“Dooor!”
“Aku tembak
langit, pasti sebentar lagi hujan!” Teriak seorang sahabat memecah mendung
kemarin. Ia sumringah sekali ketika mengarahkan tangannya rapat membentuk
moncong pistol ke langit. Niat awalnya untuk membuat saya terkejut, tapi gagal
setelah melihat respon ekspresi saya menunjukkan tidak tertarik dengan
permainannya.
Tembak-tembakan
langit. Permainan itu sudah lama saya terapkan sejak lama. Awalnya hanya untuk
mengusir rasa bosan saat berkumpul bersama teman-teman di lorong sebelum masuk
kelas. Namun, lama-kelamaan permainan itu sudah menjadi tidak karuan. Bukan hanya
langit yang kena tembak tapi kawan dan dosen pun turut menjadi korban.
Sore itu selepas
mengurai hafalan SKS untuk ujian, kami berangsur-angsur keluar kelas dengan
wajah kuyu. “Soalnya sepele, tapi menuntut jawaban yang luar biasa”, begitu
kata pak Dosen memberi pengantar sebelum ujian dimulai. Ri keluar dengan wajah
sumringah bukan semata-mata ia sanggup menyelesaikan semua soal dengan jawaban
yang ia yakini benar. Tapi, memang bawaan dari lahir ia sudah cengengesan. Seingat
saya, selama kenal setahun terakhir ini tidak pernah sekali pun saya lihat dia
berwajah lesu dan tak ceria, kecuali karena alasan mengantuk.
“Ah, gak asik
banget sih! Ayo dong kita main tembak-tembakan lagi.” Ajaknya menggiring
langkah kami menuju lift.
“Lagi nggak mood
tuh dia.” En, kawan saya yang lain, seperti bisa membaca bungkam saat itu. Saya
memang kurang enak hati untuk bercanda sebab bukan karena ujian yang cukup
menguras otak, tapi karena jantung saya berdebar hebat. Entah ini masih bawaan
kondisi tubuh yang kurang baik atau efek lainnya.
“Kamu sakit?” Ri mulai menyadari perubahan air muka saya. Saya menggeleng.
“Dia kan nggak pernah sakit! Tapi tapi kalau lihat lingkaran mata pandanya, kayaknya dia gak
enak badan. Iyakah?” kali ini En menembak saya dengan pertanyaan singkat. Saya menggeleng.
“Laper.”
Mendengar jawaban
singkat yang terlontar dari bibir saya, mereka terbahak mengguncang lift yang
memang hanya berisi kami bertiga.
“Hahahaha... Bilang
atuh kalau laper, Ri kira kamu kesambet setan pas ujian di kelas tadi.”
“Iya nih si eneng,
padahal kita berdua udah mikir yang enggak-enggak.”
“Udah ah,
yang penting kita makan sekarang.”
“Dooor! Yang kena tembak traktir makan! Hahaha...” saya tunggang
langgang setelah menembak mereka berdua yang masih tergugu.
***
“Yang menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Tidak akan kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pengasih. Maka lihatlah sekali lagi, adakah kamu lihat sesuatu yang cacat?” (QS. Al-Mulk/67: 3)
“Mama mikir semaleman waktu tahu kamu sakit!”
cerca paduka Ratu ketika pagi tadi saya mencium punggung tangannya. Beliau datang
di perempat Dhuha tadi bersama sang Raja. Mereka berdua ibarat kunci dan gembok
yang sulit dipisahkan. Iri hati terkadang melihat kemesraan mereka yang awet
hingga usia pernikahan mereka yang seperempat abad.
“Efek kangen Mama.
Hahaha...” jawab saya sekenanya.
“Bisa aja kamu
itu, Nduk!”
“Nyatanya, aku
sehat kan Ma. Kemarin cuma pura-pura aja, biar Mama sama Ayah jadi ke sini.”
ucap saya sambil meringis. White lie.
Hanya belaian
seorang ibu yang mampu meringankan beban berat di pundak, pun ia akan menjadi
obat yang abadi kala sang anak menderita sakit tak bernama. Kami menandaskan
hari ini dengan banyak kisah. Melepas seluruh kesah dan lelah. Hingga rasanya
cukup ia berada di sisi saya saat inilah yang mampu mengisi celah di hati.
Wanita cantik yang
tidak lagi muda itu selalu menganggap anak sulungnya ini gadis kecil. Masih butuh
curahan kasih sayang dan tempat manja. Tapi, saya tak pernah menolak
diperlakukan seperti itu. Dipeluk, didekap, dicium, dan dibelai sebelum tidur. Sungguh
gadis kecil Mama ini tak akan pernah menolak perlakuan seperti itu. Sebab Mamalah
tempat pulang pertamanya, saat ia terlampau lelah menghadapi realita.
Hanya saja ada
satu rahasia yang belum ingin ia bagi. Tentang dia, yang ia dambakan kelak bisa
menjadi tempat pulang nantinya. Belum saatnya. Belum sekarang, pikirnya. Biarkan
dulu hatinya menjadi tetap, hingga ia benar-benar meyakini apa yang ia jalani
tanpa tersisip ragu seatom pun.
“Kamu tahu, Nduk? Mama
seperti melihat langit sekarang ini,” ucapnya saat membelai lembut kening saya
sebelum lelap tidur siang. Saya tersenyum banyak makna. Sebab akan banyak kisah
tak terucap yang akan tumpah jika Mama memandang saya dengan penuh arti seperti
ini.
“Sama, Ma. Aku melihat
Mama seperti melihat langit. Teduh, tanpa batas.” Segaris senyum menyeruak dari
rautnya yang benar teduh adanya.
“Mungkin karena itu
Mama kasih nama kamu, Belda: Seseorang (perempuan) yang memandang langit.”
