Lagi-lagi bukan karena kami mendalami bidang studi yang sama yakni,
komunikasi. Juga bukan karena besok dosen akan mengadakan Ujian Tengah Semester
Manajemen Industri Media Massa yang akan banyak mengulas tentang komunikasi dalam
kehidupan sehari-hari dan komunikasi media massa. Tajuk untuk postingan kali
ini semata-mata karena hari ini saya baru sadar betapa pentingnya menjalin dan
menjaga komunikasi. Sekali lagi, baru sadar.
Tidak terhitung berapa banyak tokoh dan pakar ilmu komunikasi yang
membeberkan teori komunikasi dalam banyak buku. Intinya, komunikasi diartikan
tidak lain sebagai proses di mana seseorang menyampaikan pesannya, baik dengan
lambang bahasa maupun dengan isyarat, gambar, gaya, yang antara keduanya telah
terdapat kesamaan makna, sehingga keduanya dapat mengerti apa yang sedang
dikomunikasikan. Setidaknya, komunikasi memiliki tiga tahapan:
1. Persepsi, yang sering
kita sebut sebagai penginderaan suatu gejala di luar diri. Gampangnya, persepsi
adalah anggapan atau pemantauan seseorang terhadap segala sesuatu yang ada di
sekelilingnya.
2.
Ideasi, penataan
hasil persepsinya ke dalam benak.
3.
Transmisi, melontarkannya kepada orang dalam bentuk pesan.
Di samping itu, tiga unsur yang paling esensi lainnya dalam
komunikasi adalah pengirim (communicator), pesan (message), dan penerima
(communican). Bisa dibayangkan, apabila tidak ada penyampai pesan, pasti
komunikasi tidak akan terjadi sebab dialah kunci utama terjadinya komunikasi. Sedang
jika tak ada pesan, lalu apa yang akan dilakukan kedua belah pihak? Hambar sebab
tak ada yang disampaikan dan dibahas. Begitu pun jika tak ada penerima pesan,
maka sang komunikator akan gedek karena tak ada orang yang akan
menggubrisnya.
Baik, saya tidak akan membuat postingan kali ini semacam makalah
tapi cukuplah paparan di atas menjadi mata rantai dari kejadian hari ini. Semua
berhubungan dengan komunikasi.
***
Cuaca yang sering galau akhir-akhir ini rupanya andil membuat tubuh
galau pula. Saat kemarin sebuah pesan masuk dalam alat komunikasi elektronik,
saya tahu bahwa musim pancaroba seperti sekarang pasti banyak memakan korban. Teman-teman
main saya banyak yang tumbang, sebab kondisi yang kurang fit. Mendengar kabar
tersebut, pastinya saya lebih semangat dalam menjaga kondisi tubuh agar tidak ikut-ikutan
tumbang.
Apa daya setelah semalam bisa bertahan dengan sebungkus tisu, flu
pagi ini meraja lela menggerogoti tubuh. Bangun dengan kepala yang cukup berat,
saya berazzam hari ini harus mampu melampaui semua kegiatan. Sebab tubuh
yang kurang sehat jika dimanjakan maka akan menjadi-jadi. Itu prinsip awal.
Dengan suara sengau alias serak-serak seksi, jam pertama pun
terlewati semenyenangkan biasanya. Sesi selanjutnya adalah sesi presentasi
akbar pra UTS yang mengharuskan pemateri berdiri di depan kelas selama durasi
30-60 menit. Tebak, apakah saya bertahan? Pastinya! Tubuh tidak rewel hingga
presentasi bagian saya usai. Namun, menit berikutnya suhu ruangan berasa
meningkat. AC yang tidak berkurang derajat Celciusnya membuat kulit tiba-tiba
meremang dan gawatnya keringat dingin mulai mengucur.
Saya sempat heran, sejak kapan aklimatisasi tubuh saya sedemikian
buruk? Sejak lama tak melakukan ritual jogging kah? Atau sejak lama tak
berbaur dengan suhu dingin di ketinggian gunung? Entahlah, mungkin kombinasi
dari kemungkinan-kemungkinan tersebut.
Menit selanjutnya terjalani dengan fokus yang mulai pecah sebab tetiba
ada tumpukan beton yang hinggap di kepala. Apa pula ini? Ah, sepertinya
sepulang kelas ini kamar tidur adalah tujuan paling tepat dan nikmat.
Ringkasnya, sepulang kuliah rumah belum bisa menjadi tempat pulang
sebab sahabat saya meminta untuk pergi mencari persembahan untuk snag bunda. Ia
tak memaksa, tapi saya kurang tega membiarkan dia pergi sendiri. Maka, beton di
kepala pun disingkirkan barang sejam ke depan.
