" Wadah Perca-perca Mimpi Sebelum Terburai Melangit " (B.E.J.)

Selasa, 21 Oktober 2014

Komunikasi


Lagi-lagi bukan karena kami mendalami bidang studi yang sama yakni, komunikasi. Juga bukan karena besok dosen akan mengadakan Ujian Tengah Semester Manajemen Industri Media Massa yang akan banyak mengulas tentang komunikasi dalam kehidupan sehari-hari dan komunikasi media massa. Tajuk untuk postingan kali ini semata-mata karena hari ini saya baru sadar betapa pentingnya menjalin dan menjaga komunikasi. Sekali lagi, baru sadar.

Tidak terhitung berapa banyak tokoh dan pakar ilmu komunikasi yang membeberkan teori komunikasi dalam banyak buku. Intinya, komunikasi diartikan tidak lain sebagai proses di mana seseorang menyampaikan pesannya, baik dengan lambang bahasa maupun dengan isyarat, gambar, gaya, yang antara keduanya telah terdapat kesamaan makna, sehingga keduanya dapat mengerti apa yang sedang dikomunikasikan. Setidaknya, komunikasi memiliki tiga tahapan:

1. Persepsi, yang sering kita sebut sebagai penginderaan suatu gejala di luar diri. Gampangnya, persepsi adalah anggapan atau pemantauan seseorang terhadap segala sesuatu yang ada di sekelilingnya.
2.      Ideasi, penataan hasil persepsinya ke dalam benak.
3.      Transmisi, melontarkannya kepada orang dalam bentuk pesan.

Di samping itu, tiga unsur yang paling esensi lainnya dalam komunikasi adalah pengirim (communicator), pesan (message), dan penerima (communican). Bisa dibayangkan, apabila tidak ada penyampai pesan, pasti komunikasi tidak akan terjadi sebab dialah kunci utama terjadinya komunikasi. Sedang jika tak ada pesan, lalu apa yang akan dilakukan kedua belah pihak? Hambar sebab tak ada yang disampaikan dan dibahas. Begitu pun jika tak ada penerima pesan, maka sang komunikator akan gedek karena tak ada orang yang akan menggubrisnya.

Baik, saya tidak akan membuat postingan kali ini semacam makalah tapi cukuplah paparan di atas menjadi mata rantai dari kejadian hari ini. Semua berhubungan dengan komunikasi.
***
Cuaca yang sering galau akhir-akhir ini rupanya andil membuat tubuh galau pula. Saat kemarin sebuah pesan masuk dalam alat komunikasi elektronik, saya tahu bahwa musim pancaroba seperti sekarang pasti banyak memakan korban. Teman-teman main saya banyak yang tumbang, sebab kondisi yang kurang fit. Mendengar kabar tersebut, pastinya saya lebih semangat dalam menjaga kondisi tubuh agar tidak ikut-ikutan tumbang.

Apa daya setelah semalam bisa bertahan dengan sebungkus tisu, flu pagi ini meraja lela menggerogoti tubuh. Bangun dengan kepala yang cukup berat, saya berazzam hari ini harus mampu melampaui semua kegiatan. Sebab tubuh yang kurang sehat jika dimanjakan maka akan menjadi-jadi. Itu prinsip awal.

Dengan suara sengau alias serak-serak seksi, jam pertama pun terlewati semenyenangkan biasanya. Sesi selanjutnya adalah sesi presentasi akbar pra UTS yang mengharuskan pemateri berdiri di depan kelas selama durasi 30-60 menit. Tebak, apakah saya bertahan? Pastinya! Tubuh tidak rewel hingga presentasi bagian saya usai. Namun, menit berikutnya suhu ruangan berasa meningkat. AC yang tidak berkurang derajat Celciusnya membuat kulit tiba-tiba meremang dan gawatnya keringat dingin mulai mengucur.

Saya sempat heran, sejak kapan aklimatisasi tubuh saya sedemikian buruk? Sejak lama tak melakukan ritual jogging kah? Atau sejak lama tak berbaur dengan suhu dingin di ketinggian gunung? Entahlah, mungkin kombinasi dari kemungkinan-kemungkinan tersebut.


Menit selanjutnya terjalani dengan fokus yang mulai pecah sebab tetiba ada tumpukan beton yang hinggap di kepala. Apa pula ini? Ah, sepertinya sepulang kelas ini kamar tidur adalah tujuan paling tepat dan nikmat.