“Karena aku langit
Mama dan Mama langit aku?” saya mendongak sedikit mencari kepastian dari Mama. Ia
mengangguk sambil tersenyum. Lalu saya hilang dalam hangat peluknya. Terlelap.
***
“Tembakanku pasti
bener! Kalau hari ini hujan besok kamu yang traktir makan!” Ri menantang saya
setelah semangkuk bakso tandas dilahapnya. Sedang En, sudah pamit sedari tadi. Katanya
masih ada urusan, padahal saya tahu itu hanya akal-akalannya saja agar tidak
mau traktir makan. Hahaha.
Niat awal traktir
makan sebenarnya hanya bercanda, namun rezeki anak Sholihah pasti ada saja.
Abang tukang bakso hanya mau menerima uang Ri sebab tidak ada lagi uang pecah
jika kami harus bayar sendiri-sendiri. Jadilah, Ri yang memiliki harga diri
setinggi menara Petronas tidak mau dibayar besok-besok katanya, hitung-hitung
shodaqoh pada dhuafa’. Ckckck.
“Besok ya, beneran
ya?” tanya saya meyakinkan tantangannya.
“He’em!” jawabnya
mantap.
“Fix ya
besok?” sekali lagi saya meyakinkan dia.
“Iya baweeel.....”
ucapnya sebal.
Kami berdua mampir
ke stand Milkshake atas permintaan Ri. Ia bilang, “butuh yang
seger-seger buat di busway.” Mana ada yang seger di jalan bus? Ckckck. Berkali-kali
ucapannya diralat oleh warga sekelas bahwa moda angkutan yang ia tumpangi tiap
hari itu Transjakarta bukan busway. Tapi, lagi-lagi bukan Ri namanya
jika terlahir normal dan tanpa ngeyel. “Udah sih, suka-suka gue. Gue
juga yang naik, kenapa kalian pada sewot?” See! Itu dia Ri.
Kami berdua
melipir menunggu antrian yang seger-seger itu. Tanpa berniat sedikit pun
mencoba yang seger itu karena masih agak pening, saya sibukkan diri melihat
perkembangan cuap-cuap di grup. Ah, masih saja belum ada kepastian tentang
hal yang krusial itu? Bosan dengan urusan yang tak kunjung selesai dikerjakan,
saya pun melakukan rutinitas sore belakangan ini, yakni: blogwalking.
Mungkin efek
terlalu serius atau terlalu asyik menjelajah laman blog seseorang. Alhasil,
saat seorang perempuan berdiri tegak tepat di hadapan saya, saya tidak
menyadarinya. “Mbak, permisi mau tanya?”.
Astaga! Itu senior
saya, Du. Kami berdua bercakap cukup lama membicarakan kabarnya dan keadaan
calon jabang bayi yang dikandungnya. Senang sekali melihat aura berbinar yang
terpancar di wajahnya. Aura bahagia dan cantik yang luar biasa. Tak bisa saya
gambarkan. Sebab ketika seseorang sedang mengandung, hanya kata sempurna yang
pantas ia sandang. Itulah bukti telah sempurna hidupnya, sembari menanti
kehadiran buah cintanya terlahir.
Ri menyenggol
lengan saya, ketika gerimis mulai berjingkat. Pelan-pelan tapi langkahnya
pasti. Ri meringis, tanda kemenangan takan tantangannya. Saya dan Du yang
sempurna itu menyudahi percakapan ketika melihat Ri mulai khawatir akan pulang
dengan kuyup jika hujan memberondong tiba-tiba.
“Jadi dong, kita
makan-makan besok?” Ri berjalan mendempet-dempet. Mukanya bahagia atas
kemenangan taruhannya ini.
“Iya, jadi! Kalau besok
kamu ngampus aku traktir. Inget masa berlaku hanya besok, hari Kamis!” kata
saya tajam.
“Yah, besok Kamis
ya? Yaaaaaaah.......” Kami berpisah dengan wajah Ri yang ditekuk berlipat-lipat
sangat jelek sekali. Ia tahu, kemenangannya adalah fana. Sebab Kamis kami libur
kuliah! Hahahaha.
***
“Hujan, Ma.”
“Iya, hawa kayak gini paling enak
kalau buat tidur.”
“Iya deh, Mama duluan aja. Pasti capek
seharian ini.”
“Iya, kamu jangan tidur terlalu
malam, Nduk!”
“Beres Mom!”
***
Sayang, hujan
turun sore ini. Aku ingat juga hujan ketika itu. Kita menari di bawah rinai
berdua tanpa gerak gemulai. Hujan sepulang kita menemui anak-anak yang selalu
memberi kita kekuatan selepas menemui mereka.
Sayang,
dosakah jika aku masih belum berkenan membiarkanmu menatap teduh langitku? Ia sumber
kekuatanku, padanya aku pulang. Tapi, kumohon belum saat ini kita bernaung pada
teduhan yang sama. Banyak hal yang harus aku pertimbangkan jika sewaktu-waktu
mendung datang.
Sayang...
ya Tuhan! Bahkan ini masih belum genap selapan dan aku sudah gelagapan. Melangitkan
rindu pada langit hingga ruah hujan turun hari ini.
Sayang,
tolong beri tahu aku bagaimana mengenyahkan rindu ini jika di simpuh rakaat
terakhir rautmu makin menguat dan enggan sirna barang sejenak?
Sekali lagi
kutanya, dosakah aku jika mengawetkan rindumu dalam bingkai rinduku (karena aku dipeluk rindu amat erat malam ini)?
Hanya kau yang bisa menjawabnya, Sayang.
Akhir
tetesan hujan,
23
Oktober 2014; 20.49
Tidak ada komentar:
Posting Komentar