***
“Aku membagi shalat (yakni Al-Fatihah) antara diri-Ku dan
hamba-Ku menjadi dua bagian. Dan untuk hamba-Ku apa yang dimohonnya. Apabila hamba-Ku
berkata: Alhamdulillah Rabbil ‘Alamin, Allah menyambut dengan berfirman:
Hamadani ‘Abdi (Aku dipuja oleh hamba-Ku). Apabila dia membaca,
Ar-Rahman Ar-Rahiim. Allah berfirman: Atsna ‘Alayya ‘Abdi (Aku dipuji
oleh hamba-Ku). Apabila dia membaca, Maliki Yaumid Din, Allah
berfirman: Majjadani ‘Abdi (Aku diagungkan oleh hamba-Ku). Dan apabila
ia membaca: Iyyaka Na’budu wa Iyyaka Nasta’in, maka Allah berfirman:
Hadza bayni wa bayna ‘abdi, wa li’abdi ma sa’ala (Ini adalah antara Aku dan
hamba-Ku, dan bagi hamba-Ku segala sesuatu yang dimohon (pada-Ku)). Dan
apabila ia berkata: Ihdina al-shirath al-mustaqim, shirat al-ladzina an’amta
‘alayhim ghayr al-maghdhubi ‘alayhim wa la al’dhallin, maka Allah berfirman:
Hadza li’abdi ma sa’ala (Ini adalah bagi hamba-Ku. Bagi hamba-Ku segala
sesuatu yang dimohon pada-Ku).” (HR. Muslim)
Masih terngiang
hadits Qudsi yang dibahas pada presentasi tadi siang, saya kembali terhenyak. Sungguh
betapa mudahnya seorang hamba biasa seperti kita menjalin komunikasi dengan
Dzat Yang Maha Luar Biasa. Maka sebelum beranjak menemani sahabat itu, saya
komunikasikan semua pada-Nya siang tadi. Betapa syukur ini tak terkira dapat
dengan mudah melakukan kontak penyampaian pesan pada Sang Maha Penting.
Bayangkan saja
jika, untuk bertemu dengan direktur sebuah perusahaan saja kita harus melakukan
janji pertemuan sebanyak dua sampai tiga kali baru dapat mengutarakan hal yang
kita maksud. Mengapa begitu sulit membuka diri hanya sekadar melaporkan
kegiatan sehari-hari pada Direktur Alam Semesta yang tak rumit untuk berkomunikasi
dengan-Nya.
Sudah saya
komunikasikan dengan baik di ujung siang tadi apa yang mengganjal di benak. Semua
terasa sedikit lebih ringan. Terlebih karena, sebelum melakukan tarian siang
tadi basuhan air wudhu benar-benar mampu menyegarkan kembali tubuh yang sempat
limbung.
Hampir dua jam
saya dan dara Sunda tersebut menjelajahi tiap toko yang ada. Mencari pernak-pernik
yang akan ia bawa pulang akhir pekan ini dan dipersembahkan untuk bunda
terkasih. Lagi-lagi, sepertinya daya adaptasi tubuh saya kurang baik hari ini. Baru
sebentar saja lelah terasa memeluk erat.
Beruntung itu
terjadi tak lama sebelum teteh berlesung pipi manis itu menemukan sesuatu yang
pas untuk dibawa pulang. Alhasil, kami berpencar pulang untuk meneruskan
kegiatan masing-masing. Kasur, adalah tujuan utama saya setelah ini!
***
Di waktu rehat
sejenak, gadis Padang yang over baik hati dengan antusias menyiapkan
segala obat dan perlengkapan kesehatan lainnya. Dia khawatir sekali melihat
saya pulang dengan binar redup.
“Makasih ya Uni, tapi aku enggak sakit!” agak tersinggung juga saat
ia terlalu berlebihan bersikap seakan-akan saya pasien yang mengidap penyakit
akut. Sebab biasanya dialah yang sering tumbang karena kelelahan.
“Boong! Mata udah kayak gitu masih aja ngotot!” solotnya tak mau
kalah. Oke, daripada memperpanjang masalah. Saya sudahi percakapan itu
dengan masuk kamar. Tapi sebelum menutup pintu, saya tegaskan kembali padanya.
“Aku enggak sakit! Cuman ngantuk aja!”
“Bodo! Yang penting ini diletakin di sini. Kalau butuh ini ada di
sini... bla..bla...bla...” tetap saja dia kekeuh memberi tahu saya letak obat dan perlengkapan
kesehatan lainnya yang telah ia siapkan.
Percakapan kami selesai. Saya non aktifkan segala macam alat
komunikasi dan dia kembali ke kampus untuk mengikuti kelas berikutnya. Siang ini,
biarkan saja tubuh menerima haknya lebih banyak tanpa diinterupsi oleh
kepentingan apapun.
***
15 Whats App. 3 BBM. 4 SMS dan beberapa pesan
panggilan tak terjawab.
Sebegitu hebohnyakah, hanya ditinggal tidur siang sebentar saja? Ya
Tuhan, saya pikir dunia komunikasi yang semakin berkembang kadang membuat
manusia melupakan realita hidupnya. Hingga kadang kita banyak temui, seseorang
yang lupa makan hanya karena asyik chattingan, atau lupa istirahat
karena sibuk telponan. Ckckck. Hanya tak habis pikir saja kadang-kadang.
