" Wadah Perca-perca Mimpi Sebelum Terburai Melangit " (B.E.J.)

Kamis, 23 Oktober 2014

Langit, Hujan, dan Rindu


            “Dooor!”

            “Aku tembak langit, pasti sebentar lagi hujan!” Teriak seorang sahabat memecah mendung kemarin. Ia sumringah sekali ketika mengarahkan tangannya rapat membentuk moncong pistol ke langit. Niat awalnya untuk membuat saya terkejut, tapi gagal setelah melihat respon ekspresi saya menunjukkan tidak tertarik dengan permainannya.

            Tembak-tembakan langit. Permainan itu sudah lama saya terapkan sejak lama. Awalnya hanya untuk mengusir rasa bosan saat berkumpul bersama teman-teman di lorong sebelum masuk kelas. Namun, lama-kelamaan permainan itu sudah menjadi tidak karuan. Bukan hanya langit yang kena tembak tapi kawan dan dosen pun turut menjadi korban.

            Sore itu selepas mengurai hafalan SKS untuk ujian, kami berangsur-angsur keluar kelas dengan wajah kuyu. “Soalnya sepele, tapi menuntut jawaban yang luar biasa”, begitu kata pak Dosen memberi pengantar sebelum ujian dimulai. Ri keluar dengan wajah sumringah bukan semata-mata ia sanggup menyelesaikan semua soal dengan jawaban yang ia yakini benar. Tapi, memang bawaan dari lahir ia sudah cengengesan. Seingat saya, selama kenal setahun terakhir ini tidak pernah sekali pun saya lihat dia berwajah lesu dan tak ceria, kecuali karena alasan mengantuk.  

            “Ah, gak asik banget sih! Ayo dong kita main tembak-tembakan lagi.” Ajaknya menggiring langkah kami menuju lift.

            “Lagi nggak mood tuh dia.” En, kawan saya yang lain, seperti bisa membaca bungkam saat itu. Saya memang kurang enak hati untuk bercanda sebab bukan karena ujian yang cukup menguras otak, tapi karena jantung saya berdebar hebat. Entah ini masih bawaan kondisi tubuh yang kurang baik atau efek lainnya.

            “Kamu sakit?” Ri mulai menyadari perubahan air muka saya. Saya menggeleng.

            “Dia kan nggak pernah sakit! Tapi tapi kalau lihat lingkaran mata pandanya, kayaknya dia gak enak badan. Iyakah?” kali ini En menembak saya dengan pertanyaan singkat. Saya menggeleng.

            “Laper.”


            Mendengar jawaban singkat yang terlontar dari bibir saya, mereka terbahak mengguncang lift yang memang hanya berisi kami bertiga.

            “Hahahaha... Bilang atuh kalau laper, Ri kira kamu kesambet setan pas ujian di kelas tadi.”

            “Iya nih si eneng, padahal kita berdua udah mikir yang enggak-enggak.”

            “Udah ah, yang penting kita makan sekarang.”

“Dooor! Yang kena tembak traktir makan! Hahaha...” saya tunggang langgang setelah menembak mereka berdua yang masih tergugu.
***
Yang menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Tidak akan kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pengasih. Maka lihatlah sekali lagi, adakah kamu lihat sesuatu yang cacat?” (QS. Al-Mulk/67: 3)

             “Mama mikir semaleman waktu tahu kamu sakit!” cerca paduka Ratu ketika pagi tadi saya mencium punggung tangannya. Beliau datang di perempat Dhuha tadi bersama sang Raja. Mereka berdua ibarat kunci dan gembok yang sulit dipisahkan. Iri hati terkadang melihat kemesraan mereka yang awet hingga usia pernikahan mereka yang seperempat abad.

            “Efek kangen Mama. Hahaha...” jawab saya sekenanya.

            “Bisa aja kamu itu, Nduk!”

            “Nyatanya, aku sehat kan Ma. Kemarin cuma pura-pura aja, biar Mama sama Ayah jadi ke sini.” ucap saya sambil meringis. White lie.

            Hanya belaian seorang ibu yang mampu meringankan beban berat di pundak, pun ia akan menjadi obat yang abadi kala sang anak menderita sakit tak bernama. Kami menandaskan hari ini dengan banyak kisah. Melepas seluruh kesah dan lelah. Hingga rasanya cukup ia berada di sisi saya saat inilah yang mampu mengisi celah di hati.

            Wanita cantik yang tidak lagi muda itu selalu menganggap anak sulungnya ini gadis kecil. Masih butuh curahan kasih sayang dan tempat manja. Tapi, saya tak pernah menolak diperlakukan seperti itu. Dipeluk, didekap, dicium, dan dibelai sebelum tidur. Sungguh gadis kecil Mama ini tak akan pernah menolak perlakuan seperti itu. Sebab Mamalah tempat pulang pertamanya, saat ia terlampau lelah menghadapi realita.

            Hanya saja ada satu rahasia yang belum ingin ia bagi. Tentang dia, yang ia dambakan kelak bisa menjadi tempat pulang nantinya. Belum saatnya. Belum sekarang, pikirnya. Biarkan dulu hatinya menjadi tetap, hingga ia benar-benar meyakini apa yang ia jalani tanpa tersisip ragu seatom pun.

            “Kamu tahu, Nduk? Mama seperti melihat langit sekarang ini,” ucapnya saat membelai lembut kening saya sebelum lelap tidur siang. Saya tersenyum banyak makna. Sebab akan banyak kisah tak terucap yang akan tumpah jika Mama memandang saya dengan penuh arti seperti ini.

            “Sama, Ma. Aku melihat Mama seperti melihat langit. Teduh, tanpa batas.” Segaris senyum menyeruak dari rautnya yang benar teduh adanya.

