe
novel-novel lama milik Armijn Pane, Hamka, Abdoel Moeis, Marah Roesli, dan
penulis-penulis kawakan yang tinta emasnya masih mengilap mewarnai dunia
perbukuan Indonesia.
Sebenarnya,
lama tak bersua membuat saya banyak berperan menjadi pendengar kali itu. Sebab banyak
informasi yang baru saya dapat kali ini. Lelaki yang selalu membanggakan
kedua putrinya yang berdarah Aceh kental itu, mengisahkan singkat perjalanan panjang penulis-penulis luar biasa yang saya sebutkan tadi. Buku-buku mereka sekarang
dicetak sedemikian rupawan sampul, kertas cetakan, dan lay out nya sebab
peminatnya selalu saja bertambah makin hari.
“Adik,
mereka itu menulis pakai hati. Jadi orang membacanya juga pakai hati. Itulah mengapa,
buku mereka selalu di hati.”
Ini
bukan kisah tentang bang BS lulusan S2 Pertanian yang rela menggadaikan
titlenya hanya untuk membuka lapak buku di ground floor Blok M Square.
Ini tentang kebahagiaan yang ia bagikan di pertemuan kedua kami dulu. Bahwa, tak
penting seberapa tinggi pendidikanmu, seberapa penting jabatanmu di mata orang
lain, seberapa banyak hartamu menumpuk. Yang terpenting adalah: jangan
menggadaikan kebahagiaan hanya karena picing mata orang lain!
Kalimatnya
selalu menggaung di telinga saya. Ia selalu bahagia ketika menceritakan buku
baru yang tamat ia baca. Mengkritiki gaya penulisan atau plotnya. Membagi pengetahuan
tentang teori-teori yang ia ingat, dan mengingat-ingat kitab mana yang memuat
kalimat mutiara yang bijak sekali.
Akhir
pertemuan kami, saya selesaikan dengan obrolan seputar Antropologi. Saya berkisah
bahwa semester ini mata kuliah tersebut menjadi pusaran fokus saya, lantaran
sangat menarik mengetahui latar belakang manusia yang berbeda-beda namun bisa
membaur dalam satu kehidupan.
“Karena
manusia itu sebenarnya punya sayap, Dik. Tapi banyak yang tak mengepakkannya. Itulah
mengapa ada manusia yang bisa menoleransi satu sama lain, karena dia tahu untuk
terbang tinggi itu sulit sekali. Bahkan untuk yang terbang rendah atau baru
belajar terbang. Manusia yang tidak sadar bahwa ia punya sayap, ia kan diam
saja dan menganggap semuanya serba diam di tempat.”
Seingat
saya kurang lebih itulah komentarnya, ketika saya berbicara tentang konsep World
View dengannya. Hingga saat ini saya masih berusaha memahami apa yang si
abang katakan.
“Tapi,
sebaik-baik manusia adalah seperti Nabi Muhammad. Yang bermanfaat bagi orang
lain. Adik pasti lebih paham itu daripada saya.”
Saya
sudahi, obrolan kami setelah melihat gerak jarum arloji tak lagi melata. Ia mulai
berlari dan memerangkap pekat. Sudah malam, toko buku milik bang BS sudah harus
diberesi.
Perkara sayap itu, saya jadi menimbang-nimbang banyak hal. Apakah selama ini saya menahan terbang sayap lain? Atau bahkan mematahkan sayapnya? Satu pelajaran lagi, saya renungkan hingga saat ini.
Ah, bang BS. Saya tidak pernah tahu sebelumnya bahwa hari itu pelajaran datang diperantarai olehmu. Ya, begitulah. Kita tidak pernah menyangka pelajaran akan datang kapan dan dari siapa. Sebab seorang pembelajar yang baik akan belajar dari mana saja dan dari siapa saja. Madrasah terbaiknya adalah kehidupan. Bukan begitu, Sayang?
***
Fly to who you are
Climb upon your star
You believe youl’ll find your wings
Fly to your heart... (Selena Gomez)
Terbang,
Sayang... terbanglah yang tinggi! Jangan biarkan kenangan membekukan
sayapmu. Jangan biarkan kisah kita membesut langkahmu. Jangan biarkan janji ini
menahan lakumu.
Terbang,
Sayang... terbanglah mengangkasa! Biarkan aku melihat kepak sayap
lebarmu yang memberi ketenangan. Biarkan mereka tahu ada serbuk ajaib yang
jatuh di tiap hempasan udara yang kau tampik. Serbuk bahagia bagi semua jiwa.
Terbang,
Sayang... terbanglah mengembara! Sebab aku tak mau kau hanya tertahan
dengan laku waktu bisu. Dan kau tahu ia juga tuli maka tak kau dengar desis doa
kita. Mungkin sebentar lagi, lumpuhlah kedua kakinya hingga kita hanya bisa
menyeret langkah waktu yang terseok kesakitan.
Terbang,
Sayang... kumohon terbanglah kemana pun kau mau! Tambatlah dimana pun
kau lelah. Sebab khawatirku, bukan padaku nantinya pulangmu.
Terbang,
Sayang... terbanglah! Bebaskan dirimu.
Mendung sore (seminggu sudah),
26 Oktober 2014; 15:30
Tidak ada komentar:
Posting Komentar