Ringkasnya, sepulang kuliah rumah belum bisa menjadi tempat pulang sebab sahabat saya meminta untuk pergi mencari persembahan untuk snag bunda. Ia tak memaksa, tapi saya kurang tega membiarkan dia pergi sendiri. Maka, beton di kepala pun disingkirkan barang sejam ke depan.
***
Aku membagi shalat (yakni Al-Fatihah) antara diri-Ku dan hamba-Ku menjadi dua bagian. Dan untuk hamba-Ku apa yang dimohonnya. Apabila hamba-Ku berkata: Alhamdulillah Rabbil ‘Alamin, Allah menyambut dengan berfirman: Hamadani ‘Abdi (Aku dipuja oleh hamba-Ku). Apabila dia membaca, Ar-Rahman Ar-Rahiim. Allah berfirman: Atsna ‘Alayya ‘Abdi (Aku dipuji oleh hamba-Ku). Apabila dia membaca, Maliki Yaumid Din, Allah berfirman: Majjadani ‘Abdi (Aku diagungkan oleh hamba-Ku). Dan apabila ia membaca: Iyyaka Na’budu wa Iyyaka Nasta’in, maka Allah berfirman: Hadza bayni wa bayna ‘abdi, wa li’abdi ma sa’ala (Ini adalah antara Aku dan hamba-Ku, dan bagi hamba-Ku segala sesuatu yang dimohon (pada-Ku)). Dan apabila ia berkata: Ihdina al-shirath al-mustaqim, shirat al-ladzina an’amta ‘alayhim ghayr al-maghdhubi ‘alayhim wa la al’dhallin, maka Allah berfirman: Hadza li’abdi ma sa’ala (Ini adalah bagi hamba-Ku. Bagi hamba-Ku segala sesuatu yang dimohon pada-Ku).” (HR. Muslim)

            Masih terngiang hadits Qudsi yang dibahas pada presentasi tadi siang, saya kembali terhenyak. Sungguh betapa mudahnya seorang hamba biasa seperti kita menjalin komunikasi dengan Dzat Yang Maha Luar Biasa. Maka sebelum beranjak menemani sahabat itu, saya komunikasikan semua pada-Nya siang tadi. Betapa syukur ini tak terkira dapat dengan mudah melakukan kontak penyampaian pesan pada Sang Maha Penting.

            Bayangkan saja jika, untuk bertemu dengan direktur sebuah perusahaan saja kita harus melakukan janji pertemuan sebanyak dua sampai tiga kali baru dapat mengutarakan hal yang kita maksud. Mengapa begitu sulit membuka diri hanya sekadar melaporkan kegiatan sehari-hari pada Direktur Alam Semesta yang tak rumit untuk berkomunikasi dengan-Nya.

            Sudah saya komunikasikan dengan baik di ujung siang tadi apa yang mengganjal di benak. Semua terasa sedikit lebih ringan. Terlebih karena, sebelum melakukan tarian siang tadi basuhan air wudhu benar-benar mampu menyegarkan kembali tubuh yang sempat limbung.

            Hampir dua jam saya dan dara Sunda tersebut menjelajahi tiap toko yang ada. Mencari pernak-pernik yang akan ia bawa pulang akhir pekan ini dan dipersembahkan untuk bunda terkasih. Lagi-lagi, sepertinya daya adaptasi tubuh saya kurang baik hari ini. Baru sebentar saja lelah terasa memeluk erat.

            Beruntung itu terjadi tak lama sebelum teteh berlesung pipi manis itu menemukan sesuatu yang pas untuk dibawa pulang. Alhasil, kami berpencar pulang untuk meneruskan kegiatan masing-masing. Kasur, adalah tujuan utama saya setelah ini!
***
            Di waktu rehat sejenak, gadis Padang yang over baik hati dengan antusias menyiapkan segala obat dan perlengkapan kesehatan lainnya. Dia khawatir sekali melihat saya pulang dengan binar redup.

“Makasih ya Uni, tapi aku enggak sakit!” agak tersinggung juga saat ia terlalu berlebihan bersikap seakan-akan saya pasien yang mengidap penyakit akut. Sebab biasanya dialah yang sering tumbang karena kelelahan.

“Boong! Mata udah kayak gitu masih aja ngotot!” solotnya tak mau kalah. Oke, daripada memperpanjang masalah. Saya sudahi percakapan itu dengan masuk kamar. Tapi sebelum menutup pintu, saya tegaskan kembali padanya.

“Aku enggak sakit! Cuman ngantuk aja!”

“Bodo! Yang penting ini diletakin di sini. Kalau butuh ini ada di sini... bla..bla...bla...” tetap saja dia kekeuh  memberi tahu saya letak obat dan perlengkapan kesehatan lainnya yang telah ia siapkan.

Percakapan kami selesai. Saya non aktifkan segala macam alat komunikasi dan dia kembali ke kampus untuk mengikuti kelas berikutnya. Siang ini, biarkan saja tubuh menerima haknya lebih banyak tanpa diinterupsi oleh kepentingan apapun.
***
15 Whats App. 3 BBM. 4 SMS dan beberapa pesan panggilan tak terjawab.

Sebegitu hebohnyakah, hanya ditinggal tidur siang sebentar saja? Ya Tuhan, saya pikir dunia komunikasi yang semakin berkembang kadang membuat manusia melupakan realita hidupnya. Hingga kadang kita banyak temui, seseorang yang lupa makan hanya karena asyik chattingan, atau lupa istirahat karena sibuk telponan. Ckckck. Hanya tak habis pikir saja kadang-kadang.