            “Mungkin karena itu Mama kasih nama kamu, Belda: Seseorang (perempuan) yang memandang langit.”

            “Karena aku langit Mama dan Mama langit aku?” saya mendongak sedikit mencari kepastian dari Mama. Ia mengangguk sambil tersenyum. Lalu saya hilang dalam hangat peluknya. Terlelap.

***
            “Tembakanku pasti bener! Kalau hari ini hujan besok kamu yang traktir makan!” Ri menantang saya setelah semangkuk bakso tandas dilahapnya. Sedang En, sudah pamit sedari tadi. Katanya masih ada urusan, padahal saya tahu itu hanya akal-akalannya saja agar tidak mau traktir makan. Hahaha.

            Niat awal traktir makan sebenarnya hanya bercanda, namun rezeki anak Sholihah pasti ada saja. Abang tukang bakso hanya mau menerima uang Ri sebab tidak ada lagi uang pecah jika kami harus bayar sendiri-sendiri. Jadilah, Ri yang memiliki harga diri setinggi menara Petronas tidak mau dibayar besok-besok katanya, hitung-hitung shodaqoh pada dhuafa’. Ckckck. 

            “Besok ya, beneran ya?” tanya saya meyakinkan tantangannya.

            “He’em!” jawabnya mantap.

            “Fix ya besok?” sekali lagi saya meyakinkan dia.

            “Iya baweeel.....” ucapnya sebal.

            Kami berdua mampir ke stand Milkshake atas permintaan Ri. Ia bilang, “butuh yang seger-seger buat di busway.” Mana ada yang seger di jalan bus? Ckckck. Berkali-kali ucapannya diralat oleh warga sekelas bahwa moda angkutan yang ia tumpangi tiap hari itu Transjakarta bukan busway. Tapi, lagi-lagi bukan Ri namanya jika terlahir normal dan tanpa ngeyel. “Udah sih, suka-suka gue. Gue juga yang naik, kenapa kalian pada sewot?” See! Itu dia Ri.

            Kami berdua melipir menunggu antrian yang seger-seger itu. Tanpa berniat sedikit pun mencoba yang seger itu karena masih agak pening, saya sibukkan diri melihat perkembangan cuap-cuap di grup. Ah, masih saja belum ada kepastian tentang hal yang krusial itu? Bosan dengan urusan yang tak kunjung selesai dikerjakan, saya pun melakukan rutinitas sore belakangan ini, yakni: blogwalking.

            Mungkin efek terlalu serius atau terlalu asyik menjelajah laman blog seseorang. Alhasil, saat seorang perempuan berdiri tegak tepat di hadapan saya, saya tidak menyadarinya. “Mbak, permisi mau tanya?”.

            Astaga! Itu senior saya, Du. Kami berdua bercakap cukup lama membicarakan kabarnya dan keadaan calon jabang bayi yang dikandungnya. Senang sekali melihat aura berbinar yang terpancar di wajahnya. Aura bahagia dan cantik yang luar biasa. Tak bisa saya gambarkan. Sebab ketika seseorang sedang mengandung, hanya kata sempurna yang pantas ia sandang. Itulah bukti telah sempurna hidupnya, sembari menanti kehadiran buah cintanya terlahir.

            Ri menyenggol lengan saya, ketika gerimis mulai berjingkat. Pelan-pelan tapi langkahnya pasti. Ri meringis, tanda kemenangan takan tantangannya. Saya dan Du yang sempurna itu menyudahi percakapan ketika melihat Ri mulai khawatir akan pulang dengan kuyup jika hujan memberondong tiba-tiba.

            “Jadi dong, kita makan-makan besok?” Ri berjalan mendempet-dempet. Mukanya bahagia atas kemenangan taruhannya ini.

            “Iya, jadi! Kalau besok kamu ngampus aku traktir. Inget masa berlaku hanya besok, hari Kamis!” kata saya tajam.

            “Yah, besok Kamis ya? Yaaaaaaah.......” Kami berpisah dengan wajah Ri yang ditekuk berlipat-lipat sangat jelek sekali. Ia tahu, kemenangannya adalah fana. Sebab Kamis kami libur kuliah! Hahahaha.

***
            “Hujan, Ma.”

            “Iya, hawa kayak gini paling enak kalau buat tidur.”

            “Iya deh, Mama duluan aja. Pasti capek seharian ini.”

            “Iya, kamu jangan tidur terlalu malam, Nduk!”

            “Beres Mom!”
***
            Sayang, hujan turun sore ini. Aku ingat juga hujan ketika itu. Kita menari di bawah rinai berdua tanpa gerak gemulai. Hujan sepulang kita menemui anak-anak yang selalu memberi kita kekuatan selepas menemui mereka.

            Sayang, dosakah jika aku masih belum berkenan membiarkanmu menatap teduh langitku? Ia sumber kekuatanku, padanya aku pulang. Tapi, kumohon belum saat ini kita bernaung pada teduhan yang sama. Banyak hal yang harus aku pertimbangkan jika sewaktu-waktu mendung datang.

            Sayang... ya Tuhan! Bahkan ini masih belum genap selapan dan aku sudah gelagapan. Melangitkan rindu pada langit hingga ruah hujan turun hari ini.

            Sayang, tolong beri tahu aku bagaimana mengenyahkan rindu ini jika di simpuh rakaat terakhir rautmu makin menguat dan enggan sirna barang sejenak?

            Sekali lagi kutanya, dosakah aku jika mengawetkan rindumu dalam bingkai rinduku (karena aku dipeluk rindu amat erat malam ini)?

Hanya kau yang bisa menjawabnya, Sayang.

Akhir tetesan hujan,
23 Oktober 2014; 20.49


            

Tidak ada komentar:

Posting Komentar