Setelah saya cek semuanya. Hanya ada dua pesan penting yang terbaca
jelas. Al-Adzkar Writing Club! OMG! Saya benar-benar lupa jika hari ini,
satu rekan saya harus mengisi kegiatan ekstrakurikuler di sebuah SDIT. Tapi seingat
saya semalam ia sudah saya ingatkan tentang agenda hari ini.
Pihak sekolah tersebut menghubungi banyak kali, mencari kejelasan
siapa pengajar hari ini. Di sisi lain rekan saya tersebut berhalangan hadir
menghantarkan materi sebab tidak ada kawan yang bisa mengcover transportasinya.
Alhasil, semua saling menyalahkan. And again, miscommunication happened
on this situation.
Saya bangun dengan perasaan bersalah. Andai saja hari ini tubuh
saya tak rewel dan ponsel saya aktifkan pasti tak akan terjadi kejadian seperti
ini. Andai saja...
Berhenti berandai-andai dan memutus rantai perilaku setan, saya
luruskan semuanya. Berusaha memohon maaf atas kesalahan yang terjadi hari ini. Namun,
satu hal yang masih menghantui adalah raut wajah anak-anak yang antusias
menunggu kegiatan ekskul seminggu sekali ini.
Ah Sayang, sejak kapan aku jadi begitu mudah menyakiti hati
anak-anak yang begitu polos itu?
***
“Belda, aku mau cerita!” ini tingkah gadis Padang selepas salam
rakaat terakhir Maghrib tadi. Entah apa yang membuatnya begitu tergesa-gesa
senja ini.
Setelah mengkondisikan diri, saya membiarkan ia mengurai semuanya. Rupanya
rasa ragu mulai menyandungnya. Lagi-lagi sebab komunikasi jarak jauh. Sebab kepastian
yang jarang terlihat. Sebab wujud yang tak bisa teraba. Sebab wanita tak butuh
umbaran kata-kata, tapi sebentuk aksilah yang membuatnya yakin secara utuh
untuk menjatuhkan hatinya.
Jarak yang terhampar kadangkala membuat komunikasi tak semudah
mengatakan “halo” di seberang pesawat telepon. Atau mengaktifkan jaringan
internet untuk Skype yang seakan-akan menghadirkan kedua orang untuk
saling bertatap muka.
Semua pasti berbeda dengan pertemuan yang sebenarnya. Dengan percakapan
yang sejujurnya. Dengan tingkah laku yang sebiasanya. Gadis Padang ini mulai
meragu, sebab ada seseorang di dekatnya kini yang menawarkan segalanya dan
bersedia ada di saat ia butuh. Tapi hatinya masih menolak. Berusaha melipir dan
memegang janji lama. Namun, ia tak yakin ini akan bertahan lama jika terus
menerus ia disodori segalanya dan diberi pundak saat ia selalu butuh tempat
untuk berlindung.
Saya menarik napas panjang. Udara di dalam rumah mungil ini
tiba-tiba menjadi pekat dan sesak. Hanya dengan dua keputusan, maka akan ada
dua hati yang tersakiti sekaligus terlegakan. Lepas atau pertahankan. Ia belum
sanggup menjatuhkan pilihan. Mungkin dalam beberapa hari ke depan, semoga saja
keputusan terbaik memberi semua jalan keluar yang baik pula.
***
Sayang, tak usah kau resah. Aku baik-baik saja. Meski tubuh sedikit
manja hingga malam ini. Tapi selepas Isya tadi gadis Banjar, kawanku penyuka
eskrim mengantar beberapa kaleng susu dan roti. Katanya, “makan yang banyak! Setelah
kau sembuh kita akan kerja keras untuk acara besar minggu ini.”. Hahaha. Begitulah,
semangat yang ia pancarkan membuat tubuhku malu jika terus menerus bersahabat
dengan kerewelan ini.
Sayang, tenang saja. Apa yang terjadi pada gadis Padang saat ini
semoga makin menguatkan pijakku untuk tetap mendampingimu. Maka kau tak perlu
khawatir, sebab kita telah melewati fase-fase tersebut. Masih ada jalan panjang
yang harus kita lewati tanpa lagi menyandang ragu.
Sayang, semoga kau sehat selalu dalam kasih sayang-Nya. Sebab aku
akan sangat merasa bersalah melebihi rasa bersalahku pada anak-anak SD yang
polos itu, jika kau sakit dan aku tak dapat berbuat apapun.
Sayang, kita adalah segelintir manusia yang diberi keistimewaan
untuk mendalami ilmu komunikasi. Entah komunikasi pada sesama, pada semesta,
dan pada Sang Maha. Maka, tak perlu kau risau jika galau mulai menghalau. Kita terapkan
apa yang telah kita dalami. Kita komunikasikan segala hal pada-Nya biar Dia
yang mengurai pada jagat raya.
Sayang, kalau boleh aku memilih satu surat cinta pada mushaf. Kan
kuhantarkan Al-Fatihah. Lantaran, kaulah Al-Fatihah itu.
Secangkir Madu Hangat,
21 Oktober 2014 ; 22:14
Tidak ada komentar:
Posting Komentar