Setelah saya cek semuanya. Hanya ada dua pesan penting yang terbaca jelas. Al-Adzkar Writing Club! OMG! Saya benar-benar lupa jika hari ini, satu rekan saya harus mengisi kegiatan ekstrakurikuler di sebuah SDIT. Tapi seingat saya semalam ia sudah saya ingatkan tentang agenda hari ini.

Pihak sekolah tersebut menghubungi banyak kali, mencari kejelasan siapa pengajar hari ini. Di sisi lain rekan saya tersebut berhalangan hadir menghantarkan materi sebab tidak ada kawan yang bisa mengcover transportasinya. Alhasil, semua saling menyalahkan. And again, miscommunication happened on this situation.

Saya bangun dengan perasaan bersalah. Andai saja hari ini tubuh saya tak rewel dan ponsel saya aktifkan pasti tak akan terjadi kejadian seperti ini. Andai saja...

Berhenti berandai-andai dan memutus rantai perilaku setan, saya luruskan semuanya. Berusaha memohon maaf atas kesalahan yang terjadi hari ini. Namun, satu hal yang masih menghantui adalah raut wajah anak-anak yang antusias menunggu kegiatan ekskul seminggu sekali ini.
Ah Sayang, sejak kapan aku jadi begitu mudah menyakiti hati anak-anak yang begitu polos itu?
***
“Belda, aku mau cerita!” ini tingkah gadis Padang selepas salam rakaat terakhir Maghrib tadi. Entah apa yang membuatnya begitu tergesa-gesa senja ini.

Setelah mengkondisikan diri, saya membiarkan ia mengurai semuanya. Rupanya rasa ragu mulai menyandungnya. Lagi-lagi sebab komunikasi jarak jauh. Sebab kepastian yang jarang terlihat. Sebab wujud yang tak bisa teraba. Sebab wanita tak butuh umbaran kata-kata, tapi sebentuk aksilah yang membuatnya yakin secara utuh untuk menjatuhkan hatinya.

Jarak yang terhampar kadangkala membuat komunikasi tak semudah mengatakan “halo” di seberang pesawat telepon. Atau mengaktifkan jaringan internet untuk Skype yang seakan-akan menghadirkan kedua orang untuk saling bertatap muka.

Semua pasti berbeda dengan pertemuan yang sebenarnya. Dengan percakapan yang sejujurnya. Dengan tingkah laku yang sebiasanya. Gadis Padang ini mulai meragu, sebab ada seseorang di dekatnya kini yang menawarkan segalanya dan bersedia ada di saat ia butuh. Tapi hatinya masih menolak. Berusaha melipir dan memegang janji lama. Namun, ia tak yakin ini akan bertahan lama jika terus menerus ia disodori segalanya dan diberi pundak saat ia selalu butuh tempat untuk berlindung.

Saya menarik napas panjang. Udara di dalam rumah mungil ini tiba-tiba menjadi pekat dan sesak. Hanya dengan dua keputusan, maka akan ada dua hati yang tersakiti sekaligus terlegakan. Lepas atau pertahankan. Ia belum sanggup menjatuhkan pilihan. Mungkin dalam beberapa hari ke depan, semoga saja keputusan terbaik memberi semua jalan keluar yang baik pula.
***
Sayang, tak usah kau resah. Aku baik-baik saja. Meski tubuh sedikit manja hingga malam ini. Tapi selepas Isya tadi gadis Banjar, kawanku penyuka eskrim mengantar beberapa kaleng susu dan roti. Katanya, “makan yang banyak! Setelah kau sembuh kita akan kerja keras untuk acara besar minggu ini.”. Hahaha. Begitulah, semangat yang ia pancarkan membuat tubuhku malu jika terus menerus bersahabat dengan kerewelan ini.

Sayang, tenang saja. Apa yang terjadi pada gadis Padang saat ini semoga makin menguatkan pijakku untuk tetap mendampingimu. Maka kau tak perlu khawatir, sebab kita telah melewati fase-fase tersebut. Masih ada jalan panjang yang harus kita lewati tanpa lagi menyandang ragu.

Sayang, semoga kau sehat selalu dalam kasih sayang-Nya. Sebab aku akan sangat merasa bersalah melebihi rasa bersalahku pada anak-anak SD yang polos itu, jika kau sakit dan aku tak dapat berbuat apapun.

Sayang, kita adalah segelintir manusia yang diberi keistimewaan untuk mendalami ilmu komunikasi. Entah komunikasi pada sesama, pada semesta, dan pada Sang Maha. Maka, tak perlu kau risau jika galau mulai menghalau. Kita terapkan apa yang telah kita dalami. Kita komunikasikan segala hal pada-Nya biar Dia yang mengurai pada jagat raya.

Sayang, kalau boleh aku memilih satu surat cinta pada mushaf. Kan kuhantarkan Al-Fatihah. Lantaran, kaulah Al-Fatihah itu.  



Secangkir Madu Hangat,
21 Oktober 2014 ; 22:14


Tidak ada komentar:

Posting Komentar